• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pangan Menurut PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan. 1). Tangung Jawab Dalam Keamanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pangan Menurut PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan. 1). Tangung Jawab Dalam Keamanan Pangan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

51 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan Menurut PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan

1). Tangung Jawab Dalam Keamanan Pangan

Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari, maka dari itu perlu adanya pelabelan agar konsumen dapat memahami kandungan serta batas waktu pengunaan pada produk pangan tersebut.

Kepala Bagian Tata Usaha BPOM Kota Semarang Asih Liza Restati mengatakan dari hasil survey interen 3 bulanan, pihaknya menemukan Mie Instan, Biscuit, Rumput laut kering, Cokelat, Permen dan beraneka jenis makanan ringan yang di letakkan di rak swalayan dan minimarket tidak berlabel Bahasa Indonesia marak beredar. Selain itu rata-rata produk itu juga tidak mencantumkan label halal, sehingga selain diduga illegal produk itu ditakutkan mengandung bahan-bahan berbahaya yang tidak diperbolehkan dalam olahan pangan yang boleh beredar.

Asih Liza Restanti menambahkan bahwa pihaknya hanya menegur pemilik toko atau swalayan yang terbukti masih memajang makanan yang berbahaya itu dan tidak berhak melakukan penyitaan tetapi pihaknya akan melaporkan kasus ini ke Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BBPOM ) Kota Semarang dan Dinas Kesehatan Jawa Tengah serta penyidik untuk opsi penindakan ke importir. Widoyono juga mengatakan produk seperti ini banyak ditemukan di toko dan swalayan di Semarang. Beliau juga menambahkan dari beberapa kasus, produk yang tidak berlabel Bahasa Indonesia kebanyakan berasal dari Tiongkok. 41

_______________________

41 Wawancara dengan Asih Liza Restanti, selaku Kepala Bagian Tata Usaha BPOM

(2)

52

Karena dikonsumsi sehari-hari, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau, dan juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal. Jadi sebelum pangan tersebut didistribusikan harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman untuk dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti tercemar pestisida, logam berat, ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang berbahaya bagi tubuh, maka dari itu pelabelan atau informasi wajib di terapkan karna berdampak pada kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat atas prodak pangan tersebut. 42

Asih Liza Restanti mengatakan bahwa, hingga kuartal III-2018 ini terdapat 25 kasus pelanggaran terhadap produk pangan. Umumnya kasus-kasus tersebut seperti pangan impor yang tidak memiliki izin beredar, tidak ada logo SNI, tidak berbahasa Indonesia, dan tidak ada label halalnya. Kasus-kasus tersebut terdapat di seluruh wilayah di Indonesia. Di mana produk impor dari kawasan Malaysia, Jepang dan Korea mencatatkan pelanggaran terbanyak.

Beliau menambahkan, hingga saat ini wilayah Jakarta merupakan kota yang temuan pelanggaran terbanyak terhadap produk panganya itu sekira 164 produk pangan yang tidak terdaftar. Adapun sanksi dari pada pelanggaran itu sudah dilakukan proyustisial atau diajukan kepengadilan. Tempat kedua ditempati oleh kawasan Semarang, Medan dan Tanggerang di mana jenis pelanggaranya itu banyak produk pangan yang tidak terdaftar dan tidak berlabel bahasa Indonesia. Dan terakhir di kawasan Surabaya. Di Surabaya ada satu container makanan kaleng yang di reek sporke negara asalnya karena tidak sesuai dengan standar di negara kita. 43

_______________________

42

Lukman Hakim, “ Perlindungan Bagi Konsumen Prodak Pangan “, ( Semarang : Pasca Sarjana Universitas Semarang, 2016 ), halaman 148.

(3)

53

Berdasarkan Pasal 1 ayat 5 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan menjelaskan bahwa : “ Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan tercemar bahan-bahan biologis, kimia, dan benda lain yang yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi ”.

Keamanan pangan yang dikehendaki dari PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan ini adalah suatu langkah untuk mencegah pangan yang berbahaya untuk kesehatan konsumen, mengingat perkembangan teknologi pengolahan pangan di salah satu sisi membawa hal-hal positif seperti peningkatan mutu, perbaikan sanitasi, standarisasi pengepakan. Akan tetapi pada sisi lain teknologi pangan akan menyebabkan beberapa risiko tidak aman bagi makanan yang dikonsumsi, seperti zat pengawet makanan atau zat-zat kimia lain yang berbahaya untuk kesehatan. Agar pangan yang aman tersedia memadai maka diperlukan sistem pangan yang mampu memberikan perlindungan terhadap manusia yang mengkonsumsinya, salah satu bentuk perlindungan yang dibuat adalah keterangan label yang ada di prodak pangan tersebut.

Pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, masalah keamanan pangan diatur pada Pasal 67 yaitu sebagai berikut : a. Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman,

higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.

(4)

54

b. Keamanan pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

2). Pihak Yang Bertanggung Jawab

Pada kasus pertanggung jawaban pelabelan produk pangan ini, terdapat dua pihak yaitu pihak yang dapat menuntut dan pihak yang dapat dituntut, adalah konsumen dan pelaku usaha. Pihak yang dapat menuntut adalah konsumen yaitu orang perorangan yang yang telah mengkonsumsi pangan dan kemudian sakit. Orang perorangan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengkonsumsi pangan tanpa mempersoalkan darimana dan dengan cara bagaimana dia memperoleh makanan yang dimaksud. Jadi, tidak terbatas pada konsumen pembeli ( melalui perjanjian jual beli ) tetapi juga mereka yang memperoleh pangan dengan cara apapun ( di luar perjanjian ), misalnya anggota keluarga lain, tamu, dan juga mereka yang mendapatkan pangan sebagai pemberian, hadiah, dan sebagainya. Hal ini dipertegas lagi dengan kata-kata “ setiap orang yang dirugikan ”. Pihak lain adalah ahli warisnya jika konsumen itu akhirnya meninggal dunia. Jadi berdasarkan ketentuan ini maka menunjukkan bahwa yang dapat menuntut bukan hanya orang yang terkait hubungan kontraktual dengan pelaku usaha melainkan mereka yang tidak terkait hubungan kontraktual.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, maka pihak yang dapat dituntut adalah pelaku usaha pangan, baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggung jawab atas usaha pangan dimana dia adalah penanggung jawab

(5)

55

atas keamanan pangan yang diproduksi. Ketentuan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini menegaskan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas keamanan pangan jika ternyata meninbulkan kerugian terhadap konsumen.

3). Dasar Tuntutan Pertanggung Jawaban

Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi, apabila ada kewajiban untuk membuktikan kesalahan, berarti kesalahan itu sebagai dasar lahirnya kewajiban untuk bertanggung jawab. Kesalahan itu sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai penyebab timbulnya kerugian, berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata secara tegas menyatakan bahwa kesalahan sebagai dasar pertanggung jawaban.

Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa ketentuan tentang Pasal 69 Undang-Undang Pangan yang dilanggar oleh pelaku usaha dapat dihubungkan dengan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Perbuatan pelaku usaha yang tidak sesuai dengan standar keamanan pangan menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk pangan tersebut membahayakan bagi kesehatan konsumen dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Menurut Janus Sidabalok, menjelaskan tentang rumusan perbuatan melawan hukum ada beberapa kemungkinan hal yang dilanggar supaya perbuatan itu dapat disebut dengan perbuatan melawan hukum, yaitu : melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan sikap hati-hati yang dapat dituntut dalam pergaulan masyarakat, serta perihal menjaga diri dan menjaga barang milik orang lain. 44

_______________________

44 Janus Sidabalok, “ Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia “, ( Bandung :

(6)

56

Jika konsumen sakit atau meninggal dunia karena mengkonsumsi pangan yang tidak aman maka pelaku usaha yang memproduksi pangan ini telah melanggar hak orang lain yaitu hak konsumen untuk mendapatkan pangan yang aman bagi kesehatan dan keselamatannya. Di samping itu pelaku usaha telah bertindak bertentangan dengan hukum, yaitu tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perihal memproduksi dan mengedarkan pangan yang baik dan aman bagi kesehatan.

Dengan alasan menggunakan perbuatan melawan hukum sebagai saluran untuk menuntut ganti rugi oleh konsumen kepada pelaku usaha dengan dalil bahwa pelaku usaha telah melakukan kesalahan berupa memproduksi dan menyalurkan produk pangan yang tidak aman sehingga mengakibatkan konsumen sakit atau meninggal dunia. Jadi kesalahan pelaku usaha dapat diketegorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Dalam hal menuntut pertanggung jawaban atas dasar kesalahan maka yang pertama kali harus dibuktikan adanya peristiwa yang menyebabkan kerugian itu berdasarkan Pasal 1865 KUH Perdata yaitu : “ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut ”.

Berdasarkan pasal ini maka berkaitan dengan tuntutan pertanggung jawaban oleh konsumen kepada pelaku usaha. Konsumen sebagai penggugat harus membuktikan adanya peristiwa yang melahirkan hak untuk menuntut itu. Termasuk dalam hal ini juga konsumen harus membuktikan adanya

(7)

57

kesalahan. Pada peristiwa keamanan pangan yang harus dibuktikan adalah tentang kesalahan pada pelanggaran aturan standar yang ditetapkan undang-undang tepatnya pada Pasal 69 Undang-Undang Pangan seperti misalnya pelanggaran pada sanitasi yaitu kebersihan dan kehigienisan suatu produk makanan, maka kesalahan inilah yang harus dibuktikan oleh konsumen untuk menjerat pelaku usaha. Atau mungkin kesalahan atau ketidakjelasan dalam pelabelan prodak pagan tersebut.

Akan tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa pada kenyataannya konsumen tidak cukup mengetahui bahan-bahan olahan pangan yang membahayakan untuk kesehatan karena ketidakjelasan dalam pelabelan prodak pagan tersebut, dan juga konsumen terkadang tidak mengetahui tingkat bahayanya dari suatu produk pangan yang tidak aman karena kebanyakan produk pangan yang beredar di pasaran banyak menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti dalam pelabelanya.

Selain itu konsumen sebagai penggugat juga harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian, yaitu kerugian sebagai akibat langsung dari kesalahan pelaku usaha selaku tergugat. Membuktikan kerugian dan hubungan kausalnya dengan kesalahan tentu bukanlah perkara yang mudah, terhadap kerugian dapat diajukan bukti-bukti seperti luka-luka dan biaya pengobatan / perawatan. Akan tetapi untuk membuktikan hubungan kausalnya dengan kesalahan memerlukan pemahaman yang mendalam akan seluk beluk produksi pangan.

Masalah ganti rugi ini merupakan hak konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4

(8)

58

huruf h yaitu : “ hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian apabila barang dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ”. Pasal ini menujukkan bahwa setiap konsumen mempunyai hak untuk mendapat ganti rugi apabila produk yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Begitu pula pada masalah pangan, jika konsumen mendapat kerugian yang diakibatkan oleh produk pangan, maka pelaku usaha pangan ini harus memberikan hak ganti rugi terhadap konsumen tersebut.

Pada kajian hukum perlindungan konsumen juga memberikan solusi yaitu dengan prinsip tanggung jawab risiko, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kewajiban menanggung kerugian dipandang sebagai risiko yang harus ditanggung sendiri. Prinsip ini bukanlah hal baru sebab negara-negara maju telah lama mempraktikkannya khususnya kasus-kasus yang berkaitan dengan risiko lingkungan.

Sehubungan dengan hal di atas, dengan memakai prinsip pertanggung jawaban mutlak ( strict liability ) sebagai dasar pertanggung jawaban maka konsumen sebagai penggugat tidak diwajibkan lagi membuktikan kesalahan pelaku usaha sebagai tergugat. Sebab menurut prinsip ini dasar pertanggung jawaban bukan lagi kesalahan, melainkan pelaku usaha sebagai tergugat langsung bertanggung jawab sebagai risiko dari usahanya. Di lain pihak pelaku usaha harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah, misalnya bahwa dia telah melakukan proses produksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dengan memegang teguh prinsip kehati-hatian dalam berproduksi. 45

_______________________

(9)

59

4). Aspek Hukum Tanggung Jawab Pada Pelaku Usaha a. Aspek Hukum Perdata

Menurut hukum perdata, setiap tuntutan pertanggung jawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain itu untuk memberi pertanggung jawabannya.

Pertanggung jawaban dalam kajian hukum perdata ada dua yaitu kesalahan dan risiko. Seseorang wajib bertanggung jawab ( atau lahir kewajiban bertanggung jawab ) karena dia bersalah, baik berupa kesalahan maupun kelalaian. Inilah yang disebut dengan tanggung jawab atas dasar kesalahan. Kemudian, hukum perdata memungkinkan seseorang bertanggung jawab bukan karena dia bersalah, tetapi karena dia mengambil risiko dalam kedudukan hukumnya sedemikian rupa yang mewajibkan bertanggung jawab, inilah yang disebut dengan tanggung jawab atas dasar risiko. Kedua menimbulkan akibat dan konsekuensi yang jauh berbeda.

Secara teoritis pertanggung jawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggung jawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Petanggung jawaban atas dasar kesalahan, adalah tanggung jawab yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum atau karena tindakan yang kurang hati-hati.

(10)

60

2. Pertanggung jawaban atas dasar risiko, adalah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan usahanya. 46

Dalam kasus hukum perdata dapat dicari dua kemungkinan yaitu kerugian karena adanya wanprestasi yang mana sebelumnya telah terjadi hubungan hukum berupa perjanjian, atau terjadinya kerugian dikarenakan adanya perbuatan melawan hukum yang mana tidak ada hubungan hukum sebelumnya. Apabila ternyata kerugian ini dapat dibuktikan karena ada hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tahap selanjutnya adalah mencari dari bagian-bagian perjanjian yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha sehingga mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Jika kerugian ini diakibatkan oleh peristiwa ini maka seorang pelaku usaha dapat dikategorikan sebagai pihak yang wanprestasi.

Apabila kerugian itu tidak ada hubungan hukum yang berupa perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen maka harus dicari kesalahan dari saluran lain, yaitu dengan mengonstruksikan fakta-fakta pada peristiwa itu ke dalam suatu perbuatan melawan hukum. Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen khususnya menentukan tanggung jawab pelaku usaha dengan konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat, maka fakta-fakta sekitar peristiwa yang menimbulkan kerugian itu terlebih dahulu dikualifisir menjadi suatu perbuatan melawan hukum.

_______________________

(11)

61 b. Aspek Hukum Pidana

Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat konsumen dan pelaku usaha maka hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum / undang-undang, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran. Setiap anggota masyarakat ( para konsumen dan pelaku usaha ) sebagaimana pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan darinya, namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut adalah sanksi yang terdapat dalam peraturan, aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum, dan seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran. 47

Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). Hukum pidana ini sendiri termasuk pada kategori dalam hukum publik, karena hukum pidana mengatur hubungan hukum antara Negara dengan masyarakat. Hukum pidana juga berfungsi untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen, akan tetapi di dalam KUHP itu sendiri tidak disebutkan kata konsumen, tetapi hanya secara implisit. Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga memperoleh perhatian

_______________________

47 Satjipto Rahardjo, “ Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu

(12)

62

sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan hak konsumen untuk memperoleh informasi secara benar.

Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, maka dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun, dan barang-barang itu dapat disita. Ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen banyak terdapat di luar dari KUHP seperti undang pangan, undang kesehatan, dan undang-undang lainnya yang berkaitan dengan palaku usaha dan konsumennya.

Pengkhususan ini sangat penting karena dalam hukum pidana dikenal larangan melakukan analogi-analogi berbeda pengertiannya dengan penafsiran ekstensif. Dalam penafsiran ekstensif makna suatu rumusan diberi pengertian menurut kebutuhan masyarakat saat itu, yang berbeda dengan makna rumusan itu dibuat oleh pembentuk undang-undang. Jadi tetap ada sandaran peraturannya, cuma diberi penafsiran yang lebih luas. Sebaliknya pada analogi sudah tidak lagi bersandar pada suatu rumusan peraturan. Hanya inti ( ratio ) dari aturan itu yang masih dipertahankan. Pada hakikatnya penafsiran ektensif dan analogi itu sama, hanya ada perbedaan graduil. Akibatnya aparat penegak hukum ( dalam hal ini khususnya hakim ) tidak dapat dengan leluasa menetapkan tindak pidana yang baru di luar rumusaan undang-undang. Jika dilakukan berarti bertentangan dengan asas legalitas. 48

_______________________

48 Celina Tri Siwi Kristiyanti, “ Hukum Perlindungan Konsumen “, ( Jakarta : Sinar

(13)

63 c. Aspek Hukum Administrasi

Hukum administrasi adalah instrumen hukum publik yang penting dalam hukum perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administratif. Sanksi ini tidak ditujukan pada konsumen umumnya, tetapi justru kepada pengusaha. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha. Jika terjadi pelanggaran izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah. 49

Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari pelaku usaha. Produksi di sini hanya diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumaen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak korban ( konsumen ) yang dirugikan bukan lagi tugas instrumen hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata atau pidana. 50

Menurut Shidarta, sanksi administratif seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini yaitu :

1. Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan kalaupun itu diperlukan mungkin hanya dari instansi-instansi pemerintah terkait. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk membela diri antara lain mengajukan kasus tersebut ke pengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga lebih efektif.

_______________________

49

Shidarta, “ Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia “, Edisi Revisi, ( Jakarta : Grasindo, 2014 ), halaman 93.

(14)

64

2. Sanksi perdata atau pidana seringkali tidak membawa efek jera bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif pelaku usaha. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan itu yang biasa berbelit-belit dan memerlukan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar menawar yang tidak selalu menguntungkan dibanding dengan keuntungan yang didapat oleh pelaku usaha. 51

5). Pembinaan Dan Pengawasan Produk Pangan

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang memegang peranan penting dalam meningkatkan kesehatan manusia dalam menjalankan berbagai aktifitas dalam keseharian dan dapat pula meningkatkan kecerdasan masyarakat, sehingga dalam hal ini masyarakat perlu dilindungi terhadap produksi dan peredaran yang tidak menyertakan pelabelan yang jelas dan tidak sesuai dengan PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan. Serta makanan olahan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi mutu, kesehatan, keselamatan, dan keyakinan agama.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh :

a) Pemerintah ; b) Masyarakat ; dan

c) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. _______________________

(15)

65

Sedangkan para pelaku usaha pangan akan selalu mendapat pengawasan dari pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tepatnya pada Pasal 108 yaitu :

1) Dalam melaksanakan penyelenggaraan pangan, pemerintah berwenang melalui pengawasan.

2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap pemenuhan :

a. Ketersediaan dan / atau kecukupan pangan pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

b. Persyaratan keamanan pangan, mutu pangan, dan gizi pangan, serta persyaratan label dan iklan.

3) Pengawasan terhadap :

a. Ketersediaan dan / atau kecukupan pangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan ; b. Persyaratan keamanan pangan, mutu pangan, dan gizi pangan, serta

persyaratan label dan iklan pangan sebagaimana yang dimaksud dengan ayat 2 huruf b, untuk pangan olahan, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan ; dan

c. Persyaratan keamanan pangan, mutu pangan, dan gizi pangan serta persyaratan label dan iklan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b, untuk pangan segar, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan.

(16)

66

4) Pemerintah menyelenggarakan program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengankutan, dan / atau peredaran pangan oleh pelaku usaha pangan.

Berdasarkan pasal di atas maka tugas pengawasan pangan ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlahnya maupun mutunya. Pihak yang dapat melakukan pengawasan pangan ini adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.

B. Kendala-Kendala Dan Upaya Mengatasi Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan

1). Kendala Untuk Mengatasi Pelanggaran Label Pangan

Kendala-kendala yang dihadapi Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BBPOM ) di Kota Semarang dalam pelaksanaan pengawasan produk makanan impor di Kota Semarang meliputi :

a. Kurang dipatuhinya persyaratan-persyaratan produk makanan dan minuman impor oleh pelaku usaha.

Seperti ketidakjelasnya informasi yang tertera pada label yang dicantumkan pada produk makanan dan minuman tersebut. Para pelaku usaha terkadang tidak mencantumkan label sesuai dengan yang telah terdaftar atau tercantum dalam peraturan perundangan. Hal ini meragukan bagi BBPOM untuk meberikan izin edar ataukah tidak. Dan hal yang patut

(17)

67

disayangkan adalah bahwa BBPOM lebih sering memberikan izin beredar kepada produk pangan lokal yang tanpa disertai keterangan ataupun label ( hanya merek ) daripada menolaknya untuk masuk dan beredar di pasaran maupun di kalangan masyarakat. Selain itu banyaknya ditemukan produk impor yang beredar yang belum memiliki izin edar ( ML ), jadi hanya berupa stiker, sehingga sulit diketahui izin edar tersebut asli atau palsu.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Widoyono mengatakan bahwa terkait kurang dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan dalam peraturan perundangan yang ada terkait persyaratan masuk dan beredarnya produk pangan di masyarakat oleh pelaku usaha, menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap hukum daripada pelaku usaha masih rendah. Pelaku usaha tersebut seharusnya melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu memenuhi persyaratan-persyaratan, misalnya pemenuhan label dan sebagainya. Pelaku usaha tidak hanya memperoleh profit, tetapi juga memenuhi apa yang menjadi kewajibannya. Untuk itu sebenarnya instansi berwenang perlu menindak dengan tegas para pelaku usaha yang hanya mengejar profit tetapi melalaikan kewajibannya. Perlu kiranya diberikan sanksi yang nyata dan tegas agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha tersebut, dan dapat mencegah ditirunya perbuatan pelanggaran tadi oleh pelaku usaha lainnya. 52

b. Masih rendahnya kesadaran hukum konsumen untuk melakukan pengaduan atau laporan.

Faktor kurangnya atau masih rendahnya kesadaran hukum konsumen untuk melakukan pengaduan atau pelaporan baik kepada lembaga perlindungan konsumen nasional maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat tentu juga akan berpengaruh kepada kualitas pengawasan oleh BBPOM. Walaupun disadari bahwa ada beberapa konsumen yang melapor atau mengadu terkait dengan produk pangan yang _______________________

(18)

68

membahayakan dan merugikan konsumen tersebut, akan tetapi bila dibandingkan dengan jumlah konsumen yang ada di Semarang pengaduan tersebut sangat kecil persentasenya. Jumlah konsumen yang tidak melapor atau mengadu jauh lebih besar ketimbang yang mengadu atau melapor.

Kepala Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan Kota Semarang ( BBPOM ) Endang Pujiwati mengatakan bahwa, laporan atas pengaduan tentu juga berpengaruh terhadap lemahnya aspek pengawasan dari masyarakat yang pada akhirnya juga mempengaruhi pengawasan dari Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BBPOM ) di Kota Semarang, karena tidak jarang pengawasan oleh BBPOM itu baru dilakukan ketika ada laporan-laporan atau pengaduan dari masyarakat yang masuk ke BBPOM. Oleh karena itu, kesadaran hukum konsumen untuk melaporkan atau mengadukan persoalannya ketika mengonsumsi suatu produk itu sangat positif pengaruhnya bagi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh BBPOM terhadap produk makanan impor yang beredar di seluruh Kota Semarang. 53

2). Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Pelanggaran Label Pangan

Untuk mengantisipasi kendala-kendala dalam mengatasi pelaku usaha terkait pelanggaran label pangan maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap pelaku usaha tentang peraturan perundangan yang berlaku untuk produk pangan dalam pelabelannya. 2. Perlu dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang pentingnya keamanan

dan mutu produk pangan terhadap kesehatan dengan membaca label setiap pembelian produk pangan pada masyarakat khususnya di Kota Semarang.

_______________________

(19)

69

3. Perlu adanya peningkatan kapabilitas laboratorium yang ada di Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BBPOM ) di Kota Semarang agar cakupan uji produk pangan yang beredar dapat dilaksanakan secara optimal dengan cara meningkatkan sarana dan prasarana.

4. Memperkuat sistem regulasi pengawasan makanan dan minuman. Disamping itu perlu adanya pemantapan kerjasama lintas sektor dan memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif dalam pengawasan makanan dan minuman.

5. Perlunya peningkatan frekuensi pengawasan makanan dan minuman yang dilakukan secara terencana.

Pemerintah menegaskan proses sosialisasi dan pengawasan dalam pemakaian bahan-bahan tambahan pada produk makanan diluar yang diizinkan sangat diperlukan. Selain itu, diperlukan tindakan tegas dan pidana bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut. Peran pengawasan BBPOM di Kota Semarang selama ini memang tidak diartikan untuk memata-matai produsen obat maupun makanan, tetapi lebih ditujukan sebagai langkah prreventif dan pembinaan.

Karena itu, BBPOM Kota Semarang perlu meningkatkan perannya, baik kepada produsen maupun konsumen. Pembinaan kepada produsen ditujukan melalui pemberian petunjuk pembuatan obat dan makanan yang baik. Dengan demikian, produsen mampu membuat produk berkualitas dan bermutu tanpa harus menambah dengan zat-zat yang merugikan kesehatan konsumen. Begitu juga pembinaan kepada masyarkat selaku konsumen, perlu terus diintensifkan agar masyarakat memiliki kesadaran dan kepekaan

(20)

70

dalam menilai produk-produk yang berdar di pasaran. Sosialisasi tentang adanya label yang jelas dan kandungan bahan-bahan zat berbahaya diharapkan dapat memunculkan daya kritis masyarakat untuk senantiasa waspada terhadap produk obat dan makanan yang ada.

Asih Liza Restanti mengatakan bahwa, dalam pengawasannya ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengawasan terhadap produk makanan impor oleh Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BBPOM ) di Kota Semarang yaitu intensitas pengawasan. BBPOM memang sebagai instansi Pemerintah Non Departemen yang struktur organisasinya sudah diatur dan ditentukan oleh Pemerintah melalui peraturan-peraturan yang mengatur mengenai fungsi, tugas, kewenangan dan struktur organisasi BBPOM itu sendiri. Jumlah staf ataupun pegawai di kantor BBPOM itupun juga sudah ditentukan Pemerintah. 54

Lalu faktor yang berikutnya adalah dalam sistem pengawasannya. Pengawasan terhadap produk pangan yang beredar tanpa di sertai label yang jelas bagi masyarakat dilakukan secara berkala dan acak, sehingga menyebabkan adanya produk pangan yang lepas dari pengawasan. Sistem pengawasan secara berkala dan acak ini tentunya akan berpengaruh pada luas lingkup produk pangan yang dapat diawasi, karena akan berpengaruh pada adanya produk ilegal maupun produk yang tanpa di sertai pelabelan yang jelas, yang sangat membahayakan beredar di pasar pada saat tidak dilakukan pengawasan, serta akan adanya produk yang mungkin illegal atau mengandung bahan berbahaya yang beredar di pasar karena tidak mendapatkan giliran pemeriksaan oleh Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BBPOM ) khususnya di Kota Semarang.

_______________________

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun berdasarkan stabilitas, porositas, dan permeabilitas campuran beraspal porus yang menggunakan agregat Batujajar (BI) lebih unggul dibandingkan dengan campuran yang

Evaluasi terhadap penggunaan dan penerapan teknologi informasi pada suatu organisasi atau institusi perlu dilakukan agar pengguna yakin terhadap aplikasi atau sistem

Kewajiban yang diberikan oleh negara kepada MK dalam bentuk memberikan putusan dalam proses pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden merupakan kewajiban istimewa,

Tujuan dari dibuatnya Peraturan Derah Nomor 15 Tahun 2010 adalah untuk mendukung koordinasi antar pemangku kepentingan pembangunan daerah; Menjamin terciptanya

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata'ala atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

Beranjak dari hal tersebut, peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa muda yang belum

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) Bagi penulis, hasil penelitian ini berguna untuk dapat mengetahui efektivitas penerapan sistem e-filing

A. Faktor internal yaitu faktor yang mendorong orang untuk berselingkuh.. Hasrat untuk melarikan diri atau mencari pelepasan dari pernikahan yang menyakitkan, rasa bosan, hasrat