i
PENANGANAN RETENSIO PLASENTA PADA SAPI BALI
DI DESA BARANIA KECAMATAN SINJAI BARAT KABUPATEN SINJAI
TUGAS AKHIR
ANDI NOOR WARISAH ZAINAWIYAH ZAELAN O12116049
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
ii
PENANGANAN RETENSIO PLASENTA PADA SAPI BALI
DI DESA BARANIA KECAMATAN SINJAI BARAT KABUPATEN SINJAI
Tugas Akhir
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Hewan
Disusun dan Diajukan oleh:
ANDI NOOR WARISAH ZAINAWIYAH ZAELAN O12116049
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Andi Noor Warisah Zainawiyah Zaelan
NIM : O12116049
Program Studi : Pendidikan Profesi Dokter Hewan Fakultas : Kedokteran
menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya Tugas Akhir saya adalah asli.
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari tugas akhir ini tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 21 Desember 2017
Andi Noor Warisah Zainawiyah Zaelan
v
PRAKATA
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir dokter hewan ini. Rasa terima kasih penulis yang tak terhingga kepada seluruh anggota keluarga tercinta atas segala dukungan dan doa selama penulis menuntut ilmu.
Ucapan terima kasih penulis kepada Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari selaku ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Universitas Hasanuddin dan selaku pembimbing yang telah memberi banyak bimbingan dan arahan yang sangat membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir dokter hewan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberi bekal ilmu yang sangat berguna kepada penulis. Terima kasih kepada seluruh sahabat di PPDH Unhas atas segala kesan selama proses pendidikan serta bantuan dan dukungan teman-teman dalam proses penyelesaian tugas akhir dokter hewan ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir dokter hewan ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan sebagai bahan acuan untuk perbaikan selanjutnya.
Makassar, 21 Desember 2017
Andi Noor Warisah Zainawiyah Zaelan
vi
PENANGANAN RETENSIO PLASENTA PADA SAPI BALI
DI DESA BARANIA KECAMATAN SINJAI BARAT KABUPATEN SINJAI
ABSTRAK
Andi Noor Warisah Zainawiyah Zaelan (O12116049). Penanganan Retensio Plasenta pada Sapi Bali di Desa Barania Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai.
Di bawah bimbingan Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari.
Kondisi sapi Bali di usaha peternakan rakyat secara umum masih sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi. Salah satu kasus gangguan reproduksi pada sapi Bali adalah retensio plasenta. Kejadian retensio plasenta umumnya disebabkan oleh kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Pasien merupakan seekor sapi Bali post-partus 3 hari di Desa Barania Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai yang didiagnosis mengalami retensio plasenta. Penanganan yang dilakukan adalah melepaskan plasenta dengan cara manual removal. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik Colibact bolus melalui intrauterine dan Vet-Oxy LA melalui injeksi intramuscular dengan dosis yang tepat.
Kata kunci: retensio plasenta, sapi, sapi Bali.
vii
PENANGANAN RETENSIO PLASENTA PADA SAPI BALI
DI DESA BARANIA KECAMATAN SINJAI BARAT KABUPATEN SINJAI
ABSTRACT
Andi Noor Warisah Zainawiyah Zaelan (O12116049). Medical Treatment of Retention of Placenta in Bali Cow in Barania Village, West Sinjai District of Sinjai Regency. Supervised by Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari.
Generally, some cases of reproductive disorders are still commonly found in Bali cattle livestock business. One of the cases of reproductive disorders in Bali cow is retention of placenta. The incidence of retention of placenta is generally due to the failure of cotyledon-caruncle detaching mechanisms. The patient was a 3-days post-partum cow in Barania Village, West Sinjai District of Sinjai Regency, who was diagnosed with retention of placenta. The treatment was releasing the placenta by manual removal. The drugs given are antibiotics in the form of Colibact bolus through intrauterine and Vet-Oxy LA through intramuscular injection with the right dose.
Key words: retention of placenta, cattle, Bali cow
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
PRAKATA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Penulisan ... 1
1.3. Rumusan Masalah ... 2
1.4. Manfaat Penulisan ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Sapi Bali ... 3
2.2. Retensio Plasenta ... 5
2.2.1. Etiologi ... 6
2.2.2. Gejala Klinis ... 7
2.2.3. Diagnosis ... 7
2.2.4. Prognosis... 7
2.2.5. Penanganan dan Pengobatan ... 7
BAB III. MATERI DAN METODE ... 10
3.1. Desain Penulisan ... 10
3.2. Lokasi dan Waktu... 10
3.3. Alat dan Bahan ... 10
3.4. Analisis Data ... 10
3.5. Ruang Lingkup Penulisan ... 11
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12
4.1. Hasil... 12
4.1.1. Signalment ... 12
4.1.2. Anamnesis ... 12
4.1.3. Pemeriksaan fisik ... 12
4.1.4. Diagnosis ... 13
4.1.5. Penanganan dan Pengobatan ... 13
4.2. Pembahasan ... 14
4.2.1. Penyebab Kejadian Retensio Plasenta ... 14
4.2.2. Ketepatan Diagnosis ... 15
4.2.3. Ketepatan Penanganan dan Pengobatan ... 15
BAB V. PENUTUP ... 19
5.1. Kesimpulan ... 19
5.2. Saran ... 19
DAFTAR PUSTAKA ... 20
ix DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persyaratan Konsentrat Sapi Potong ... 5
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Sapi Bali ... 4
Gambar 2. Ikatan antara kotiledon dan karunkula ... 6
Gambar 3. Teknik Pengeluaran plasenta dengan manual removal... 8
Gambar 4. Plasenta yang menggantung pada vulva induk ... 13
Gambar 5. Penanganan retensio plasenta dengan manual removal ... 14
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sapi Bali merupakan bangsa sapi asli Indonesia memiliki keunggulan berupa kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi. Sapi Bali adalah plasma nutfah yang sangat potensial dan merupakan komoditas andalan yang dapat menambah aset nasional. Sapi Bali merupakan ternak sapi yang mempunyai konstribusi yang cukup besar dalam pemenuhan daging di Indonesia. Peran sapi Bali yang cukup besar dalam pemenuhan daging di Indonesia dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas dan pengelolaan sapi asli Indonesia termasuk sapi Bali.
Hafizuddin et al. (2013) menjelaskan bahwa keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi.
Kabupaten Sinjai merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan populasi sapi yang cukup besar, termasuk di antaranya ras sapi Bali yang merupakan hewan penghasil daging. Arief (2013) mengemukakan bahwa Kabupaten Sinjai merupakan salah satu daerah pemasok sapi potong di Sulawesi Selatan yang memiliki populasi terbesar ketiga sesuai hasil PSPK2011. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan populasi sapi potong di Kabupaten Sinjai pada tahun 2015 mencapai 97.638 ekor yang tersebar di berbagai kecamatan. Kecamatan Sinjai Barat merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sinjai yang memiliki banyak peternakan rakyat dengan populasi sapi yang cukup banyak dan tersebar luas sehingga kesehatan hewan termasuk kesehatan reproduksinya sangat penting untuk diperhatikan karena populasi hewan sangat ditentukan oleh kesehatan reproduksinya.
Kondisi sapi di usaha peternakan rakyat secara umum masih sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi. Salah satu kasus gangguan reproduksi pada sapi adalah retensio plasenta. Hardjopranjoto (1995) dan Ilham (2004) menjelaksan bahwa retensio plasenta dapat menyebabkan terjadinya endometritis dan pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kesuburan atau infertilitas sampai pada kemajiran sehingga mengganggu kesehatan reproduksi.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan umum dari penulisan tugas akhir ini adalah memberikan uraian tentang kejadian retensio plasenta pada sapi Bali berdasarkan kasus yang dijumpai di Desa Barania, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai pada bulan Januari 2017. Adapun tujuan-tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Memberikan uraian tentang penyebab kejadian retensio plasenta pada sapi Bali.
2. Memberikan uraian tentang diagnosis dan prognosis retensio plasenta pada sapi Bali.
2 3. Memberikan uraian tentang penanganan dan pengobatan terhadap kejadian
retensio plasenta pada sapi Bali.
1.3. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab kejadian retensio plasenta pada sapi Bali?
2. Bagaimana diagnosis dan prognosis retensio plasenta pada sapi Bali?
3. Bagaimana penanganan dan pengobatan retensio plasenta pada sapi Bali?
3.1. Manfaat Penulisan
Penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penyebab, diagnosis dan prognosis, serta penanganan dan pengobatan retensio plasenta pada sapi Bali.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Bali
Sapi Bali menurut SNI (2015) merupakan rumpun asli sapi potong Indonesia yang mempunyai karakteristik bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan beradaptasi pada berbagai lingkungan di Indonesia. Sapi Bali telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 325/Kpts/OT.140/1/2010 sebagai rumpun sapi asli Indonesia dan telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Guntoro (2002) menyatakan bahwa sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan ras murni yang berasal dari Indonesia dan merupakan hasil domestikasi langsung dari banteng liar. Banteng liar tersebut masih dapat ditemui di hutan Ujung Kulon (Jawa Barat), Ujung Wetan (Jawa Timur), dan Taman Nasional Bali Barat. Ras ini dinamakan Sapi Bali karena penyebaran populasi bangsa sapi ini terdapat di Pulau Bali. Ditinjau dari sejarahnya, sapi merupakan hewan ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat petani di Bali. Sapi Bali sudah dipelihara secara turun menurun oleh masyarakat petani Bali sejak zaman dahulu. Petani memeliharanya untuk membajak sawah dan tegalan, serta menghasilkan pupuk kandang yang berguna untuk mengembalikan kesuburan tanah pertanian. Anonimous (2017) mengemukakan bahwa pada abad ke-18 sapi Bali mulai menyebar ke Lombok kemudian di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Penyebaran sapi Bali juga sudah menyebar sampai ke Australia, Filipina, dan Malaysia.
Menurut Blakely dan Bade (1992), sapi Bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Group : Taurinae Spesies : Bos sondaicus
Sapi Bali memiliki karakteristik warna bulu merah bata, namun pada jantan dewasa warna bulu berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Sebagai keturunan banteng, sapi Bali memiliki warna dan bentuk tubuh seperti banteng liar dengan ciri khas warna kaki putih dan memiliki telau, yaitu warna putih pada bagian belakang paha serta terdapat garis berwarna hitam di sepanjang
4 punggungnya. Sapi Bali tidak memiliki punuk seperti halnya banteng. Sapi Bali memiliki bentuk badan yang kompak dan dada yang dalam (Guntoro, 2002).
Gambar 1.
Sapi Bali: a.betina; b.jantan (SNI, 2015)
Sapi Bali adalah banteng yang mengalami perubahan karena cara hidupnya, dan bukan karena perkawinan silang dengan sapi jenis lainnya.
Perubahan yang sangat nampak yaitu adanya perubahan ukuran yang sedikit lebih kecil dibandingkan dengan banteng, tinggi badan, dan terutama pada bobotnya (Anonimous, 2017).
Reproduksi sapi Bali sangat baik karena sapi Bali betina sudah dapat dikawinkan pada usia 2 hingga 2,5 tahun dengan jarak melahirkan antara 12 hingga 14 bulan. Kemampuan reproduksi sapi Bali adalah terbaik di antara sapi- sapi lokal di Indonesia karena sapi Bali bisa beranak setiap tahun.
Keberhasilan pemeliharaan sapi Bali sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pakan. Pakan merupakan faktor penting dalam pemeliharaan ternak. SNI (2009) menjelaskan bahwa pakan merupakan campuran dari beberapa bahan baku pakan yang baik yag sudah lengkap maupun yang masih akan dilengkapi yang disusun secara khusus dan mengandung zat gizi yang mencukupi kebutuhan ternak untuk dapat dipergunakan sesuai dengan jenis ternaknya. Secara umum, pakan sapi adalah hijauan dan konsentrat sebagai pakan penguat. Nanda (2011) menjelaskan bahwa sapi membutuhkan pakan berupa hijauan 10% dari berat badan dan pakan tambahan berupa konsentrat 1-2% dari berat badan. Hanafi (2004) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ternak akan lebih besar bila pemberian hijauan disertai dengan pemberian konsentrat.
a b
5 Persyaratan konsentrat sapi potong menurut SNI (2009) adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Persyaratan Konsentrat Sapi Potong
No. Jenis Pakan
Kadar
air Abu Protein kasar
Lemak Kasar
Kalsium (Ca)
Phosphor (P) Maks.
(%)
Maks.
(%)
Min.
(%)
Maks.
(%) (%) (%)
1 Penggemukan 14 12 13 7 0,8-1,0 0,6-0,8
2 Induk 14 12 14 6 0,8-1,0 0,6-0,8
3 Pejantan 14 12 12 6 0,5-0,7 0,3-0,5
Sumber: SNI (2009)
Pada tabel di atas dapat terlihat adanya perbedaan kebutuhan zat di dalam konsentrat untuk sapi pejantan, induk, maupun sapi penggemukan. Kebutuhan protein kasar minimum untuk sapi induk lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan protein kasar minimum sapi penggemukan dan sapi pejantan, sedangkan kebutuhan lemak kasar maksimum untuk sapi penggemukan lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan lemak kasar maksimum sapi induk maupun pejantan. Kebutuhan kalsium dan phosphor sapi pejantan lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan kalsium dan phosphor sapi induk dan sapi penggemukan.
2.2. Retensio Plasenta
AHTCS (2011) menyatakan bahwa pada kondisi normal plasenta akan keluar dengan sendirinya dalam waktu 1 hingga 8 jam setelah partus (post-partus).
Pada kondisi yang tidak normal, dapat terjadi gangguan pengeluaran plasenta yang disebut sebagai retensio plasenta, di mana dalam waktu lebih dari 8 jam post- partus plasenta masih tertahan di dalam uterus. Ratnawati et al. (2007) menjelaskan bahwa retensio plasenta merupakan kondisi di mana selaput fetus (plasenta) tertahan di uterus lebih dari 8-12 jam setelah partus.
Retensio plasenta merupakan faktor predisposisi terjadinya endometritis karena dapat meningkatkan resiko infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus post-partus sehingga mengakibatkan peradangan (Ilham, 2004). Hal serupa juga dijelaskan oleh Hardjopranjoto (1995) yang menyatakan bahwa retensio plasenta merupakan faktor predisposisi endometritis karena kejadian retensio plasenta sering berlanjut dengan kejadian infeksi uterus. Prihatini (2011) menjelaskan bahwa retensio plasenta biasanya berlanjut dengan terjadinya infeksi di dalam uterus dan dapat menyebabkan menurunnya kesuburan atau infertiitas berupa matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau kegagalan implantasi, yaitu terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus.
6 2.2.1. Etiologi
Partodiharjo (1987) dan Hafez (2000) menjelaskan bahwa sapi memiliki tipe plasenta multipleks atau kotiledonaria yaitu sebagian plasenta maternal (karunkula) dan sebagian allantochorion (kotiledon) yang terletak berhimpitan satu sama lain untuk membentuk plasentoma. Bearden dan Fuguay (2004) menjelaskan hubungan antara kotiledon dengan karunkula mempunyai beberapa peran penting , di antaranya adalah menyalurkan zat-zat makanan dari induk ke fetus, melakukan pertukaran gas, menyalurkan sisa-sisa metabolisme dari fetus ke sistem peredaran darah induk, serta melakukan biosintesis sterol dengan Ca2+ sebagai second messenger dan proteinkinase C sehingga dihasilkan progesterone saat akhir kebuntingan melalui fetal kotiledon.
Gambar 2.
Ikatan antara kotiledon dan karunkula (Anonimous, 2013)
Yusuf (2011) mengemukakan bahwa penyebab retensio plasenta yang paling umum adalah kegagalan pelepasan villi kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Toelihere (1985) menjelaskan bahwa retensio plasenta yang disebabkan oleh gangguan pelepasan sekundinae (plasenta) yang berasal dari karunkula induk merupakan kasus yang paling sering terjadi dan dapat mencapai 98%.
AHTCS (2011) menjelaskan bahwa retensio plasenta dapat disebabkan karena distokia, kelemahan induk, kelahiran prematur atau abortus, lahir kembar, atau fetus lahir mati. Hardjopranjoto (1995) menjelaskan retensio plasenta pada sapi dapat disebabkan oleh gangguan mekanis, yaitu selaput fetus yang sudah terlepas dari dinding uterus tetapi tidak dapat terlepas dan keluar dari alat kelamin karena masuk dalam kornua uteri yang tidak bunting atau kanalis servikalis yang terlalu cepat menutup sehingga selaput fetus terjepit. Toelihere (1985) menjeaskan penyebab lain adalah induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya atoni uteri pasca melahirkan atau defisiensi hormon yang menstimulasi kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperti oksitosin atau estrogen. Atoni uteri pasca melahirkan juga bisa disebabkan oleh berbagai penyakit seperti penimbunan cairan dalam selaput fetus, torsio uteri, kembar, distokia dan kondisi patologik lainnya. Penyebab lainnya adalah avitaminosa–A karena kemungkinan besar vitamin A perlu untuk mempertahankan kesehatan dan resistensi epitel
7 uterus dan plasenta. Retensio plasenta terjadi pada 69% sapi dari suatu kelompok ternak yang diberikan makanan dengan kadar karoten yang rendah (Toilehere,1985). Yusuf (2011) mengemukakan penyebab retensio plasenta antara lain penyakit infeksius, nutrisi, manajemen kesehatan dan pemeliharaan, faktor herediter atau keturunan, faktor hormonal, kegagalan respon imun maternal, kegagalan mekanisme pemisahan kotiledon-karunkula, dan faktor-faktor lain seperti kelahiran kembar, kenaikan berat badan sapi induk, dan tingginya berat lahir pedet.
2.2.2. Gejala Klinis
Gejala yang tampak adalah adanya selaput fetus yang menggantung diluar alat kelamin (Hardjopranjoto,1995). Kadang–kadang selaput fetus tidak keluar melewati vulva tapi tetap menetap dalam uterus dan vagina. Pemeriksaan terhadap selaput fetus sebaiknya dilakukan sesudah partus untuk mengetahui apakah terjadi retensio atau tidak. Toelihere (1985) menjelaskan bahwa sekitar 75–80% sapi dengan retensio plasenta tidak menunjukkan tanda–tanda sakit, sedangan sekitar 20-25% memperlihatkan gejala–gejala metritis seperti anorexia, depresi, suhu badan tinggi, peningkatan frekuensi pulsus dan penurunan berat badan.
2.2.3. Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan adanya sekundinae yang keluar dari alat kelamin. Bila sekundinae hanya tinggal sedikit dalam alat kelamin, diagnosa dapat dilakukan dengan eksplorasi vaginal memakai tangan dengan terabanya sisa sekundinae atau kotiledon yang masih teraba licin karena masih terbungkus oleh selaput fetus. Karunkula yang sudah terbebas dari lapisan sekundinae akan teraba seperti beludru. Tidak ada sekundinae yang menggantung di luar kelamin bukan berarti tidak ada retensio sekundinarium. Sekundinae mungkin masih tersisa dan tersembunyi di dalam rongga uterus (Hardjopranjoto,1995).
2.2.4. Prognosis
Prognosis kejadian retensio plasenta didasarkan pada ada atau tidaknya kejadian komplikasi. Kejadian komplikasi dapat memperparah prognosis dan dapat menyebabkan kerugian yang bersifat ekonomis bagi peternak. Toelihere (1985) menjelaskan bahwa pada kasus retensio plasenta tanpa komplikasi, angka kematian sangat kecil dan jika ditangani dengan baik dan cepat maka kesuburan sapi yang bersangkutan tidak terganggu.
2.2.5. Penanganan dan Pengobatan
Hardjopranjoto (1995) menjelaskan bahwa pengobatan terhadap retensio plasenta tergantung oleh penyebab dan ada atau tidaknya gejala peradangan.
Pertolongan terhadap retensio plasenta ditujukan pada pengeluaran sekundinae/plasenta dari alat kelamin secepat-cepatnya dan diupayakan agar kesuburan penderita tetap baik.
8 Yusuf (2011) menjelaskan beberapa treatment dan pengobatan yang dapat dilakukan untuk penanganan retensio plasenta di antaranya adalah dengan penggunaan hormon, antibiotik, ataupun dengan manual removal.
a. Hormon
Yusuf (2011) menjelaskan bahwa hormon yang sering digunakan adalah prostaglandin dan oksitosin, namun penggunaannya bukan untuk mengeluarkan plasenta melainkan memberikan efek uterokinetik pada uterus dalam membantu pengobatan retensio plasenta akibat atonia rahim. Youngquist dan Threlfall (2007) menjelaskan bahwa oksitosin dan prostaglandin atau PGF2α tidak menyebabkan terlepasnya plasenta, namun dapat memperbaiki kinerja reproduksi pada sapi postpartum awal karena efek uterokinetik yang dihasilkan. Laven dan Peters (1999) menjelaskan bahwa hormon ini berperan dalam kontraksi uterus dan dapat efektif dalam mengobati retensio plasenta akibat atoni uterus.
b. Antibiotik
Risco dan Hernandez (2003) mengemukakan bahwa antibiotik sistemik diyakini bermanfaat dalam pengobatan kasus retensio plasenta yang disertai dengan demam. Drillich et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan antibiotik sistemik saja sama efektifnya dengan penggunaan antibiotik sistemik yang dikombinasikan dengan pengobatan intrauterine.
c. Manual Removal
Manual removal merupakan salah satu cara penanganan retensio plasenta yang telah sering dilakukan sejak lama. Manual removal adalah upaya pengeluaran plasenta dengan menarik sisa plasenta sehingga plasenta yang tertinggal di dalam uterus atau saluran reproduksi induk dapat keluar seluruhnya. Raheem et al. (2016) menjelaskan teknik pengeluaran plasenta dengan penarikan atau traksi dilakukan dengan hati-hati dan menarik sedikit demi sedikit plasenta yang menggantung pada vulva hingga seluruh bagian plasenta keluar dari uterus.
Gambar 3.
Teknik pengeluaran plasenta dengan manual removal (Anonimous, 2013)
9 Pengeluaran plasenta dengan manual removal merupakan cara penanganan yang sering diperdebatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa melepaskan plasenta dengan manual removal dapat mengganggu fertilitas. Menurut Fricke (2001), penanganan retensio plasenta dengan manual removal yang tidak sempurna dapat menjadi sumber infeksi karena banyaknya bagian dari vili kotiledon dan sisa-sisa plasenta yang masih melekat pada karunkula. Pelepasan plasenta dengan manual removal juga dapat menimbulkan trauma, hemoragi, hematom, dan thrombus vascular pada uterus, serta dapat menimbulkan infeksi pada uterus. Bolinder et al. (1988) menyatakan bahwa penanganan dengan manual removal dapat memperpanjang Calving Interval. Yusuf (2011) menyatakan bahwa bakteri patogen intrauterine ditemukan pada 100% sapi dengan retensio plasenta yang dilepas secara manual dan 37% pada sapi yang tidak diobati pada 3 minggu post-partus. Walaupun demikian, sampai saat ini praktik penanganan retensio plasenta dengan manual removal masih sering dilakukan.
10 BAB III
MATERI DAN METODE
3.1. Desain Penulisan
Desain penulisan yang dilakukan adalah desain penulisan karya ilmiah deskriptif yang memberikan gambaran atau uraian tentang penanganan kasus retensio plasenta pada sapi Bali di Desa Desa Barania Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai. Pasien merupakan seekor sapi Bali post-partus 3 hari yang didiagnosis mengalami retensio plasenta kemudian diberikan penanganan dengan manual removal dan diberikan pengobatan berupa antibiotik intrauterine dan injeksi intramuscular.
3.2. Lokasi dan Waktu
Pengambilan data serta penanganan kasus retensio plasenta di Desa Barania Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai dilaksanakan pada tanggal 9 Januari 2017.
3.3. Alat dan Bahan 3.3.1. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah sarung tangan plastik panjang, gloves, masker, wadah atau kantung plastik, stopwatch, termometer, spuit 20 ml dan jarum suntik.
3.3.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah kapas atau tampon, alkohol 70%, povidon iodine, antibiotik intrauterine bolus dan antibiotik inject.
3.4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Data deskriptif yang disajikan adalah data dan status pasien berupa signalment, anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosa, serta penanganan dan pengobatan yang dilakukan.
11 Analisis yang dilakukan adalah penyebab kejadian retensio plasenta, ketepatan diagnosa, serta ketepatan penanganan dan pengobatan yang dilakukan.
3.5. Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan tugas akhir ini dibatasi hanya pada kasus yang diperoleh di Desa Barania Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai pada tanggal 9 Januari 2017.
12 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Signalment
Nama Pemilik : Rahman
Alamat : Desa Barania, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai Nama/Nomor Hewan : -
Spesies : Sapi (Bos sondaicus)
Breed : Bali
Warna bulu/rambut : Merah bata Jenis kelamin : Betina
Umur : 6 tahun
Berat badan : 150 kg Tanda khusus : - 4.1.2. Anamnesis
Sapi Bali betina berumur 6 tahun dengan berat badan 150 kg pada 3 hari sebelumnya mengalami partus ke-4. Pedet yang dilahirkan adalah pedet Simental hasil inseminasi buatan. Sebelumnya sapi telah partus sebanyak 3 kali dengan kawin alam. Pakan yang diberikan adalah pakan hijauan berupa rumput gajah.
4.1.3. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa plasenta belum keluar seluruhnya.
Hal ini terihat dengan adanya plasenta yang menggantung di vulva. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 39oC, pulsus 76 kali/menit, frekuensi respirasi 42 kali/menit.
13 Gambar 4.
Plasenta yang menggantung pada vulva induk
4.1.4. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik. Adanya sisa plasenta yang menggantung di vulva induk setelah 3 hari post partus disertai peningkatan suhu, frekuensi respirasi serta pulsus menunjukkan kejadian retensio plasenta pada sapi.
4.1.5. Penanganan dan Pengobatan
Penanganan yang dilakukan adalah manual removal sedangkan pengobatan yang dilakukan adalah pemberian antibiotik intrauterine dan injeksi intramuscular. Manual removal adalah upaya pengeluaran plasenta dengan menarik sisa plasenta sehingga plasenta yang tertinggal di dalam uterus atau saluran reproduksi induk dapat keluar seluruhnya. Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, selanjutnya diberikan pengobatan berupa antibiotik dengan dosis tunggal. Antibiotik yang diberikan adalah Colibact (mengandung Trimethoprim 200 mg + Sulfadiazine 1000 mg) sebanyak 2 bolus yang diberikan intrauterine, serta Vet-Oxy LA (mengandung oxytetracycline 200mg/ml) sebanyak 15 ml yang diberikan melalui injeksi intramuscular.
14 Gambar 5.
Penanganan retensio plasenta dengan manual removal
4.2. Pembahasan
4.2.1. Penyebab Kejadian Retensio Plasenta
Sapi Bali betina dengan berat badan 150 kg pada 3 hari sebelumnya melahirkan pedet Simental hasil inseminasi buatan kemudian mengalami retensio plasenta. Kejadian retensio plasenta pada sapi tersebut dapat disebabkan oleh distokia karena induk sapi Bali melahirkan pedet Simental yang merupakan ras sapi berukuran besar. AHTCS (2011) menjelaskan bahwa distokia merupakan salah satu penyebab terjadinya retensio plasenta. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden distokia meningkat dengan meningkatnya berat badan anak. Jackson (2007) menjelaskan bahwa ukuran anak sapi yang lebih besar dapat menjadi penyebab distokia. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya retensio plasenta pada sapi Bali tersebut adalah nutrisi pakan. Retensio plasenta dapat terjadi karena kurangnya nutrisi pakan yang diperoleh sapi. Pakan yang diberikan hanya berupa hijauan sedangkan sapi membutuhkan asupan tambahan berupa konsentrat seperti dedak dan biji-bijian. Ermawati et al. (2011) menjelaskan bahwa kecukupan pakan baik secara kualitas maupun kuantitas akan meningkatkan produktivitas ternak. Hardjopranjoto (1995) menjelaskan bahwa
15 gangguan reproduksi di Indonesia lebih sering terletak pada kesalahan manajemen, seperti dalam pemberian pakan yang berlebih atau kekurangan, sedangkan dari pakan tersebut rendah khususnya kandungan vitamin, mineral dan energi yang dibutuhkan.
4.2.2. Ketepatan Diagnosis
AHTCS (2011) menyatakan bahwa pada kondisi normal plasenta akan keluar dengan sendirinya dalam waktu 1 hingga 8 jam setelah partus (post-partus).
Pada kondisi yang tidak normal, dapat terjadi gangguan pengeluaran plasenta di mana dalam waktu lebih dari 8 jam post-partus plasenta masih tertahan di dalam uterus. Ratnawati et al. (2007) menjelaskan bahwa retensio plasenta merupakan kondisi di mana selaput fetus (plasenta) tertahan di uterus lebih dari 8-12 jam setelah partus. Sehingga apabila ditemukan kejadian plasenta masih tertahan di dalam uterus dalam waktu 3 hari setelah partus maka kejadian ini disebut sebagai retensio plasenta. Adanya peningkatan suhu tubuh disertai peningkatan frekuensi pulsus merupakan gejala sakit (Toelihere, 1985) yang mungkin mengarah pada kejadian infeksi akibat retensio plasenta.
4.2.3. Ketepatan Penanganan dan Pengobatan
Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh disertai peningkatan frekuensi pulsus sehingga ada dugaan terjadinya infeksi sekunder akibat kejadian retensio plasenta. Infeksi sekunder dapat saja terjadi karena kejadian retensio plasenta yang tidak tertangani selama 3 hari dapat memicu berkembangnya bakteri di saluran reproduksi induk. Oleh karena itu, dibutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan plasenta sebagai agen penyebab infeksi perlu untuk dikeluarkan. Penanganan dengan manual removal dilakukan untuk mengeluarkan plasenta yang masih tertinggal sesegera mungkin agar tidak terjadi infeksi yang lebih lanjut sehingga dapat menyebabkan infertilitas pada induk.
Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa retensio plasenta merupakan faktor predisposisi endometritis karena kejadian retensio plasenta sering berlanjut dengan kejadian infeksi uterus.
a. Manual Removal
Melepaskan plasenta secara manual merupakan salah satu cara penanganan retensio plasenta yang telah sering dilakukan sejak lama. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa melepaskan plasenta dengan manual removal dapat mengganggu fertilitas. Menurut Fricke (2001), penanganan retensio plasenta dengan manual removal yang tidak sempurna dapat menjadi sumber infeksi karena banyaknya bagian dari vili kotiledon dan sisa-sisa plasenta yang masih melekat pada karunkula. Pelepasan plasenta dengan manual removal juga dapat menimbulkan trauma, hemoragi, hematom, dan thrombus vascular pada uterus, serta dapat menimbulkan infeksi pada uterus. Bolinder et al. (1988) menyatakan bahwa penanganan dengan manual removal dapat memperpanjang Calving Interval. Yusuf (2011) menyatakan bahwa bakteri patogen intrauterine ditemukan
16 pada 100% sapi dengan retensio plasenta yang dilepas secara manual dan 37%
pada sapi yang tidak diobati pada 3 minggu post-partus.Walaupun demikian, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa penanganan dengan manual removal menghasilkan efek yang baik (Drillich et al., 2006).
b. Antibiotik
Antibiotik yang digunakan pada kasus retensio plasenta ini adalah Colibact bolus yang mengandung antibiotik trimethoprim + sulfadiazine dan Vet-Oxy LA yang mengandung antibiotik oxytetracycline. Colibact bolus diberikan melalui intrauterine sedangkan Vet-Oxy LA diberikan melalui injeksi intramuscular.
Colibact bolus merupakan kombinasi antibiotik trimethoprim dan sulfadiazine yang efektif terhadap bakeri gram positif maupun gram negatif dan bekerja dengan cara mengganggu sintesis/pembentukan asam folat bakteri.
Colibact bolus diindikasikan untuk melindungi uterus terhadap infeksi bakteri penyebab endometritis, metritis, dan pyometra pada sapi, babi, dan ruminansia kecil akibat dari retensio secundinae, abortus, prolapsus uteri, operasi caesaria, proses kelahiran (partus), mengobati penyakit saluran reproduksi, kemih, pencernaan, dan pernapasan, serta pengobatan pada hewan nonruminansia seperti calf-diarrhea, penyakit respirasi, infeksi urogenital, infeksi intestinal, dan pneumonia. Dosis trimethoprim + sulfadiazine pada sapi menurut Papich (2011) adalah 16mg/kg berat badan sehingga dosis pemberiannya dapat dihitung sebagai berikut:
Nama paten obat : Colibact
Kandungan : Trimethoprim + Sulfadiazine Golongan Obat : Antibiotik
Dosis sediaan : 200 mg Trimethoprim + 1000 mg Sulfadiazine = 1200 mg Trimethoprim + Sulfadiazine per bolus Dosis Anjuran : 16 mg/kgBB (intrauterine)
Dosis pemberian : Dosis anjuran X Berat badan pasien Dosis sediaan
16 mg/kgBB X 150 kgBB 1200mg/bolus
2 bolus
Colibact mengandung kombinasi antibiotik trimethoprim dan sulfadiazine yang digunakan khusus di bidang kedokteran hewan (Papich, 2011) dan bekerja dengan cara mengganggu sintesis/pembentukan asam folat bakteri. Sulfadiazine yang termasuk dalam golongan sulfonamida merupakan inhibitor kompetitif dari sintesis dihidrofolat. Pratomo dan Aditya (2015) menjelaskan bahwa sulfonamida mempunyai struktur yang mirip dengan asam para aminobenzoat (PABA), suatu asam yang diperlukan untuk biosintesis koenzim asam dihidropteroat dalam tubuh bakteri atau protozoa. Karena strukturnya mirip asam para aminobenzoat (PABA), sulfonamida berkompetisi dengan subsrat ini dalam proses biosintesis asam dihidropteroat, sehingga melindungi sintesis asam folat dan pembentukan karbonnya yang membawa kofaktor. Hal ini menghilangkan kofaktor esensial sel
17 terhadap purin, pirimidin dan sintesis asam amino. Papich (2011) menjelaskan bahwa sulfonamida bekerja sinergis dengan trimetoprim. Trimetoprim menghambat enzim dihydrofolate reduktase. Bila digunakan dalam kombinasi, obat ini memiliki spektrum aktivitas yang luas terhadap infeksi bakteri gram negatif dan gram positif.
Vet-Oxy LA merupakan antibiotik injeksi berspektrum luas dengan formula khusus long acting (LA). Setiap ml Vet-Oxy LA mengandung oxytetracycline 200mg. Dosis Vet-Oxy LA yang dianjurkan pada hewan sapi, kerbau, dan kuda adalah 5 ml per 50kg berat badan yang diberikan secara intramuscular. Dosis oxytetracycline dengan mekanisme long acting (LA) pada sapi menurut Papich (2011) adalah 20mg/kg berat badan diberikan secara intramuscular sehingga dosis pemberiannya dapat dihitung sebagai berikut:
Nama paten obat : Vet-Oxy LA Kandungan : oxytetracycline Golongan Obat : Antibiotik Dosis sediaan : 200 mg/ml
Dosis Anjuran : 20mg/kgBB (intramuscular, dosis tunggal) Dosis pemberian : Dosis anjuran X Berat badan pasien
Dosis sediaan 20mg/kgBB X 150 kgBB
200mg/ml 15 ml
Vet-Oxy LA mengandung antibiotik oxytetracycline yang bersifat bakteriostatik dengan cara menghambat sintesis protein bakteri. Oxytetracycline aktif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Wiijayanti et al.
(2010) menjelaskan oxytetracycline berspektrum luas dengan mekanisme aksi menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom 30s. Papich (2011) menjelaskan penggunaan oxytetracycline yang bersifat long acting hanya dilakukan melalui rute pemberian intramuscular.
Berbagai referensi kasus penanganan retensio plasenta mendukung pengobatan dengan menggunakan antibiotik, baik berupa antibiotik melalui rute pemberian intrauterine maupun antibiotik dengan rute injeksi intramuscular yang bersifat short acting ataupun long acting. Abdullah et al. (2016) melaporkan pengobatan kasus retensio plasenta pada sapi dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik oxytetracycline yang diberikan melalui rute pemberian intrauterine dan oxytetracycline long acting yang diberikan melalui rute injeksi intramuscular dengan dosis masing-masing 20 mg/kg berat badan. Raheem et al. (2016) melaporkan pengobatan kasus retensio plasenta pada sapi dilakukan dengan menggunakan antibiotik oxytetracycline long acting melalui rute injeksi intramuscular dengan dosis 20mg/kg berat badan, dan pada kasus yang serupa diberikan pengobatan berupa antibiotik Penstrep (penicillin+streptomycin) melalui rute injeksi intramuscular yang bersifat short acting dengan dosis 1ml/20kg berat badan selama 5 hari. Drillich et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan
18 antibiotik sistemik saja sama efektifnya dengan penggunaan antibiotik sistemik yang dikombinasikan dengan pengobatan intrauterine, sehingga pengobatan dengan antibiotik yang dilakukan pada kasus ini dianggap sudah tepat, baik dari segi dosis maupun rute pemberian.
19 BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Retensio plasenta merupakan gangguan pengeluaran plasenta di mana terjadi kegagalan pelepasan villi kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal lebih dari 8 jam post-partus.
Retensio plasenta dapat disebabkan oleh distokia, kelemahan induk, kelahiran prematur atau abortus, avitaminosa–A, penyakit infeksius, nutrisi, manajemen kesehatan dan pemeliharaan, faktor herediter atau keturunan, faktor hormonal, kegagalan respon imun maternal, kegagalan mekanisme pemisahan kotiledon-karunkula, kelahiran kembar, kenaikan berat badan sapi induk, dan tingginya berat lahir pedet.
Diagnosis retensio plasenta didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Adanya plasenta yang masih tertinggal di uterus lebih dari 8 jam post-partus menunjukkan kejadian retensio plasenta.
Prognosis kejadian retensio plasenta didasarkan pada ada atau tidaknya komplikasi atapun infeksi sekunder.
Penanganan retensio plasenta dengan manual removal telah sering dilakukan namun penanganan yang kurang tepat dapat menimbulkan resiko trauma, hemoragi, hematom, dan thrombus vascular pada uterus, serta dapat menimbulkan infeksi pada uterus.
Pengobatan retensio plasenta yang memiliki resiko infeksi dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik oxytetracycline melalui injeksi intramuscular dan bolus dengan kombinasi antibiotik trimethoprim dan sulfadiazine melalui intrauterine dengan dosis yang tepat.
5.2. Saran
Gangguan reproduksi pada sapi merupakan masalah yang memerlukan usaha dan penanganan yang serius karena kesehatan reproduksi sapi sangat menentukan kebarhasilan reproduksinya.
Nutrisi merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam usaha peternakan.
Kejadian retensio plasenta harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin.
Penanganan retensio plasenta dengan penarikan paksa atau manual removal sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan resiko trauma dan infeksi pada uterus serta dapat memperpanjang Calving Interval.
20 DAFTAR PUSTAKA
Abdullah FFJ, ELT Chung, Y Abba, et al. 2016. A Case of Retained Placenta in a Dairy Cow. Livestock Research International Vol.4(4):125-127.
[AHTCS] Animal Health Training and Consultancy Service. 2011. Village Animal Health Worker Training Text and Medicine Guide. United State America: Christian Veterinary Mission.
Anonimous. 2013. Retention of Placenta 3D Animation made by Genius Infotech [internet] https://www.youtube.com/watch?v=vjXM5ciRk8A. Diakses pada tanggal 30 September 2017.
Anonimous. 2017. Sapi Bali Ternak Dengan 3 Langkah Mudah [internet]
http://erakini.com/sapi-bali/ Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017.
Arief Y. 2013. Potensi Ekonomi Daerah Bidang Peternakan [internet]
http://www.sinjaikab.go.id/v2/index.php?option=com_content&view=art icle&id=388:potensi-ekonomi-daerah-bidang-peternakan& catid=101&
Itemid=545. Diakses pada tanggal 5 November 2017.
Bearden HJ, WJ Fuguay. 2004. Applied Animal Reproduction. 6th Edition. Baiere Tindall.
Blakely J, DH Bade. 1992. Pengantar Ilmu Peternakan. Penerjemah: B.
Srigandono. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press.
Bolinder A, B Seguin and H Kindahl, 1988. Retained Fetal Membranes in Cows:
Manual Removal Versus Non Removal and Its Effect on Reproductive Performance. Theriogenology Vol.l3:45–56.
Drillich M, M Mahistedt, U Reichert, et al. 2006. Strategies to Improve the Therapy of Retained Fetal Membranes in Dairy Cows. J Dairy Sci Vol.89:627–635.
Ermawati Y, B Utomo, Subiharta. 2011. Pengaruh Perbaikan Kualitas Pakan pada Induk Sapi Potong Menyusui terhadap Pertambahan Bobot Badan.
Semarang: Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani.
Fricke, PM. 2001. Review: Twinning in Dairy cattle. Prof Anim Sci Vol.17:61-67.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.
21 Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals, 7 Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Hafizuddin, Jailani, Yusmadi, Suryani. 2013. Evaluasi Pemberian Oksitosin pada Sapi Lokal terhadap Onset Berahi dan Intensitas Berahi Pascapartus.
Jurnal Ilmiah Peternakan Vol.1(1): 49-52.
Hanafi, N.D. 2004. Perlakuan Silase dan Amoniasi Daun Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Pakan Domba [skripsi]. Medan(ID): Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Sumatera Utara.
Hardjopranjoto, HS. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Ilham, SW. 2004. Hubungan Antara Retensio Sekundinae dan Endometritis pada Sapi Perah (Studi Kasus di Wilayah Koperasi Peternak Sapi Perah (KPS) Gunung Gede, Sukabumi, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor(ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Jackson, PGG. 2007. Handbook Obstetri Veteriner, Edisi Kedua. Terjemahan dari:
Handbook of Veterinary Obstetrics, Second Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jaenudeen MR, ESE Hafez. 1987. Reproductive cycles: Cattle and Water Buffalo.
In: Hafez, ESE (ed.) Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Philadelphia:
Lea and Febiger.
Laven RA, AR Peters. 1996. Bovine Retained Placenta: Etiology, Pathogenesis and Economic Loss. Veterinary Record 139: 465-471.
Nanda, DD. 2011. Konsumsi Ransum dan Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali yang Diberi Silase Daun Pelepah Kelapa Sawit sebagai Substitusi Rumput Gajah [skripsi]. Pekanbaru(ID): Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Papich, MG. 2011. Saunders Handbook of Veterinary Drugs Third Edition Small and Large Animal. Elsevier Saunders.
Partodiharjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Sumber Daya.
Pratomo J, N Aditya. 2015. Antibiotik Sulfonamida [internet]
https://dokumen.tips/documents/antibiotik-sulfonamida.html.
Diaksespada tanggal 5 November 2017.
22 Prihatini, R. 2011. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat [skripsi].
Bogor(ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Raheem KA, NVS Uchechukwu , E Odirichukwu, O Onyegbulam. 2016. Placenta retention in the cow: Report of three cases. Sokoto Journal of Veterinary Sciences Vol.14(2):72-76.
Ratnawati D, Wulan CP, Lukman AS. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pasuruan: Loka Penelitian Sapi Potong Grati.
Risco CA, J Hernandez. 2003. Comparison of Ceftiofur Hydrochloride and Estradiol Cypionate for Metritis Prevention in Dairy Cows.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Pakan Konsentrat – Bagian 2: Sapi Potong. Badan Standardisasi Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2015. Bibit Sapi Potong – Bagian 4: Bali.
Badan Standardisasi Nasional.
Toelihere. MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.
Wijayanti AD, L Hakim, I widiyono, T Irianti. 2010. Penentuan Efektifitas Oksitetrasiklin Melalui Parameter Farmakokinetik/farmakodinamik pada Plasma dan Jaringan Ayam Broiler. Jurnal Veteriner Vol.11(2):119-125.
Youngquist RS, WR Threlfall. 2007. Current Therapy in Large Animal Theriogenology, 2nd edition. USA: Saunders, and Imprint of Elsevier Inc.
Yusuf, JJ. 2011. A Review on Retention of Placenta in Dairy Cattles. International Journal of Veterinary Science Vol.5(4):200-207.
23
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Januari 1993 di Ujung Pandang (Makassar). Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari ayahanda Ir. H. Andi Noor Zaelan dan ibunda drg. Hj. Ihyana Malik. Penulis memperoleh pendidikan di SD Inpres 234 Takalar pada tahun 1997-1999, SD Inpres Mallengkeri Makassar pada tahun 1999-2000, SDN 01 Centre Takalar pada tahun 2000-2004, SMPN 2 Takalar pada tahun 2004-2007, dan SMAN 17 Makassar pada tahun 2007-2010. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada tahun 2010-2015. Penulis aktif berpartisipasi dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH menjabat sebagai Koordinator Divisi Kesekretariatan periode 2011-2012. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) selama masa perkuliahan. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tahun 2016 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2017.