• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jalan menuju pemulihan: narasi perempuan penyintas kekerasan seksual.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jalan menuju pemulihan: narasi perempuan penyintas kekerasan seksual."

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

JALAN MENUJU PEMULIHAN:

NARASI PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN SEKSUAL Benedicta Herlina Widiastuti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan narasi dan tema narasi perempuan penyintas kekerasan seksual yang menunjukkan proses pemulihan. Narasi memampukan individu untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mengevaluasi penjelasan mereka sendiri. Narasi adalah cara manusia memahami dunia, membawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau dan mendefinisikan diri secara unik atau interpretasi terorganisir peristiwa-peristiwa yang dialami individu tersebut. Tidak semua tema yang khas penyintas akan dapat membantu penyintas berjalan menuju pemulihan. Jalan menuju pemulihan melibatkan koherensi, stabilitas sekaligus perubahan tema. Narasi yang membantu tersebut harus ditemukan oleh penyintas bila ia ingin pulih. Pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah yang berdasar pada kekuatan dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka. Penelitian ini mengartikulasikan jalan menuju pemulihan yang digunakan oleh penyintas. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap lima perempuan penyintas kekerasan seksual. Kemudian data dianalisa dengan analisa narasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pulih penyintas perlu pengetahuan dan kesadaran bahwa telah terjadi kekerasan terhadap penyintas tetapi ada yang bisa penyintas lakukan untuk mengubah keadaan. Penyintas juga harus mampu melaksanakan apa yang diinginkannya. Kemudian, penyintas perlu memutus relasi kekerasan tersebut dan menghasilkan counter atas narasi dominan yang menindas dan memandang penyintas tidak berharga. Komunitas dapat membantu pemulihan dengan membantu penyintas memperoleh dukungan sosial dan mendukung penyintas membentuk counter narasi. Counter narasi yang perlu dibentuk dan alasannya didiskusikan dalam penelitian ini.

(2)

PATH TO HEALING: IDENTITY NARRATIVE OF WOMEN WHO EXPERIENCED SEXUAL ABUSE

Benedicta Herlina Widiastuti ABSTRACT

(3)

JALAN MENUJU PEMULIHAN: NARASI PEREMPUAN

PENYINTAS KEKERASAN SEKSUAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Benedicta Herlina Widiastuti NIM: 119114162

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

Kita toh harus diterjang badai

agar bisa sepenuhnya terlibat dalam bahasa laut

(7)

v

I want to touch their beautiful souls,

because my freedom is bound with theirs

because it is...

by touching their pain i am healed

by watching them healed i am alive

by knowing that they’re alive i know that

(8)
(9)

vii

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan narasi dan tema narasi perempuan penyintas kekerasan seksual yang menunjukkan proses pemulihan. Narasi memampukan individu untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mengevaluasi penjelasan mereka sendiri. Narasi adalah cara manusia memahami dunia, membawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau dan mendefinisikan diri secara unik atau interpretasi terorganisir peristiwa-peristiwa yang dialami individu tersebut. Tidak semua tema yang khas penyintas akan dapat membantu penyintas berjalan menuju pemulihan. Jalan menuju pemulihan melibatkan koherensi, stabilitas sekaligus perubahan tema. Narasi yang membantu tersebut harus ditemukan oleh penyintas bila ia ingin pulih. Pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah yang berdasar pada kekuatan dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka. Penelitian ini mengartikulasikan jalan menuju pemulihan yang digunakan oleh penyintas. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap lima perempuan penyintas kekerasan seksual. Kemudian data dianalisa dengan analisa narasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pulih penyintas perlu pengetahuan dan kesadaran bahwa telah terjadi kekerasan terhadap penyintas tetapi ada yang bisa penyintas lakukan untuk mengubah keadaan. Penyintas juga harus mampu melaksanakan apa yang diinginkannya. Kemudian, penyintas perlu memutus relasi kekerasan tersebut dan menghasilkan counter atas narasi dominan yang menindas dan memandang penyintas tidak berharga. Komunitas dapat membantu pemulihan dengan membantu penyintas memperoleh dukungan sosial dan mendukung penyintas membentuk counter narasi. Counter narasi yang perlu dibentuk dan alasannya didiskusikan dalam penelitian ini.

(10)

viii

PATH TO HEALING: IDENTITY NARRATIVE OF WOMEN WHO EXPERIENCED SEXUAL ABUSE

Benedicta Herlina Widiastuti ABSTRACT

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Ketika penulis berjumpa dengan para penyintas, tersirat kedukaan yang dalam pada setiap gerak. Penulis merasa tidak mampu berdiam diri menghadapinya. Dan saat yang mampu dilakukan penulis adalah membuat sebuah penelitian untuk melengkapi pendidikan penulis yang memang ingin penulis peruntukkan bagi kemanusiaan, maka karya inilah yang menjadi pilihan.

Setelah seluruh excitement dan kegairahan panjang dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis ingin mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada:

1. Sang Sumber Kehidupan dan Penyembuh segala luka, yang telah memanggil penulis ikut bekerjasama melaksanakan kecintaan ini. 2. Para penyintas, baik yang menjadi partisipan maupun yang telah

bertemu dan membagikan hidup yang kaya kepada penulis.

3. Dr. Tjipto Susana, teman seperjalanan yang selalu menantang penulis untuk terus tumbuh dan berkembang.

4. Bu Ratri, Bu Dewi, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan teman-teman di sekretariat Fakultas Psikologi USD yang selalu membantu, menemani, dan menyemangati dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menggelitik.

5. Ibu, Bapak, Mbul, & Jumok, you are my strength when I was weak, you are my eyes when I couldn’t see.

(13)

xi

Irene, Agnes Sam, Agnes Dini, Anouska, Nikki Angels, kalian yang membantuku berani mengambil jalan ini.

7. Agnes, Uciel, Siti eh Tuti , Ruth, Dicky, yang setia direpotkan oleh penulis. Upahmu besar di surga.

8. Sartika, mbak Rina, mbak Indiah, Rara, bu Tanti, pak Sabar, dan teman-teman di divisi pendampingan Rifka Annisa yang selalu ikut mendukung dan bertukar pendapat tentang penelitian ini dan tentang hidup sebagai teman seperjalanan penyintas.

9. Untuk semua kehidupan yang telah meninggalkan jejak kaki dalam kehidupan penulis.

Sebagai sebuah usaha untuk terlibat dalam kemanusiaan, tulisan ini pasti masih perlu menjadi lebih baik. Oleh karena itu, penulis akan menerima dengan senang hati saran dan kritik yang membangun bagi penelitian ini.

(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

(15)

xiii

1. Definisi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan ... 10

2. Jenis-jenis Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan ... 12

3. Penyintas ... 16

4. Dampak Kekerasan Seksual ... 17

5. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan ... 19

6. Hambatan Mengakses Keadilan Dan Pemulihan Bagi Perempuan Penyintas Kekerasan Seksual ... 20

B. Narasi ... 20

1. Definisi Narasi ... 20

2. Kekhasan narasi perempuan penyintas kekerasan seksual ... 23

3. Narasi dan reviktimisasi ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

A. Strategi Penelitian ... 28

B. Jenis Penelitian ... 30

C. Fokus Penelitian ... 31

D. Partisipan Penelitian ... 31

E. Instrumen Penelitian ... 34

F. Prosedur Pengumpulan Data ... 34

G. Metode Analisis Data ... 36

H. Kredibilitas Penelitian ... 37

(16)

xiv

A. Pelaksanaan Penelitian ... 39

B. Profil Partisipan ... 42

1. Partisipan Pertama ... 42

2. Partisipan Kedua ... 44

3. Partisipan Ketiga ... 45

4. Partisipan Keempat ... 46

5. Partisipan Kelima ... 47

C. Analisa Data dan Hasil ... 48

D. Jalan Menuju Pemulihan ... 65

E. Pembahasan ... 70

1. Tema Narasi Identitas ... 71

2. Narasi Komunitas ... 94

F. Identitas Narasi yang Membantu dan Tidak Membantu Pemulihan .... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Kontribusi Penelitian ... 100

C. Kelemahan Penelitian ... 100

D. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan narasi identitas Nia ... 65

Gambar 2. Bagan narasi identitas Coral ... 66

Gambar 3. Bagan narasi identitas Misa... 67

Gambar 4. Bagan narasi identitas Tan ... 68

Gambar 5. Bagan narasi identitas Teta ... 69

(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

WHO menyatakan satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan laki-laki mereka (Boseley, 2013). Angka ini jauh diatas prevalensi kekerasan seksual pada laki-laki menurut Centers for Desease Control and Prevention yaitu satu diantara tujuh puluh satu (Rabin, 2012). Kekerasan perempuan yang dilaporkan di Indonesia juga semakin meningkat. Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan (KTP) naik sebesar 29,4% pada tahun 2013 yaitu sebanyak 279.600 kasus dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 216.156 kasus (Osman, 2014). Selain itu LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan) Jakarta pada tahun 2013 menangani kasus KTP sebanyak 992 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 600 kasus (Mulia, 2014).

(20)

Penelitian Kristyanti (2004) menunjukkan bahwa banyak perempuan bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan terhadap mereka. Namun, mereka tidak mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi tersebut. Hal ini terjadi bukan karena mereka nyaman dengan kekerasan yang terjadi pada mereka, melainkan karena mereka mempunyai persepsi bahwa mereka tidak berdaya mengubah situasi tersebut (Kristyanti, 2004).

Ketidakberdayaan yang dipersepsi oleh perempuan-perempuan tersebut bukanlah “kodrat”, melainkan sebuah ketidakberdayaan yang dipelajari. Ilmu psikologi mengenalnya sebagai learned helplessness (LH) atau Walker (1984) menyebutnya sebagai battered women syndrome. Battered Women Syndrome (BWS) adalah keadaan mental dan emosi perilaku perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya. Menurut Walker perempuan dengan BWS belajar tidak berdaya dan mentolerir rasa sakit karena kekerasan yang terus menerus dialaminya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perempuan belajar tidak berdaya karena dikelilingi oleh pengetahuan yang diskriminatif yang mengajarinya menerima kekerasan sebagai kodrat perempuan. Pengetahuan yang diinternalisasi oleh para penyintas ini ikut membentuk narasi diri mereka. Pengetahuan ini biasanya termuat dalam budaya.

(21)

“sekuntum kembang.. begitu dia layu langsung dibuang”. Kata-kata mereka ini bukan temuan otentik mereka, pengetahuan ini telah ada dan beredar sejak lama sebagai budaya. Pengetahuan semacam ini mempunyai dasar pada ketimpangan kekuasaan (power) antara laki-laki dan perempuan. Budaya yang didominasi oleh nilai laki-laki yang meningkatkan kemungkinan perempuan mengembangkan learned helplessness ketika mengalami kekerasan (Bargai, Ben-Shakar, Shalev, 2007).

Learned helplessness adalah tanggapan yang sering ditemukan dan cenderung dapat diramalkan pada perempuan penyintas kekerasan (Bargai, et. al. 2007). Narasi yang berpusat pada laki-laki meningkatkan ketidakberdayaan pada perempuan (Bargai, et al., 2007). Narasi yang berdasar pada stereotip gender akan menyebabkan individu menyalahkan korban ketidakadilan (Capezza & Arriaga, 2008). Hanya individu yang sadar akan adanya ketidakadilan dan dapat meregulasi diri dengan baik yang mampu tidak menyalahkan korban (Loseman & van den Bos, 2012). Padahal, bila masyarakat terus menyalahkan korban, bukannya pelaku, maka masyarakat juga akan memandang bahwa kekerasan adalah hal yang bisa diterima sehingga perempuan akan lebih sulit mencari keadilan (Capezza & Arriaga, 2008). Maka pertama perlu diketahui benar sejauh mana narasi para penyintas itu mengandung ketidakberdayaan, berpusat pada laki-laki, dan stereotip gender.

(22)

makna dan identitas bagi hidup seseorang (McAdams, 2006). Cerita yang dikisahkan akan membentuk sejarah bersama yang dibagikan (McAdams, 2006). Maka narasi adalah identitas: identitas personal dan identitas bersama.

Cerita membantu individu untuk menata pikiran (McAdams, 2006). Perbedaan tema narasi dibentuk oleh perbedaan pengalaman dan persepsi individu. Narasi adalah mekanisme adaptasi pengalaman yang menyakitkan dan pemaknaan pengalaman tersebut (Freer, Whitt-Woosley, & Sprang, 2010). Penyintas kekerasaan mempunyai tema-tema narasi yang khas (Freer, et.al., 2010, Draucker, 2003, Anderson & Hiersteiner, 2008). Kekhasannya tergantung pada pemaknaan personal dan seberapa jauh pemulihan telah terjadi. Oleh karena narasi yang utuh dan berkesinambungan adalah penanda mental well-being (Freer, et. al., 2010), maka narasi dapat digunakan untuk mengakses seberapa jauh pemulihan telah terjadi dan dapat pula memprediksi seberapa jauh pemulihan dibutuhkan.

Narasi yang diakses dalam penelitian ini adalah narasi identitas. Narasi identitas adalah cara individu menggunakan narasi untuk mengembangkan dan mempertahankan rasa sebagai pribadi yang utuh dan tujuan personal di tengah semua pengalaman sepanjang hidup (Kerr, Crowe, & Oades, 2013).

(23)

menghasilkan kematangan psikologis dan pertumbuhan ego (Pals, 2006). Oleh karena itu, perlu diketahui konstruksi narasi yang akan membantu korban menjadi penyintas.

Perempuan masih terus berusaha merahasiakan kekerasan yang terjadi padanya. Kekerasan yang dirahasiakan (biasanya) akan terus berlanjut (Walker,1989). Masalahnya budaya mengajarkan untuk menyimpan tabu. Membicarakan kekerasan seksual yang terjadi pada diri sendiri adalah tabu (Cohen, 2013). Korban takut pada konfrontasi dan belajar merahasiakannya untuk melindungi diri dari pelaku sekaligus dari dunia luar (Walker, 1989).

Kisah hidup yang diceritakan biasanya yang sesuai dengan narasi dominan, yang mengabadikan kekuasaan yang timpang. Sebaliknya, kisah yang tidak sesuai dengan narasi dominan tersebut tetap tak terungkap (Draucker, 2003). Draucker menyatakan bahwa cerita yang tak terungkap ini, yang adalah narasi non dominan, mampu mengkritisi narasi dominan dan membantu membuka kemungkinan untuk mengkonstruksi narasi hidup yang lebih baik.

(24)

disinilah terdapat keterpecahan individu (McAdams, 2008; Tuval-Mashiach, Freedman, Bargai, Boker, Hadar, & Shalev, 2004). Sebaliknya, individu yang mulai memasukkan kisah personalnya ke dalam cerita hidupnya, narasi hidupnya akan lebih utuh dan koheren (McLean and Fourier, 2008; Pals, 2006). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ketika pemulihan mulai terjadi, narasi pun mulai utuh.

Maka, penelitian yang mengupas tentang narasi para penyintas ini mutlak diperlukan (Draucker, 2003) agar penanganannya pun dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Narasi para penyintas tersebut akan mengantarkan pada pemahaman tentang bagaimana individu yang telah mengalami kekerasan dapat mengalami dan memilih pemulihan serta membuat perubahan yang penting dalam hidup mereka (Draucker, 2003). Sehingga dapat dikembangkan penanganan yang berdasar pada cara pandang terapi feminis yang percaya bahwa manusia adalah ahli atas diri dan pengalamannya sendiri (Gerard, 1994).

(25)

pula terdapat penelitian yang menunjukkan perubahan narasi apa yang perlu terjadi agar pemulihan lebih mungkin terjadi.

Penelitian Draucker (2003) hanya menunjukkan tentang tema narasi yang khas yang dimiliki oleh individu yang pernah mengalami kekerasan seksual. Akan tetapi tanpa penjelasan pada tahap mana tema tersebut muncul dan sejauh mana tema tersebut mendukung pemulihan penyintas. Draucker menggunakan metode narasi dalam penelitiannya seperti juga penelitian ini. Akan tetapi tanpa menyelidiki sejauh mana konteks narasi dominan mempengaruhi narasi penyintas beserta pemulihannya.

Penelitian Freer, et. al. (2010) menemukan ciri narasi traumatik tanpa menunjukkan tema yang menunjukkan narasi yang koheren sebagai penanda pemulihan. Freer tidak menunjukkan tema narasi yang mengakibatkan koherensi. Sedangkan Anderson dan Hiersteiner (2008) menunjukkan pemulihan yang telah ditempuh oleh penyintas tetapi tidak menunjukkan tahapan yang dilalui oleh para penyintas untuk pulih. Tahapan tersebut penting untuk menunjukkan seberapa jauh pemulihan yang menjadi dasar pemilihan partisipan diwujudkan dalam narasi sehingga jauhnya pemulihan dapat dilihat. Penelitian Anderson dan Hiersteiner seperti halnya penelitian Draucker (2003) tidak melibatkan konteks budaya dalam pemulihan dan tema narasi yang ditemukan pada penyintas. Penelitian ini akan melihat konteks dan efeknya pada narasi penyintas dan pemulihannya.

(26)

tersebut dilakukan agar dapat menemukan narasi yang membantu atau tidak membantu perempuan penyintas menjalani proses pemulihan. Sehingga akhirnya dapat ditemukan langkah penting apa yang harus diambil atau dilakukan atau justru harus dihindari bila menginginkan pemulihan dan menghindari reviktimisasi.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah perempuan penyintas kekerasan seksual mengintegrasikan kekerasan yang dialami dan jalan keluar yang diambil dalam narasi hidup mereka?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan narasi perempuan penyintas kekerasan seksual kemudian membuat pola narasi yang menunjukkan tahap menuju pemulihan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang narasi perempuan penyintas kekerasan seksual.

(27)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pegangan bagi para pemerhati kekerasan seksual dalam menjalankan dan mengevaluasi program bagi penyintas kekerasan seksual.

b. Hasil penelitian ini dapat memberdayakan perempuan dan para pemerhati masalah kekerasan seksual terutama yang dialami perempuan dengan cara bercermin dari pengalaman para penyintas. c. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pembuat

kebijakan dalam membuat program pemberdayaan perempuan, tindak pencegahan, dan tindak pemulihan bagi penyintas kekerasan berbasis gender.

(28)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN 1. Definisi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pasal 1 adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender. Akibat kekerasan tersebut adalah kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Kekerasan tersebut termasuk ancaman terjadinya perbuatan kekerasan, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.

(29)

hubungannya dengan si korban, di manapun juga termasuk kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terhadap perempuan menurut Komnas Perempuan (2013) adalah:

a. Sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender

b. Tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya

c. Tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik

(30)

yang secara universal diterima sebagai ciri kekerasan. Definisi yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan universalitas serta kontekstualitas penelitian.

2. Jenis-Jenis Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Berikut adalah jenis dan definisi keempat belas jenis kekerasan seksual berdasar definisi dari Komnas Perempuan (2013):

a. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.

(31)

nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

c. Eksploitasi seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual terhadap orang lain.Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan.

d. Perbudakan seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi ketika perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya.

(32)

f. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya.

g. Pemaksaan aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. h. Penghukuman bernuansa seksual adalah cara menghukum yang

menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang termasuk dalam penyiksaan. Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.

(33)

Termasuk tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya.

j. Prostitusi paksa merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan.

k. Pemaksaan kehamilan, yaitu ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

l. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan.

(34)

n. Perkosaan adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. Perkosaan menurut APA (2007) adalah penetrasi seksual yang dipaksakan dan tidak diinginkan oleh individu yang mengalami.

Empat jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan pada Komnas Perempuan tahun 2012 adalah perkosaan dan pencabulan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan perdagangan manusia untuk tujuan seksual (403).

3. Penyintas

Penyintas adalah orang yang bertahan hidup (KBBI, 2011) setelah terjadinya sebuah peristiwa (Webster’s Comprehensive Dictionary, 1996).

(35)

Jurnal Perempuan (2011) mengartikan penyintas sebagai orang yang selamat dari peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Kekerasan seksual termasuk dalam peristiwa yang sangat berbahaya karena dapat membuat korbannya trauma dan mengalami guncangan psikologis yang cukup besar, sebagaimana seseorang yang mengalami bencana.

4. Dampak Kekerasan Seksual

(36)

proses ketika seksualitas anak (termasuk perasaan dan perilaku seksual) dibentuk secara tidak patut dan tidak benar secara perkembangan dan secara hubungan interpersonal akibat dari kekerasan seksual.

Penyalahgunaan substansi juga terlihat sebagai dampak kekerasan seksual (Browne & Finkelhor, 1986; Molnar, et. al. 2001; Mullen, et. al. 1993; Putnam, 2003). Disosiasi tertangkap dalam beberapa penelitian (misalnya Briere & Runtz, 1987; Nash, et. al. 1993). Briere dan Runtz (1987) dan Browne dan Finkelhor (1986) melaporkan adanya masalah gangguan seksual dan maladjustment seksual pada penyintas. Briere dan Runtz (1987) menemukan gangguan tidur, ketegangan, kemarahan, dan reviktimisasi (kemungkinan korban kembali mengalami kekerasan serta disalahkan atas kekerasan yang terjadi padanya) terlihat sebagai dampak kekerasan seksual. Browne dan Finkelhor (1986) melaporkan ketakutan, kecemasan, depresi, permusuhan, agresi, perilaku yang merusak diri sendiri, perasaan terisolasi dan stigma, self-esteem yang rendah, dan kesulitan mempercayai orang lain terlihat pada para penyintas. Kecenderungan bunuh diri juga terekam oleh Briere dan Runtz (1987) dan Mullen, et. al. (1993). Molnar, et. al. (2001) menyatakan bahwa gangguan suasana hati dan kecemasan juga termasuk dampak kekerasan seksual.

(37)

lain adalah reviktimisasi. Reviktimisasi adalah akibat jangka panjang yang sering dialami oleh perempuan penyintas kekerasan berbasis gender, terutama bila mereka mengalami kekerasan ketika masa anak-anak (Fiorillo, Papa, and Follette, 2013; Littleton & Grills-Taquechel, 2011; Matlow & DePrince, 2013; Messman-Moore & Long, 2000; Widom, Czaja, and Dutton, 2008). Reviktimisasi adalah kekerasan yang kembali dialami oleh perempuan penyintas kekerasan seksual.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Norma budaya yang diskriminatif adalah situasi yang mendorong adanya kekerasan seksual (Morrow & Smith, 1995). Akar kekerasan seksual terhadap perempuan adalah persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban (Komnas Perempuan, 2013). Walker (1989) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh laki-laki yang (secara sosial dan budaya) percaya bahwa laki-laki berhak mengontrol hidup perempuan, bahkan lewat kekerasan.

(38)

6. Hambatan Mengakses Keadilan Dan Pemulihan Bagi Perempuan Penyintas Kekerasan Seksual

Empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan menurut Komnas Perempuan (2013), yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini saling berkaitan dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Pada penelitian ini hanya akan dibahas hambatan dari faktor personal saja, yaitu keadaan psikologis korban, sebagai hal yang relevan.

Rasa bersalah dan perasaan tidak setia adalah emosi yang menghalangi perempuan meninggalkan relasi kekerasan bahkan ketika perempuan tersebut mempunyai kesempatan (Dunn & Powell-Williams, 2007). Perempuan yang mengalami kekerasan lebih cenderung untuk lekat pada pelaku (Widom, et. al., 2008), sehingga karena adanya kelekatan emosional penyintas tidak bersedia mengungkapkan kekerasan yang dialami. Padahal kekerasan yang tidak diungkap akan cenderung terulang.

B. Narasi

1. Definisi Narasi

(39)

emosional yang signifikan bagi individu tersebut yang diinterpretasikaan ke dalam makna personal dan diintegrasikan ke tema dan pola yang lebih luas yang merangkai kisah hidup sebagai kesatuan (McAdams dalam Pals, 2006). McAdams (2008) menyatakan narasi identitas adalah kisah tentang diri yang diinternalisasi, berkembang, dan terintegrasi. Narasi yang mengintegrasikan masa lalu yang direkonstruksi dan masa depan yang dibayangkan ke dalam kesatuan yang dapat menggambarkan keutuhan, tujuan, dan makna. Narasi identitas adalah cara individu menggunakan narasi untuk mengembangkan dan mempertahankan rasa sebagai pribadi yang utuh dan tujuan personal di tengah semua pengalaman sepanjang hidup (Kerr, Crowe, & Oades, 2013).

Narasi memberi tempat bagi individu untuk berefleksi, menafsirkan, dan memberi makna pengalaman (Angus & Kagan, 20013). Sifat narasi yang mampu memberi makna ini dapat membantu proses pemulihan dan pengintegrasian serta pemaknaan ulang seluruh pengalaman. Sehingga pemaknaan ulang pengalaman yang terlihat dalam narasi akan menyediakan persepsi dan cara pandang yang baru yang memberdayakan untuk pemulihan (Kerr, et al. 2013). Arah pemulihan inilah yang akan terlihat dari narasi para penyintas kekerasan.

(40)

menjaga narasi diri yang koheren, bermakna, dan dinamis (Tuval-Mashiach, et. al., 2004). Pendekatan naratif percaya bahwa individu mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan nilai yang dapat membantu mereka menghadapi masalah dalam hidup mereka. (Dulwich Centre Publications). Narasi bukan sekedar “susunan peristiwa”, melainkan lebih merupakan pemaknaan personal (McAdams, 1993). Menurut McAdams “Stories mend us when we are broken, heal when we are sick, and even

move us toward psychological fulfilment and maturity”.

Narasi komunitas membentuk dan mempengaruhi narasi personal individu (dan sebaliknya) (Rappaport, 1995). Budaya menyediakan tema, gambar, dan plot bagi konstruksi psikososial identitas naratif (McAdams, 2006). Oleh karena itu, penelitian yang berusaha mengungkap identitas naratif harus dilakukan di dalam serta memperhatikan konteks atau komunitas yang terkait. Lewat analisis narasi kita dapat mulai mengerti mengenai, baik narator maupun dunia di sekitarnya (Murray, 2008). Menurut Murray, narasi tidak diciptakan dalam ruang hampa, tetapi dibentuk dan diwujudkan dalam konteks sosial tertentu. Narasi memampukan narator berintegrasi dan bertindak aktif dalam dunia sosialnya.

(41)

manusia merekonstruksi kenyataan. Freer, et. al. (2010) menyatakan bahwa narasi menyediakan tempat bagi individu untuk memberi makna secara adaptif bagi kekerasan interpersonal, sekaligus cara untuk mengalami koherensi narasi agar tetap merasakan kesejahteraan mental (mental well being). Tema dalam narasi memprediksi perkembangan diri yang optimal yang terlihat dalam gabungan kedewasaan dan kepuasan hidup (Pals, 2006).

Kejadian yang sebenarnya bukanlah hal yang terpenting (bagi individu dan kesejahteraannya), yang penting adalah bagaimana kejadian tersebut dimaknai secara personal dalam konstruksi narasi individu tersebut (Tuval-Mashiach, et. al. 2004). Pengalaman yang sulit, yang merupakan tantangan bagi identitas dan aspek tak terelakkan dari kedewasaan, adalah bagian yang sangat penting dalam narasi yang akan memperlihatkan bagaimana seseorang berkembang dalam hidupnya (Pals, 2006).

2. Kekhasan narasi perempuan penyintas kekerasan seksual

(42)

melepaskan diri dari penderitaan dan batasan yang diterima saat berada dalam relasi yang tidak sehat. Tempat aman adalah pengalaman perempuan penyintas yang mempunyai aktivitas atau tempat dia berlindung dari dunia yang menindasnya. Kebangkitan adalah perasaan kembali kepada “hidup”, sering berupa perasaan spiritual. Determinasi

terjadi ketika penyintas mampu mencapai sebuah prestasi. Pengalaman menjadi penyelamat bagi orang lain terjadi ketika penyintas merasa mampu membantu korban lain untuk keluar dari penderitaannya.

Penelitian Draucker ini bertujuan untuk menunjukkan tema narasi yang khas pada penyintas tetapi tidak menunjukkan seberapa jauh mereka telah mengalami pemulihan. Sehingga penelitian ini tidak melihat pemulihan sebagai syarat kekhasan tema narasi. Syarat kekhasan narasi tersebut didapat dari pengalaman kekerasan seksual. Sehingga karena pemulihan bukan syarat maka tema narasi penelitian Draucker tersebut tidak dapat menunjukkan kekhasan tema narasi sebagai akibat dari pemulihan. Selain itu konteks tempat narasi penyintas juga tidak dijelaskan dalam penelitian Draucker.

Tidak menghargai diri adalah sifat kaum tertindas yang berasal dari internalisasi pendapat para penindas tentang diri mereka. Hampir tidak pernah mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya juga “mengetahui”

(43)

Keterpecahan diri dan ketidaksadaran bahwa kekerasan yang mereka alami adalah hal yang abnormal juga sering ditemukan sebagai tema narasi penyintas kekerasan (Freer, et. al., 2010). Keterpecahan ini dapat berupa perasaan bahwa hidupnya hancur dan berubah ke arah yang buruk sesudah mengalami kekerasan, menghindari ingatan akan adanya trauma secara perilaku (penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, melukai diri sendiri dan keinginan ata percobaan bunuh diri) dan psikologis (disosiasi, mematirasakan diri sendiri, dan melupakan serta mengingkari pernah terjadi kekerasan). Penelitian Freer tersebut serupa dengan penelitian Draucker (2010) yang tidak meletakkan syarat pemulihan sebagai salah satu syarat kekhasan narasi. Syarat kekhasan narasi adalah pengalaman traumatik. Metode penelitian Freer yang menyelidiki koherensi narasi tetapi tidak menelisik tema yang muncul pada penyintas tidak dapat memperlihatkan bagaimana tema narasi tertentu bisa menyebabkan koherensi.

(44)

(McAdams, 2008). Plot dan titik tempat narasi individu berubah arah belum dipaparkan oleh penelitian Anderson dan Hiersteiner.

Tidak semua tema yang khas penyintas akan dapat membantu penyintas berjalan menuju pemulihan. Jalan menuju pemulihan melibatkan koherensi, stabilitas sekaligus perubahan tema (McAdams, 2008; Pals, 2006; McLean & Fourier, 2008). Narasi yang membantu tersebut harus ditemukan oleh penyintas bila ia ingin pulih. Pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah yang berdasar pada kekuatan (Anderson & Hiersteiner, 2008) dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka (Draucker, 2003). Pulih juga berciri semakin kecilnya dampak negatif kekerasan bagi penyintas.

3. Narasi dan reviktimisasi

(45)
(46)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. STRATEGI PENELITIAN

Penelitian narasi perempuan penyintas kekerasan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian narasi berusaha memahami identitas individu dan bagaimana proses individu tersebut memahami dunianya dalam dunia yang lebih luas (Murray, 2003). Murray mengatakan bahwa kisah tentang diri yang diceritakan oleh individu membentuk identitas personal dan identitas sosialnya. Penelitian ini menelisik tentang bagaimana individu kisah hidup partisipan dan tema yang diciptakannya yang menghubungkan pengalaman-pengalamannya serta cara partisipan memahami dan memaknai hidupnya (Cresswell, 2007).

Narasi adalah pusat bagi pemakanaan hidup individu (Murray, 2008). Murray menyatakan bahwa narasi bukan sekedar cara memandang dunia tetapi lewat narasi individu merekonstruksinya dan individu hidup lewat narasi yang dibagikan oleh orang lain dan diri sendiri. Narasi adalah cara individu merekonstruksi kenyataan.

(47)

beberapa ide dasar (Parker, 2005) – yang sesuai tujuan penelitian ini – yaitu mengembalikan agensi pada narator, kisah diceritakan dalam cara pandang tertentu, kisah adalah hasil interpretasi narator sebagai agen, narasi selalu ada dalam konteks. Menurut Parker partisipan adalah penulis kisah dan co-researcher.

Ketika budaya membentuk gender sebagai strategi kebudayaan untuk memastikan bahwa pihak yang mempunyai kekuasaan terus berkuasa maka penelitian ini digunakan sebagai strategi kebudayaan tandingan. Oleh karena

sikap tidak mengambil tindakan dan tetap “netral” dalam situasi yang buruk

artinya membiarkan ketidakadilan terus berlangsung (Poerwandari, 2010) maka perspektif feminis diambil dalam penelitian ini sebagai sikap peneliti.

Penelitian narasi memungkinkan peneliti untuk menggunakan perspektif tertentu, seperti bagaimana individu dihalangi atau dibantu oleh struktur sosial atau lensa feminis untuk melaporkan kisah perempuan (Creswell, 2007). Penelitian kualitatif feminis sangat baik untuk digunakan dalam meneliti tentang kehidupan perempuan dalam relasi sosial yang mendorong transformasi sosial (Olesen, 2005). Menurut Olesen pengetahuan mempunyai

“lokasi sosial” lokasi bawah atau marjinal – yang adalah tempat perempuan

dalam “lokasi sosial” – adalah tempat yang baik untuk memulai.

(48)

baik-buruk penyintas sebagai perempuan harus diperhatikan dengan seksama dalam penelitian perempuan. Oleh karena itu penelitian narasi dengan paradigma feminis dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini.

B. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan narasi dan tema narasi yang membantu perempuan penyintas kekerasan seksual untuk pulih. Narasi memampukan individu untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mengevaluasi penjelasan mereka sendiri (Breakwell, 2012). Narasi adalah cara manusia memahami dunia, membawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau dan mendefinisikan diri secara unik (Murray, 2008). Murray menyatakan narasi dapat didefinisikan sebagai interpretasi terorganisir peristiwa-peristiwa yang dialami individu tersebut.

(49)

C. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian ini adalah proses pemulihan tang terlihat dari tema narasi partisipan penelitian. Narasi yang akan menjadi pusat perhatian penelitian ini adalah kecenderungan menyalahkan diri atas kekerasan yang dialami, ketidakberdayaan, dan pemulihan. Narasi yang diperoleh akan dianalisa untuk melihat jenis tema narasi seperti apakah yang akan membawa narator pada pemulihan dan menghindarkannya dari reviktimisasi atau mendorongnya pada reviktimisasi. Kecenderungan menyalahkan korban adalah salah satu akibat kekerasan terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan sulit mendapatkan pemulihan (Briere & Runtz, 1987; Komnas Perempuan, 2013). Kecenderungan korban mengalami kembali kekerasan oleh pelaku yang berbeda atau dikenal dengan istilah reviktimisasi membuat penyintas tak henti-hentinya menjadi korban meski sudah berhasil lepas dari pelaku pertama yang melakukan kekerasan seksual terhadapnya (Messman-Moore & Long, 2000). Peneliti berharap dapat melihat dan menamai tema narasi diri pada partisipan.

D. PARTISIPAN PENELITIAN

(50)

penyintas telah dapat ditangani paling tidak secara praktis. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil partisipan yang telah keluar dari relasi yang mengandung kekerasan tersebut untuk memastikan bahwa penanganan kekerasan secara praktis telah dilampaui.

Partisipan berusia 20 tahun ke atas. Usia tersebut dipilih karena penyintas yang telah dewasa dapat mengakses sumber daya dalam diri maupun di luar diri mereka yang mampu membantu mereka mendapat kekuatan yang melampaui kekuatan individu yang sekedar bertahan hidup (Anderson & Hiersteiner, 2008). McAdams (1993) menyatakan bahwa bahwa narasi mulai dibentuk pada waktu remaja dan mulai mendapat bentuknya ketika individu menginjak usia dewasa awal sekitar 20 tahun. Oleh karena itu, usia 20 tahun dipilih agar didapatkan narasi yang cukup matang dan dapat menunjukkan arah pemulihan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini.

(51)

penyintas telah berada di level ketiga. Level keempat adalah kondisi ketika penyintas telah mampu melaksanakan rencana tersebut. Saat penyintas telah melaksanakan rencanakan, bertanggung jawab atas rencana tersebut, dan mampu menolong orang lain yang berada dalam situasi yang kurang lebih sama dengan dirinya, penyintas telah berada di level kelima keberdayaan. Poerwandari (2005) menyatakan stratifikasi dimaksudkan agar data yang diperoleh beragam dan mewakili bermacam data sehingga mendekati theoretical closure atau jenuh.

(52)

mendapatkan penjelasan mengenai kekerasan seksual. Peneliti juga menawarkan kepada mereka yang tidak terpilih bila mereka mempunyai pertanyaan tentang kekerasan seksual dan rujukan proses pemulihan kekerasan. Sembilan penyintas yang terpilih ditawari untuk terlibat lebih lanjut dan menandatangani informed consent. Wawancara lanjutan dilaksanakan kepada sembilan perempuan tersebut untuk menentukan tingkat keberdayaan. Lima perempuan penyintas kemudian dipilih oleh peneliti.

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Data narasi didapat dari wawancara mendalam semi terstruktur secara personal. Penelitian ini berusaha mempertimbangkan faktor sosial yang ada karena analisa terhadap narasi tidak boleh melupakan faktor sosial partisipan agar tetap berada di dalam konteks (Riessman, 2003).

Wawancara semi terstruktur digunakan untuk mendapatkan cerita secara personal. Dua pertanyaan utama yang ditanyakan kepada partisipan adalah kisah hidup penyintas yang akan menyingkap narasi identitasnya dan pengalaman kekerasan seksual yang dialami oleh partisipan tetapi bukan secara kronologis melainkan mengikuti alur cerita partisipan.

F. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

(53)

1. Peneliti mencari dan menentukan partisipan yang mengalami kekerasan seksual dan bersedia membagikannya kepada peneliti secara personal. Penentuan partisipan juga melibatkan pengamatan yang berfungsi untuk menentukan tingkat keberdayaan partisipan.

2. Pembahasan dan penandatanganan informed consent. Informed consent berisi identitas peneliti, tujuan penelitian, partisipan penelitian, metode pengambilan data, hak dan kewajiban partisipan, metode penyimpanan data, kerahasiaan data, tanggung jawab peneliti, dan penanggung jawab penelitian. Peneliti tidak bertanya mengenai detil kekerasan seksual. Peneliti juga membicarakan bahwa partisipan berhak membicarakan apapun yang diinginkan sebanyak atau sesedikit yang partisipan inginkan sejauh partisipan merasa nyaman. Partisipan juga berhak menghentikan wawancara bila merasa tidak menginginkannya lagi atau merasa tidak nyaman.

(54)

dari wawancara. Bila terdapat efek negatif maka akan dibicarakan dengan konselor atau kelompok pendukung masing-masing partisipan.

4. Membuat transkrip narasi.

5. Melakukan member checking agar frase-frase yang diolah maknanya, yang diperoleh dari wawancara, tidak meleset dari pemaknaan personal partisipan.

G. METODE ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa narasi. Analisa narasi terdiri dari dua tahapan besar berikut (Murray, 2008):

1. Fase deskriptif, meliputi:

a. Analisa plot atau struktur narasi untuk menentukan bagian awal-tengah-akhir.

b. Menemukan sub-plot yang ada dalam setiap bagian.

c. Menentukan tema keseluruhan narasi dan tema khusus yang terlihat dalam setiap penggal narasi. Penentuan tema ini dilakukan dengan coding, yaitu:

i. Open coding atau kategorisasi tema dari wawancara. Data yang diperoleh dianalisa dan ditemukan temanya.

(55)

iii. Selective coding. Tema yang telah dihubungkan disaring dan dipilih berdasarkan tema penelitian ini, yaitu pengalaman perempuan penyintas kekerasan seksual, serta untuk menemukan fitur khas perempuan penyintas yang membantu atau tidak membantu penyintas untuk pulih.

2. Fase interpretif, meliputi:

a. Menghubungkan tema yang telah diperoleh dengan literatur yang lebih luas.

b. Menemukan elemen narasi yang khas dan bagaimana elemen-elemen tersebut dihubungkan oleh narator.

c. Menentukan tema utama dan nilai-nilai yang mendasari pembentukan narasi tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara menghubungkan narasi dengan konteks.

Setelah kedua fase tersebut diselesaikan, narasi kemudian diceritakan ulang dalam urutan kronologis dan tema (Creswell, 2007).

H. KREDIBILITAS PENELITIAN

(56)

triangulasi. Member checking dilaksanakan dengan menanyakan kepada partisipan tentang kesesuaian tema yang ditemukan oleh peneliti dengan pemaknaan partisipan. Triangulasi yang dilaksanakan adalah triangulasi data, interpretasi, dan metode. Trianggulasi data dilaksanakan dengan menguji data dari informan dan membandingkannya dengan data yang didapat dari keluarga atau komunitas informan. Triangulasi peneliti dilaksanakan dengan jalan menguji hasil data dan analisa data dengan dosen pembimbing dan beberapa ahli lain. Triangulasi metode didapatkan dengan cara diskusi kelompok dan observasi. Pengujian juga dilaksanakan untuk memastikan bahwa analisa data dilaksanakan dengan mengedepankan kesesuaian dengan data mentah yang diperoleh peneliti. Akan tetapi data yang digunakan dan dianalisis dalam penelitian ini tetap data hasil wawancara karena penelitian ini meneliti narasi penyintas.

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN

Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan dengan cara wawancara. Sebelum wawancara formal dilaksanakan, peneliti telah beberapa kali berhubungan dan berbicara dengan partisipan. Wawancara formal pertama dilaksanakan untuk menemukan tingkat keberdayaaan sekaligus menjelaskan dengan lebih detil gambaran penelitian dan penandatanganan informed consent. Awalnya peneliti mewawancarai sembilan partisipan, tetapi karena empat partisipan memiliki tingkat keberdayaan yang sama dengan narasi yang mirip maka data dari tiga partisipan tidak disertakan dalam pembahasan hasil ini. Data yang disertakan hanya data dari satu partisipan yang peneliti anggap paling mewakili keempat data tersebut. Dua partisipan yang memiliki tingkat keberdayaan yang sama juga dipilih salah satu. Berikut adalah urutan pelaksanaan wawancara yang dilakukan:

Tabel 1

Pelaksanaan Wawancara

Waktu Kegiatan*) Tempat*) Catatan

30 Juli 2014 Wawancara pertama Nia

(58)
(59)

Waktu Kegiatan*) Tempat*) Catatan

Semua nama yang disertakan adalah nama samaran. Tempat tidak disertakan dengan rinci, untuk menjaga kerahasiaan partisipan

Ketika wawancara pertama dilaksanakan, partisipan menandatangani informed consent. Peneliti memberikan informasi dalam informed consent yang berkaitan dengan tujuan, prosedur, tanggung jawab peneliti, dan kerahasiaan. Peneliti juga menekankan hak partisipan untuk berhenti kapanpun partisipan inginkan, untuk menjawab hanya pertanyaan yang ingin ia jawab, dan memperhatikan kenyamanan partisipan. Peneliti tidak bertanya mengenai detil kekerasan seksual yang dialami oleh partisipan. Seluruh cara wawancara dan respon yang diberikan oleh peneliti mengikuti panduan wawancara untuk penyintas perkosaan menurut Campbell, et. al (2009) agar

tidak terjadi “perkosaan kedua” atau dikorbankan untuk kepentingan orang lain (Campbell, et. al, 2001).

(60)

berlangsung. Bahkan Nia yang hampir di sepanjang wawancara menangis, merasa sangat diterima dan bersyukur atas kesempatan menceritakan kisahnya. Hal ini terjadi karena menceritakan kisah hidup (story telling) adalah cara yang efektif untuk pemberdayaan karena dapat mendukung perkembangan dan kematangan psikologis, membantu penyembuhan hidup, serta memulihkan keutuhan kemanusiaan (McAdams, 1993; Williams, Labonte, O‟Brien, 2003). Penceritaan narasi identitas dalam budaya adalah praktek yang memberdayakan (Williams, et. al., 2003).

B. PROFIL PARTISIPAN 1. Partisipan Pertama

Nia berada pada tingkat pertama keberdayaan, artinya Nia tidak mengerti bahwa ia mengalami kekerasan seksual. Berusia 34 tahun, Nia mempunyai tiga orang anak. Hidup dan dibesarkan di sebuah desa yang kekerasan seksual adalah hal yang sangat mudah ditemui, tetapi sangat jarang disadari. Sepanjang wawancara kisah hidupnya, Nia terus menangis, hanya berhenti beberapa saat untuk mengambil napas. Ketika diwawancara, dua anaknya yang kecil selalu berada di sekitar rumah. Anaknya berusia tiga belas, empat, dan dua tahun. Nia sekarang menikah dengan seorang petani yang adalah ayah dari dua anaknya.

(61)

sebagian besar warga desa. “Istri” yang kedua adalah korban kekerasan

seksual ayahnya yang kemudian hidup sebagai partner seksual tetap ayahnya. Tidak jelas bagi Nia apakah ayahnya menikah secara legal atau tidak dengan perempuan tersebut, tetapi yang jelas dari relasi tersebut paling tidak perempuan tersebut telah hamil sebanyak empat kali dan pernah dipaksa menggugurkan bayinya.

Nia mengalami ekploitasi seksual ketika berelasi dengan pacarnya yang karena relasi tersebut memberi Nia anak pertamanya. Nia dipaksa tinggal dengan pelaku dan berhubungan seksual dengan pelaku. Pertama kali berelasi dengan pelaku Nia tidak tahu karena pelaku tidak mengaku bahwa pelaku telah mempunyai istri dan anak. Ketika Nia mengetahui bahwa pelaku telah mempunyai istri (hal itu terjadi ketika Nia ada di rumah pelaku), Nia menolak untuk berhubungan kembali dengan pelaku dan ingin pulang ke rumahnya. Akan tetapi pelaku menahan Nia tinggal. di rumahnya, memaksanya berhubungan seksual dengan mengatakan bahwa pelaku akan menceraikan istrinya dan menikahinya.

Nia akhirnya pergi dari rumah pelaku setelah ayah dan adiknya

(62)

ayah dan adiknya dari rumah pelaku, pelaku tidak pernah lagi menghubungi, mengirim kabar, atau menjawab surat yang pernah dikirimkan oleh Nia ketika akan melahirkan anak mereka.

2. Partisipan kedua

Coral, mahasiswa sebuah universitas swasta di Yogyakarta, berada di tingkat keberdayaan kedua ketika wawancara berlangsung. Tingkat kedua berarti Coral mengetahui bahwa ia mengalami kekerasan seksual tetapi tidak melakukan apapun atau tidak tahu harus melakukan apa atas kekerasan tersebut. Lahir di Jakarta 22 tahun yang lalu, anak ketiga dari empat bersaudara ini selalu terlihat ceria, meskipun sempat sedikit menangis ketika wawancara. Saat ini Coral mempunyai seorang pacar laki-laki.

(63)

untuk melakukan “sesuatu” untuk kasus tersebut, ia mengatakan ia tidak akan melakukan apapun.

3. Partisipan ketiga

Teta, berada di tingkat keberdayaan kelima, berarti Teta mengetahui bahwa ia mengalami kekerasan seksual, mengetahui opsi yang bisa dilakukan atas kekerasan tersebut, mampu merencanakan dan melaksanakan rencana bagi hidupnya selanjutnya, serta mampu menggunakan kekuatannya untuk melanjutkan hidup dan beranjak dari kekerasan yang dia alami. Teta bekerja di sebuah LSM dan terlibat banyak dalam komunitasnya sebagai relawan. Teta tinggal di Jawa Timur dengan suami dan kedua anaknya.

(64)

4. Partisipan keempat

Partisipan keempat adalah Tan, seorang ibu dua anak. Tan berada di tingkat empat keberdayaan, artinya Tan mengerti bahwa ia mengalami kekerasan seksual, mampu membuat rencana, dan dapat melaksanakan rencana tersebut. Bekerja di sebuah katering setiap hari tidak membuat kebutuhannya tercukupi, biasanya kakaknya yang ikut memenuhi kebutuhan hariannya dan anak-anaknya.

(65)

5. Partisipan kelima

Misa, berada di tingkat keberdayaan ketiga, berarti Misa mengetahui bahwa ia mengalami kekerasan seksual, mengetahui pilihan yang ada untuk menanganinya, dan mampu membuat rencana atas penanganan kekerasan tersebut atau hidup selanjutnya. Perempuan berusia 30 tahun ini menyadari kekerasan seksual yang dialaminya dan mengatakan tidak akan berbuat sesuatu atasnya. Ibunya adalah korban kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh ayahnya. Misa sering merasa mati rasa tentang hal-hal yang terjadi pada dirinya. Sambil menyelesaikan kuliah master psikologi, ia masih menerima gaji sebagai PNS dan mempunyai bisnis untuk menopang hidupnya dan anaknya. Misa sedang dalam proses bercerai dari suaminya.

Misa mengalami perkosaan ketika berusia sekitar 5 tahun. Pelaku adalah kakak sepupu yang sering bermain di rumah Misa. Pelaku berusia sekitar 14 tahun ketika perkosaan tersebut dilakukan. Perkosaan terjadi beberapa kali. Misa tidak melawan ketika hal tersebut terjadi karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Pelaku mengancam Misa agar tidak melaporkan hal ini pada siapapun. Ibu Misa pernah menemukan darah di celana dalam Misa tetapi tidak melakukan apapun atasnya. Ibunya hanya bertanya pada Misa mengapa ada darah, tetapi ketika Misa menjawab tidak tahu ibunya tidak mencari tahu lebih lanjut. Misa merasa tidak terbantu

(66)

ibunya. Ketika Misa mulai mengerti apa yang terjadi pada dirinya, ia

merasa tidak berharga karena sudah tidak “perawan” lagi.

Semua partisipan dibesarkan dalam keluarga yang di dalamnya terdapat kekerasan terhadap perempuan.

C. ANALISIS DATA DAN HASIL

Berikut adalah identitas dalam narasi setiap partisipan: 1. Nia, tingkat pertama keberdayaan

a. Menyerah dan kalah

Nia sering mengatakan sesuatu yang dia akui sebagai tidak menyenangkan tetapi kemudian menutupnya dengan “tapi aku ra papa”. Nia membiarkan orang lain membuat keputusan atas hidup dan masa depannya. Seperti ketika Nia diam dan tidak bertanya kepada ayahnya ketika dilarang untuk menikah dengan Kalong (meskipun memang Kalong tidak pernah menceraikan istrinya atau mengajak Nia menikah secara resmi, hanya ada janji dari Kalong) serta menganggap bahwa larangan dari ayahnyalah alasan ia tidak menikah dengan Kalong.

Tanpa adanya usaha untuk mengubah keadaan atau bahkan usaha untuk memahami atau sekedar mengkonfirmasi keadaan tersebut untuk meyakinkan bahwa hal tersebut bukan hanya imajinasi atau

(67)

menyenangkan tersebut dan menelan kekalahannya. Kekalahan ini tanpak nyata dalam petikan narasi Nia berikut

rasanya dari kecil aku kaya dibedakakan dari adik oleh orang tua. Banyak yang cerita kayaknya saya tu disia-siakan. Banyak yang cerita waktu aku masih kecil, berapa bulan aku udah ditinggal sama orang tua, udah pergi. Udah besar, banyak yang cerita pokoknya, kalo adik dibelikan baju yang bagus, kalo aku yang ya… sewajarnya. Tapi aku nggak merasa dibedakan ya juga nggak. Wong itu juga orang tuaku. Ya masa kecil emang pedih. Sedih banyak kesedihan. Sudah berkeluarga ya keluarga kadang-kadang ya ada kesedihan, ya ada senengnya. Tapi kadang orang tua kok kadang-kadang masih membedakan antara anak satu sama yang lain tu. Pokoknya aku rasanya tu aku masih dibedakan. Tapi aku gak papa, yang penting aku ikut suami. Suami juga menafkahi aku. Aku yang penting gak ikut sama orang tua.

Nia menyatakan pasrah menerima hal-hal yang terjadi dalam hidupnya tanpa usaha untuk mengubah atau memperbaikinya. Ketika menceritakan tentang kemungkinan bahwa pelaku sebenarnya tidak pernah peduli dengan anaknya atau dirinya, Nia mengatakan

sepintas pernah kepikiran kayak gitu, tapi aku udah ya udah yang dulu ya yang dulu, ya biarin.

Jawabannya ini menunjukkan bahwa kekalahannya yang

membuatnya mengatakan “ya udah, biarin” kemudian menerima tanpa bertanya atau berusaha lebih lanjut.

(68)

merasa selalu kalah, Nia dengan segera menjawab “Ya”. Ketika dikonfirmasi mengenai usahanya untuk memperjuangkan apa yang ia inginkan atau setidaknya mempertanyakan keputusan orang lain atas

hidupnya Nia mengatakan “nggak pernah tanya” dan “ya udah, biarin”. Nia menyatakan dirinya benar-benar tidak berdaya dalam responnya tersebut.

b. Penyangkalan pengalaman

Nia merasa hidupnya penuh dengan masalah dan Nia tidak dapat menceritakan pengalamannya secara utuh dan koheren, meskipun bila ditanya Nia bisa mengingatnya dengan baik. Nia beberapa kali bercerita mengenai pengalaman atau situasi yang tidak menyenangkan baginya, tetapi selang tidak lama kemudian Nia menariknya dan tidak mau meneruskan pengakuannya bahwa kejadian, hal, atau situasi tersebut mengganggunya. Hal yang sudah dikatakannya sebagai bermakna – entah secara positif atau negatif – disangkal ketika Nia berkata “tapi aku ra papa” (tetapi aku baik-baik saja).

c. Penyangkalan diri

Nia bahkan menyangkal dirinya sendiri, bukan sekedar pengalaman atau perasaannya, tetapi juga diri. Ketika Nia mengatakan hal ini, ia sedang mengatakan dirinya memalukan, Nia sebagai pribadi adalah memalukan

(69)

wong aku sudah mempermalukan desa, udah mempermalukan keluarga. Aku ya minder wong aku memang bener-bener yang kesalahan. Yang satu kali tu Aron, terutama Aron itu aku bener-bener minder. Kalo ada kegiatan apa ke Gereja pun aku nggak, aku nggak pernah ke Gereja. Dan aku di desa itu pokoknya malu karena aku dah mempermalukan desa. Udah membuat

coreng desa ini.”

Penyangkalan pengalaman yang dilakukan Nia secara terus menerus mengakibatkan dirinya merasa bahwa dirinya sebagai pemilik pengalaman-pengalaman tersebut juga disangkal oleh dunia di sekitarnya. Ketika dirinya adalah pribadi yang disangkal tidak ada jalan lain beginya selain menerima kekalahan. Setidaknya ia dapat menyerah dengan

“terhormat”, tak seorang pun memaksanya menyerah. Sebagai perempuan Jawa mungkin pepatah “aja rumangsa bisa, bisaa rumangsa” (jangan

merasa mampu, mampulah merasa) sudah terinternalisasi begitu dalam.

Hal ini berarti Nia “bisa rumangsa” (mampu merasa) bahwa ia hanyalah

seorang yang tidak penting keberadaannya. d. Plot narasi

Nia memulai kisahnya dengan kesedihan dan masalah yang tak dapat ia kontrol. Nia menyatakan dalam narasinya bahwa ia bukanlah agen atas hidupnya. Selalu ada orang lain yang menentukan jalan hidupnya. Awalnya adalah orang tua lalu suami. Nia mengakhiri narasinya juga dengan kepedihan dan keputusasaan, menyatakan

(70)

Nia mempunyai narasi yang regresif. Nia merasa selalu menderita dan kalah dari masalah apapun yang ia hadapi. Apapun masalahnya, menyerah kalah adalah hasil akhirnya. Nia memulai narasinya dengan

“kekalahannya” dalam keluarga, bahwa ia diperlakukan secara tidak

adil dalam keluarga. Masalah demi masalah kemudian menderanya dan ia selalu kalah. Akhirnya yang bisa ia lakukan adalah menerima apapun yang diberikan oleh hidup kepadanya dalam kata-kata “ya udah, biarin” karena “yang penting” situasinya sudah bisa ia terima. Hidup adalah litani kekalahan bagi Nia.

2. Coral, tingkat kedua keberdayaan a. Penyangkalan pengalaman

Coral mengatakan bahwa masa SMAnya adalah masa yang

nggak banget” baginya, tetapi Coral tidak menjelaskan atau menyebut dengan jelas mengapa. Hanya ketika ditanya tentang masa tersebut

baru Coral bercerita itupun ditutup dengan kata, “tapi sekarang udah nggak papa sih”. Coral juga mengatakan bahwa pada awal kuliah dia merasa senang tetapi di akhir wawancara ia menambahkan bahwa awal

masa kuliah ia pernah merasa sangat “jatuh dan terpukul” karena

(71)

juga menyangkal pengalamannya ketika tidak menerima bahwa pengalamannya tidak menyenangkan.

“Trus masuk-masuk kuliah gini seneng tu lho karena aku kan dari Jakarta trus ke Jogja, jadi kan dapet suasana baru tu lho. Jadinya seneng aja waktu kuliah tu semangat, tapi memang masih suka kebayang-bayang gitu kan, dulu. Pengalaman-pengalaman waktu SMA (kematian ayahnya) masih kebayang. Tapi ya lebih ke senengnya aja sih ya, soalnya dapet temen baru trus suasananya baru banget kan, jadi ya udah, jadi fine-fine aja. Trus lebih termotivasi sih, waktu kuliah ini. Jadi lebih banyak pencapaian yang aku bisa capai di kuliah ini dibandingkan dengan yang lain gitu.

kayak gitu. Ya udah sekarang yang bisa kamu lakuin cuma belajar aja, kuliah yang bener. Waktu itu tu aku kayak ngedrop banget, aku tu butuh sosok yang bisa nanganin aku gitu lho, aku cerita ke bu Asih, ini ceritanya kayak gini gini, terus aku nangis, maksudnya aku nggak tau apa yang harus kulakuin itu lho. Maksudnya semua orang kayaknya nggak ada yang mbelan aku, terus ada satu Dodi yang tau cerita semua, tapi dia malah pergi ninggalin aku. Kayaknya ya ampun kayaknya dunia ini hina banget gitu kan.”1

b. Itu salahku

Coral menerima kekerasan seksual yang terjadi padanya sebagai kesalahannnya, bahkan ketika pacarnya melakukan kekerasan yang sama dia semakin merasa bahwa kekerasan tersebut adalah

1 Paragraf pertama adalah narasinya di awal waawancara, paragraf yang kedua adalah narasinya di

(72)

salahnya dan adalah hak pacarnya melakukan kekerasan tersebut karena dia telah melakukan kesalahan sehingga kekerasan seksual terjadi padanya. Coral bahkan merasa bahwa ia tidak menghargai pacarnya karena dirinya telah mengalami kekekerasan seksual.

Tapi maksudnya ya aku jadi ngerasa bersalah sendiri gitu lho. Ya ampun kok bisa-bisanya aku lagi pacaran sama dia, trus aku diginiin sama orang tu lho. Trus kayak nggak menghargai cowok banget. Jadi apapun yang terjadi didalam hubungan kita entah itu dia yang maksudnya entah dia yang kurang ajar sama aku, entah itu Dodi yang jadi menjauh, trus aku tu jadi nyalahin diri aku sendiri. Jadi pokoknya apapun yang Dodi lakuin ke aku tu aku jadi ngerasa bersalah. “O iya nggak papa dia kayak gitu soalnya kan aku pernah maksudnya pernah ngecewain dia juga itu lho, nggak menghargai dia, jadi

jatuhnya kayak gitu sih”.

c. Pengalamanku tabu maka aku tidak berharga

Coral merasa ketika kekerasan seksual tersebut terjadi pada dirinya, ia menjadi tidak berharga. Ia merebut kembali keberhargaan dirinya dengan prestasi-prestasinya. Meskipun hal tersebut ternyata tidak membantunya untuk mengenyahkan perasaan tidak berharganya. Perasaan bahwa dirinya tidak berharga tampak dalam kata-kata“aku

udah jelek” serta dalam narasinya berikut

“Kayaknya hal kayak gitu tu tabu banget, ya orang tu

pasti ngeliatnya ya „ih dia tu korban kayak gituan”

d. Prestasi dan kekuatan sebagai kompensasi ”keburukan”

(73)

“aku udah jelek masak mau jelek terus, paling nggak kan aku berprestasi... maksudnya hal-hal yang positif gitu lho untuk kompensasi ini semua itu lho

.Coral menganggap prestasi adalah semacam balas dendam atas apa yang terjadi padanya.

“Trus aku jadi ngerasa “ya ampun ini berarti

bener-bener hidupku tu ada di tangan aku doang”. Jadi gimana caranya biar aku tu bisa nggak nyesel tu lho. Trus akhirnya aku memotivasi diri aku sendiri. Motivasinya sih kecil, maksudnya gimana caranya bikin Dodi tu nyesel ninggalin aku. Aku cuman mikirnya kayak gitu. Gimana caranya biar Dodi tu nyesel ninggalin aku. Trus akhirnya aku ya udah ikut kegiatan apa lah, semua kegiatan aku ikutin. Maksudnya untuk mengalihkan semuanya tu lho dan itu menurut aku hal yang positif, mengalihkan ke hal-hal yang positif, kegiatan UKF lah apa lah semuanya itu aku ikutin, biar aku tu terlihat berprestasi itu lho walo dengan masalah ini gitu.”

Gambar

Gambar 1.  Bagan narasi identitas Nia  .................................................................
Tabel 1 Pelaksanaan Wawancara
Gambar 1. Bagan narasi identitas Nia, penyintas tingkat keberdayaan pertama
Gambar 2. Bagan narasi identitas Coral, penyintas tingkat keberdayaan kedua
+5

Referensi

Dokumen terkait

Maka dengan diketahuinya hubungan kecukupan gerak fisik harian dengan tingkat kebugaran jasmani siswa kelas XI MIA 3 SMA Negeri 1 Gresik dimaksudkan agar siswa yang memiliki

Konsentrasi yang digunakan dalam pengujian ini adalah 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% dimana pada konsentrasi tersebut hasil zona hambat ekstrak aur bunga dan daun kecombrang

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh supervisor Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan, dorongan,

Dari telaah pustaka tentang sistem kontrol, sales training, kinerja tenaga penjualan dan efektivitas penjualan yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian tersebut

Tes KGS berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mencakup ketiga materi percobaan, yaitu: 1) sintesis dan karakterisasi natrium tiosulfat pentahidrat, 2)

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses koreksi terrain dan contoh penerapannya pada citra Landsat TM; Kemudian artikel tentang “Perbandingan Teknik Orthorektifikasi Citra

Sejalan dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit graha sehat, dilakukan serangkaian pembenahan manajemen dan pembangunan fisik (gedung) secara menyeluruh,

Penambahan sari buah markisa pada pembuatan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa dengan metode foam-mat drying dapat berpengaruh terhadap mutu dan rasa bubuk