ABSTRAK
Pembangunan dan usaha pelestarian semestinya berjalan beriringan sebagaimana amanat Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dituangkan dalam PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Namun pada praktik yang berjalan, banyak pembangunan dilakukan dengan lebih menitikberatkan pada fungsi ekonomi tanpa melihat daya dukung lingkungan. Dampak laju perkembangan ini menimbulkan pencemaran hingga kerusakan lingkungan yang akhirnya berakibat pada bencana lingkungan. Padahal, Pasal 15 dalam UUPA menyatakan kewajiban manusia untuk memelihara tanah. Apabila terjadi kerusakan, Pasal 54 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menuliskan adanya PP yang akan mengatur pemulihannya. Nyatanya, hingga saat ini hanya ada PP No. 101 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Skripsi ini bertujuan menganalisis aturan yang ada serta bagaimana arah substansi pemulihan fungsi lingkungan hidup terutama dalam mengakomodir pembangunan di lahan miring.
Dalam skripsi ini Penulis menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif untuk mencari aturan-aturan terkait dan pelaksanaannya di lapangan. Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis, dengan penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, Penulis menganalisis dengan metore analisis yuridis kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tata cara mengenai pemulihan fungsi lingkungan dapat ditemukan dalam Pasal 61, 62, dan Pasal 63 PP No. 21 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Sayangnya, arah substansi pengaturan masih kurang dan tetap menitikberatkan pada mengembalikan fungsi ekonomis lingkungan. Dari 14 Pasal yang ada dalam PP tersebut terkait penanggulangan pasca-bencana longsor yang biasa terjadi sebagai bentuk peristiwa yang mengakibatkan kerusakan di lahan miring, hanya 3 Pasal yang mengatur mengenai pemulihan lingkungan daerah.