• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA SAPI PERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA SAPI PERAH"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN

ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA

SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi

Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat

RISTA PRIHATINI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang” adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011 Rista Prihatini NIM B04063318

(3)

ABSTRAK

RISTA PRIHATINI. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat. Dibimbing oleh YUDI dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara retensio sekundinae dan endometritis dengan efisiensi reproduksi yaitu conception rate (CR) dan service per conception (S/C) pada sapi perah. Penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, Jawa Barat. Data retensio sekundinae, endometritis, dan efisiensi reproduksi selama tahun 2007-2009 diperoleh dari KPSBU Lembang dan data curah hujan selama tahun 2007-2009 diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, Jawa Barat. Data direkapitulasi dan dianalisis secara deskriptif dan korelasi. Koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) dianalisis menggunakan Minitab versi 14. Koefisien korelasi (r) digunakan untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel, sedangkan koefisien determinan (r2%) untuk mengetahui presentase pengaruh hubungan diatara variabel. Hasil menunjukkan bahwa retensio sekundinae berkorelasi dengan endometritis (r = 0.013), CR (r = 0.279), S/C (r = -0.119), dan curah hujan (r = 0.235). Endometritis berkorelasi dengan CR (r = 0.264), S/C (r = -0.159), dan curah hujan (r = -0.198). Curah hujan berkorelasi dengan efisiensi reproduksi (CR) (r = 0.103) dan (S/C) (r = -0.222). Retensio plasenta dapat mempengaruhi 0.017% endometritis, 7.78% CR, 1.42% S/C, dan dipengaruhi oleh 5.52% curah hujan. Endometritis dapat mempengaruhi 6.97% CR, 2.53% S/C, dan dipengaruhi oleh 3.92% curah hujan. Curah hujan mempengaruhi efisiensi reproduksi 1.06% CR dan 4.93% S/C. Di KPSBU Lembang, retensio plasenta, endometritis, dan curah hujan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi CR dan S/C.

(4)

ABSTRACT

RISTA PRIHATINI. Retained Placenta and Endometritis in Correlation with Reproduction Efficiency in Dairy Cows: A Study Case in Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, West Java. Under direction of YUDI and LIGAYA ITA TUMBELAKA.

This study aims to explore the relationship between retained placenta and endometritis with reproduction efficiency i.e. conception rate (CR) and service per conception (S/C) in dairy cows. The study was conducted at Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, and Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dramaga Bogor Station, West Java. Data of retained placenta, endometritis cases, and reproduction efficiency during 2007-2009 were collected from KPSBU Lembang, and data of rainfall during 2007-2009 were compiled from BMKG Dramaga Bogor Station, West Java. Descriptive and correlation analysis were applied in data processing. Correlation coefficient (r) and determination coefficient (r2%) were tested using Minitab version 14 to respectively show degree of relationship and influence between variables. The result shows that retained placenta has correlation with endometritis (r=0.013), CR (r = 0.279), S/C (r=-0.119), and rainfall (r=0.235). Endometritis is correlated with CR (r=0.264), S/C (r=-0.159), and rainfall (r=-0.198). The rainfall has correlation with reproduction efficiency (CR) (r=0.103) and (S/C) (r=-0.222). Retained placenta explains 0.017% of endometritis, 7.78% of CR, 1.42% of S/C, and 5.52% of rainfall. Endometritis illustrates 6.97% of CR, 2.53% of S/C, and 3.92 of rainfall. Rainfall clarifies reproduction efficiency 1.06% of CR and 4.93% of S/C. Thus, retained placenta, endometritis, and rainfall are factors influencing CR and S/C.

(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(6)

HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN

ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA

SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi

Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat

RISTA PRIHATINI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(7)

Judul Skripsi : Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat

Nama : Rista Prihatini

NRP : B04063318

Disetujui,

drh. Yudi, M. Si. Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M. Sc.

Ketua Anggota

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tugas akhir (skripsi) dengan baik. Skripsi ini berjudul “Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. drh. Yudi, M. Si. dan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M. Sc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing penulis dalam melakukan penelitian hingga menyelesaikan skripsi ini.

2. drh. Yusuf Ridwan, M. Si. dan drh. Savitri Novelina, M. Si. sebagai dosen penguji yang telah memberikan koreksi demi kesempurnaan skripsi ini. 3. drh. Yudi, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik.

4. Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat atas segala bantuannya.

5. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor atas segala bantuannya.

6. Keluarga (Bapak, Ibu, Adik, Kakek, Nenek) dan saudara di rumah atas semangat dan do’anya

.

7. Puguh Santoso, Vivi, Lina, Yoga, Moy, Igit, Sifa, Vita, Hadi, Damas, Intan, David, dan seluruh anggota Omda Mahagiri, Aesculapius 43, dan keluarga Irafan atas kebersamaannya

.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2011 Rista Prihatini

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rista Prihatini, merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Sukino dan Supatmi. Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 19 April 1988. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Sukodono 1 pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Donorojo, Kabupaten Pacitan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Wonogiri dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah satu tahun melewati Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima di mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan intra kampus Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) dan menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah “Mahagiri”, kabupaten Wonogiri.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ... ... Latar Belakang ... 1 Tujuan dan Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA .. ...

Deskripsi Sapi Perah ... Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia ... Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah ...

Pemberian Pakan ... Perkandangan ... Pemeliharaan Kesehatan ... Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah ...

Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah ... MATERI DAN METODE ...

Tempat dan Waktu ... Materi dan Metode ... Analisis Data ... HASIL DAN PEMBAHASAN ... Gambaran Umum KPSBU Lembang... Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis ... Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi ... Hubungan Retensio Sekundinae dengan Curah Hujan ... Hubungan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi ... Hubungan Endometritis dengan Curah Hujan ... Hubungan Efisiensi Reproduksi dengan Curah Hujan ... SIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... iv v vi 1 1 2 4 4 5 7 7 8 9 10 12 15 15 15 15 17 17 18 21 23 24 27 29 32 33 36

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1

2

Ciri utama beberapa bangsa sapi perah……….. Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) antara retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, dan curah hujan di KPSBU Lembang………...………

4

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 2 3 4 5 6 7

Contoh beberapa bangsa sapi perah ………... Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 ……… Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………. Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………... Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009……… Frekuensi kejadian endometritis dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………. Nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………...

5 19 22 24 26 28 30

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1

2

3

Data kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………. Data efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………. Data curah hujan daerah Lembang, Bandung selama tahun 2007-2009……….

37

37

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi merupakan salah satu hewan ternak sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit di dunia (Bappenas 2000). Peternakan sapi perah merupakan salah satu bentuk usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan dapat menghasilkan produk pangan berupa protein hewani, terutama susu dan daging. Kebutuhan susu dan daging di Indonesia sangat besar seiring bertambah pesatnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai sekitar 225 juta orang dengan konsumsi susu 55 gelas (setara dengan 10 liter)/kapita/tahun. Kebutuhan susu nasional saat ini adalah sekitar 6.4 juta liter/hari. Produksi susu nasional saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 23.45% kebutuhan susu nasional, sehingga sisanya 76.55% masih impor (Unjianto 2010).

Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi dan produksi susu sapi perah. Peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan jenis peternakan rakyat, berskala kecil, dan masih merujuk pada sistem pemeliharaan konvensional. Masih banyak permasalahan yang timbul dalam peternakan seperti permasalahan pakan dan kesehatan, khususnya gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi berdampak pada rendahnya fertilitas induk, sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet menurun atau dengan kata lain efisiensi reproduksi menurun. Akibat dari semua itu adalah lambatnya pertambahan populasi sapi perah dan produksi susu nasional. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi perah di antaranya adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007). Sebagai contoh, kejadian retensio sekundinae dan endometritis adalah 32.95% dan 19.89% dari total kasus reproduksi di KPS Gunung Gede, Jawa Barat pada tahun 2003 (Ilham 2004). Sedangkan abortus terjadi sekitar 2.96% (83 kasus) dari total kasus reproduksi di PT Taurus Dairy Farm, Jawa Barat selama tahun 1995-1999 (Harila 2001).

(15)

2

Retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Ilham 2004). Lingkungan uterus yang kotor, ditambah dengan penanganan postpartus yang buruk mengakibatkan proses involusi kurang berjalan dengan sempurna. Sehingga pada saat dikawinkan mengakibatkan angka efisiensi reproduksi yang rendah.

Beberapa parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI) (Hardjopranjoto 1995). CR merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, dan nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). S/C merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1.0. CI merupakan jarak antara kelahiran ke kelahiran berikutnya, dan nilai CI yang ideal adalah 12 bulan (Jainudeen & Hafez 2000a).

Gangguan reproduksi dan hubungannya dengan penurunan tingkat efisiensi reproduksi yang terjadi perlu dicermati sepanjang musim berkaitan dengan perubahan musim di Indonesia. Hal ini karena musim hujan dengan sanitasi lingkungan yang buruk, penanganan penyakit, dan keadaan ternak yang kurang baik dapat meningkatkan keparahan penyakit (Hardjopranjoto 1995). Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan gangguan reproduksi (Manan 2002). Setiap peternakan sebaiknya mempunyai pengelolaan ternak sapi perah yang disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti pengelolaan pakan, pengelolaan kandang, dan pengelolaan kesehatan (Santosa 2004). Oleh karena itu penelitian hubungan retensio sekundinae dan endometritis dengan efisiensi reproduksi pada sapi perah dan kaitannya dengan perubahan musim perlu dilakukan.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan retensio sekundinae dan endometritis dengan efisiensi reproduksi (berdasarkan CR dan S/C) pada sapi perah berkaitan dengan musim (curah hujan) di peternakan rakyat.

(16)

3

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam melakukan tindakan antisipasi/pencegahan gangguan reproduksi melalui peningkatan pemeliharaan ternak yang baik dan upaya pengobatan terhadap gangguan-gangguan reproduksi yang dapat menurunkan efisiensi reproduksi.

(17)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Sapi Perah

Taksonomi sapi perah adalah kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos, spesies B. taurus, dan dengan nama binomial Bos taurus (Linnaeus 1758). Pada jaman pra-sejarah hanya ada dua jenis sapi di dunia, yaitu Auroch (Bos taurus) di Eropa dan Zebu (Bos indicus) di Asia, Afrika, dan India. Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, dan seluruh wilayah Asia (Bappenas 2000).

Jenis sapi dapat digolongkan menjadi sapi potong, sapi dwiguna, dan sapi perah (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi potong merupakan sapi yang dibudidayakan untuk penggemukan dan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan dagingnya. Beberapa contoh sapi potong yaitu sapi bali, ongol, madura, grati, brahman, aberden angus, dan hereford. Sapi dwiguna merupakan sapi yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan susunya dan sebagai sapi pekerja. Beberapa contoh sapi dwiguna yaitu hariana, kankrej, tharpakar, dan angoni (Williamson & Payne 1993). Sapi perah merupakan sapi yang dibudidayakan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan susunya. Beberapa jenis sapi perah yang yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi shorthorn (Gambar 1a), jersey, ayrshire (Gambar 1b), brownswiss (Gambar 1c), dan frisian holstein (Gambar 1d) (Bappenas 2000). Beberapa ciri khas dari masing-masing sapi tersebut diperlihatkan pada tabel 1.

Tabel 1 Ciri utama beberapa bangsa sapi perah

Bangsa sapi perah Ciri utama

Sapi shorthorn warna kulit merah tua sampai putih, kepala pendek dan lebar

Sapi jersey warna kulit coklat dan ekornya berwarna hitam kontras

Sapi ayrshire warna kulit merah bercampur putih atau coklat bercampur putih

Sapi brownswiss warna kulit perak hingga sawo matang dengan ekor hitam

Sapi frisian holstein warna kulit hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah dan

putih), kepala panjang, lebar, dan lurus

(18)

5

Gambar 1 Contoh beberapa bangsa sapi perah a) shorthorn, b) ayrshire, c) brownswiss, d) frisian holstein (Friend 1978)

Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia

Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pemerintahan Hindia Belanda (abad ke-19 sampai tahun 1940) dan periode pemerintah Indonesia (tahun 1950 sampai sekarang) (Hardjosworo & Levine 1987). Pada periode pemerintahan Hindia Belanda, peternakan sapi perah berbentuk perusahaan susu yang memelihara sapi perah, menghasilkan susu, dan menjualnya kepada konsumen langsung. Konsumen pada umumnya adalah orang-orang Eropa atau orang asing lainnya, karena pada masa itu penduduk Indonesia belum suka minum susu.

Periode pemerintahan Hindia Belanda dimulai sejak abad ke-19, yaitu ketika dilakukan impor milking shorthorn, ayrshire, dan jersey dari Australia, serta sapi pejantan FH dari Belanda. Pada perkembangannya, terdapat beberapa jenis sapi perah yang didatangkan di Indonesia yaitu sapi FH, hissar, ayrshire, brownswiss, guernsey, dan jersey (Blakely & Bade 1991). Sapi hissar kemampuan produksi susunya kurang baik dan hanya terdapat di Sumatra Utara. Sapi ayrshire dan jersey didatangkan dari Australia tapi kurang disukai peternak lokal sehingga kurang berkembang. Jenis-jenis sapi tersebut masih kalah unggul dibandingkan dengan sapi FH, sehingga yang terus berkembang di masyarakat

(a) (b)

(19)

6

sampai dengan sekarang adalah sapi FH (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi FH juga sangat disukai untuk tujuan produksi daging, karena ukuran badan, kecepatan pertumbuhan, dan karkasnya yang bagus (Blakely & Bade 1991). Sapi FH terkenal dengan produksi susu yang tinggi dengan kadar lemak rendah sehingga sering dimanfaatkan untuk pembuatan keju.

Pada periode pemerintahan Indonesia, selain terdapat perusahaan susu yang dimiliki oleh pribumi juga terdapat peternakan sapi perah rakyat dengan skala kepemilikan 2-3 ekor/keluarga. Jenis sapi yang biasa dipelihara masyarakat pribumi hingga sekarang adalah sapi FH. Walaupun demikian para peternak sejak jaman dulu telah melakukan perkawinan silang diantara jenis sapi, untuk mendapatkan turunan yang sesuai dengan kehendak mereka. Salah satunya, terjadi persilangan antara sapi peranakan ongole dengan sapi perah FH di Grati, Jawa Timur untuk memperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia (Bappenas 2000). Inilah yang merupakan peletakan dasar dari terbentuknya sapi Grati. Pada tahun 1950-an Jawatan Kehewanan di Grati membangun Pusat Penampungan Susu (milk centre) sehingga Grati menjadi pusat pengembangbiakan sapi perah dan menghasilkan susu sapi rakyat. Pada tahun 1956 pemerintah mengimpor sapi perah red danish dari Denmark, namun sapi tersebut tidak berkembang karena tidak sesuai dengan lingkungan di Indonesia. Pada tahun 1962 sapi FH diimpor dari Denmark sebanyak 1000 ekor, dan pada tahun 1964 dari Belanda sebanyak 1354 ekor.

Pada masa-masa tersebut beberapa peternakan sapi perah rakyat diarahkan menjadi koperasi peternakan yang dapat diandalkan secara nasional. Maka terbentuklah koperasi-koperasi sapi perah, antara lain Koperasi Peternakan dan Pemerahan Air Susu SAE (Sinau Andadani Ekonomi) di Pujon (Malang) (1962), Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan di Bandung Selatan (1967), dan Koperasi Peternakan Lembu Perah Setia Kawan di Pasuruan (1967) (Hardjosworo & Levine 1987). Koperasi-koperasi peternakan tersebut diikuti koperasi-koperasi yang lain dan berkembang sampai sekarang. Salah satunya yaitu Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971.

(20)

7

Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah

Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan yang dilakukan (Santosa 2004). Beberapa manajemen pemeliharaan sapi perah yang penting dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain adalah pengelolaan pakan, kandang, dan pemeliharaan kesehatan.

Pemberian Pakan

Pengelolaan pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara ad libitum (jumlah yang selalu tersedia) atau diberikan dalam jumlah dibatasi (Santosa 2004). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena pakan banyak terbuang dan yang tersisa menjadi busuk sehingga akan membahayakan ternak bila termakan. Cara pemberian pakan yang baik yaitu membatasi jumlah pakan namun dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan.

Sumber pakan sapi perah umumnya dibagi menjadi tiga yaitu hijauan, konsentrat, dan limbah pertanian (Santosa 2004). Sumber pakan hijauan antara lain meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput benggala (Pennisetum maximum), rumput lapangan, dan rumput signal (Brachiaria decumbens). Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai.

Jumlah pakan hijauan yang diberikan biasanya sekitar 10% sedangkan konsentrat sekitar 2% dari bobot badan sapi (Suharno & Nazaruddin 1994). Pemberian pakan dengan rasio hijauan tinggi akan menstimulasi produksi saliva dan pH tinggi, sehingga yang tinggi akan meningkatkan produksi asetat dan lemak susu. Sedangkan rasio konsentrat yang tinggi akan menurunkan produksi saliva dan meningkatkan fermentasi asam propionat, sehingga dapat menurunkan pH dan mengurangi asupan pakan karena menurunkan produksi mikroba di rumen (Kelly 2000).

(21)

8

Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Suharno & Nazaruddin 1994). Air berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus bersih, segar, jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. Kebutuhan air minum dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada bak-bak air di padang penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan.

Perkandangan

Kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan memperoleh kenyamanan (Suharno & Nazaruddin 1994). Kandang dibuat berjauhan dari rumah tinggal dan diusahakan menghadap ke arah matahari terbit. Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Selain itu, sebaiknya disediakan juga kandang pemerahan, kandang khusus untuk pejantan, dan kandang untuk pedet (Williamson & Payne 1993).

Luas kandang individu untuk pedet adalah 1.03x1.52 m dan kandang dewasa 1.83x1.22 m (Williamson & Payne 1993). Tinggi kandang 3 m, dan atap dibuat lebih tinggi sehingga ventilasi udara cukup lebar. Ventilasi berfungi untuk mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme penyakit, mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar, mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti amonia, hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002).

Bangunan kandang sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar (Suharno & Nazaruddin 1994). Lantai kandang diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak licin. Atap sebaiknya dibuat dari genting atau asbes. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember.

(22)

9

Pemeliharaan Kesehatan

Pemeliharaan kesehatan sapi sangat penting untuk diperhatikan, meliputi tindakan pencegahan terjadinya penyakit dan penanganan/pengobatan jika sudah terjadi penyakit. Manajemen kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit dapat dilakukan dalam beberapa hal, meliputi menjaga kebutuhan pakan dan minum selalu terpenuhi, sanitasi kandang dari parasit maupun mikroorganisme, memantau status kesehatan ternak, melakukan pengobatan dini, pencegahan penyakit dengan menjaga kontak dengan ternak lain yang sakit dan melakukan vaksinasi, mengkarantina hewan yang baru datang dan melalukan tes beberapa penyakit yang relevan, serta melakukan pemerahan yang baik dan benar (Andrews & Gibson 2000, Nababan 2008). Salah satu indikator untuk mengamati kesehatan sapi yaitu melalui tingkah laku sapi (Akoso 1996). Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya yang sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan.

Tindakan pengobatan dilakukan setelah timbul adanya penyakit. Tindakan pengobatan dilakukan sesuai dengan penyakit yang menyerang. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk tindakan pengobatan seperti pemberian antibiotik, antiviral, vitamin, pemberian preparat hormonal, dan lain-lain (Hardjopranjoto 1995). Aplikasi pemberian obat bisa dengan cara peroral, intramuskular, intravena, implan, dan lain-lain.

Fasilitas kesehatan sebaiknya dilengkapi dengan tempat dipping atau spraying dan kandang jepit (Santosa 2002). Tempat ini berguna untuk mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan parasit eksternal dengan cara merendam atau menyemprotkan antiparasit. Penggunaan dipping juga dilakukan terhadap puting susu setelah melakukan pemerahan pada sapi perah untuk menghindari masuknya sumber penyakit melalui puting/ambing. Kandang jepit digunakan untuk memfiksir/menjepit hewan pada saat memeriksa atau memberikan perlakuan kesehatan ternak, misalnya vaksinasi dan pengobatan.

Beberapa penyakit yang sering dijumpai pada sapi perah adalah antrak, bruselosis, septichaemia epizootica, tripanosomiasis, dan timpani (BPTP 2001). Sapi perah juga sangat rentan terkena mastitis atau peradangan ambing (Suharno & Nazaruddin 1994). Proses penanganan setelah pemerahan yang kurang baik

(23)

10

didukung faktor sanitasi lingkungan yang kurang bersih mengakibatkan banyak mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing melalui puting susu yang berkelanjutan menjadi mastitis. Pengobatan mastitis dilakukan dengan memberikan antibiotik, dan sapi mastitis diberi tanda untuk memisahkan dalam pemerahan serta susunya tidak dicampur dengan susu sapi yang lain sehingga tidak mengkontaminasi susu yang lain (Nababan 2008). Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kejadian mastitis adalah dengan melakukan sanitasi kandang dan celup ambing. Kasus lain yang sering terjadi berupa gangguan reproduksi antara lain adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007).

Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah

Proses reproduksi dimulai sejak hewan mencapai dewasa kelamin yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar tubuh. Tidak munculnya salah satu faktor dapat menyebabkan hambatan proses reproduksi sehingga dapat terjadi gangguan reproduksi (Hardjopranjoto 1995).

Gangguan reproduksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Partodihardjo 1980). Pertama, gangguan reproduksi karena faktor pengelolaan termasuk teknik inseminasi, tenaga pelaksana yang kurang terampil, kurang pakan, dan defisiensi mineral. Kedua, gangguan reproduksi karena faktor internal hewan, dalam hal ini dapat dibagi menjadi hewan jantan dan betina. Di daerah yang menerapkan perkawinan secara IB faktor pejantan dapat diabaikan, sedangkan di daerah non-IB faktor pejantan ikut mengambil peranan dalam keberhasilan reproduksi. Faktor internal dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok, antara lain karena kelainan bentuk anatomi, kelainan fungsi endokrin, dan penyakit. Ketiga, faktor-faktor lain yang bersifat aksidental (kecelakaan atau kelainan dapatan) yang pada umumnya ditemukan secara sporadis, misalnya distokia dan torsio uteri.

Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah di antaranya adalah retensio sekundinae dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007). Retensio sekundinae yaitu tertahannya plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya. Secara fisiologik selaput

(24)

11

fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan 2002). Patologi kejadian retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensio sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari kripta maternal terganggu, sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi.

Endometritis merupakan peradangan pada endometrium, dan apabila terjadi pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus disebut dengan piometra (Ratnawati et al. 2007). Patogenesa terjadinya endometritis bisa disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme langsung pada endometrium (primer) atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, yaitu betina terinfeksi dari pejantan yang menderita penyakit seperti brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri atau mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena pelaksanaan IB yang tidak lege artis, atau terbawa oleh semen. Adanya infestasi mikroorganisme tersebut mengakibatkan terjadinya peradangan pada endometrium, sehingga terjadilah endometritis (Hardjopranjoto 1995).

Retensio sekundinae biasanya berlanjut dengan terjadinya infeksi di dalam uterus, sehingga retensio sekundinae menjadi salah satu predisposisi endometritis (Hardjopranjoto 1995). Infeksi uterus postpartus yang diawali dari kejadian retensio sekundinae atau karena kelahiran yang sukar (distokia) tanpa penanganan yang baik, menyebabkan terjadinya peradangan pada uterus (endometritis) yang

(25)

12

bersifat akut. Retensio sekundinae dan atau endometritis dapat menurunkan kesuburan (infertilitas) pada penderita sampai pada kemajiran, sehingga mengganggu proses reproduksi. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Sehingga dengan adanya gangguan pada saluran reproduksi khususnya uterus akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari perkawinan. Sapi yang mengalami endometritis ringan masih dapat menunjukkan gejala birahi, namun bila dikawinkan akan gagal menjadi bunting karena terjadi kematian embrio dini. Oleh karena itu, endometritis juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kawin berulang pada sapi perah.

Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI), menurunkan nilai conception rate (CR), meningkatkan service per conception (S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran reproduksi.

Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah

Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak dalam waktu satu tahun (Niazi & Aleem 2003). Secara umum, hewan dikatakan memiliki tingkat efisiensi reproduksi yang baik jika setiap tahun dapat menghasilkan anak. Efisiensi reproduksi tercapai apabila kapasitas reproduksi sudah dimanfaatkan secara maksimum (Jainudeen & Hafez 2000b). Beberapa parameter yang umum digunakan untuk menilai efisiensi reproduksi pada sapi perah adalah conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI).

Conception rate (CR) merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). Service per conception (S/C) merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya

(26)

13

satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1 yang artinya 1 straw menghasilkan 1 kebuntingan. Calving interval (CI) merupakan jarak antara kelahiran ke kelahiran berikutnya, nilai CI yang ideal pada sapi perah adalah 12 bulan.

Kapasitas reproduksi yang tinggi disertai pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi reproduksi dan produktivitas ternak yang tinggi. Adanya gangguan reproduksi dapat menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak, seperti pertumbuhan populasi ternak yang lambat dan rendahnya produksi ternak (daging dan susu) (Hardjopranjoto 1995). Kejadian retensio sekundinae dan endometritis yang tinggi dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi. Hal ini dapat terjadi akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi infeksi uterus (endometritis) sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina.

Hubungan efisiensi reproduksi terhadap musim (curah hujan) terkait dengan menejemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak.

Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Rakhwana 2007).

Produksi ternak yang efisien setidaknya dapat dicapai melalui empat cara (Wodzicka-Tomaszewska et. al. 1991). Pertama, perbaikan sistem pemeliharaan ternak, merangsang pertumbuhan dan laktasi, kontrol penyakit, dan penerapan ekonomi pertanian. Kedua, perbaikan mutu genetika untuk menyediakan ternak yang tumbuh lebih cepat, produksi susu lebih tinggi baik kualitas maupun kuantitas, atau mempunyai banyak anak. Ketiga, mengembangkan teknologi

(27)

14

untuk memaksimalkan potensi performans reproduksi ternak jantan dan betina. Keempat, mengurangi kerugian produksi hasil ternak, terutama dengan cara perbaikan teknik atau metode pengawetan dan penyimpanannya.

(28)

15

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2010.

Materi dan Metode

Data diperoleh dari dokumen-dokumen koperasi dan rekap data kasus dari KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009. Data curah hujan tahun 2007-2009 (per wilayah dan per bulan) diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, Jawa Barat. Data dikumpulkan, direkapitulasi, kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data untuk dicari kaitan penyakit dengan efisiensi reproduksi dan musim (curah hujan). Untuk data endometritis merupakan gabungan dari data kasus endometritis dan piometra karena batasan-batasan yang diberikan di lapangan tidak jelas.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan korelasi. Analisis korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara retensio sekundinae, endometritis, efisiensi reproduksi, dan curah hujan. Analisis dilakukan untuk melihat derajat hubungan dengan menghitung nilai koefisien korelasi (r) sebagai berikut: hubungan retensio sekundinae (bulan n) dengan endometritis (bulan n+2), retensio sekundinae (bulan n) dengan efisiensi reproduksi (CR dan S/C) (bulan n+2), retensio sekundinae (bulan n) dengan curah hujan (bulan n), endometritis (bulan n+2) dengan efisiensi reproduksi (CR dan S/C) (bulan n+2), endometritis (bulan n+2) dengan curah hujan (bulan n+2), dan efisiensi reproduksi (bulan n+2) dengan curah hujan (bulan n+2). Korelasi dianalisis dengan analisis korelasi menggunakan Minitab versi 14. Nilai koefisien korelasi (r) selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai koefisien determinasi/penentu (r2) yang merupakan 100

(29)

16

r2% dari variasi yang terjadi dalam variabel tak bebas Y dapat dijelaskan oleh variabel bebas X (Sudjana 2005).

Rumus penghitungan koefisien korelasi (r) adalah

( )( )

* ( ) +* ( ) +

Sedangkan koefisien determinan (r2) adalah

( ) ( ) ( )

dan

(30)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum KPSBU Lembang

Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 22 km di sebelah utara Kota Bandung dan 4 km dari ibu kota Kecamatan Lembang. Wilayah kerja KPSBU memiliki ketinggian rata-rata 1 200 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah mayoritas andosol. Berdasarkan kondisi geografis dan topografinya, wilayah tersebut merupakan dataran tinggi. Data klimatologis rata-rata wilayah KPSBU Lembang adalah temperatur maksimal 24.6oC, temparatur minimal 13.8oC, kelembaban rata-rata 80.5%, curah hujan rata-rata 2 393 mm/tahun, evaporasi 3.4 mm/hari, dan radiasi 285 cal/cm (BMKG 2009).

KPSBU Lembang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971 dengan jumlah anggota pada saat pendirian sebanyak 35 orang. Produksi susu KPSBU Lembang pada awal pendiriannya adalah sebesar 650 liter/hari. Saat ini kegiatan usaha yang dilakukan oleh KPSBU Lembang meliputi penerimaan susu dari peternak sampai dengan penyetoran ke industri pengolahan susu (IPS), pelayanan kesehatan hewan, penyediaan hijauan pakan ternak (kerjasama dengan Perum Perhutani melakukan penanaman rumput gajah, kaliandra, dan jagung seluas 500 Ha), fermentasi jerami, pendirian warung serba ada (waserda), kredit lunak, dan pelayanan kesehatan anggota. Pelayanan kredit sapi bergulir mandiri (tanpa bunga) telah dilaksanakan sejak tahun 2006 sebanyak 40 ekor, tahun 2007 sebanyak 39 ekor, dan tahun 2008 sebanyak 40 ekor. Selain pemasaran ke IPS, koperasi juga melakukan pengolahan dan memasarkan olahan susu secara langsung ke konsumen dalam skala kecil, misalnya yoghurt dan susu pasteurisasi. Pelayanan keuangan dan perkreditan juga dilakukan dengan proses yang mudah dan cepat. Pelayanan kesehatan bagi anggota dan keluarganya dilakukan dengan pemberian kartu sehat sebanyak lima kartu untuk satu tahun.

Pelayanan kepada ternak sapi yang diberikan oleh KPSBU Lembang meliputi pelayanan teknis, seperti pelayanan kesehatan hewan, dan inseminasi buatan (keswan-IB), pelayanan potong kuku, dan pelayanan penyuluhan kepada

(31)

18

para anggota. Penyuluhan dilaksanakan dari kandang ke kandang, melalui siaran radio, melalui alat peraga, dan dengan mengadakan pendidikan dasar-dasar perkoperasian. KPSBU Lembang juga telah melaksanakan pembibitan sapi yang hasilnya dijual kepada anggota dengan harga terjangkau untuk menanggulangi kekurangan bibit sapi perah berkualitas.

Jumlah anggota KPSBU Lembang sampai akhir tahun 2009 adalah sebanyak 6 907 orang dengan produksi susu rata-rata 125 000 kg/hari. Populasi sapi perah pada tahun 2007 mencapai 16 741 ekor, kemudian mengalami penurunan sehingga pada tahun 2008 tercatat sebanyak 16 469 ekor, dan populasi sapi pada tahun 2009 meningkat kembali menjadi 19 045 ekor.

Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis

Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 2a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan kejadian endometritis (Gambar 2b) pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 sebanyak 134 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Juli sebanyak 189 kasus.

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Oktober, November, dan Desember adalah sebanyak 179, 198, dan 184 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah sebanyak 188 kasus.

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember angka kejadian endometritis yaitu 297 dan 277 kasus. Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus,

(32)

19

sedangkan pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni kejadian endometritis sebanyak 246 dan 303 kasus.

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap kejadian endometritis dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.013 (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae menyebabkan 0.017% kejadian endometritis.

Gambar 2 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada dasarnya retensio plasenta adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal (Manan 2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta, pemisahan dan

(33)

20

pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi pertautan. Sebanyak 0.3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan, dan 98% kasus karena gangguan pelepasan sekundinae dari karankula induknya (Hardjopranjoto 1995). Sebanyak 16.55% retensio sekundinae disebabkan oleh faktor pakan. Pada periode postpartus dengan defisiensi vitamin A, D, dan E serta defisiensi mineral selenium, iodin, zink, dan kalsium dapat menyebabkan retensio sekundinae (Alsic et al. 2008).

Sekitar 75-80% penderita retensio sekundinae tidak menunjukkan tanda-tanda sakit, sedangkan sekitar 20-25% memperlihatkan gejala metritis dan metritis septik seperti anoreksia, depresi, suhu badan meninggi, pulsus meningkat, produksi susu dan berat badan menurun (Manan 2002). Presentase tingginya kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya sistem manajemen kandang yang kurang baik, kurangnya exercise (latihan) pada sapi yang sedang bunting, dan kualitas pakan yang rendah (Ilham 2004).

Retensio sekundinae merupakan salah satu predisposisi terjadinya endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Hardjopranoto 1995). Hal ini bisa disebabkan karena penanganan yang tidak aseptis dan adanya infeksi bakteri dari luar yang mengakibatkan peradangan. Saat penanganan kelahiran apabila karankula terputus maka terjadi perlukaan dan dengan adanya infeksi mikroorganisme maka dapat mengakibatkan terjadinya endometritis. Pada kasus yang berat retensio sekundinae dapat disertai dengan metritis, metritis septik, perimetritis, peritonitis, vagina nekrotik, paresis puerpuralis, dan asetonemia.

Berdasarkan analisis korelasi dapat diketahui bahwa kejadian retensio sekundinae hanya menyebabkan sekitar 0.017% kejadian endometritis di KPSBU Lembang. Kejadian endometritis tidak hanya disebabkan oleh retensio sekundinae, masih banyak faktor-faktor penyebab kejadian endometritis. Beberapa penyebab endometritis meliputi infeksi mikroorganisme pada endometrium akibat penanganan postpartus yang tidak benar, perkawinan alam,

(34)

21

inseminasi buatan intrauterin, dan semen pejantan yang mungkin membawa mikroorganisme patogen (Hardjopranjoto 1995).

Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi

Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 3a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 3b) dan S/C (Gambar 3c) pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 yaitu CR (52.30%) dan S/C (1.95). Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Juli yaitu CR (28%) dan S/C (3).

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Oktober, November, dan Desember adalah CR (60.76%, 59.69%, dan 59.04%) dan S/C (1.62, 1.7, dan 1.69). Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah CR (52.85%) dan S/C (1.86).

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (56.66% dan 58.47%) dan S/C (1.75 dan 1.72). Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni yaitu CR (50.39% dan 50.73%) dan S/C (1.94 dan 1,99). Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap CR (r = 0.279) dan S/C (r = -0.119) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae mempengaruhi 7.78% CR dan 1.42 S/C.

(35)

22

Tingginya kejadian retensio sekundinae dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Hardjopranoto 1995). Hal ini dapat terjadi akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi infeksi uterus sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina. Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI), menurunkan nilai conception rate (CR), meningkatkan service per conception (S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran reproduksi. Penurunan fertilitas mempengaruhi tingkat keberhasilan IB menjadi menurun, sehingga jumlah kebuntingan menurun, dan jumlah anakan yang dihasilkan juga menurun.

Gambar 3 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada grafik bulan Agustus nilai CR sangat rendah dan nilai S/C sangat tinggi. Hal ini diduga pada KPSBU Lembang nilai CR sangat rendah karena pada

(36)

23

saat itu banyak IB yang gagal, ketrampilan petugas IB yang kurang, dan deteksi estrus yang kurang tepat. Sehingga banyak terjadi kegagalan perkawinan yang dapat menurunkan nilai efisiensi reproduksi (Peters & Ball 1986, Jainudeen & Hafez 2000a).

Hubungan Retensio Sekundinae dengan Curah Hujan

Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 4a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan jumlah curah hujan (Gambar 4b) pada bulan tersebut sebanyak 361/mm/bulan. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut sebanyak 72/mm/bulan.

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut adalah sebanyak 54, 54, dan 176/mm/bulan. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut sebanyak 129/mm/bulan.

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan yaitu 11, 154, dan 301/mm/bulan. Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus, sedangkan pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan sebanyak 418 dan 196/mm/bulan.

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap curah hujan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.085 (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa 0.72% retensio sekundinae dipengaruhi oleh curah hujan.

Hubungan retensio sekundinae dengan curah hujan terkait dengan sanitasi lingkungan. Lingkungan yang buruk dengan sanitasi kandang yang buruk dapat

(37)

24

meningkatkan kejadian retensio sekundinae. Pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi, kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi mendukung mikroorganisme untuk berkembang baik. Sehingga infeksi mikroorganisme dapat menyerang sapi khususnya pada saluran reproduksi (Hardjopranjoto 1995). Kondisi lingkungan yang buruk dapat menurunkan ketahanan tubuh ternak. Meskipun pakan tercukupi namun ketahanan tubuh menurun dapat meningkatkan tingkat kesakitan. Sementara itu, pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah, banyak rumput yang tua, berkualitas buruk, dan dalam jumlah yang kurang. Hal ini bisa membuat ternak kekurangan pakan, menimbulkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun dan dapat meningkatkan kesakitan.

Gambar 4 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Hubungan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi

Kejadian endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian endometritis (Gambar 5a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Juli yaitu sebanyak 189 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 5b) dan S/C (Gambar 5c) pada bulan

(38)

25

tersebut yaitu CR (28%) dan S/C (3). Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 117 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan tersebut yaitu CR (40%) dan S/C (2.1).

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian endometritis terjadi peningkatan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 201 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan tersebut adalah CR (60.04%) dan S/C (1.65). Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Januari dan Februari yaitu sebanyak 138 dan 134 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan-bulan tersebut adalah CR (47.59% dan 52.30%) dan S/C (1.94 dan 1.95).

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus endometritis selama bulan Juni, Juli, dan Agustus yaitu masing-masing sebanyak 303, 301, dan 307 kasus. Pada bulan-bulan tersebut nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (50.73%, 55.29%, dan 60.57%) dan S/C (1.99, 1.8, dan 1.68). Penurunan kejadian endometritis terjadi pada bulan Februari, Maret dan April yaitu sebanyak 151, 165, dan 167 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan-bulan tersebut yaitu CR (50.45%, 52.18%, dan 51.85%) dan S/C (2.02, 1.92, dan 1.92).

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian endometritis berkorelasi terhadap CR (r = 0.264) dan S/C (r = -0.159) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa endometritis mempengaruhi 6.97% CR dan 2.53% S/C.

Endometritis merupakan peradangan pada endometrium (Ratnawati et al. 2007). Salah satu penyebab terjadinya endometritis adalah jumlah mikroorganisme yang tinggi, seperti bakteri, virus, fungi dan protozoa (dapat dilihat dari pengamatan mikroskopik kultur uteri). Organisme yang paling sering menginfeksi adalah bakteri dan fungi yang mengkontaminasi saat partus atau periode postpartus (Hardjopranjoto 1995). Kontaminasi bakteri lebih sering ditemukan pada periode postpartus, terjadi ketidakseimbangan antara infeksi bakteri asenden dengan antimikrobial dari dalam tubuh. Hal ini bisa mengakibatkan metritis purpural, endometritis subkilinis dan klinis, serta piometra (Foldi et al. 2006).

(39)

26

Gambar 5 Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Patogenesa terjadinya endometritis atau peradangan pada endometrium bisa disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, betina terinfeksi dari pejantan yang menderita brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri terbawa oleh alat inseminasi atau semen pejantan. Adanya infestasi mikroorganisme tersebut mengakibatkan terjadinya peradangan (Hardjopranjoto 1995). Gejalanya klinis penderita endometritis meliputi leleran lendir berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan, dan dengan palpasi uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa tampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan.

(40)

27

Endometritis dapat mempengaruhi fertilitas sapi perah. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya embrio karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Pada endometritis ringan sapi masih menunjukkan gejala birahi, namun apabila dikawinkan sering terjadi kegagalan, sapi tidak bunting, atau terjadi abortus. Pengaruh endometritis dalam jangka pendek dapat menurunkan kesuburan, memperpanjang CI, menurunkan nilai CR, meningkatkan jumlah S/C, dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Sedangkan pengaruh endometritis dalam jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi.

Hubungan Endometritis dengan Curah Hujan

Kejadian endometritis di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian endometritis (Gambar 6a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Juli yaitu sebanyak 189 kasus, sedangkan jumlah curah hujan (Gambar 6c) pada bulan tersebut yaitu 2/mm/bulan. Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 117 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut yaitu 72/mm/bulan.

Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian endometritis terjadi peningkatan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 201 kasus. Sedangkan curah hujan pada bulan tersebut adalah 54/mm/bulan. Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Januari dan Februari yaitu sebanyak 138 dan 134 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut adalah 230 dan 129/mm/bulan.

Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus endometritis selama bulan Juni, Juli, dan Agustus yaitu masing-masing sebanyak 303, 301, dan 307 kasus. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan yaitu 55, 31, dan 1/mm/bulan. Penurunan kejadian endometritis terjadi pada bulan Februari, Maret, dan April yaitu sebanyak 151, 165, dan 167 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut yaitu 205, 418, dan 196/mm/bulan.

Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian endometritis berkorelasi terhadap curah hujan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.198 (Tabel 2).

(41)

28

Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa 3.92% endometritis dipengaruhi oleh curah hujan.

Hubungan endometritis terhadap curah hujan terkait dengan manajemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Retensio sekundinae sebagai predisposisi terjadinya endometritis juga berkontribusi terhadap terjadinya endometritis pada musim penghujan. Penanganan postpartus yang kurang baik dan tidak lege artis didukung dengan kondisi lingkungan pada musim penghujan yang buruk dapat meningkatkan terjadinya endometritis sebagai kelanjutan dari retensio sekundinae.

Gambar 6 Frekuensi kejadian endometritis dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

(42)

29

Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk (Manan 2002). Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi.

Hubungan Efisiensi Reproduksi dengan Curah Hujan

Nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 7a) dan S/C (Gambar 7b) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009 berjalan relatif fluktuatif. Pada bulan November dan Desember nilai CR adalah 46.41% dan 47.84%, sedangkan nilai S/C adalah 2.06 dan 2.01. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 456 dan 361/mm/bulan (Gambar 7c). Pada bulan Juli, Agustus, dan September nilai CR adalah 28%, 10%, dan 48.92%, sedangkan nilai S/C adalah 3, 9.9 dan 2.07. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 2, 4, dan 16/mm/bulan.

Selanjutnya pada tahun 2008, pada bulan Maret dan April nilai CR adalah 54.22% dan 52.85%, sedangkan nilai S/C adalah 1.85 dan 1.86. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 310 dan 278/mm/bulan. Pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September nilai CR adalah 61.41%, 61.41%, 60.04%, dan 58.95%, sedangkan nilai S/C adalah 1.64, 1.64, 1.65, dan 1.67. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 25, 0, 54, dan 54/mm/bulan.

Selama tahun 2009, pada bulan Februari, Maret, dan April nilai CR adalah 50.45%, 52.18%, dan 51.85%, sedangkan nilai S/C adalah 2.02, 1.92, dan 1.94. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 205, 418, dan 196/mm/bulan. Pada bulan Juli, Agustus, September 2009 nilai CR adalah 55.29%, 60.57%, dan 55.99%, sedangkan nilai adalah S/C 1.8, 1.68, dan 1.81. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 31, 1, dan 11/mm/bulan.

Analisis statistika menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi ringan terhadap CR (r = 0.103) dan S/C (r = -0.222) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa 1.06% CR dan 4.93% S/C dipengaruhi oleh curah hujan.

Hubungan gangguan reproduksi terhadap curah hujan terkait dengan manajemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002).

(43)

30

Pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah ketersediaan rumput menjadi berkurang, rumput tua, dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, dan pertumbuhan lambat. Mekanisme kerja kekurangan pakan mengakibatkan fungsi semua kelenjar tubuh menurun, hipofungsi kelenjar hipofisa anterior, sekresi hormon gonadotropin (FSH, LH) menurun, aktivitas ovarium rendah, mengakibatkan terjadinya gangguan reproduksi.

Gambar 7 Nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009

Pada musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi mempengaruhi pertumbuhan rumput yang tinggi dan kualitas yang baik (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Ternak yang sakit mengurangi tingkat

(44)

31

produktivitas termasuk kemampuan untuk kawin, bunting, dan melahirkan anak, sehingga dapat menurunkan nilai efisiensi reproduksi.

Tabel 2 Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) antara retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, dan curah hujan di KPSBU Lembang.

Retensio sekundinae r (r2%) Endometritis r (r2%) CR r (r2%) S/C r (r2%) Curah hujan r (r2%) Retensio sekundinae Endometritis 0.013 (0.017) CR 0.279 (7.78) 0.264 (6.97) S/C -0.119 (1.42) -0.159 (2.53) Curah hujan -0.085 (0.72) -0.198 (3.92) 0.103 (1.06) -0.222 (4.93)

(45)

32

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di KPSBU Lembang kejadian retensio sekundinae dapat menyebabkan 0.017% endometritis, mempengaruhi efisiensi reproduksi (7.78% CR, 1.42% S/C), dan 0.72% kejadian retensio sekundinae dipengaruhi oleh curah hujan. Kejadian endometritis dapat mempengaruhi efisiensi reproduksi (6.97% CR, 2.53% S/C) dan 3.92% kejadian endometritis dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan dapat mempengaruhi efisiensi reproduksi (1.06% CR dan 4.93% S/C). Di wilayah KPSBU Lembang retensio sekundinae, endometritis, dan curah hujan adalah merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi berdasarkan nilai CR dan S/C.

Saran

Dari hasil penelitian disarankan untuk melihat hubungan gangguan reproduksi dengan efisiensi reproduksi dan curah hujan dengan beberapa data pembanding dari tempat penelitian yang lain dan periode yang lebih panjang serta dibandingkan dengan parameter-parameter (kasus reproduksi) yang lain.

Gambar

Gambar  2  Frekuensi  kejadian  retensio  sekundinae  dan  endometritis  di  KPSBU  Lembang selama tahun 2007-2009
Gambar  3  Frekuensi  kejadian  retensio  sekundinae  dan  nilai  efisiensi  reproduksi  (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009
Gambar  4  Frekuensi  kejadian  retensio  sekundinae  dan  jumlah  curah  hujan  di  KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009
Gambar 5 Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan  S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 2 kali ulangan, faktor I adalah konsentrasi asam sitrat (0%, 3,3%, 5,3%,

Siswa tidak ada yang menjawab (C. Hal tersebut disebabkan siswa berpikir bahwa pilihan jawaban tersebut bukan jawaban yang tepat. ソ ン タン ) melakukan kesalahan karena

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai nilai estetis kesenian Sintren Retno Asih Budoyo di Desa Sidareja Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, dapat

Ada beberapa hal upaya yang dilakukan oleh guru matematika dalam meningkatkan kreatifitas belajar siswa tuna grahita, diantaranya guru sebelum memulai pelajran

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai tujuan, rencana, kegiatan, proses dan umpan balik komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh abdi dalem pada Keraton

With the algorithm, the microcontroller can calculate the speed of the motorcycle and give a warning if the speed used exceeding the maximum speed limit..

Hal ini dapat di maklumi mengingat pelabuhan Bima selain sebagai jembatan penghubung antara wilayah Barat Nusantara (Malaka, Jawa), wilayah Utara (Kalimantan,.. Makassar)

Lima besar prioritas yang diprioritaskan untuk diperbaiki adalah kemampuan supplier dalam memenuhi permintaan perusahaan yang mendesak (supplier system) yaitu 0,592,