• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN ANAK NABI IBRAHIM A.S. DALAM AL-QUR AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN ANAK NABI IBRAHIM A.S. DALAM AL-QUR AN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN ANAK NABI IBRAHIM A.S.

DALAM AL-QUR’AN

Suprapto

Pendidikan Agama Islam FAI Universitas Islam Jakarta ustadzsuprapto@gmail.com

Abstract

This research is motivated by concerns about the education of existing children, where most people are confused in looking for figures who can be emulated in educating their children. Parents have run out of their minds to overcome this crisis.

This is where we need a model that would be used as a role model to educate their children is the Prophet Ibrahim, known as Abul Anbiya '. This study aims to determine the method adopted by the Prophet IbrahimAS in educating their children become the best generation on the earth. This research uses a thematic approach, by collecting various verses that are scattered in various letters in the Qur'an to look for the relationship of meaning, and make a form completely without contradictory in understanding of the concept of education of the child of Prophet Ibrahim A.S. The success of the Prophet Ibrahim A.S. not solely a gift from Allah SWT, but it is also a hard work that has been worked on for a long time even for years. From the prayers he offered before he was blessed with children for years based on educational patterns that he designed so that it becomes an ideal concept to be applied in life.

Keywords: Ibrahim, Islamic education, children's education.

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pendidikan anak yang ada, dimana kebanyakan orang kebingungan mencari figur yang dapat dicontoh dalam mendidik anak-anak mereka. Orang tua sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis tersebut. Disinilah kita butuh model yang dapat dijadikan panutan untuk mendidik anak yaitu Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Abul Anbiya‟. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim A.S. dalam mendidik anak- anaknya untuk melahirkan generasi terbaik di muka bumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan tematik, dengan mengumpulkan berbagai ayat yang tersebar diberbagai surat dalam Al-Qur‟an untuk kemudian dicari hubungan maknanya sehingga membentuk pemahaman yang utuh dan tidak bertentangan tentang konsep pendidikan anak Nabi Ibrahim A.S.. Kesuksesan Nabi Ibrahim A.S. tidak semata-mata merupakan anugerah dari Allah SWT. Akan tetapi juga merupakan kerja keras yang sudah diusahakan sejak lama bahkan selama bertahun-tahun. Dari doa yang beliau panjatkan sebelum dianugerahi anak selama bertahun-tahun hingga pola pendidikan yang dia rancang sehingga menjadi konsep yang ideal untuk diterapkan dalam kehidupan.

Kata Kunci: Ibrahim, pendidikan Islam, pendidikan anak.

(2)

A. Pendahuluan

Kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat adalah tujuan dalam kehidupan setiap muslim, sebab dengan itu manusia akan menemukan makna dari kehidupannya. Hal tersebut juga sejalan dengan fitrah manusia karena tidak ada manusia yang ingin hidup sengsara baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara yang ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah melalui pintu pernikahan. Sebab dengan pernikahan berbagai kebutuhan manusia akan terpenuhi, baik kebutuhan biologis (syahwati), kebutuhan materi (kebendaan), kebutuhan psychologis (kejiwaan), kebutuhan ibadah dan pahala, serta kebutuhan untuk mendapatkan keturunan yang kelak akan menjadi penerus perjuangan keluarga dan masyarakat serta agama.

Mendambakan adanya keturunan adalah merupakan fitrah bagi manusia, sebagai penyaluran dari rasa kebanggaan diri, penerus perjuangan, serta ahli waris dari hasil jerih payah yang ditempuhnya selama hidup. Orang sering merasa rendah diri, disebabkan tidak mempunyai keturunan. Ia juga akan merasa bahwa hidupnya tidak akan berarti jika hasil jerih payahnya tidak ada ahli warisnya. Karena itu kebutuhan akan keturunan dirasakan menjadi sangat penting bagi setiap orang. Maka Allah SWT.

mensyariatkan nikah dalam rangka memperoleh keturunan yang sah dan terhormat.

Menurut Ruqoith (2004: 103) sebagian orang tua baik para bapak atau ibu mengadu tentang kenakalan anak mereka dan tenggelamnya mereka dalam kemaksiatan, kecenderungan mereka kepada kejahatan, tidak mau taat kepada orang tua, melanggar nilai-nilai dan akhlak dan menolak peraturan-peraturan yang diajarkan oleh para orang tua mereka. Pada saat ini juga banyak keluhan yang disampaikan para guru dan orang tua yang bergerak di bidang sosial mengeluhkan tentang perilaku sebagian para remaja yang sangat mengkhawatirkan. Di antara mereka sudah banyak yang terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pembajakan bis, penodongan, pelanggaran seksual dan perbuatan kriminal lainnya. Kedua orang tua di rumah, guru di sekolah dan masyarakat pada umumnya , tampaknya sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis tersebut. (Nata, 2007: 215) Itulah sisi kenakalan anak-anak yang sudah menjadi masalah yang harus ditanggulangi bersama.

Disisi lain sangat jarang disinggung tentang kenakalan orang tua. Kenakalan orang tua yang paling fatal adalah kebodohan mereka tentang pendidikan anak yang benar serta lemahnya keinginan orang tua untuk mengerti akan tugas dan tanggung

jawab utama sebagai kepala rumah tangga, suami bagi istrinya dan orang tua bagi anak- anaknya. Banyak diantara mereka yang menikah tanpa pernah membekali dirinya dengan ilmu yang dibutuhkan kelak saat memiliki anak. Mereka anggap bahwa semua itu akan bergulir dengan sendirinya. Akhirnya saat mereka menemui berbagai masalah dan kesulitan dalam rumah tangganya, tindakan yang mereka tempuh adalah sikap gegabah ingin menyelesaikan masalah sesaat tanpa mempertimbangkan akibat buruk dikemudian hari. Kenakalan lain yang cukup parah pada orang tua adalah sedikitnya uswah pada diri mereka yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Padahal anak hanyalah ibarat bayangan yang mengikuti benda aslinya. Anak terkadang mempunyai sifat taklid yang membabi buta sehingga apa yang diperbuat oleh orang tuanya harus ditiru dan apa yang tidak dikerjakan harus ditinggalkan.

Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa betapa pentingnya mendidik dan membesarkan anak, sebab anak seperti manusia pada umumnya bisa menjadi anak yang saleh yang menyejukkan pandangan mata manakala dididik dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Al Qur‟an dan Sunah. Sebaliknya terkadang anak bisa menjadi fitnah (cobaan) yang senantiasa mengganggu kehidupan orang tua, saudara-saudaranya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Dua hal tersebut sangat mungkin terjadi tergantung bagaimana usaha orang tua dalam mendidik anak.

Contoh yang nyata dapat kita lihat pada anak keturunan dua orang Nabi yang sangat terkenal dengan kesalehannya yang sama-sama mendapat gelar Ulul „azmi yaitu Nabi Nuh a.s dan Ibrahim a.s. Putera Nabi Nuh a.s. bernama Kan‟an adalah contoh anak yang durhaka yang gagal didik oleh Nabi Nuh a.s, sehingga dia mati dalam keadaan kafir. Sementara putera Nabi Ibrahim a.s.yang bernama Ismail a.s adalah contoh anak yang saleh yang taat kepada Allah dan orang tuanya meskipun mengetahui adanya perintah penyembelihan terhadap dirinya, dengan seluruh ketaatan dan ketawadlu‟an, ia mempersilahkan ayahnya untuk menyembelih dirinya. Sikap Ismail menunjukkan kepatuhan terhadap orang tuanya meskipun telah diberi kesempatan untuk menolak perintah yang ditawarkan tersebut. (Huda & Idris, 2008: 148)

Kegagalan pendidikan selama ini menyebabkan banyak ahli mencari model dan format pendidikan yang tepat atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi kondisi tersebut. Semua orang mengharapkan ada satu model pendidikan yang aplikatif dan implementatif dengan merujuk kepada kisah-kisah Qurani dengan beberapa modifikasi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik anak ini

(3)

A. Pendahuluan

Kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat adalah tujuan dalam kehidupan setiap muslim, sebab dengan itu manusia akan menemukan makna dari kehidupannya. Hal tersebut juga sejalan dengan fitrah manusia karena tidak ada manusia yang ingin hidup sengsara baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara yang ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah melalui pintu pernikahan. Sebab dengan pernikahan berbagai kebutuhan manusia akan terpenuhi, baik kebutuhan biologis (syahwati), kebutuhan materi (kebendaan), kebutuhan psychologis (kejiwaan), kebutuhan ibadah dan pahala, serta kebutuhan untuk mendapatkan keturunan yang kelak akan menjadi penerus perjuangan keluarga dan masyarakat serta agama.

Mendambakan adanya keturunan adalah merupakan fitrah bagi manusia, sebagai penyaluran dari rasa kebanggaan diri, penerus perjuangan, serta ahli waris dari hasil jerih payah yang ditempuhnya selama hidup. Orang sering merasa rendah diri, disebabkan tidak mempunyai keturunan. Ia juga akan merasa bahwa hidupnya tidak akan berarti jika hasil jerih payahnya tidak ada ahli warisnya. Karena itu kebutuhan akan keturunan dirasakan menjadi sangat penting bagi setiap orang. Maka Allah SWT.

mensyariatkan nikah dalam rangka memperoleh keturunan yang sah dan terhormat.

Menurut Ruqoith (2004: 103) sebagian orang tua baik para bapak atau ibu mengadu tentang kenakalan anak mereka dan tenggelamnya mereka dalam kemaksiatan, kecenderungan mereka kepada kejahatan, tidak mau taat kepada orang tua, melanggar nilai-nilai dan akhlak dan menolak peraturan-peraturan yang diajarkan oleh para orang tua mereka. Pada saat ini juga banyak keluhan yang disampaikan para guru dan orang tua yang bergerak di bidang sosial mengeluhkan tentang perilaku sebagian para remaja yang sangat mengkhawatirkan. Di antara mereka sudah banyak yang terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pembajakan bis, penodongan, pelanggaran seksual dan perbuatan kriminal lainnya. Kedua orang tua di rumah, guru di sekolah dan masyarakat pada umumnya , tampaknya sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis tersebut. (Nata, 2007: 215) Itulah sisi kenakalan anak-anak yang sudah menjadi masalah yang harus ditanggulangi bersama.

Disisi lain sangat jarang disinggung tentang kenakalan orang tua. Kenakalan orang tua yang paling fatal adalah kebodohan mereka tentang pendidikan anak yang benar serta lemahnya keinginan orang tua untuk mengerti akan tugas dan tanggung

jawab utama sebagai kepala rumah tangga, suami bagi istrinya dan orang tua bagi anak- anaknya. Banyak diantara mereka yang menikah tanpa pernah membekali dirinya dengan ilmu yang dibutuhkan kelak saat memiliki anak. Mereka anggap bahwa semua itu akan bergulir dengan sendirinya. Akhirnya saat mereka menemui berbagai masalah dan kesulitan dalam rumah tangganya, tindakan yang mereka tempuh adalah sikap gegabah ingin menyelesaikan masalah sesaat tanpa mempertimbangkan akibat buruk dikemudian hari. Kenakalan lain yang cukup parah pada orang tua adalah sedikitnya uswah pada diri mereka yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Padahal anak hanyalah ibarat bayangan yang mengikuti benda aslinya. Anak terkadang mempunyai sifat taklid yang membabi buta sehingga apa yang diperbuat oleh orang tuanya harus ditiru dan apa yang tidak dikerjakan harus ditinggalkan.

Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa betapa pentingnya mendidik dan membesarkan anak, sebab anak seperti manusia pada umumnya bisa menjadi anak yang saleh yang menyejukkan pandangan mata manakala dididik dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Al Qur‟an dan Sunah. Sebaliknya terkadang anak bisa menjadi fitnah (cobaan) yang senantiasa mengganggu kehidupan orang tua, saudara-saudaranya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Dua hal tersebut sangat mungkin terjadi tergantung bagaimana usaha orang tua dalam mendidik anak.

Contoh yang nyata dapat kita lihat pada anak keturunan dua orang Nabi yang sangat terkenal dengan kesalehannya yang sama-sama mendapat gelar Ulul „azmi yaitu Nabi Nuh a.s dan Ibrahim a.s. Putera Nabi Nuh a.s. bernama Kan‟an adalah contoh anak yang durhaka yang gagal didik oleh Nabi Nuh a.s, sehingga dia mati dalam keadaan kafir. Sementara putera Nabi Ibrahim a.s.yang bernama Ismail a.s adalah contoh anak yang saleh yang taat kepada Allah dan orang tuanya meskipun mengetahui adanya perintah penyembelihan terhadap dirinya, dengan seluruh ketaatan dan ketawadlu‟an, ia mempersilahkan ayahnya untuk menyembelih dirinya. Sikap Ismail menunjukkan kepatuhan terhadap orang tuanya meskipun telah diberi kesempatan untuk menolak perintah yang ditawarkan tersebut. (Huda & Idris, 2008: 148)

Kegagalan pendidikan selama ini menyebabkan banyak ahli mencari model dan format pendidikan yang tepat atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi kondisi tersebut. Semua orang mengharapkan ada satu model pendidikan yang aplikatif dan implementatif dengan merujuk kepada kisah-kisah Qurani dengan beberapa modifikasi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik anak ini

(4)

diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Selama ini teori-teori dari para pakar pendidikan sekuler barat ternyata tidak dapat menanggulangi kenakalan anak-anak mereka.Bahkan kenakalan anak dewasa ini, semakin menjadi-jadi, terlebih-lebih di era informasi seperti sekarang ini dimana anak- anak lebih mudah mengakses informasi dari berbagai media tentang informasi yang sebenarnya tidak layak mereka konsumsi.

Agar masalah tidak meluas maka disini penulis memberikan batasan pada dua hal pokok yaitu: 1) Bagaimana cara Nabi Ibrahim a.s.mendidik anak-anaknya sehingga berhasil mewujudkan cita-citanya untuk menjadikan mereka keturunan yang saleh yang disebut dalam Al Qur‟an sebagai dzurriyah thoyyibah dan qurrota a‟yun ? 2) Faktor- faktor apa saja yang melatarbelakangi kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik anak-anaknya?

Pengertian Pendidikan Islam

Pengertian pendidikan secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. (Aziz, 2011: 72)

Dalam literatur keislaman, terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu tarbiyah, taklim dan ta‟dib. Para pakar pendidikan Islam berbeda pendapat dalam menggunakan tiga istilah pendidikan tersebut. Naquib al-Attas (1984: 66) misalnya lebih cenderung menggunakan istilah ta‟dib dalam pendidikan.

Naquib melihat ta‟dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam Islam. Karena dalam istilah tersebut terkandung tiga sub-sistem yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah). Jadi tarbiyah dalam konsep Naquib ini hanya sub-sistem dari ta‟dib. Selanjutnya Naquib menyatakan bahwa secara semantik tidak khusus ditunjukkan untuk mendidik manusia, tetapi dapat juga dipakai untuk yang lain seperti tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material memberi makan, memelihara, membesarkan dan sebagainya.

Sementara Jalal (1988: 34) lebih cenderung menggunakan ta‟lim sebagai istilah dalam pendidikan, karena proses ta‟lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi.

Dalam konsep Jalal, ilmu, perkataan dan perilaku seseorang terintegrasi dalam membentuk kepribadiannya yang kokoh.

Para pakar pendidikan Islam Islam mengemukakan tujuan pendidikan Islam dalam redaksi yang berbeda-beda. Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (1998: 26), bahwa pendidikan Islam mempunyai dua tujuan: 1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan kepadanya. 2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniawian, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk untuk hidup di dunia.

Senada dengan konsep Ibnu Khaldun, Hujjat al Islam Imam Al Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan mencakup dua hal yaitu pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah, dan yang kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagian dunia dan akhirat.

Sedangkan tujuan pendidikan menurut Nasih Ulwan (1978: 7), tujuan pendidikan Islam ialah untuk mengubah umat manusia dari kegelapan, syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan kemantapan. Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa tujuan pendidikan menurut Nasih Ulwan adalah perubahan tingkah laku pada diri anak didik sehingga ia dapat keluar dari hal-hal yang tercela yang membawa kepada kesengsaraan hidup menuju kepada kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia baik dari aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah maupun bahasanya dalam rangka menjadikan pribadi yang unggul serta untuk mengabdikan diri kapada Allah SWT. Hal tersebut hanya bisa diperoleh dengan melalui pola latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indera secara berkesinambungan dan bimbingan dari orang dewasa yang ada di sekitar mereka terutama orang tua dan guru.

Pandangan Islam tentang Pendidikan Anak

Setiap manusia diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya. Secara literal, kata fitrah merupakan bentuk derivatif dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa yang berarti menciptakan. Hal ini Allah berfirman didalam Al Qur‟an

(5)

diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Selama ini teori-teori dari para pakar pendidikan sekuler barat ternyata tidak dapat menanggulangi kenakalan anak-anak mereka.Bahkan kenakalan anak dewasa ini, semakin menjadi-jadi, terlebih-lebih di era informasi seperti sekarang ini dimana anak- anak lebih mudah mengakses informasi dari berbagai media tentang informasi yang sebenarnya tidak layak mereka konsumsi.

Agar masalah tidak meluas maka disini penulis memberikan batasan pada dua hal pokok yaitu: 1) Bagaimana cara Nabi Ibrahim a.s.mendidik anak-anaknya sehingga berhasil mewujudkan cita-citanya untuk menjadikan mereka keturunan yang saleh yang disebut dalam Al Qur‟an sebagai dzurriyah thoyyibah dan qurrota a‟yun ? 2) Faktor- faktor apa saja yang melatarbelakangi kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik anak-anaknya?

Pengertian Pendidikan Islam

Pengertian pendidikan secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. (Aziz, 2011: 72)

Dalam literatur keislaman, terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu tarbiyah, taklim dan ta‟dib. Para pakar pendidikan Islam berbeda pendapat dalam menggunakan tiga istilah pendidikan tersebut. Naquib al-Attas (1984: 66) misalnya lebih cenderung menggunakan istilah ta‟dib dalam pendidikan.

Naquib melihat ta‟dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam Islam. Karena dalam istilah tersebut terkandung tiga sub-sistem yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah). Jadi tarbiyah dalam konsep Naquib ini hanya sub-sistem dari ta‟dib. Selanjutnya Naquib menyatakan bahwa secara semantik tidak khusus ditunjukkan untuk mendidik manusia, tetapi dapat juga dipakai untuk yang lain seperti tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material memberi makan, memelihara, membesarkan dan sebagainya.

Sementara Jalal (1988: 34) lebih cenderung menggunakan ta‟lim sebagai istilah dalam pendidikan, karena proses ta‟lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi.

Dalam konsep Jalal, ilmu, perkataan dan perilaku seseorang terintegrasi dalam membentuk kepribadiannya yang kokoh.

Para pakar pendidikan Islam Islam mengemukakan tujuan pendidikan Islam dalam redaksi yang berbeda-beda. Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (1998: 26), bahwa pendidikan Islam mempunyai dua tujuan: 1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan kepadanya. 2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniawian, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk untuk hidup di dunia.

Senada dengan konsep Ibnu Khaldun, Hujjat al Islam Imam Al Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan mencakup dua hal yaitu pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah, dan yang kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagian dunia dan akhirat.

Sedangkan tujuan pendidikan menurut Nasih Ulwan (1978: 7), tujuan pendidikan Islam ialah untuk mengubah umat manusia dari kegelapan, syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan kemantapan. Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa tujuan pendidikan menurut Nasih Ulwan adalah perubahan tingkah laku pada diri anak didik sehingga ia dapat keluar dari hal-hal yang tercela yang membawa kepada kesengsaraan hidup menuju kepada kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia baik dari aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah maupun bahasanya dalam rangka menjadikan pribadi yang unggul serta untuk mengabdikan diri kapada Allah SWT. Hal tersebut hanya bisa diperoleh dengan melalui pola latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indera secara berkesinambungan dan bimbingan dari orang dewasa yang ada di sekitar mereka terutama orang tua dan guru.

Pandangan Islam tentang Pendidikan Anak

Setiap manusia diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya. Secara literal, kata fitrah merupakan bentuk derivatif dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa yang berarti menciptakan. Hal ini Allah berfirman didalam Al Qur‟an

(6)

َكِلَذ ِوَّللا ِقْلَِلِ َليِدْبَ ت َلَ اَهْ يَلَع َساَّنلا َرَطَف ِتَِّلا ِوَّللا َتَرْطِف اًفيِنَح ِنيِّدلِل َكَهْجَو ْمِقَأَف َّنِكَلَو ُمِّيَقْلا ُنيِّدلا

َنوُمَلْعَ ي َلَ ِساَّنلا َرَ ثْكَأ

Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitroh alloh yang telah menciptakan manusia menurut firtoh itu. Tidak ada perubahan pada fitroh alloh. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar Rum (30): 30)

Kata fitrah secara harfiah berarti “penciptaan atau kejadian.” Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Mizan al-„Amal, berpendapat bahwa arti fitrah ialah kecenderungan asli manusia terhadap tauhid, dengan kata lain bahwa setiap manusia diciptakan Allah dengan dibekali kecenderungan asli untuk mengakui adanya Allah, namun beberapa kalangan mendefinisikan fitrah sebagai sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan- kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi upaya mempertahankan dan melestarikan hidupnya, kekuatan rasional (akal), kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan tersebut bersifat dinamis dan integral. (Ahid, 2010: 55) Sehubungan dengan hal ini Nabi saw.

telah bersabda:

َمْعَم اَنَ ثَّدَح ِقاَّزَّرلا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح َلاَق َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع ِبَّيَسُمْلا ِنْبا ِنَع ِّيِرْىُّزلا ِنَع ٌر

ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق :

َمَك ِوِناَسِّجَُيَُو ِوِناَرِّصَنُ يَو ِوِناَدِّوَهُ ي ُهاَوَ بَأَف ِةَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلوُي ٍدوُلْوَم ُّلُك َمَّلَسَو ِوْيَلَع يِهَبْلا ََُُْنُ ت ا

َنوُّسُِتُ ْلَى ُةَم

ْنِإ اوُءَرْ قاَو ُلوُقَ ي َُّثُ َءاَعْدَج ْنِم اَهيِف ْمَُْئِش

ِوَّللا ِقْلَِلِ َليِدْبَ ت َلَ اَهْ يَلَع َساَّنلا َرَطَف ِتَِّلا ِوَّللا َةَرْطِف ( )

Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah berkata;

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Setiap bayi terlahir dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan apakah kalian mendapati bahwa anaknya cacat" Kemudian dia berkata;"Jika kalian mau maka bacalah; " (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.

(H.R.Ahmad) (Musnad Imam Ahmad, Lidwa Pustaka, hadits ke-7387)

Potensi yang berupa fitrah tersebut menurut hadist Nabi masih berupa bentuk dasar yang belum sempurna, sehingga perlu penyempurnaan yang nantinya bisa menjadikan potensi tersebut bermanfaat bagi anak tersebut maupun untuk orang lain maka di sinilah peran pendidikan dalam upaya menghantarkan anak mengembangkan potensi tersebut.

Di sisi lain menurut tabiat dasarnya setiap manusia punya kecenderungan untuk menjadi orang baik. Namun Allah juga berfirman bahwa Dia telah mengilhamkan

kepada setiap orang kecenderungan untuk menjadi orang baik dan takwa atau orang fasik dan jahat. (QS. 91: 8) Ini berarti bahwa kecenderungan asli setiap manusia tidak saja terhadap kebajikan tetapi juga terhadap kejahatan. Lebih dari itu, jalan kebajikan dan jalan kejahatan pun telah Allah bentangkan kepada setiap orang (QS. 90:10). Untuk memilih salah satu dari dua jalan ini, tidak ada cara lain kecuali Allah memberikan kepada setiap manusia kebebasan untuk memilih (freedom of choice). Kebebasan ini hanya dapat diwujudkan bila manusia diberi juga kehendak bebas (free will) untuk memilih. Dari sinilah berlaku prinsip ganjaran dan hukuman. Potensi baik inilah yang nantinya dikembangkan, diperkaya dan diaktualisasikan secara nyata dalm perbuatan amaliah manusia sehari-hari. Selain itu Al-Quran mengisyaratkan bahwa faktor keturunan pun punya pengaruh besar terhadap hasil pendidikan anak. Firman Allah dalam Al Qur‟an surat Maryam (19): 28

ٍءْوَس َأَرْما ِكوُبَأ َناَك اَم َنوُراَى َتْخُأ اَي اِّيِغَب ِكُّمُأ ْتَناَك اَمَو

Artinya: Wahai saudara perempuan Harun! Bapakmu buknalh seorang yang buruk dan ibumu bukan seorang pezina (Q.S.Maryam (19): 28)

Selanjutnya, al-Ghazali, dalam karyanya yang terkenal Ihya „Ulum al-Din, menjabarkan lebih rinci bahwa yang termasuk fitrah adalah:

1. Kecenderungan untuk beriman kepada Allah (kecenderungan untuk bertauhid).

2. Kemampuan dasar untuk melakukan kebaikan dan keburukan.

3. Kecenderungan untuk menerima pelajaran (kecenderungan terhadap pendidikan) 4. Kecenderungan untuk mengetahui sesuatu atau rasa ingin tahu (curiosity) yang

mendorong manusia untuk berpikir.

5. Dorongan syahwat (keinginan biologis) seperti marah, hasrat makan dan minum serta hasrat mengembangkan keturunan (hubungan seksual)

6. Dorongan-dorongan lain yang dapat dikembangkan dan disempurnakan seperti dorongan untuk memiliki keterampilan di bidang tertentu (Al-Ghazali, 1987: 33-35)

Untuk memastikan mana yang lebih besar pengaruhnya terhadap pendidikan anak: apakah faktor bawaan (keturunan) atau pengalaman dalam ligkungan hidup (pergaulan), Al-Qusi berkesimpulan bahwa hal itu sangat sulit diketahui. Potensi merupakan bentuk dasar yang masih belum sempurna, sehingga butuh penyempurnaan

(7)

َكِلَذ ِوَّللا ِقْلَِلِ َليِدْبَ ت َلَ اَهْ يَلَع َساَّنلا َرَطَف ِتَِّلا ِوَّللا َتَرْطِف اًفيِنَح ِنيِّدلِل َكَهْجَو ْمِقَأَف َّنِكَلَو ُمِّيَقْلا ُنيِّدلا

َنوُمَلْعَ ي َلَ ِساَّنلا َرَ ثْكَأ

Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitroh alloh yang telah menciptakan manusia menurut firtoh itu. Tidak ada perubahan pada fitroh alloh. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar Rum (30): 30)

Kata fitrah secara harfiah berarti “penciptaan atau kejadian.” Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Mizan al-„Amal, berpendapat bahwa arti fitrah ialah kecenderungan asli manusia terhadap tauhid, dengan kata lain bahwa setiap manusia diciptakan Allah dengan dibekali kecenderungan asli untuk mengakui adanya Allah, namun beberapa kalangan mendefinisikan fitrah sebagai sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan- kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi upaya mempertahankan dan melestarikan hidupnya, kekuatan rasional (akal), kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan tersebut bersifat dinamis dan integral. (Ahid, 2010: 55) Sehubungan dengan hal ini Nabi saw.

telah bersabda:

َمْعَم اَنَ ثَّدَح ِقاَّزَّرلا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح َلاَق َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع ِبَّيَسُمْلا ِنْبا ِنَع ِّيِرْىُّزلا ِنَع ٌر

ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق :

َمَك ِوِناَسِّجَُيَُو ِوِناَرِّصَنُ يَو ِوِناَدِّوَهُ ي ُهاَوَ بَأَف ِةَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلوُي ٍدوُلْوَم ُّلُك َمَّلَسَو ِوْيَلَع يِهَبْلا ََُُْنُ ت ا

َنوُّسُِتُ ْلَى ُةَم

ْنِإ اوُءَرْ قاَو ُلوُقَ ي َُّثُ َءاَعْدَج ْنِم اَهيِف ْمَُْئِش

ِوَّللا ِقْلَِلِ َليِدْبَ ت َلَ اَهْ يَلَع َساَّنلا َرَطَف ِتَِّلا ِوَّللا َةَرْطِف ( )

Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah berkata;

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Setiap bayi terlahir dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan apakah kalian mendapati bahwa anaknya cacat" Kemudian dia berkata;"Jika kalian mau maka bacalah; " (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.

(H.R.Ahmad) (Musnad Imam Ahmad, Lidwa Pustaka, hadits ke-7387)

Potensi yang berupa fitrah tersebut menurut hadist Nabi masih berupa bentuk dasar yang belum sempurna, sehingga perlu penyempurnaan yang nantinya bisa menjadikan potensi tersebut bermanfaat bagi anak tersebut maupun untuk orang lain maka di sinilah peran pendidikan dalam upaya menghantarkan anak mengembangkan potensi tersebut.

Di sisi lain menurut tabiat dasarnya setiap manusia punya kecenderungan untuk menjadi orang baik. Namun Allah juga berfirman bahwa Dia telah mengilhamkan

kepada setiap orang kecenderungan untuk menjadi orang baik dan takwa atau orang fasik dan jahat. (QS. 91: 8) Ini berarti bahwa kecenderungan asli setiap manusia tidak saja terhadap kebajikan tetapi juga terhadap kejahatan. Lebih dari itu, jalan kebajikan dan jalan kejahatan pun telah Allah bentangkan kepada setiap orang (QS. 90:10). Untuk memilih salah satu dari dua jalan ini, tidak ada cara lain kecuali Allah memberikan kepada setiap manusia kebebasan untuk memilih (freedom of choice). Kebebasan ini hanya dapat diwujudkan bila manusia diberi juga kehendak bebas (free will) untuk memilih. Dari sinilah berlaku prinsip ganjaran dan hukuman. Potensi baik inilah yang nantinya dikembangkan, diperkaya dan diaktualisasikan secara nyata dalm perbuatan amaliah manusia sehari-hari. Selain itu Al-Quran mengisyaratkan bahwa faktor keturunan pun punya pengaruh besar terhadap hasil pendidikan anak. Firman Allah dalam Al Qur‟an surat Maryam (19): 28

ٍءْوَس َأَرْما ِكوُبَأ َناَك اَم َنوُراَى َتْخُأ اَي اِّيِغَب ِكُّمُأ ْتَناَك اَمَو

Artinya: Wahai saudara perempuan Harun! Bapakmu buknalh seorang yang buruk dan ibumu bukan seorang pezina (Q.S.Maryam (19): 28)

Selanjutnya, al-Ghazali, dalam karyanya yang terkenal Ihya „Ulum al-Din, menjabarkan lebih rinci bahwa yang termasuk fitrah adalah:

1. Kecenderungan untuk beriman kepada Allah (kecenderungan untuk bertauhid).

2. Kemampuan dasar untuk melakukan kebaikan dan keburukan.

3. Kecenderungan untuk menerima pelajaran (kecenderungan terhadap pendidikan) 4. Kecenderungan untuk mengetahui sesuatu atau rasa ingin tahu (curiosity) yang

mendorong manusia untuk berpikir.

5. Dorongan syahwat (keinginan biologis) seperti marah, hasrat makan dan minum serta hasrat mengembangkan keturunan (hubungan seksual)

6. Dorongan-dorongan lain yang dapat dikembangkan dan disempurnakan seperti dorongan untuk memiliki keterampilan di bidang tertentu (Al-Ghazali, 1987: 33-35)

Untuk memastikan mana yang lebih besar pengaruhnya terhadap pendidikan anak: apakah faktor bawaan (keturunan) atau pengalaman dalam ligkungan hidup (pergaulan), Al-Qusi berkesimpulan bahwa hal itu sangat sulit diketahui. Potensi merupakan bentuk dasar yang masih belum sempurna, sehingga butuh penyempurnaan

(8)

melalui proses pendidikan, tanpa pendidikan dan pengembangan potensi yang ada dalam diri anak tidak akan berkembang secara maksimal

Singkat kata, baik faktor keturunan (bawaan) maupun pengalaman yang diperoleh dari lingkungan hidup sama-sama menentukan pembentukan dan perkembangan keperibadian anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan ditentukan oleh beragam faktor. Oleh karena itu ide pendidikan, baik teori nativisme, empirisme dan konvergensi tidakbertentangan dengan ajaran Islam (Huda dan Idris, 2008: 75). Perbedaannya adalah Islam lebih memandang secara menyeluruh faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Sehingga perpaduan antara potensi yang dibawa sejak lahir, kemudian pengaruh pendidikan dan lingkuangan, namun hal tersebut tidaklah cukup. Ada faktor lain yang juga tidak kalah dominan yang juga memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia yaitu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki (Ahid, 2010: 58)

B. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini digunakan karena tujuan dari penelitian ini adalah dalam rangka melakukan deskripsi (penggambaran) dan penafsiran, terhadap ayat-ayat Al Qur‟an yang berkenaan dengan pola pendidikan Nabi Ibrahim a.s.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Studi kepustakaan ini digunakan untuk menemukan konsep-konsep, pendapat atau penemuan- penemuan yang erat kaitannya dengan pokok masalah yang diteliti. Adapun sumber utama penelitian ini adalah ayat-ayat Al Qur‟an yang menceritakan kisah pendidikan Nabi Ibrahim a.s. beserta penjelasan dari kitab-kitab tafsir dan hadits.

Di antara kitab Tafsir tersebut antara lain Tafsir Jami‟ul Bayan Fii Ta‟wil Al Qur‟an (Tafsir At Thobari), Tafsir Ruhul Ma‟ani Fii Tafsir Al Qur‟anil Adzim Wa Sab‟il Matsanii karya Syihabuddin Mahmud Al-Alausi, Tafsir Al Qusayiri Karangan Imam Al-Qusyairi, Tafsir Al Jami Li Ahkamil Qur‟an Karangan Abu Abdillah Muhammad Syamsuddin Al-Qurtubi, Tafsir Fii Dzilal Al Qur‟an karangan Sayyid Quthb, Tafsir Al Waasit karangan Muhammad Sayyid Thontowi, Tafsir Al-Qur‟anil

„Adzim karya Abul Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Mafaatihul Ghaib karangan Abu Abdillah Muhammad Fakhruddin Ar Razzi, Tafsir Al Misbah karangan M.Quraish

Shihab, Tafsir Tafsir Al Shawikarangan Ahmad Al-Shawi, Tafsir An Warut Tanzil Wa As Rorut Ta‟wi karangan Nasiruddin Muhammad Al-Baidlowi,Tafsir Al Azhar karangan HAMKA, Tafsir Al Manar karangan Muhammad Rasyid Ridlo, Tafsir Al Maraghi karangan Musthofa Al Maraghi,dan kitab-kitab tafsir lainnya.Untuk kitab-kitab Tafsir penulis sebagian mengambil Maktabah Asy Syamilah yang memuat berbagai macam kitab Tafsir. Sementara untuk kitab-kitab Hadits, penulis mengambil diantaranya Kitab Hadits Shahih Bukhori karangan Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Kitab Hadits Shahih Muslim karangan Muslim bin Al-Hajaj bin Muslim An Naisaburi, Musnad Imam Ahmad karangan Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Sunan At Tirmidzi karangan Muhammad bin Isa Adl Dlahhak dan kitab-kitab hadits lainnya, yang penulis ambil dari Ensiklopedi Hadits kitab 9 imam karya Lidwa Pustaka com.

Selain itu juga penulis menggunkan sumber sekunder yaitu berupa buku-buku yang tidak berkaitan langsung dengan tema yang dibahas akan tetapi menunjang objek penulisan diantaranya adalah buku tulisan para pakar yang memiliki validitas dan erat hubungannya dengan hubungannya dengan judul, diantaranya Ulwan, Kitab Tarbiyah Al Aulad Fi Al Islam karya Abdullah Nasih Ulwan, Konsep Pendidikan Qur‟anikarya Muhammad FadhilAl Jamali,Qishos Al AnbiyakaryaIbnu Katsir, Nalar Pendidikan Anak, Karya Miftahul Huda dan Muhammad Idris, Sudahkah Anda Mendidik Anak Anda Dengan Benar (Konsep Mendidik Anak Dalam Islam karya Muhammad HasanRuqoith, Cara Nabi Mendidik Anakkarya Muhammad Ibnu HafidzSuwaid, Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Islam karya Nur Ahid dan karya-karya lainnya yang relevan dengan judul.

Selanjutnya data yang telah terkumpul tersebut dianalisa, kemudian disusun dan diolah dengan cara mendiskripsikan beberapa masalah, untuk selanjutnya dikaji secara tematik yaitu dengan cara:

a. Memilih/menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik (mawdhu‟iy).

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan.

c. Menyusun runtutan ayat-ayat tersebut menurut kronologis masa turunnya diserta dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.

d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.

(9)

melalui proses pendidikan, tanpa pendidikan dan pengembangan potensi yang ada dalam diri anak tidak akan berkembang secara maksimal

Singkat kata, baik faktor keturunan (bawaan) maupun pengalaman yang diperoleh dari lingkungan hidup sama-sama menentukan pembentukan dan perkembangan keperibadian anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan ditentukan oleh beragam faktor. Oleh karena itu ide pendidikan, baik teori nativisme, empirisme dan konvergensi tidakbertentangan dengan ajaran Islam (Huda dan Idris, 2008: 75). Perbedaannya adalah Islam lebih memandang secara menyeluruh faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Sehingga perpaduan antara potensi yang dibawa sejak lahir, kemudian pengaruh pendidikan dan lingkuangan, namun hal tersebut tidaklah cukup. Ada faktor lain yang juga tidak kalah dominan yang juga memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia yaitu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki (Ahid, 2010: 58)

B. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini digunakan karena tujuan dari penelitian ini adalah dalam rangka melakukan deskripsi (penggambaran) dan penafsiran, terhadap ayat-ayat Al Qur‟an yang berkenaan dengan pola pendidikan Nabi Ibrahim a.s.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Studi kepustakaan ini digunakan untuk menemukan konsep-konsep, pendapat atau penemuan- penemuan yang erat kaitannya dengan pokok masalah yang diteliti. Adapun sumber utama penelitian ini adalah ayat-ayat Al Qur‟an yang menceritakan kisah pendidikan Nabi Ibrahim a.s. beserta penjelasan dari kitab-kitab tafsir dan hadits.

Di antara kitab Tafsir tersebut antara lain Tafsir Jami‟ul Bayan Fii Ta‟wil Al Qur‟an (Tafsir At Thobari), Tafsir Ruhul Ma‟ani Fii Tafsir Al Qur‟anil Adzim Wa Sab‟il Matsanii karya Syihabuddin Mahmud Al-Alausi, Tafsir Al Qusayiri Karangan Imam Al-Qusyairi, Tafsir Al Jami Li Ahkamil Qur‟an Karangan Abu Abdillah Muhammad Syamsuddin Al-Qurtubi, Tafsir Fii Dzilal Al Qur‟an karangan Sayyid Quthb, Tafsir Al Waasit karangan Muhammad Sayyid Thontowi, Tafsir Al-Qur‟anil

„Adzim karya Abul Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Mafaatihul Ghaib karangan Abu Abdillah Muhammad Fakhruddin Ar Razzi, Tafsir Al Misbah karangan M.Quraish

Shihab, Tafsir Tafsir Al Shawikarangan Ahmad Al-Shawi, Tafsir An Warut Tanzil Wa As Rorut Ta‟wi karangan Nasiruddin Muhammad Al-Baidlowi,Tafsir Al Azhar karangan HAMKA, Tafsir Al Manar karangan Muhammad Rasyid Ridlo, Tafsir Al Maraghi karangan Musthofa Al Maraghi,dan kitab-kitab tafsir lainnya.Untuk kitab-kitab Tafsir penulis sebagian mengambil Maktabah Asy Syamilah yang memuat berbagai macam kitab Tafsir. Sementara untuk kitab-kitab Hadits, penulis mengambil diantaranya Kitab Hadits Shahih Bukhori karangan Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Kitab Hadits Shahih Muslim karangan Muslim bin Al-Hajaj bin Muslim An Naisaburi, Musnad Imam Ahmad karangan Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Sunan At Tirmidzi karangan Muhammad bin Isa Adl Dlahhak dan kitab-kitab hadits lainnya, yang penulis ambil dari Ensiklopedi Hadits kitab 9 imam karya Lidwa Pustaka com.

Selain itu juga penulis menggunkan sumber sekunder yaitu berupa buku-buku yang tidak berkaitan langsung dengan tema yang dibahas akan tetapi menunjang objek penulisan diantaranya adalah buku tulisan para pakar yang memiliki validitas dan erat hubungannya dengan hubungannya dengan judul, diantaranya Ulwan, Kitab Tarbiyah Al Aulad Fi Al Islam karya Abdullah Nasih Ulwan, Konsep Pendidikan Qur‟anikarya Muhammad FadhilAl Jamali,Qishos Al AnbiyakaryaIbnu Katsir, Nalar Pendidikan Anak, Karya Miftahul Huda dan Muhammad Idris, Sudahkah Anda Mendidik Anak Anda Dengan Benar (Konsep Mendidik Anak Dalam Islam karya Muhammad HasanRuqoith, Cara Nabi Mendidik Anakkarya Muhammad Ibnu HafidzSuwaid, Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Islam karya Nur Ahid dan karya-karya lainnya yang relevan dengan judul.

Selanjutnya data yang telah terkumpul tersebut dianalisa, kemudian disusun dan diolah dengan cara mendiskripsikan beberapa masalah, untuk selanjutnya dikaji secara tematik yaitu dengan cara:

a. Memilih/menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik (mawdhu‟iy).

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan.

c. Menyusun runtutan ayat-ayat tersebut menurut kronologis masa turunnya diserta dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.

d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.

(10)

e. Menyusun bahasan dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (out line).

f. Melengkapi bahasan dengan uraian hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun ayat-ayat yang serupa lalu, mengkompromikan antara pengertian yang ‟am (umum) dengan khash (khusus), antara yang muthlaq dengan muqayyad (terikat), mensingkronkan antara ayat-ayat yang tampak kontradiktif sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

h. Melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur‟an tentang satu topik masalah yang telah dipilih di atas.

Data-data yang telah diambil dari buku-buku atau kitab-kitab tafsir tersebut dikaji secara tematik (maudlu‟i). Tafsir maudlui menurut Jazuli (2005:13) berarti menghimpun ayat-ayat yang tersebar pada berbagai surat dalam Al Qur‟an yang berbicara tentang suatu tema. Dengan menghimpun segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat tersebut sehingga seseorang dapat mengetahui muatan materi dan segala segi dari suatu tema.

Adapun langkah-langkahnya sebagaimana dihimpun oleh M.Quraisy Shihab (2002:114) adalah sebagai berikut:

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), dalam hal ini topik yang akan dibahas adalah “Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim a.s di dalam Al Qur‟an”.

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan dengan masalah tersebut seperti Q.S. As Shoffat (37):100, Q.S.Al Baqarah (2):128 dan 132, Q.S.Ibrahim (14):37- 41, Q.S. Al Furqon (25): 74.

c. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.

e. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.

f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat- ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqoyyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan. Bentuk penyajian hasil penelitian ini, dengan menghimpun pesan-pesan yang ada dalam Al Qur‟an, yang terdapat dalam berbagai surat, lalu disusun secara berurutan sesuai dengan topik dalam penelitian.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Ibrahim A.S Sebelum Diangkat Menjadi Nabi

Nabi Ibrahim adalah putera Azar bin Tahur bin Saruj bin Rau‟ bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh a.s., akan tetapi menurut Shihab (2002:

159, Vol 4) para ulama‟ berbeda pendapat menyangkut Azar, apakah ia ayah kandung Nabi Ibrahim a.s. atau pamannya. Salah satu alasan menolak memahami kata “abihi”

dalam arti bapak kandung adalah bahwa jika Azar adalah bapak kandung Nabi Ibrahim as. maka itu berarti ada leluhur dari Nabi Muhammad yang musyrik, karena beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s.

Ibrahim a.s. dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A‟ram sebuah daerah di kerajaan Babylon yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Namrud bin Kan‟an. Kerajaan Babylon pada masa itu termasuk kerajaan yang makmur, rakyatnya hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang maupun pangan serta sarana-sarana yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mereka, akan tetapi tingkatan hidup rohani mereka masih berada ditingkat jahiliyah. Mereka tidak mengenal Tuhan Pencipta yang telah mengaruniakan kepada mereka segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Sesembahan mereka adalah patung-patung yang mereka pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.

Sebelum itu keadaan tempat kelahirannya berada dalam kucar-kacir. Ini adalah karena Raja Namrud mendapat pertanda bahwa seorang bayi akan dilahirkan disana dan bayi ini akan membesar dan merampas takhtanya. Antara sifat insan yang akan menentangnya ini ialah dia akan membawa agama yang mempercayai satu tuhan dan akan menjadi pemusnah batu berhala. Insan ini juga akan menjadi penyebab Raja Namrud mati dengan cara yang dahsyat. Oleh itu Raja Namrud telah memerintahkan kepada semua pengikutnya, agar setiap bayi yang dilahirkan dibunuh ditempat jika berasal dari golongan laki-laki dan untuk wanita dipisahkan selama setahun.

Walaupun begitu dalam keadaan cemas ini, kehendak Allah tetap terjadi. Ibu Nabi Ibrahim a.s. telah mengandung namun tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Pada suatu hari dia terasa seperti telah tiba waktunya untuk melahirkan anak dan sadar sekiranya diketahui Raja Namrud yang zalim pasti dia serta anaknya akan dibunuh.

Dalam ketakutan, ibu Nabi Ibrahim telah bersembunyi dan melahirkan anaknya di dalam sebuah gua yang gelap dan dalam serta meninggalkannya seorang diri. Seminggu kemudian, dia bersama suaminya telah pulang ke gua tersebut dan terkejut melihat nabi

(11)

e. Menyusun bahasan dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (out line).

f. Melengkapi bahasan dengan uraian hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun ayat-ayat yang serupa lalu, mengkompromikan antara pengertian yang ‟am (umum) dengan khash (khusus), antara yang muthlaq dengan muqayyad (terikat), mensingkronkan antara ayat-ayat yang tampak kontradiktif sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

h. Melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur‟an tentang satu topik masalah yang telah dipilih di atas.

Data-data yang telah diambil dari buku-buku atau kitab-kitab tafsir tersebut dikaji secara tematik (maudlu‟i). Tafsir maudlui menurut Jazuli (2005:13) berarti menghimpun ayat-ayat yang tersebar pada berbagai surat dalam Al Qur‟an yang berbicara tentang suatu tema. Dengan menghimpun segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat tersebut sehingga seseorang dapat mengetahui muatan materi dan segala segi dari suatu tema.

Adapun langkah-langkahnya sebagaimana dihimpun oleh M.Quraisy Shihab (2002:114) adalah sebagai berikut:

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), dalam hal ini topik yang akan dibahas adalah “Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim a.s di dalam Al Qur‟an”.

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan dengan masalah tersebut seperti Q.S. As Shoffat (37):100, Q.S.Al Baqarah (2):128 dan 132, Q.S.Ibrahim (14):37- 41, Q.S. Al Furqon (25): 74.

c. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.

e. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.

f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat- ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqoyyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan. Bentuk penyajian hasil penelitian ini, dengan menghimpun pesan-pesan yang ada dalam Al Qur‟an, yang terdapat dalam berbagai surat, lalu disusun secara berurutan sesuai dengan topik dalam penelitian.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Ibrahim A.S Sebelum Diangkat Menjadi Nabi

Nabi Ibrahim adalah putera Azar bin Tahur bin Saruj bin Rau‟ bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh a.s., akan tetapi menurut Shihab (2002:

159, Vol 4) para ulama‟ berbeda pendapat menyangkut Azar, apakah ia ayah kandung Nabi Ibrahim a.s. atau pamannya. Salah satu alasan menolak memahami kata “abihi”

dalam arti bapak kandung adalah bahwa jika Azar adalah bapak kandung Nabi Ibrahim as. maka itu berarti ada leluhur dari Nabi Muhammad yang musyrik, karena beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s.

Ibrahim a.s. dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A‟ram sebuah daerah di kerajaan Babylon yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Namrud bin Kan‟an. Kerajaan Babylon pada masa itu termasuk kerajaan yang makmur, rakyatnya hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang maupun pangan serta sarana-sarana yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mereka, akan tetapi tingkatan hidup rohani mereka masih berada ditingkat jahiliyah. Mereka tidak mengenal Tuhan Pencipta yang telah mengaruniakan kepada mereka segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Sesembahan mereka adalah patung-patung yang mereka pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.

Sebelum itu keadaan tempat kelahirannya berada dalam kucar-kacir. Ini adalah karena Raja Namrud mendapat pertanda bahwa seorang bayi akan dilahirkan disana dan bayi ini akan membesar dan merampas takhtanya. Antara sifat insan yang akan menentangnya ini ialah dia akan membawa agama yang mempercayai satu tuhan dan akan menjadi pemusnah batu berhala. Insan ini juga akan menjadi penyebab Raja Namrud mati dengan cara yang dahsyat. Oleh itu Raja Namrud telah memerintahkan kepada semua pengikutnya, agar setiap bayi yang dilahirkan dibunuh ditempat jika berasal dari golongan laki-laki dan untuk wanita dipisahkan selama setahun.

Walaupun begitu dalam keadaan cemas ini, kehendak Allah tetap terjadi. Ibu Nabi Ibrahim a.s. telah mengandung namun tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Pada suatu hari dia terasa seperti telah tiba waktunya untuk melahirkan anak dan sadar sekiranya diketahui Raja Namrud yang zalim pasti dia serta anaknya akan dibunuh.

Dalam ketakutan, ibu Nabi Ibrahim telah bersembunyi dan melahirkan anaknya di dalam sebuah gua yang gelap dan dalam serta meninggalkannya seorang diri. Seminggu kemudian, dia bersama suaminya telah pulang ke gua tersebut dan terkejut melihat nabi

(12)

Ibrahim a.s masih hidup. Selama seminggu, bayi itu menghisap celah jarinya yang mengandung susu dan makanan lain yang berkhasiat. Semasa berusia 15 bulan tubuh Nabi Ibrahim telah membesar dengan cepatnya seperti kanak-kanak berusia dua tahun.

Maka kedua ibu-bapanya berani membawanya pulang kerumah mereka.

Penguasa waktu itu, Raja mereka Namrud bin Kan‟an menjalankan tampuk pemerintahannya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua yang menjadi kehendaknya harus terlaksana dan perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dapat dilanggar dan ditawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup yang berlebih-lebihan menjadikan dirinya tidak puas hanya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Lalu Ia pun berfikir jika rakyatnya menyembah patung-patung yang terbuat dari batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan dialah yang disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, mendengar, berfikir, dan memimpin serta membawa kemakmuran bagi kehidupan rakyatnya. Lalu ia pun segera memproklamirkan dirinya menjadi Tuhan.

Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan patung-patung buatannya, namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya, menjadikan Ibrahim a.s. tidak bersemangat untuk menjajakan barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calon pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini?

2. Metode Pendidikan Pendidikan Nabi Ibrahim A.S.

Setelah kita tadabburi ayat ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim a.s.dapat ambil beberapa bentuk metode yang Nabiyullah Ibrahim a.s. gunakan dalam pendidikan.

a. Metode Keteladanan atau Uswah Hasanah

Keteladanan merupakan salah satu metode dalam pendidikan Islam yang pengaruhnya luar biasa bagi peserta didik. Apalagi dizaman sekarang ini yang miskin keteladanan. Allah menjadikan Nabi Ibrahim a.s. sebagai teladan bagi keluarga, anak dan ummatnya dalam menunaikan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangannya, demikian juga akhlak kesehariannya. Sampai kita umat Muhamad saw. juga

diperintahkan untuk mengambil teladan dari Abul Anbiya‟ ini, Firman Allah dalam Al Qur‟an QS. al-Mumtahanah (60): 4.

َو ْمُكْنِم ُءآَرُ ب اَّنِإ ْمِهِمْوَقِل اوُلاَق ْذِإ ُوَعَم َنيِذَّلاَو َميِىاَرْ بِإ ِفِ ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ْمُكَل ْتَناَك ْدَق ِوَّللا ِنوُد ْنِم َنوُدُبْعَ ت اَِّمِمّ

َنْ يَ بَو اَنَ نْ يَ ب اَدَبَو ْمُكِب اَنْرَفَك ِويِبَِلِ َميِىاَرْ بِإ َلْوَ ق َّلَِإ ُهَدْحَو ِوَّللاِب اوُنِمْؤُ ت َّتََّح اًدَبَأ ُءاَضْغَ بْلاَو ُةَواَدَعْلا ُمُك

َلِإَو اَنْ بَ نَأ َكْيَلِإَو اَنْلَّكَوَ ت َكْيَلَع اَنَّ بَر ٍءْيَش ْنِم ِوَّللا َنِم َكَل ُكِلْمَأ اَمَو َكَل َّنَرِفْغَ َْسََلِ

ُرِصَمْلا َكْي

Begitu juga dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 6.

َّللا َّنِإَف َّلَوَ ََ ي ْنَمَو َرِخ ْلْا َمْوَ يْلاَو َوَّللا وُجْرَ ي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ْمِهيِف ْمُكَل َناَك ْدَقَل ُديِمَْْا َُِِّغْلا َوُى َو

Sebagaimana kita juga diperintahkan meneladani Rasulullah Muhammad saw.

Dalam semua aspek kehidupannya. QS. Al-Ahzab (33): 21

َوَّللا َرَكَذَو َرِخ ْلْا َمْوَ يْلاَو َوَّللا وُجْرَ ي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ِوَّللا ِلوُسَر ِفِ ْمُكَل َناَك ْدَقَل اًرِثَك

Banyak sekali keteladanan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim a.s. bagi keluarganya, ummatnya dan juga ummat Muhammad saw. yang tersebar di berbagai surat dalam Al Qur‟an.Diantaranya sebagaimana disebut oleh Al Qusayri yaitu berupa kedermawanan, kebaikan akhlak, Ikhlas, jujur dan sabar dan sifat-sifat terpuji lainnya yang telah kita ketahui (Al Qusayri Juz 7 , t.t.: 416), Baik keteladanan dalam bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan, keteladanan dalam kehanifannya perlu kita teladani. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Nahl (16): 120-122.

َينِكِرْشُمْلا َنِم ُكَي َْلََو اًفيِنَح ِوَّلِل اًَِناَق ًةَّمُأ َناَك َميِىاَرْ بِإ َّنِإ ٍميِقََْسُم ٍطاَرِص َلَِإ ُهاَدَىَو ُهاَبََْجا ِوِمُعْ نَِلِ اًرِكاَش .

َينِِْاَّصلا َنِمَل ِةَرِخ ْلْا ِفِ ُوَّنِإَو ًةَنَسَح اَيْ نُّدلا ِفِ ُهاَنْ يَ تآَو . .

b. Metode Nasihat

Metode nasehat dalam Alquran digunakan untuk menyentuh hati supaya manusia mengarah kepada tujuan yang diharapkan. Metode ini juga menempati posisi yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam dan penanaman nilai nilai sebagaiman firman Allah: QS An Nahl: 125

َوُى َكَّبَر َّنِإ ُنَسْحَأ َيِى ِتَِّلاِب ْمُْلِْداَجَو ِةَنَسَْْا ِةَظِعْوَمْلاَو ِةَمْكِْْاِب َكِّبَر ِليِبَس َلَِإ ُعْدا ْنَع َّلََ ْنَِِ ُمَلْعَأ

َنيِدََْهُمْلاِب ُمَلْعَأ َوُىَو ِوِليِبَس

Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Nasehat atau juga bisa dengan sebutan wasiat atau

(13)

Ibrahim a.s masih hidup. Selama seminggu, bayi itu menghisap celah jarinya yang mengandung susu dan makanan lain yang berkhasiat. Semasa berusia 15 bulan tubuh Nabi Ibrahim telah membesar dengan cepatnya seperti kanak-kanak berusia dua tahun.

Maka kedua ibu-bapanya berani membawanya pulang kerumah mereka.

Penguasa waktu itu, Raja mereka Namrud bin Kan‟an menjalankan tampuk pemerintahannya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua yang menjadi kehendaknya harus terlaksana dan perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dapat dilanggar dan ditawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup yang berlebih-lebihan menjadikan dirinya tidak puas hanya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Lalu Ia pun berfikir jika rakyatnya menyembah patung-patung yang terbuat dari batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan dialah yang disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, mendengar, berfikir, dan memimpin serta membawa kemakmuran bagi kehidupan rakyatnya. Lalu ia pun segera memproklamirkan dirinya menjadi Tuhan.

Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan patung-patung buatannya, namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya, menjadikan Ibrahim a.s. tidak bersemangat untuk menjajakan barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calon pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini?

2. Metode Pendidikan Pendidikan Nabi Ibrahim A.S.

Setelah kita tadabburi ayat ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim a.s.dapat ambil beberapa bentuk metode yang Nabiyullah Ibrahim a.s. gunakan dalam pendidikan.

a. Metode Keteladanan atau Uswah Hasanah

Keteladanan merupakan salah satu metode dalam pendidikan Islam yang pengaruhnya luar biasa bagi peserta didik. Apalagi dizaman sekarang ini yang miskin keteladanan. Allah menjadikan Nabi Ibrahim a.s. sebagai teladan bagi keluarga, anak dan ummatnya dalam menunaikan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangannya, demikian juga akhlak kesehariannya. Sampai kita umat Muhamad saw. juga

diperintahkan untuk mengambil teladan dari Abul Anbiya‟ ini, Firman Allah dalam Al Qur‟an QS. al-Mumtahanah (60): 4.

َو ْمُكْنِم ُءآَرُ ب اَّنِإ ْمِهِمْوَقِل اوُلاَق ْذِإ ُوَعَم َنيِذَّلاَو َميِىاَرْ بِإ ِفِ ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ْمُكَل ْتَناَك ْدَق ِوَّللا ِنوُد ْنِم َنوُدُبْعَ ت اَِّمِمّ

َنْ يَ بَو اَنَ نْ يَ ب اَدَبَو ْمُكِب اَنْرَفَك ِويِبَِلِ َميِىاَرْ بِإ َلْوَ ق َّلَِإ ُهَدْحَو ِوَّللاِب اوُنِمْؤُ ت َّتََّح اًدَبَأ ُءاَضْغَ بْلاَو ُةَواَدَعْلا ُمُك

َلِإَو اَنْ بَ نَأ َكْيَلِإَو اَنْلَّكَوَ ت َكْيَلَع اَنَّ بَر ٍءْيَش ْنِم ِوَّللا َنِم َكَل ُكِلْمَأ اَمَو َكَل َّنَرِفْغَ َْسََلِ

ُرِصَمْلا َكْي

Begitu juga dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 6.

َّللا َّنِإَف َّلَوَ ََ ي ْنَمَو َرِخ ْلْا َمْوَ يْلاَو َوَّللا وُجْرَ ي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ْمِهيِف ْمُكَل َناَك ْدَقَل ُديِمَْْا َُِِّغْلا َوُى َو

Sebagaimana kita juga diperintahkan meneladani Rasulullah Muhammad saw.

Dalam semua aspek kehidupannya. QS. Al-Ahzab (33): 21

َوَّللا َرَكَذَو َرِخ ْلْا َمْوَ يْلاَو َوَّللا وُجْرَ ي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ ِوَّللا ِلوُسَر ِفِ ْمُكَل َناَك ْدَقَل اًرِثَك

Banyak sekali keteladanan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim a.s. bagi keluarganya, ummatnya dan juga ummat Muhammad saw. yang tersebar di berbagai surat dalam Al Qur‟an.Diantaranya sebagaimana disebut oleh Al Qusayri yaitu berupa kedermawanan, kebaikan akhlak, Ikhlas, jujur dan sabar dan sifat-sifat terpuji lainnya yang telah kita ketahui (Al Qusayri Juz 7 , t.t.: 416), Baik keteladanan dalam bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan, keteladanan dalam kehanifannya perlu kita teladani. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Nahl (16): 120-122.

َينِكِرْشُمْلا َنِم ُكَي َْلََو اًفيِنَح ِوَّلِل اًَِناَق ًةَّمُأ َناَك َميِىاَرْ بِإ َّنِإ ٍميِقََْسُم ٍطاَرِص َلَِإ ُهاَدَىَو ُهاَبََْجا ِوِمُعْ نَِلِ اًرِكاَش .

َينِِْاَّصلا َنِمَل ِةَرِخ ْلْا ِفِ ُوَّنِإَو ًةَنَسَح اَيْ نُّدلا ِفِ ُهاَنْ يَ تآَو . .

b. Metode Nasihat

Metode nasehat dalam Alquran digunakan untuk menyentuh hati supaya manusia mengarah kepada tujuan yang diharapkan. Metode ini juga menempati posisi yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam dan penanaman nilai nilai sebagaiman firman Allah: QS An Nahl: 125

َوُى َكَّبَر َّنِإ ُنَسْحَأ َيِى ِتَِّلاِب ْمُْلِْداَجَو ِةَنَسَْْا ِةَظِعْوَمْلاَو ِةَمْكِْْاِب َكِّبَر ِليِبَس َلَِإ ُعْدا ْنَع َّلََ ْنَِِ ُمَلْعَأ

َنيِدََْهُمْلاِب ُمَلْعَأ َوُىَو ِوِليِبَس

Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Nasehat atau juga bisa dengan sebutan wasiat atau

(14)

pesan yang baik dengan cara yang baik dan disesuaikan dengan situaisi dan kondisi yang tepat akan sangat berpengaruh pada diri peserta didik. Al Baidlowi (t.t.: 169) mendefinisikan bahwa wasiat adalah menyampaikan pesan kebaikan dan ibadah kepada pihak lain (untuk dilaksanakan).

Nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak kesadaran akan hakikat sesuatu. Mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia serta membekalinya dengan prinsip- prinsip Islam. (Ulwan, 1978: 2008) Nabi Ibrahim menggunakan metode ini dalam pendidikan anak-anaknya tergambar dalam firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2): 132

َو َّلَِإ َّنُتوَُتَ َلََف َنيِّدلا ُمُكَل ىَفَطْصا َوَّللا َّنِإ ََِِّب اَي ُبوُقْعَ يَو ِويِنَب ُميِىاَرْ بِإ اَِبِ ىَّصَوَو َنوُمِلْسُم ْمَُْ نَأ

Demikian juga nasehat beliau kepada bapak dan juga kaumnya. Firman Allah dalam QS. Ashoffat (37): 85-87.

َنوُدُبْعَ ت اَذاَم ِوِمْوَ قَو ِويِبَِلِ َلاَق ْذِإ َنوُديِرُت ِوَّللا َنوُد ًةَِلْآ اًكْفِئَأ .

َينِمَلاَعْلا ِّبَرِب ْمُكُّنَظ اَمَف .

Sebagaimana Allah mensifati manusia dengan sifat orang yang merugi ketika orang tersebut tidak mau saling nasehat menasehati dalam ketaqwaan, kesabaran, kebenaran dan dalam kasih sayang. Firman Allah QS. Al-Asr (103): 1-3.

ِرْصَعْلاَو ٍرْسُخ يِفَل َناَسْنِْلْا َّنِإ .

ِْبَّصلاِب اْوَصاَوَ تَو ِّقَْْاِب اْوَصاَوَ تَو ِتاَِْاَّصلا اوُلِمَعَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َّلَِإ . .

Begitu juga dalam Q.S.al-Balad (90): 17.

اْوَصاَوَ تَو ِْبَّصلاِب اْوَصاَوَ تَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َنِم َناَك َُّثُ

ِةََحَْرَمْلاِب

c. Metode dialog

Salah satu metode yang digunankan nabi Ibrahim adalah metode dialog. Metode ini digunakan untuk mengetahui dan memantapkan pangetahuan peserta didik yang dia miliki. Dialog yang begitu mengharukan sekaligus sarat dengan ibroh pendidikan sekaligus menggambarkan tingkat keimanan yang sangat tinggi dari pendidik (Nabi Ibrahim) dan peserta didik (Nabi Ismail). Dalam surat QS. Ash-Shoffat (37): 102.

ِماَنَمْلا ِفِ ىَرَأ ِّنِِّإ ََُِّ ب اَي َلاَق َيْعَّسلا ُوَعَم َغَلَ ب اَّمَلَ ف ُرَمْؤُ ت اَم ْلَعْ فا ِتَبَأ اَي َلاَق ىَرَ ت اَذاَم ْرُظْناَف َكَُبَْذَأ ِّنَِّأ

َنيِرِباَّصلا َنِم ُوَّللا َءاَش ْنِإ ِنُِّدِجَََس

Dari sini terlihat jelas, sang ayah yang shalih ini menuntun dan mendidik anaknya dengan cara yang bijak agar sama-sama patuh kepada semua perintah Allah betapapun beratnya. Beliau menggunakan metode dialogis dengan seolah-olah meminta

pendapat putranya, “Ya anakku, aku melihat di dalam mimpiku, aku menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” Kebijakan sang ayah ini pun dijawab dengan ketegasan dan kesabaran seorang anak, “Ya ayah, kerjakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk golongan orang-orang yang sabar.” Dari dialog tersebut kita melihat bagaimana seorang anak dapat memahami betapa ayahnya mendapat perintah Allah yang begitu berat. Lalu dengan segala kerendahan hatinya dan tak lupa menyebut kata insya Allah, Ismail berusaha meyakinkan ayahnya bahwa ia siap membantu ayahnya untuk mentaati perintah Allah tersebut.Menurut Ibnu Katsir car dialog seperti yang diajarkan Nabi Ibrahim tersebut adalah untuk melatih berargumentasi, kesabaran, ketangguhan, dan keteguhannya untuk patuh kepada Allah SWT. dan taat kepada orang tua (Ibnu Katsir vol 4, 1968:15)

d. Metode Adu Argumen

Metode ini digunakan Nabi Ibrahim untuk mementahkan aqidah mereka yang sesat yang menuhankan berhala dan benda antariksa, firman Allah SWT dalam QS. Al Anam (6): 80.

َنوُكِرْشُت اَم ُفاَخَأ َلََو ِناَدَى ْدَقَو ِوَّللا ِفِ ِّنِّوُّجاَُتَُأ َلاَق ُوُمْوَ ق ُوَّجاَحَو َّلُك ِّبَِر َعِسَو اًئْيَش ِّبَِر َءاَشَي ْنَأ َّلَِإ ِوِب

َنوُرَّكَذَََ ت َلََفَأ اًمْلِع ٍءْيَش

3. Faktor-Faktor Kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. Dalam Mendidik Anak

Keberhasilan Ibrahim A.S. mendidik putranya Ismail, menjadi anak yang beriman dan bertakwa. Agar bisa mewujudkan impian mempunyai anak yang beriman dan bertakwa tentu saja harus ada faktor-faktor pendukung, seperti:

a. Integritas dan ketawakkalan Nabi Ibrahim a.s.

Integritas dan tawakkal adalah dua kata banyak mengandung arti dan sarat dengan makna. Integritas menurut Purwadarminta adalah kata benda yang berarti kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan. Semua arti kata itu tepat sekali mendukung pembentukan sosok pribadi manusia sesuai yang diharapkan yaitu manusia yang “paripurna” atau secara sederhananya ialah manusia yang penuh dengan “kemuliaan”. Integritas, sebenarnya sebuah kata yang memiliki definisi sederhana, namun sulit untuk direalisasikan. Inti dari integritas adalah kesatuan kata

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi Produk : Kursi belajar yang sesuai dengan struktur dan anatomi tubuh anak usia 4–5 tahun mempunyai beberapa fungsi untuk menunjang proses belajar

Variabel penelitian ini adalah budaya kerja perawat sebagai variabel bebas dan ketepatan identifikasi pasien sebagai variabel terikatnya, jenis penelitian

Apabila oleh divisi pelaksana dinyatakan lolos atau bukan plagiat maka ketua Umum Komisi Etik dan Pelaksana Deteksi Plagiasi Karya Tulis Ilmiah akan memberikan

Bagian A ini leitmotif Ayah sering muncul menandakan berkisah tentang rasa sakit dan perasaan sedih Ayah ketika mengalami sakit hingga pada birama 19–22 pola ritme yang

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi.. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan situs sejarah peninggalan peradaban Islam di Kota Malang sebagai sumber belajar dan basis aktifitas pembelajaran merupakan

Allhamdulillahirabbil‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahamat, taufik, dan hidayah-NYA sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis hasil dari

Menurut Berry (Sobur, 2009) dalam penelitian kepribadian, terdapat berbagai istilah seperti motif, sifat dan temperamen yang menunjukkan kekhasan permanen pada