• Tidak ada hasil yang ditemukan

Netralitas Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pemilukada Sumatera Utara Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Netralitas Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pemilukada Sumatera Utara Tahun 2013"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pegawai Negeri Sipil adalah Unsur Aparatur Negara dalam mengadakan

dan menyelenggarakan pemerintahan maupun pembangunan dalam rangka usaha

untuk dapat mencapai tujuan Nasional. Adapun usaha dalam mencapai tujuan

Nasional tersebut diperlukan adanya pegawai Negeri Sipil yang penuh kesetiaan

dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan

Pemerintah.

Peran Pegawai Negeri Sipil merupakan subyek utama dalam suatu

birokrasi yang mempunyai peran tertentu untuk dapat menjalankan tugas negara

dan pemerintahan. Dalam hal ini pola kerja Pegawai Negeri Sipil merupakan

suatu unsur utama dalam terciptanya pelayanan kepada masyarakat secara

profesional, adil dan merata. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil sebagai suatu

unsur aparatur negara yang abdi masyarakat dan memiliki mental loyalitas

terhadap negara. Hal ini secara tidak langsung Pegawai Negeri Sipil dituntut

harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak

diskriminatif terhadap pelayanan masyarakat.

Sehubungan dengan persoalan netralitas Pegawai Negeri Sipil tersebut,

sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang nomor 43 Tahun 1999 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengatur dengan tegas mengenai Netralitas

Pegawai pada pemerintahan sebagaimana tercantum dalam pasal 3 yang

menyatakan bahwa Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam

(2)

menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.1

Larangan terhadap Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik

dapat dilihat secara rinci dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

2004 tentang larangan Pegawai Negeri Sipil dalam menjadi Anggota ataupun

Pengurus Partai Politik

2

yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dituntut

untuk netral dan dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik tertentu.

Apabila ada seorang Pegawai Negeri Sipil ingin menjadi anggota dalam suatu

partai politik ataupun ingin duduk sebagai pengurus partai politik, maka yang

bersangkutan diharuskan melaporkan kepada atasan langsungnya dan tidak

membuat permohonan pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan secara

langsung akan diberhentikan secara tidak hormat. Hal ini bisa dibilang

berhubungan dengan pendapat Wilson dan Godnow yang menyatakan bahwa

perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya untuk

menjaga agar tugas dan fungsi masing-masing yang sebagaimana mestinya

diterapkan larangan ikut keanggotaan suatu partai politik kepada Pegawai Negeri

Sipil3. Adapun pendapat Hegel mengatakan bahwa birokrasi haruslah berposisi di

tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan

kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi)4

Dalam hal ini, Netralitas Pegawai Negeri Sipil berkaitan dengan

adanya Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Dengan berlakunya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 dimana Undang-Undang ini mengenai Pemerintahan

Daerah. Adapun agenda reformasi yang digulirkan dengan tujuan untuk dapat

mewujudkan iklim yang lebih demokratis dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Hal seperti ini dapat diwujudkan dengan mengembalikan .

1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 tentang pokok-pokok kepegawaian.

2

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota / pengurus Partai Politik

3

Miftah Thoha, Netralitas Birokrasi di Pemerintahan Indonesia, Malang: Pustaka Pelajar, 2001, hal.54.

4

(3)

kedaulatan ketangan rakyat. Karena yang kita ketahui selama ini adalah

kedaulatan yang seakan-akan berada di tangan partai politik. Dimana satu-satunya

hak politik yang dimiliki oleh rakyat adalah dengan memilih orang yang akan

mewakili mereka dalam Dewan perwakilan Rakyat. Lalu setelah itu, kedaulatan

beralih kepada mereka yang menyebut diri mereka sebagai wakil rakyat yang

pada kenyataannya justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan

partainya, daripada memperjuangkan kepentingan rakyat yang memilih mereka.

Dalam praktiknya, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan

PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan

kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan

kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian

izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan

bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan

memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran

negara. Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya

penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan

kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan,

kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut

parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas

dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan

menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas

penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.

Sebenarnya yang harus mendapat titik tekan pelarangan Pegawai Negeri

Sipil terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung adalah dalam konteks

sebagai peserta, baik sebagai calon Kepala Daerah maupun tim kampanye

pendukung Kepala Daerah. Mereka memposisikan diri mereka pada salah satu

pihak, keberpihakan merekalah yang sebenarnya harus “diharamkan”. Karena

ketika mereka memutuskan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) keberpihakan

mereka hanyalah kepada kepentingan rakyat. Mereka haruslah mengabdi demi

(4)

saja. Jadi, jika mereka terlibat menjadi panitia penyelenggara Pemilihan Kepala

Daerah itu di bolehkan5

Dalam pemerintahan Otonomi Daerah, Pegawai Negeri Sipil banyak

terjadi penyalahgunaan wewenang. Misalnya saja dalam pelaksanaan Pemilihan

Kepala Daerah Langsung, penyalahgunaan wewenang kerap kali terjadi. Birokrasi

disini dijadikan sebagai mesin politik untuk dapat memenangkan Incumbent.

Menurut Lembaga Survey Indonesia dari 460 calon incumbent yang menang

dalam Pemilukada kurang lebih 62,7%, sedangkan yang kalah kurang lebih

37,83%.

.

Mengacu kepada surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor :

K.26-30/V.31-3/99, tanggal 12 Maret 2009, untuk mencegah terjadinya pelanggaran

masalah netralitas PNS dalam pemilukada, pemilu calon legislatif (DPR, DPRD

Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil Presiden, maka Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, dan Daerah

Provinsi/Kabupaten/Kota, bertanggungjawab untuk :

a. Mensosialisasikan mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum

Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;

b. Mengecek dan mengawasi implementasi mengenai netralitas PNS dalam

Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;

c. Memberikan hukuman apabila terdapat PNS di lingkungannya yang

melakukan pelanggaran terhadap netralitas PNS.

6

5

Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan

Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: September 2003

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, Penulis mengangkat judul

Skripsi tentang “Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada Sumatera

Utara 2013” Studi Kasus terhadap Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.

6

(5)

I.2 PERUMUSAN MASALAH

Adapun Perumusan Masalah merupakan penjelasan mengenai alasan

mengapa masalah dalam penelitian ini dipandang menarik dan perlu untuk diteliti.

Dengan kata lain, Perumusan Masalah merupakan isi dari pertanyaan lengkap

dan rinci mengenai lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan dari

identifikasi masalah dan pembatasan masalah.7

1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai

Aparatur Negara dalam abdi masyarakat.

Berdasarkan uraian yang telah

dipaparkan dalam Latar Belakang Masalah, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

- Bagaimana Netralitas Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kementerian Agama

Provinsi Sumatera Utara dalam Pemilukada 2013.

- Faktor – faktor apa yang mempengaruhi netral atau tidak netralnya

terhadap Pegawai Negeri Sipil.

I.3 PEMBATASAN MASALAH

Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan adanya pembatasan masalah

terhadap masalah yang akan diteliti. Penulis perlu membuat pembatasan masalah

juga agar hasil penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin

dicapai menjadi karya tulis yang sistematis. Adapun batasan masalah yang akan

diteliti penulis adalah penelitian ini hanya mencakup kepada Pegawai Negeri Sipil

di Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara. Hal-hal diluar pembahasan

Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara tidak

dibahas disini.

I.4 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah:

7

(6)

2. Untuk mengetahui Netralitas Pegawai Negeri Sipil di Kantor

Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara terhadap Pemilihan Kepala

Daerah Sumatera Utara 2013.

I.5 MANFAAT PENELITIAN

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi

untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari

penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis maupun metodologis, studi ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan terhadap pemahaman tentang peranan Pegawai

Negeri Sipil

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran bagi birokrat dalam setiap even politik pemilu memiliki sikap

netral dan profesional.

3. Secara Akademis, diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa

Departemen Ilmu Politik dan dapat menjadi sumber rujukan bagi

Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara.

4. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikit dalam

menulis suatu karya ilmiah.

I.6 KERANGKA TEORI

I.6.1 Teori Birokrasi

Birokrasi berasal dari bahasa inggris kata bureaucracy yang dapat

diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dalam bentuk

sebuah piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada

tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun

militer. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan

sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena

(7)

Menurut Max Weber konsep birokrasi ada dalam suatu organisasi, dimana

organisasi bukan hanya dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk

mengontrol pekerjaan sehingga sampai pada sasarannya, karena organisasi

birokrasi hanya punya struktur yang jelas tentang kekuasaan terhadap orang yang

punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat memberi perintah untuk

mendistribusikan tugas kepada orang lain.

Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif,

membuatnya lebih berberntuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif

yang terdapat sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik

dan tradisional. Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari

dominasi legal. Akan tetapi, ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi

inefisien ketika keputusan harus diadopsi kepada kasus individual. Menurut

Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari arti

administrasi, efek daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan

implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan. Birokrasi

ala Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”. Birokrasi tersebut

dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang

mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan

negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal.8

1. Organisasi yang disusun secara hirarkis

Adapun karakteristik birokrasi menurut weber adalah :

2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.

3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat,

bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada

kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian

(examination).

4. Seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi.

5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.

8

(8)

6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka.

7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.

8. Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan .

Prajudi Atmosudirjo mengatakan dalam bukunya G Kartasapoetra

mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai arti9

Michael G. Roskin, et al. menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4

fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern. Fungsi-fungsi tersebut

adalah :

:

1. Birokrasi sebagai tipe organisasi.

2. Sebagai suatu organisasi tertentu, birokrasi cocok sekali untuk

melaksanakan suatu macam pekerjaan yang terkait pada

peraturan-peraturan yang bersifat rutin, artinya volume pekerjaan besar, akan

tetapi sejenis dan bersifat berulang-ulang, dan pekerjaan yang

memerlukan keadilan, merata dan stabil.

3. Birokrasi sebagai system, yang artinya birokrasi adalah suatu system

kerja yang berdasar atas tata hubungan kerjasama antara jabatan

(pejabat-pejabat) secara langsung kepada persolannya dan secara formal

serta berjiwa tanpa dipilih kasih atau tanpa pandang bulu.

Dalam hal ini, menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor

pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu

kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan

menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna

pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas

masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public

alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera

mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.

9

(9)

1. Administrasi

Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan,

pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi

dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan

undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU

tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan

kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah

dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.

2. Pelayanan

Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau

kelompok-kelompok khusus. Dalam hal ini badan pendidikan, dan badan

kesehatan adalah contoh yang bagus di Indonesia, dimana badan – badan tersebut

ditujukan demi kepentingan masyarakat. Sehingga menjalankan fungsi public

service nya dengan baik

3. Pengaturan (regulation)

Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi

mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan

birokrasi biasanya dihadapkan antara dua pilihan: Kepentingan individu versus

kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan

pada dua pilihan ini.

4. Pengumpul Informasi (Information Gathering)

Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu

kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat

kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi

faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan

kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal

tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika

(10)

Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh

sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan

membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi

ruang bagi kesempatan melakukan pungli.

Melihat sejarah birokrasi Indonesia, netralitas birokrasi yang tidak

terpengaruh kekuatan politik belum pernah terwujud. Padahal untuk melahirkan

tatanan kepemerintahan yang demokratis diperlukan birokrasi pemerintah yang

netral dari kepentingan partai atau kekuatan politik. Jika birokrasi pemerintah

dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan akan bisa dilayani oleh birokrasi

pemerintah, karena birokrasi tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu

kepentingan kelompok rakyat tertentu. Pemihakan kepada kepentingan seluruh

rakyat ini sama dengan melaksanakan demokrasi. Sedangkan keberpihakan

birokrasi terhadap salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah

cenderung akan memberikan peluang terhadap suburnya

penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pegawai yang profesional dan terbuka terhadap perubahan ekonomi, sosial

dan politik menjadi sebuah tuntutan. Bagaimana para birokrat memahami jabatan

yang dipegang dan merealisasikan dalam bentuk pelayanan publik optimal adalah

hal utama. Selama ini kecenderungan aparat birokrasi masih mewarisi budaya

”memerintah” dan menganggap bahwa jabatan adalah status sosial yang

membedakan mereka dengan warga biasa. Melayani dan memenuhi kebutuhan

warga negara dengan sebaik-baiknya belumlah menjadi paradigm para birokrat.

Masyarakat pun masih menganggap bahwa keberadaan birokrasi bukanlah

mempermudah urusan mereka tetapi malah menghambat layanan yang harus

diterima.

Birokrasi sebagai “alat pemerintah” memang tidak mungkin “netral” dari

pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak

memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang

bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan kemandirian birokrasi.

(11)

seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara

kepentingan-kepentingan masyrakat dengan kepentingan pemerintah.10

10

Priyo Budi Santoso, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan

Struktural, Edisi I, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 32

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di

mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat

mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang

menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur

adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih

melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang

jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di

tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang

terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.

I.6.2 Teori Sistem Pemilu

Adapun Pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk

mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan - jabatan tersebut

beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai

dengan kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi

rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,

public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun

agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam

kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga

dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.

Dengan kata lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk

sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan

perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir

melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut

(12)

Pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam

suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan

perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut11

Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat

kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi,

berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws

dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan

electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan kemudian suara

tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara

partai politik yang bersaing.

1. Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik.

2. Aturan permainan yang fair.

3. Dihargainya nilai-nilai kebebasan.

4. Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai

kekuatan politik secara proporsional.

5. Tiadanya intimidasi.

6. Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum.

7. Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral

dan hukum

12

Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan

sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta

distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum

adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi

politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Sedangkan

electoral process adalah menyangkut mekanisme yang dijalankan didalam

11

Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 37.

12

(13)

mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye

(baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik) pemberian suara, serta

penghitungan suara. Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi

serta wujud paling konkret keiktsertaan (partisipasi) rakyat dalam

penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu

hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem &

kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan

pemerintahan demokratis

Dalam hal ini, pemilu dan netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat

dibutuhkan dalam proses politik seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah karena

pegawai negeri merupakan pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul

berdiri secara independen tanpa harus memihak. Harus diperhatikan bahwa

kadang kala pegawai negeri terbawa arus atau dengan kata lain dalam keadaan

terpaksa untuk memihak pada salah satu pihak apalagi ketika salah satu kandidat

merupakan calon (incumbent). Ketidaknetralan Pegawai negeri juga sangat

terlihat apabila ada calon kepala daerah yang berasal dari keluarganya, sehingga

nilai-nilai yang seharusnya dimiliki harus terbuang dan ditinggalkan. Tidak

mengherankan jika banyak proses politik dalam hal ini pemilihan umum kepala

daerah dicederai dengan adanya keterlibatan secara langsung pegawai negeri sipil

dalam mendukung salah satu calon kepala daerah.

Ketentuan tentang dilarangnya atau tidak diperbolehkannya pegawai

negeri sipil untuk ikut serta secara langsung dalam pemilihan Kepala Daerah

diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menegaskan:

1. Dalam kampanye, dilarang melibatkan:

a. Hakim pada semua peradilan;

b. Pejabat BUMN/BUMD;

c. Pejabat Struktural dan Fungsional dalam Jabatan Negeri;

(14)

2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila

pejabat tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

3. Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan:

a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya;

b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan

c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan

keberlangsungan tugas Penyelenggaraan pemerintahan daerah.

4. Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara

Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah.

I.6.3 Teori Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa

Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan

mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan,

partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai

pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan-pernyataan tertulis. Pengertian ini

mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana,

pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang

dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian

siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.

James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian

tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh

seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah

tertentu. James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud

kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan

(15)

(1) bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan

tindakan yang berorientasi pada tujuan,

(2) bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat-pejabat pemerintah,

(3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah,

(4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa

bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau

bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah

untuk tidak melakukan sesuatu,

(5) bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan

perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).

Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan

selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

James Anderson sebagai pakar kebijakan publik meenetapkan proses kebijakan

public sebagai berikut:

1. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa yang

membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah

tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

2. Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana mengembangkan

pilihan-pilihan atau alternatf-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Sipa

saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (adoption): bagaimana alternative ditetapkan?

Persyaratan atau criteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan

melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk

melaksanakan kebjakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

4. Implementasi (implementasion): siapa yang terlibat dalam implementasi

(16)

5. Evaluasi (evaluation): bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak

kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi

dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan

perubahan atau pembatalan?

I.6.4 Netralitas Birokrasi

Konsep pada netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis

sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Sekitar abad ke 20-an, konsep

netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial

politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang

managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization

of the world). Dengan itu, mereka juga ingin mengetahui sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan

politik pada zaman yang semakin maju ini.

Bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada

era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah

menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar)

sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.

Ketika masa Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita Indonesia dalam kondisi

dan situasi yang sangat memprihatinkan. Hal – hal ini disebabkan oleh strategi

pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai

politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu

persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung

Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan

menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi pada waktu itun itu

yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)

Dalam keadaan seperti itu pulalah masyarakat sangat merindukan

terciptanya satu situasi yang memungkinkan kepentingan mereka tersalurkan dan

terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru,

sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan

(17)

tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kemdali

pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan

kepartaian konvensional/tradisional. Kedua, menitikberatkan pembangunan ke

arah rehabilitasi ekonomi.

Dua strategi tersebut sangat jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala

resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah.

Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama

Golongan Karya (pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai

pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa politik

orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya

kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi

sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional.13

Dengan melihat banyaknya masalah politisasi birokrasi yang tetap

berlangsung, maka jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan

kembali tuntutan netralisasi birokrasi. Sebenarnya tuntutan seperti ini sudah

pernah menghangat ketika muncul perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang Untuk mewujudkan Netralitas diharapkan dalam manajemen sistem

kepegawaian perlu selalu ada:

(a) Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa

depannya serta ketenangan dalam mengejar karier.

(b) Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta

keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi

jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin

dihapuskan sama sekali.

(c) Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS

dapat memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur

kemampuan pribadi

13

(18)

pejabat pemerintahan sekaligus pengurus atau anggota partai. Namun demikian,

tuntutan itu mendapatkan resistensi dari parpol dan para politisi atau kader partai

yang meraih kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan

I.6.5 Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pegawai Negeri Sipil

Salah satu langkah mendasar dari reformasi birokrasi, Pemerintah telah

menetapkan kebijakan baru dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS)

sebagai bagian dari Pegawai Negeri, yang pada prinsipnya mengarahkan sikap

politik PNS dari yang sebelumnya harus mendukung golongan politik tertentu

menjadi netral atau tidak memihak, yang selanjutnya lazim disebut kebijakan

netralitas politik PNS. Kebijakan netralitas PNS tersebut dinyatakan secara tegas

dengan memasukkan pengaturannya dalam:

a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian, Pasal 3 ayat (1) – (3):

(1). Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang

bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara

profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,

pemerintahan dan pembangunan.

(2). Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai

politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat.

(3). Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau

pengurus partai politik.14

14

(19)

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota Partai Politik pada pasal 2

dan pasal 3.

PASAL 2:

(1). Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau

pengurus partai politik.

(2). Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus

partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

PASAL 3:

(1). Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus

partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

(2). Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil.

(3). Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku

terhitung mulai akhir bulan mengajukan pengunduran diri.15

c. Undang – Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dalam Pasal 59 ayat (5) bagian g, dimana Partai Politik atau gabungan partai

politik pada saat mendaftarkan calon, wajib menyerahkan: “Surat

pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal

dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.16

d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disipln

Pegawai Negeri Sipil. Dimana Larangan pada bagian Kedua Pasal 4 ayat

(12) yaitu Larangan memberikan dukungan kepada Calon Presiden/Wakil

15

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota Partai Politik.

16

(20)

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:

- Ikut serta sebagai pelaksana kampanye,

- Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau

atribut Pegawai Negeri Sipil.

- Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan Pegawai Negeri Sipil

Lainnya,

- Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.17

17

Diakses dari

e. Surat Edaran MenPan nomor 7 Tahun 2009 tentang Netralitas Pegawai

Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum :

- PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi anggota DPD,

Presiden/Wakil Presiden, atau Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah.

1. PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi anggota

Dewan Perwakilan Daerah harus mengundurkan diri sebagai PNS.

2. PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi

Presiden/Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatan

negeri.

3. PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi Kepala/Wakil

Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatan negeri.

- PNS dilarang :

Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden,

dengan cara:

a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut

partai/Pegawai Negeri Sipil;

(21)

c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan Pegawai Negeri Sipil

di lingkungan kerjanya;

d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;

e. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau

merugikan salah satu calon pasangan selama masa kampanye;

f. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap

calon pasangan yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama,

sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan,

seruan dan pemberian barang kepada Pegawai Negeri Sipil dalam

lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.

I.7 METODE PENELITIAN

Adapun definisi metode penelitian merupakan ajaran-ajaran mengenai

cara-cara yang digunakan dalam proses penelitian. Metodologi penelitian pada

dasarnya merupakan suatu cara yang dipergunakan dalam mencapai tujuan

penelitian yang dilakukan.18 Tujuan umum dari penelitian ini sendiri adalah untuk

memecahkan suatu masalah yang telah dirumuskan dan dilakukan dengan

metode-metode ilmiah.

I.7.1 Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif

untuk melihat bagaimana jawaban dari perumusan masalah yakni Bagaimana

netralitas Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Sumatera

Utara 2013. Penelitian deskriptif yang penulis gunakan adalah sebagai sebuah

penelitian yang menjelaskan maupun menggambarkan suatu keadaan penelitian

dan berusaha menggambarkan dengan jelas dan mendalam tentang apa yang

diteliti pada pokok permasalahan.

18

(22)

I.7.2 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian dilakukan di Kantor Kementerian Agama

Provinsi Sumatera Utara tepatnya di Jl. Gatot Subroto depan kantor Kodam,

Medan.

I.7.3 Populasi dan Sampel

Populasi merupakan suatu keseluruhan objek yang terdiri dari manusia,

benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai, maupun peristiwa sebagai

sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian

penelitian.19.

Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh Pegawai Negeri Sipil dalam

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah

209 Orang. Sedangkan Sampel merupakan sebagian yang diambil dari populasi

dengan menggunakan cara tertentu. Seperti misalnya rumus Taro Yamane, antara

lain:

n =

Keterangan:

n = Jumlah Sampel

N = Jumlah populasi

d = Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Pada lokasi penelitian Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi

Sumatera Utara yang berjumlah 209 Orang. Jadi sampel yang diambil adalah:

n = 209

209 (0,1)2 + 1

n = 209

3,09

n = 67,63

19

(23)

Jadi setelah melalui penggenapan sampel yang diambil adalah sebanyak 68

orang, dengan distribusi sampel per bidang sebagai berikut:

Tabel I.1

NO. BIDANG POPULASI SAMPEL

1. Golongan II 18 orang 12 orang

2. Golongan III 145 orang 33 orang

3. Golongan IV 46 orang 23 orang

JUMLAH 209 orang 68 orang

Berikut ini adalah bidang – bidang yang terbagi di dalam Kantor

Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara :

NO. BIDANG POPULASI

1. Tata Usaha 73 orang

2. Pendidikan Madrasah 21 orang

3. Agama & keagamaan Islam 14 orang

4. Urais dan Pembinaan Syari’ah 17 orang

5. Penerangan Agama islam zakat wakaf 13 orang

6. Haji dan Umroh 29 orang

7. Bimas Kristen 13 orang

8. Pembimas Hindu 3 orang

9. Pembimas Buddha 5 orang

10. Pembimas Katolik 6 orang

11. Pegawai Honorer 15 orang

JUMLAH 209 orang

(24)

Adapun pada bidang Tata Usaha terdapat beberapa sub-bagian, antara lain:

1. Sub.Bagian Kepegawaian

2. Sub.Bagian Umum

3. Sub. Bagian Humas

4. Sub. Bagian Kerukunan Umat Beragama

5. Sub. Bagian Keuangan dan Perencanaan.

I.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan data yang relevan dan

secara langsung dari objek penelitian yang dimaksud. Beberapa teknik

pengumpulan data yang digunakan oleh penulis meliputi:

1. Wawancara dan Kuesioner

Dalam metode ini merupakan suatu metode lapangan yang digunakan

penulis dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan baik lisan maupun tulisan

dari pihak – pihak yang terkait, untuk mendapatkan jawaban langsung yang

mendukung pemecahan masalah dalam penelitian ini.

2. Studi Pustaka

Teknik pengumpulan data ini dengan menggunakan penelitian kepustakaan

(library search). Data yang digunakan adalah data-data sekunder seperti

buku-buku, peraturan-peraturan, perundang-undangan, laporan, majalah, koran maupun

media online serta bahan lain yang dianggap relevan dalam penelitian ini.20

Sesuai dengan metode penelitian dalam menganalisis data, pada penelitian

ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik kualitatif, yaitu teknik tanpa

menggunakan alat bantu dengan rumus statistik. Metode Kualitatif dapat

didefinisikan sebagai proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang I.7.5 Teknik Analisis Data

20

(25)

mengkaji masalah secara kasus perkasus. Tujuan dari metodologi ini merupakan

pemahaman secara mendalam pada suatu masalah.

I.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih

mempermudah dan terarah dalam pembahasan karya ilmiah ini. Maka penulis

membagi sistematika penulisan terdiri dari empat bab, antara lain:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan mengenai

Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROV.

SUMATERA UTARA

Pada bab ini diuraikan mengenai gambaran umum dan keadaan

lokasi penelitian. Bab ini berisi tentang deskripsi Kanwil

Kemenag Provinsi Sumatera Utara, Pegawai Negeri Sipil yang

terpilih secara acak sebagai responden.

BAB III ANALISIS DATA

Dalam bab ini berisikan tentang penyajian data-data yang

diperoleh dari penelitian yang dilakukan dalam penyebaran

angket mengenai Netralitas Pegawai Negeri Sipil terhadap

Pemilukada Sumatera Utara 2013 dengan Studi Analisis pada

Kantor Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dengan

menggunakan teori yang digunakan penulis untuk memecahkan

(26)

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan Bab terakhir dari skripsi penulis yang

berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil

pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta terdapat juga

Referensi

Dokumen terkait

Negara-negara Pihak akan mengambil langkah- langkah yang layak untuk memastikan perwujudan hak ini.Implikasi dari ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR di atas adalah bahwa bagi

fungsi konveks kuat dengan modulus 1, akan ditunjukkan adalah suatu ruang hasil kali dalam. Berdasarkan pernyataan terbukti maka pernyataan. pada poin 7

Total Utility merupakan kegunaan yang diperoleh dari konsumsi dan Marginal Utility adalah tambahan.. kegunaan karena tambahan konsumsi

Apakahpada saat tahun ajaran baru dimulai, Buku SiswaKurikulum 2013 sudah tersedia sesuai kebutuhan. 1

[r]

Pada hari ini Senin tanggal 13 bulan Februari tahun Dua Ribu Tujuh Belas , kami Pokja ULP UIN Alauddin Makassar, telah melaksanakan Pembuktian Dokumen

Dalam kebudayaan tertentu warna juga memiliki arti dan makna tersendiri, sehingga dalam pemilihan warna kita harus memperhatikan berbagai aspek seperti apakah warna yang

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “Perancangan Model Zonasi Kawasan