Oleh
PIARA DONDON MUPILI NIM. 120500078
PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA
2015
Oleh
PIARA DONDON MUPILI NIM. 120500078
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya Pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA
2015
Oleh
PIARA DONDON MUPILI NIM. 120500078
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya Pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Karya Ilmiah : Kemampuan Media Ekstrak Tanaman dan Media Murashige dan Skoog (MS) Bagi Pertumbuhan Planlet Anggrek Dendrobium (Dendrobium sp).
Nama : Piara Dondon Mupili
N I M : 120500078
Program Studi : Budidaya Tanaman Perkebunan Jurusan : Manajemen Pertanian
Pembimbing, Penguji I, Penguji II,
Faradilla, SP. M.Sc Roby, SP. MP Rusmini, SP. MP NIP. 197401092000122001 NIP. 197305172005011009 NIP. 198111302008122002
Menyetujui, Mengesahkan,
Ketua Program Studi Ketua Jurusan Manajemen Pertanian Budidaya Tanaman Perkebunan
Nur Hidayat, SP. M.Sc Ir. M. Masrudy, MP NIP. 19721025 2001 12 1 001 NIP. 19600805 198803 1 113
Lulus ujian pada tanggal 24 Agustus 2015
Penelitian ini dilatar belakangi oleh belum terpenuhinya permintaan terhadap tanaman anggrek yang semakin meningkat dan semakin banyaknya penghobi anggrek sehingga para penganggrek dituntut untuk menyediakan anggrek dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Metode kultur jaringan dan pemanfaatan media ekstrak tanaman dan media MS sebagai media sub kultur merupakan langkah awal perbanyakan tanaman secara vegetatif dan modern.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur waktu kontaminasi antara media ektsrak pisang, media ekstrak kentang dan media MS sebagai media sub kultur bagi pertumbuhan planlet anggrek dendrobium. Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Penabur/inkubasi Pada Laboratorium Agronomi Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Penelitian ini dilaksanakan selama 30 hari terhitung mulai tanggal 2 Desember sampai 31 Desember 2014.
Pengolahan data menggunak an data visual yang terdiri dari 3 taraf perlakuan dengan 10 ulangan. Adapun perlakuannya yaitu media ekstrak pisang (MP), media ekstrak kentang (MK) dan media Murashige dan Skoog (MS). Variabel yang diamati adalah waktu terjadinya kontaminasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media Murashige dan Skoog (MS) merupakan waktu terlama terjadinya kontaminasi sedangkan perlakuan media ekstrak pisang (MP) merupakan waktu tercepat terjadinya kontaminasi terhadap sub kultur Anggrek Dendrobium.
Kata Kunci : kultur jaringan, media, anggrek dendrobium.
Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Merupakan anak ke-2 dari lima bersaudara pasangan Bapak Mujito dan Ibu Hari Pilianti. Tahun 1999 memulai pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 27 kota Bangun III dan lulus pada tahun 2005. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 04 Kota Bangun II hingga lulus pada tahun 2008. Selanjutnya melanjutkan ke Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP-SPMA) Negeri Samarinda dan lulus pada tahun 2011. Pendidikan tinggi dimulai pada tahun 2012 di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan.
Pada tanggal 3 Maret sampai dengan 30 April 2015 mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Kalpataru Sawit Plantation, desa Salo Cela, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai syarat untuk memperoleh sebutan Ahli Madya pada program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
Keberhasilan dan kelancaran penyusunan karya ilmiah ini juga tidak terlepas dari peran serta dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Faradilla, SP. M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak arahan dan bimbingan kepada penulis .
2. Bapak Roby, SP. MP selaku dosen penguji I dan Ibu Rusmini, SP. MP selaku dosen penguji II
3. Bapak Nur Hidayat, SP. M.Sc selaku Ketua Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan.
4. Bapak Ir. M. Masrudy, MP selaku Ketua Jurusan Manajemen Pertanian.
5. Bapak Ir. Hasanudin, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
6. Para staf pengajar, administrasi dan teknisi di Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan.
7. Keluarga tercinta yang telah banyak memberikan motifasi dan doa kepada penulis selama ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Penulis,
Kampus Sei Keledang Agustus 2015
I. PENDAHULUAN
Anggrek merupakan bunga abadi. Artinya, keberadaannya tidak mengenal musim dan disukai manusia sepanjang zaman. Membudidayakan dan merawat anggrek termasuk pekerjaan yang gampang-gampang susah.
Pekerjaan ini membutuhkan ketekunan, ketelatenan, kesabaran, dan keberanian tersendiri. Jika tidak, anggrek yang dibudidayakan tidak tumbuh optimal, bah kan mati sebelum bisa dinikmati (Parnata, 2005).
Dendrobium merupakan salah satu genus anggrek terbesar di dunia (diperkirakan sekitar 1600 spesies) yang hidup di dataran rendah. Jumlahnya bisa semakin banyak karena anggrek jenis ini mudah untuk dikawin silangkan.
Anggrek dendrobium termasuk jenis anggrek yang rajin berbunga dan memiliki variasi kombinasi warna yang sangat banyak. Sekali berbunga bisa lebih dari dua tangkai bunga dan dapat bertahan kurang lebih 2 minggu. Disamping memiliki banyak warna, dendrobium juga memiliki bentuk serta aroma yang khas (Parnata, 2005).
Seiring dengan permintaan pasar yang meningkat, ini berarti para pengusaha anggrek dituntut untuk menyediakan anggrek dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat. Diantara cara yang dapat ditempuh yaitu dengan menggunakan teknik kultur jaringan atau in vitro (Parnata, 2005).
Menurut Gunawan (1995), teknik ini dapat membantu perbanyakan vegetatif tanaman dalam rangka penyediaan bibit dari induk superior. Dihabitat aslinya, perkecambahan dilakukan dengan bantuan mikoriza. Tanpa bantuan mikoriza, perkecambahan biji anggrek sangat sulit karena ketidakadaan endosperma. Oleh karena itu, pembudidaya biasanya memperbanyak anggrek dengan teknik kultur jaringan.
Diantara beberapa kultur jaringan terdapat beberapa tahapan, salah satu diantaranya adalah tahapan sub kultur. Sub kultur adalah pemindahan planlet yang masih sangat kecil (planlet muda) dari media lama ke dalam media baru yang dilakukan secara aseptik di dalam entkas atau Laminar Air Flow Cabinet (LAFC). Pada dasarnya sub kultur ini memisahkan, memotong, membelah dan menanam kembali eksplan yang telah tumbuh sehingga jumlah tanaman akan bertambah banyak dengan tujuan supaya kultur tetap mendapatkan unsur hara atau nutrisi untuk pertumbuhannya (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Media tanam dalam kultul r jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan.
Media tanam tersebut dapat berupa larutan (cair) atau padat. Media cair berarti campuran komponen-komponen zat kimia dengan air suling, sedangkan media padat adalah media cair tersebut dengan ditambah zat pemadat agar (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media kultur yang baik seharusnya menyediakan unsur hara baik makro maupun mikro, sumber vitamin dan asam amino, sumber karbohidrat, zat pengatur tumbuh, senyawa organik sebagai tambahan seperti air kelapa, ekstrak buah dan lain-lain.
Unsur hara makro dan mikro diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah besar terdiri dari Carbon (C), Helium (H), Nitrogen (N), Sulfur (S), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg). Sedangkan unsur mikro seperti Klor (Cl), Boron (B), Molibdenum (Mo), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Besi (Fe), Seng (Zn), Kobal (Co) diperlukan dalam jumlah sedikit, (Yusnita, 2004).
Metode kultur jaringan sangat tergantung pada media yang digunakan.
Media kultur jaringan tidak hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan garam yang biasanya didapat diatmosfer melalui fotosintesis, media bisa terbuat dari beberapa komposisi seperti media Murashige dan Skoog (MS), Woody Plant Medium (WPM), Gamborg atau B5, White, ekstrak tanaman dan lain-lain tergantung jenis tanaman yang akan dikulturkan.
Media MS merupakan media yang paling sering digunakan untuk beberapa jenis tanaman, hal ini disebabkan karena tingkat keberhasilannya yang cukup tinggi terhadap perbanyakan secara kultur jaringan. Sedangkan untuk penggunaan media ekstrak tanaman seperti kentang dan pisang kadang-kadang digunakan apabila media lain yang digunakan dianggap kurang optimal dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena kandungan nutrisi seperti zat pengatur tumbuh (ZPT), vitamin dan asam amino yang terkandung dalam media ekstrak tanaman hampir sama dengan media MS yang diberi ZPT (Anonim 2012).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur waktu kontaminasi antara media ektsrak pisang, media ekstrak kentang dan media MS sebagai media sub kultur bagi pertumbuhan planlet anggrek dendrobium.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas, pemerintah, pemulia kultur jaringan khususnya mengenai lamanya kemampuan bertahan media ekstrak kentang, ekstrak pisang dan media MS sebagai media sub kultur bagi pertumbuhan planlet Anggrek Dendrobium.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Kultur jaringan
Sejarah perkembangan teknik kultur jaringan dimulai pada tahun 1838 ketika Schwann dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom, dan pada prinsipnya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Teori yang dikemukakan ini merupakan dasar dari spekulasi Heberlandt pada awal abad ke-20 yang menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat diisolasi dan dikultur dan berkembang menjadi tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya. Walaupun usaha Haberlandt menerapkan teknik kultur jaringan tanaman pada tahun 1902 mengalami kegagalan, namun antara tahun 1907 - 1909 Harrison, Burrows, dan Carrel berhasil mengulturkan jaringan hewan dan manusia secara in vitro.
Keberhasilan aplikasi teknis kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan tanaman secara vegetatif pertama kali dilaporkan oleh White pada tahun 1934, yakni melalui kultur akar tomat. Selanjutnya pada tahun 1939, Gautheret, Nobecourt, dan White berhasil menumbuhkan kalus tembakau dan wortel secara in vitro. Setelah Perang Dunia II, perkembangan teknik kultur jaringan sangat cepat, dan menghasilkan berbagai penelitian yang memiliki arti penting bagi dunia pertanian, kehutanan, dan hortikultura yang t elah dipublikasikan.
Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel culture atau gewebe kultul. Kultur adalah budidaya dan jaringan
adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama.
Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman
menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya (Hendaryono dan Wijayani 1994). Ditambahkan oleh Gunawan (1995), teknik kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan tanaman yang disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam medium padat atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. Dengan cara demikian sebagian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi planlet dalam jumlah yang besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel seperti, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan-kemampuan setiap sel, dari mana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Daisy dan Wijayani, 2011).
Menurut Hendaryono dan wijayani (1994), Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptik sacara in vitro. Perbanyakan tanaman dengan sistem kultur jaringan dilaksanakan di dalam suatu laboratorium yang aseptik dengan peralatan seperti pada laboratorium Mikrobiologi. Kita dapat juga memakai peralatan sederhana seperti almari penabur buatan sendiri ataupun dengan peralatan laboratorium kultur jaringan khusus yang lebih canggih seperti laminair aif flow cabinet.
Akan tetapi banyak sekali permasalahan yang dihadapi untuk menghasilkan bibit secara in vitro, yaitu mulai dari cara budidayanya, eksplan yang digunakan sampai dengan macam enzim yang digunakan untuk fusi protoplas. Eksplan adalah bahan tanaman yang dipakai untuk perbanyakan tanaman dengan sistem kultur jaringan, misalnya : jaringan meristem tunas atau daun muda, kepala sari atau tepungsari, putik lembaga (endosperma) atau embrio, kotiledon atau hipokotil. Di samping itu, hal lain yang harus diteliti dan diperhatikan adalah bahan sterilisasinya, kandungan unsur kimia dalam media, hormon yang digunakan, substansi organik yang ditambahkan, dan terang atau gelapnya saat inkubasi.
Dari sekian banyak permasalahan yang harus diteliti dan diperhatikan, komposisi media bagi pertumbuhan eksplan adalah yang paling banyak diteliti dan dicoba oleh para pakar kultur jaringan. Media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media kultur jaringan telah ditemuk an sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama media tumbuh untuk eksplan ini biasanya sesuai dengan nama penemunya. Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan kimia yang hampir sama, medium yang digunakan untuk alas makanan mengandung garam-garam mineral yang terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, sumber karbon, vitamin, asam-asam amino, zat pengatur tumbuh, bahan organik kompleks seperti air kelapa, ekstrak kamir, ekstrak buah pisang, air jeruk, daging buah apukat, apel, kentang, ekstrak buncis, kedelai dan sebagainya (Yusnita, 2003).
Selain dari permasalahan yang harus diteliti teknik kultur jaringan juga mempunyai kelebihan yaitu untuk memperbanyak tanaman secara konvensional, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan menawarkan penawaran peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis, perbanyakannya tidak membutuhkan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa mengenal musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan dapat memanipulasi genetik serta biaya pengangkutan lebih murah (Gunawan, 1995).
Sub kultur merupakan salah satu tahap metode dalam kultur jaringan, yaitu suatu teknik yang dilakukan di antara tahapan kultur. Sub kultur adalah pemindahan bibit angrek (planlet) ke dalam botol steril dengan media yang baru. Tujuan dari sub kultur adalah untuk memperoleh petumbuhan baru dan perbanyakan lanjutan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Pada dasarnya sub kultur merupakan tahap kegiatan yang relatif mudah dibandingkan dengan kegiatan lain dalam kultur jaringan. Sub kultur dilakukan karena beberapa alasan berikut:
1. Tanaman sudah memenuhi media
2. Tanaman sudah berada di dalam botol sekitar 2 - 3 bulan
3. Tanaman sudah berakar dan mempunyai tunas yang cukup banyak Kegiatan sub kultur dilakukan sesuai dengan jenis tanaman yang dikulturkan. Setiap tanaman memiliki karakteristik dan kecepatan tumbuh yang berbeda-beda. Sehingga cara dan waktu sub kultur juga berbeda-beda (Hendaryono, 2002).
B. Tinjauan Umum Tanaman Anggrek 1. Asal-usul tanaman anggrek
Spesies anggrek paling banyak berasal dari daerah tropis. Hal ini disebabkan agroklimat daerah tropis sangat cocok untuk pertumbuhannya.
Budidaya anggrek secara besar-besaran mulai berkembang di Eropa pada abad ke-19. Pada dekade 1850-an beberapa orang Inggris, Jerman, dan Perancis mulai mensposori budidaya anggrek. Saat itu, anggrek mulai banyak digemari sebagai tanaman hias yang keindahannya diakui sangat luar biasa (Parnata, 2005).
2. Sistematika tanaman anggrek
Menurut Sarwono (2002), Sistematika anggrek Dendrobium adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Devisi : Spermathophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotiledonae Ordo : Orchidales Famili : Orchidaceae Genus : Dendrobium Spesies : Dendrobium sp 3. Syarat tumbuh tanaman anggrek
Menurut Parnata (2005), pada dasarnya ada beberapa kondisi optimal yang menyebabkan anggrek dapat tumbuh dengan baik. Kondisi tersebut berkaitan dengan cahaya matahari, kelembaban, dan suhu.
a. Cahaya matahari
Cahaya matahari merupakan sumber energi yang berguna dalam fotosintesis. Fotosintesis sendiri akan menghasilkan energi yang berguna bagi seluruh kehidupan anggrek, baik untuk tumbuh maupun membentuk daun, bunga, dan biji. Jumlah dan intensitas cahaya matahari yang diperlukan tanaman anggrek berbeda-beda, tergantung pada jenis anggreknya.
Dilihat dari kebutuhan terhadap cahaya secara garis besar anggrek dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu anggrek yang tumbuh baik di daerah dengan cahaya matahari langsung atau memerlukan sekitar 100% cahaya matahari, anggrek yang setengah ternaungi atau memerlukan 40 - 50% cahaya matahari, dan anggrek yang tumbuh baik di daerah yang ternaungi (teduh) atau hanya memerlukan cahaya matahari kurang dari 25%.
Untuk anggrek dendrobium memerlukan percahayaan sekitar 55-56%. Sedangkan lama penyinaran minimal 10 jam sehari. Cahaya berperan dalam pembentukan bunga, memperbaiki bagian tanaman yang rusak, pertumbuhan dan penyinaran cadangan makanan (Sarwono, 2002).
b. Kelembaban
Kelembaban yang paling baik bagi pertumbuhan anggrek tidak kurang dari 70%. Pada kelembaban udara sekitar 50%, anggrek dapat tumbuh dengan cukup baik, tetapi tidak sebaik pada kelembaban 70%.
Kelembaban tinggi bukan berarti anggrek akan tumbuh dengan baik jika akarnya terendam air, pada kondisi ini tanaman anggrek akan mudah
terserang penyakit. Pada kelembaban terlalu kering, kebutuhan tanaman anggrek terhadap air sulit terpenuhi dan pada keadaan terlalu kering anggrek juga sangat rentan terhadap dehidrasi (Parnata, 2005).
c. Suhu
Pada umumnya budidaya anggrek memerlukan temperatur berkisar antara 270C - 350C. Kondisi iklim di Kalimantan Timur, yaitu hutan tropika humida. Curah hujan tahunan di propinsi tersebut termasuk tinggi yaitu berkisar antara 2000 - 4000 mm per tahun, temperatur pada malam hari 24,20C dan pada siang hari 300C. Adapun kelembaban udaranya 73%. Dengan kondisi iklim di Kalimantan Timur, anggrek dendrobium dapat tumbuh dengan baik (Parnata, 2005).
4. Morfologi tanaman
Hendaryono (2002), menyatakan bahwa berdasarkan sifat tumbuhan dapat dibagi menjadi dua yaitu anggrek epifit dan anggrek teresterial. Anggrek epifit antara lain yaitu anggrek yang tumbuhnya menopang pada tumbuhan lain namun tidak merugikan yang ditumpanginya. Golongan anggrek epifit antara lain yaitu genus Cattelya, Dendrobium, Airides dan Vanda. Anggrek teresterial, yaitu anggrek yang seluruh perakarannya berkembang di dalam tanah, rawa atau dataran.
Karena itu anggrek ini disebut juga anggrek tanah.
Menurut Anonim (2002), struktur tanaman anggrek terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah.
a. Akar
Akar anggrek mengandung klorofil dan mudah melekat di permukaan yang keras. Akar anggrek bersifat agak lengket, licin,
berujung meruncing, dan mudah patah. Sifat seperti ini banyak ditemukan pada anggrek epifit. Akar-akar yang sudah tua jika warnanya berubah menjadi cokelat dan kering.
Akar anggrek mempunyai fungsi sebagai tempat menempelkan tumbuhnya pada media tanam, berbentuk silidris, panjang seperti benang bercabang. Anggrek Dendrobium mempunyai lapisan felamen yang berongga yang berfungsi memudahkan akar dalam penyerapan air hujan yang jatuh dikulit pohon tempat tumbuh anggrek (Hendaryono, 2002).
b. Daun
Daun anggrek memiliki banyak ukuran, dari daun yang lebar hingga daun yang sempit seperti jarum. Anggrek berdaun lebar akan lebih mudah berbunga dibandingkan dengan anggrek yang berdaun sempit. Semakin lebar permukaan daun, proses transpirasi dan fotosintesis semakin cepat, sehingga makanan yang dihasilkan akan lebih banyak. Makanan ini akan dipakai untuk pertumbuhan tanaman hingga mencapai pertumbuhan yang optimal. Jika pertumbuhan sudah optimal, cadangan makanan akan dialihkan untuk membentuk buah dan biji melalui proses pembungaan. Anggrek Dendrobium termasuk dalam kelompok anggrek berdaun lebar (Anonim, 2002).
c. Batang
Batang anggrek terbagi menjadi dua jenis, yaitu batang monopodial dan batang simpodial. Kedua jenis batang ini berbuku- buku. Batang monopodial adalah batang yang berbentuk tunggal, dan pertumbuhan bagian ujungnya tidak terbatas. Batang simpodial adalah
batang yang pertumbuhan ujungnya memiliki batasan maksimal.
Batang simpodial tidak akan tumbuh lagi jika sudah mencapai ukuran yang maksimal. Jika batang simpodial terus tumbuh, di bagian sampingnya akan tumbuh anakan baru. Antara batang anggrek induk dan batang anggrek anakan ada semacam jembatan atau penghubung yang disebut Rhizome. Rhizome ini terletak di bawah tanah, sehingga sering disebut batang di bawah tanah. Batang anggrek Dendrobium mempunyai batang monopodial (Hendaryono, 2002).
d. Bunga
Struktur bunga anggrek terdiri dari tiga kelopak dan tiga tajuk bunga. Salah satu petal akan berubah menjadi bibir bunga atau labelum. Labelum merupakan ciri khas bunga anggrek yang membedakan dengan famili tanaman bunga lainnya.
Bunga dendrobium terdiri dari tiga helai sepal (kelopak bunga), tiga helai petal (mahkota bunga), polinia atau polen (alat kelamin jantan), yang berjumlah empat tersusun dalam dua rostellum kecil berbentuk bulat. Gymtosetum atau putik (alat kelamin betina) berada dibalik dalam tugu, ovary (bakal buah) (Hendaryono, 2002).
e. Buah
Buah anggrek berbentuk kapsul yang memiliki 6 buah ruang.
Buah ini banyak mengandung biji. Biji anggrek tidak mengandung cadangan makanan seperti biji tanaman lainnya. Karena itu, anggrek membutuhkan inang sebagai tempat hidupnya. Inang akan menyediakan gula dan senyawa lainnya yang dibutuhkan biji anggrek untuk berkecambah (Anonim, 2002).
C. Tinjauan Umum Media Murashige dan Skoog (MS)
Menurut Yusnita (2004), media kultur merupakan salah satu fak tor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Media kultur tersebut, fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Media berbentuk padat menggunakan pemadat media, seperti agar-agar atau gelrite. Pembuatan media pada prinsipnya dilakukan dengan melarutkan semua komponen media dalam air, sesuai dengan konsentrasi pada formulasi yang diingankan.
Media MS adalah merupakan media hasil formulasi dua orang ilmuan yang berbeda bangsa yaitu Toshio Murashige dari Jepang dan Folke Skoog ahli fisiologi tumbuhan dari Amerika. Pada tahun 1962 mereka mempublikasikan formulasi media MS yang sampai sekarang terbukti cocok untuk kultur jaringan banyak tanaman dan banyak digunakan di laboratorium kultur jaringan diseluruh dunia. Media ini mengandung garam-garam mineral dengan konsentrasi tinggi dan senyawa N dalam bentuk ammonium dan nitrat.
Tabel 1. Formulasi media Murashige dan Skoog dalam 1 liter media
No Senyawa Konsentrasi dalam media MS (mg/l)
1 NH4NH3 1.650
2 KNO3 1.900
3 CaCl2.2H2O 440
4 KH2PO4 170
5
H3BO3
Na2-Mo04.7H20 CoCl2.6H2-0 Kl
6,2 0,25 0,025 0,8
6
MnS04.H20 ZnS04.7H20 MgS04.7H20 CuS04.5H20
16,9 8,6 370 0,125 7 FeS04.7H20
Na2EDTA
27,8 37,3
8
Tiamin-HCl Piridoksin-HCl Asam nikotinat Glisin
0,1 0,5 0,5 2,0 9 Mio -inositol
Sukrosa
100 30.000
10 BA NAA IAA Agar -agar
Sesuai kebutuhan
7.000-8.000
D. Tinjauan Umum Ekstrak Kentang dan Ekstrak Pisang
Bahan-bahan suplemen alami, seperti jus tomat, jus jeruk, air kelapa, ekstrak malt, ekstrak ragi, ekstrak kentang, dan ekstrak pisang, kadang-kadang digunakan sebagai penambah media, terutama jika zat -zat yang sudah teridentifikasi belum dirasa cukup untuk pertumbuhan kultur.
Bahan-bahan ini dipercaya merupakan sumber berbagai asam amino, peptide, vitamin, dan zat pengatur tumbuh bahan suplemen alami semakin berkurang karena semakin majunya penelitian tentang komposisi senyawa anorganik, asam amino, dan ZPT dalam media, suplemen alami tertentu seperti bubur pisang (banana homogenate) dan air kelapa masih biasa digunakan untuk mengulturkan berbagai jenis anggrek (Yusnita 2003).
Menurut Bambang R (2004), kentang (Solanum tuberosum Linn) termasuk tanaman setahun (annual) yang berbentuk semak (herba), dengan susunan tubuh utama terdiri dari stolon, batang, daun, bunga, buah dan biji, serta akar. Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran dan sumber karbohidrat.
Di dalam kandungan gizi komposisi umbi kentang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, varietas, keadaan tanah yang ditanami, pupuk yang dugunakan, umur umbi ketika dipanen, waktu dan suhu penyimpanan. Perubahan komposisi umbi selama pertumbuhan meliputi naiknya kadar pati dan sukrosa serta turunnya kadar air dan gula pereduksi.
Tabel 2. Kandungan gizi dari tiap 100 gram kentang bersih dapat dimakan
1. Energi 321 kJ (77 kcal)
2. Protein 2,0 gram
3. Lemak 0,1 gram
4. Pati 15 gram
5. Karbohidrat 19 gram
6. Diet serat 2,2 gram
7. Air 77,8 gram
8. Thiamine (B1 Vit.) (B1 Vit.) 0,08 mg (6%) 9. Riboflavin (Vit. B2) 0,03 mg ( 2%)
10. Niacin (Vit, B3) 1,1 mg (7%)
11. Vitamin B6 0,25 mg (19%)
12. Vitamin C 20 mg (33%)
13. Besi 1,8 mg (14%)
14. Kalsium 12 mg (1%)
15. Magnesium 23 mg (6%)
17. Kalium 421 mg (9%)
18. Fosfor 57 mg (8%)
19. Sodium 6 mg (0%)
20. Kalori 83, 0 85, 0 kal.
21. Bagian dapat dimakan 85, 0%
Tabel 3. Susunan kimia umbi kentang mentah
1. Air 72, 100% - 80, 00%
2. Bahan padat kering 23, 000%
3. Protein 2, 000%
4. Lemak 0, 056% - 0, 11%
5. Karbohidrat 12, 400% - 17, 80%
6. Gula 0, 200% - 6, 80%
7. Abu 0, 960%
8. Serat kasar 0, 400% - 1, 00%
Menurut Rismunandar (2001), pisang (Musa Paradisiaca Linn) adalah tanaman yang mudah tumbuh. Hampir diseluruh pelosok di Indonesia dapat ditanami pisang. Potensi hasil pisang tetap sangat tinggi. Oleh karena itu, tanaman pisang merupakan salah satu sumber devisa bagi Negara yang tidak boleh diabaikan.
Tanaman pisang dengan buahnya yang lezat dan manis rasanya dikenal masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Tanaman pisang cepat tumbuh, dan saat berumur 1 tahun rata-rata telah dapat berbuah, tanaman pisang dapat cepat berkembang biak, oleh karena itu pada tahun berikutnya hasilnya berlipat ganda hingga 3 - 4 kali, tanaman pisang dapat bertahan terhadap angin keras dan musim kering, dan bila mengalami kerusakan akan mudah baik kembali, buah pisang dapat bertahan dalam penyimpanan/pengangkutan selama 15 hari.
Buah pisang yang masih hijau kulitnya tetapi sudah cukup tua, dagingnya mengandung 21 25% zat tepung. Bila mengalami pemeraman atau masak sendiri di pohon, zat tepung itu sebagian besar berubah menjadi beberapa jenis gula.
Tabel 4. Kandunagan gizi dari tiap 100 gram pisang bersih dapat dimakan
1. Energi 371 kJ (89 kcal)
2. Karbohidrat 22, 84 gram
3. Gula 12,23 gram
Tabel 4. lanjutan
4. Diet serat 2,6 gram
5. Lemak 0,33 gram
6. Protein 1,09 gram
7. Vitamin A equiv 3 mg (0%) 8. Thiamine (Vit. B1) 0, 031 mg (2%) 9. Riboflavin (Vit. B2) 0, 073 mg (5%) 10. Niacin (Vit. B3) 0, 665 mg (4%) 11 Asam Pantotenal (B5) 0, 334 mg (7%)
12. Vitamin B6 0, 367 mg (28%)
13. Folat (Vit. B9) 20 mg (5%)
14. Vitamin C 8,7 mg (15%)
15. Kalsium 5 mg (1%)
16. Besi 0,26 mg (2%)
17. Magnesium 27 mg (7%)
18. Fosfor 22 mg (3%)
19. Kalium 358 mg (8%)
20. Seng 0,15 mg (1%
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di ruang penabur/inkubasi Laboratorium Agronomi Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah selama 30 hari terhitung mulai tanggal 2 Desember sampai 31 Desember 2014 mulai dari persiapan, pembuatan media, pengamatan terakhir.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah api bunsen, autoklaf, cawan petri, erlenmeyer, gelas kultur, gelas piala, gunting, hand sprayer, hot plate stirer, kamera, labu ukur, laminar air flow cabinet (LAFC), pengaduk kaca, pinset, pisau, saringan kelapa, scapel, timbangan analitik.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah agar-agar, alcohol, aquades, eksplan anggrek Dendrobium yang diperoleh dari Laboratorium MIPA UNMUL, gula pasir, karet pengikat, larutan asam amino, larutan stok vitamin, larutan stok unsur hara makro, larutan stok unsur hara mikro, mio inositol , pisang mauli dan kentang yang diperoleh dari pasar harapan baru, plastik transparan, dan tissu.
C. Perlakuan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 taraf perlakuan media tanam sub kultur anggrek dendrobium dan tiap taraf perlakuan ada 10 ulangan. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut:
MP = Media ekstrak pisang MK = Media ekstrak kentang MS = Media Murashige dan Skoog
D. Prosedur Penelitian 1. Sterilisasi alat
Alat-alat yang akan digunakan untuk penelitian seperti erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, pengaduk kaca, botol kultur, cawan petri, labu ukur, pinset, gunting, scapel dicuci bersih dan ditiriskan agar kering setelah kering alat-alat tersebut dibungkus dengan koran dan kemudian disterilisasikan menggunakan autoklaf selama 1 jam. Tekanan 17.5 Psi dan suhu 1210C.
2. Persiapan planlet anggrek
Planlet anggrek yang akan disub kultur berumur sekitar 3 bulan dengan tinggi 3 cm, akar sudah kelihatan dengan warna tunas berwarna hijau tua.
3. Persiapan bahan ekstrak
Kentang dan pisang yang digunakan untuk pembuatan media merupakan bahan yang sehat dan matang untuk pisang.
4. Pembuatan media
a. Pembuatan media ekstrak kentang dan ekstrak pisang
Kentang dan pisang yang sudah dikupas kemudian diiris tipis-tipis dimasukan ke dalam gelas piala dan ditambah aquades sebanyak 200 ml kemudian dimasak di atas hot plate hingga mendidih.
Selanjutnya media disaring dengan menggunakan saringan kelapa untuk diambil larutannya. Lalu larutan dimasukkan ke dalam erlenmenyer, ditambahkan gula pasir sebanyak 10 g dan agar-agar 3,5 g serta aquades sampai volumenya mencapai 500 ml dan diaduk, setelah itu campuran larutan dari semua bahan tersebut dimasak di
atas hot plate stirer hingga mendidih, setelah mendidih campuran larutan tersebut dituangkan ke dalam botol kultur hingga semua botol kultur terisi dengan rata. Botol ditutup dengan plastik yang sebelumnya didinginkan terlebih dahulu dan diikat dengan karet gelang hingga rapat. Media siap untuk disterilisasi (Gunawan 1995).
b. Pembuatan media Murashige dan Skoog (MS)
Aquades dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 200 ml, sebelum membuat media MS terlebih dahulu harus dibuat larutan stok.
Larutan stok ini meliputi larutan stok besi, larutan stok mikronutrien, larutan stok zat pengatur tumbuh. Untuk makronutrien ditimbang kemudian dilarutkan dalam 200 ml aquades steril, ditambahkan larutan stok besi 2,5 ml, 2 ml larutan stok vitamin, larutan 50 g myo-inositol, 10 g sukrosa, dan agar-agar sebanyak 3,5 g. Kemudian bahan-bahan tersebut dimasukan ke dalam erlenmenyer dan diaduk hingga rata, selanjutnya tambahkan aquades hingga mencapai 500 ml sambil diaduk rata. Larutan media yang telah tercampur secara merata selanjutnya dimasak diatas hot plate stirer hingga mendidih, kemudian setelah mendidih dimasukkan media ke dalam botol kultur secara merata. Dinginkan sesaat setelah itu media ditutup dengan plastik dan diikat menggunakan karet gelang dan siap untuk disterilisasi (George & Sherrington, 1984, yang dikutip dari Daisy dan Wijayani, 2006).
5. Sterilisasi media
Setelah semua bahan jadi dan sudah dimasukkan ke dalam botol kultur, botol kultur tersebut diseterilisasikan ke dalam autoklaf selama 30
menit dengan tekanan 17,5 Psi dan suhu 1210C. Kemudian botol kultur yang sudah diseterilisasikan disimpan di dalam ruangan inkubasi dengan suhu 250C dan siap untuk dijadikan media sub kultur.
6. Sub kultur
Sub kultur dilakukan dalam laminar air flow cabinet yang sebelumnya telah diseterilkan. Persiapan semua alat yang akan dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet seperti scapel, gunting, pinset, cawan petri, alkohol, media baru, lampu spirtus dan planlet dimasukkan ke dalam LAFC yang sebelumnya telah disemprot dengan alkohol 70%. Diambil planlet dari dalam botol dan diletakkan di atas cawan petri lalu dibelah dan dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil dengan menggunakan scapel, gunting dan pinset. Setelah menjadi potongan kecil-kecil maka segera dimasukkan kembali ke dalam media baru. Setiap botol biasanya diisi 1 - 3 bibit anggrek. Botol ditutup kembali dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol yang sudah disub kultur diletakan dalam ruang inkubasi dengan suhu 250C.
7. Pemberian label
Pemberian label dilakukan setelah kegiatan sub kultur, untuk membedakan media ekstrak kentang, ekstrak pisang dan media MS.
Masing-masing botol kultur yang sudah disub kulturkan atau ditanami dengan bibit anggrek diberi label sesuai dengan perlakuan.
8. Pengolahan data
Pengambilan data dilakukan setiap hari selama 30 hari dengan mengamati secara visual media yang terkontaminasi dan dibuat dalam bentuk tabel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan terhadap waktu terkontaminasi tanaman anggrek pada media kultur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :
Tabel 5. Waktu kontaminasi tanaman anggrek pada media kultur yang berbeda.
No Perlakuan Waktu (Hari)
Mulai terkontaminasi Akhir terkontaminasi
1 MP 7 18
2 MK 11 20
3 MS 22 29
Dari Tabel 5. di atas menunjukkan bahwa untuk media Ekstrak Pisang (MP) waktu terjadi kontaminasi dimulai pada hari ke 7 setelah penanaman dan diakhiri kontaminasi pada hari ke 18 setelah penanaman, sedangkan pada media Ekstrak Kentang (MK) waktu terjadi kontaminasi dimulai pada hari ke 11 setelah penanaman dan diakhiri kontaminasi pada hari ke 20 setelah penanaman, begitu pula untuk media Murashige dan Skoog (MS) waktu terjadi kontaminasi dimulai pada hari ke 22 setelah penanaman dan diakhiri pada hari ke 29 setelah penanaman.
B. Pembahasan
Berdasarkan dari hasil pengamatan terhadap pemanfaatan ekstrak pisang, ekstrak kentang dan media MS sebagai media pertumbuhan sub kultur angrek dendrobium menunjukkan bahwa waktu terjadi kontaminasi media ekstrak pisang lebih cepat dibandingkan dengan media ekstrak kentang dan media MS, untuk media ekstrak pisang menunjukkan waktu terjadi kontaminasi dimulai pada hari ke 7 dengan jumlah planlet yang terkontaminasi 1, hal yang sama juga terjadi pada hari ke 11, 13, 15, dan 16 setelah
penanaman. Selanjutnya pada hari ke 17 setelah penanaman terjadi kontaminasi dengan jumlah planlet 3 dan diakhiri pada hari ke 18 setelah penanaman terjadi kontaminasi dengan jumlah planlet 2.
Untuk media ekstrak kentang waktu terjadi kontaminasi lebih lambat dibandingkan dengan media ekstrak pisang. Pada hari ke 11 waktu terkontaminasi baru terjadi dengan jumlah planlet yang terkontaminasi 1 hal yang sama juga terjadi pada hari ke 14 setelah penanaman. Selanjutnya Spada hari ke 16 setelah penanaman terjadi kontaminasi dengan jumlah planlet 2 dan pada hari ke 17 setelah penanaman terjadi kontaminasi dengan jumlah planlet 4, pada hari ke 19 setelah penanaman terjadi kontaminasi dengan jumlah planlet 1 dan diakhiri pada hari ke 20 setelah penanaman dengan jumlah planlet yang mati 1.
Pada media MS waktu terjadi kontaminasi lebih lambat lagi dibandingkan dengan 2 perlakuan ini media ekstrak pisang dan media ekstrak kentang. Pada media MS waktu terjadi kontaminasi dimulai pada hari ke 22 setelah penanaman, dan jumlah planlet yang terkontaminasi ada 1 planlet dan pada hari ke 26 setelah penanaman ada 1 planlet juga yang terkontaminasi, akan tetapi pada hari ke 27 dan 28 setelah penanaman ada 2 planlet yang terkontaminasi setelah penanaman. Pada hari ke 29 setelah penanaman merupakan akhir dari kontaminasi dengan jumlah planlet yang lebih banyak lagi yaitu ada 4 planlet .
Melihat hasil di atas bahwa waktu terjadinya kontaminasi lebih cepat terjadi pada media ekstrak tanaman dibandingkan dengan media MS. Hal ini diduga karena media ekstrak tanaman merupakan media organik, karena bahan-bahan dan proses pembuatan yang digunakan masih alami,
sedangkan media MS merupakan media kimia dimana bahan -bahan yang digunakan sudah dalam bentuk jadi dan melalui proses kimiawi, hal ini sesuai dengan pendapat Sarjoni (1999), bahwa pengertian dari alami itu sendiri adalah sifat kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung tanpa keterlibatan manusia, media dari bahan organik secara alami yaitu media yang berasal dari komponen organisme hidup misalnya daun, batang dan buah. Sedangkan menurut pendapat Sarjoni (1999), bahwa pengertian dari proses kimiawi adalah suatu bahan yang terbuat dari campur aduk manusia dalam kegiatan memprosesnya untuk memperoleh perubahan fisik dan atau kimiawi yang diharapkan.
Untuk media ekstrak tanaman, antara media pisang dan kentang waktu terkontaminasi yang lebih cepat adalah media ekstrak pisang, hal ini diduga tekstur pisang lebih lunak karena kandungan air yang lebih tinggi dibanding dengan kentang. Akibatnya sifat oksidasi pada pisang lebih cepat terjadi pula hal tersebut memicu terjadinya kontaminasi semakin cepat. Sesuai dengan pendapat Sarjoni (1999), bahwa oksidasi adalah proses terjadinya reaksi antara molekul oksigen dengan molekul yang ada dalam suatu benda, proses oksidasi ini dipengaruhi oleh air, udara, kelembaban dan sinar matahari.
Semakin banyak kandungan air dalam suatu benda maka proses oksidasi semakin cepat terjadi. Hal lain yang menyebabkan ekstrak tanaman pisang lebih cepat terkontaminasi adalah kandungan vitamin C yang terdapat di kentang lebih banyak bila dibandingkan yang terdapat di pisang.
Sebagaimana dari Tabel 3. Kandungan vitamin C pada kentang 20 ml g atau (33%) per 100 g kentang bersih yang dapat dimakan sedangkan pada pisang adalah 8,7 ml g atau (15%) per 100 g pisang yang dapat dimakan.
Sebagaimana menurut Daisy dan Wijayani (2006), bahwa pemberian vitamin C pada media kultur jaringan biasanya bertujuan untuk mencegah terjadi nya pencoklatan pada permukaan irisan jaringan.
Selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi terkontaminasinya media tanam kultur jaringan seperti suhu ruang inkubasi, kesterilan lingkungan kerja, alat dan manusia. Hal ini dijelaskan oleh Yusnita (2004), syarat dalam pekerjaan kultur jaringan yang harus diperhatikan adalah kesterilan, lingkungan, media tanam yang cocok untuk keberhasilan kultur jaringan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan :
1. Media MS merupakan media dengan waktu kontaminasi lebih lama.
Sedangkan media ekstrak pisang merupakan media dengan waktu terkontaminasi paling cepat untuk media sub kultur anggrek dendrobium.
2. Media pisang adalah media yang tercepat terkontaminasi dalam waktu 7 hari sudah menunjukkan 1 tanaman yang mengalami kontaminasi dan diakhiri kontaminasi pada hari ke 18 setelah penanaman, dan media ekstrak kentang media yang sedikit tahan kontaminasi karena kontaminasi baru dimulai pada hari ke 11 dan diakhiri pada hari ke 20 setelah penanaman. Sedangkan media MS adalah media terlama terkontaminasi pada hari ke 22 baru 1 tanaman yang mulai terkontaminasi dan diakhiri kontaminasi pada hari ke 29 setelah penanaman.
B. Saran
1. Untuk media sub kultur anggrek dendrobium sebaiknya menggunakan media MS.
2. Apabila menggunakan media ekstrak tanaman untuk media sub kultur perlu memperhatikan kesterilan, lingkungan kerja, kesesuaian ekstrak tanaman dengan jenis tanaman yang akan di sub kultur.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang media lain dari ekstrak tanaman dengan jenis planlet tanaman yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Anggrek Bunga Dengan Aneka Pesona Bentuk dan Warna.
Redaksi Agromedia. Jakarta.
Bambang R. 2002. Budidaya Kentang Bebas Penyakit. Kanisius. Yogyakarta.
Daisy dan Wijayani. 2011. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Modern. Kanisius. Yogyakarta.
Gunawan. 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro Dalam Hortikultura. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hendaryono dan Wijayani . 1994. Teknik Kultur Jaringan. Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius.
Yogyakarta.
Hendaryono. 2002. Budidaya Anggrek Dengan Bibit Dalam Botol. Kanisius.
Yogyakarta.
Sarjoni. 1999. Kamus IPA. Penerbit IMMA JAYA. Surabaya.
Parnata A. 2005. Panduan Budi Daya & Perawatan Anggrek. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Rismunandar. 2001. Bertanam pisang. Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Sarwono. 2002. Menghasilkan Anggrek Potong Kwalitas Prima. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan : Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Agromedisa Pustaka. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Dokumentasi kegiatan sub kultur bagi pertumbuhan planlet anggrek dendrobium (dendobium sp).
Gambar 1. Alat-alat gelas
Gambar 2. Hot plate dan timbangan analitik
Gambar 3. Bahan pembuatan media
Gambar 4. Bahan plastik dan karet
Gambar 5. Alat autoklaf
Gambar 5. Pengupasan bahan ekstrak
Gambar 6. Perebusan bahan ekstrak
Gambar 7. Penggoncangan bahan ekstrak
Gambar 8. Penuangan
Gambar 9. Penutupan
Gambar 10. Laminar air flow cabinet, api bunsen dan planlet anggrek
Gambar 11. Pemberian label medi pisang
Gambar 12. Pemberian label media kentang
Gambar 13. Pemberian label media MS
Gambar 12. Planlet yang hidup
Gambar 13. Planlet yang mati