• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan kondisi saat tekanan darah yang menghasilkan kekuatan pada darah mendorong dinding pembuluh darah secara tinggi dan berlangsung konsisten.

Hipertensi disebut juga Silent Killer yang membuat pengidapnya tidak merasakan gejala tertentu, namun tanpa disadari menyebabkan kerusakan sistem pembuluh darah yang mengancam kesehatan. Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg, angka atas atau yang lebih besar disebut tekanan sistolik adalah tekanan saat jantung berdetak. Angka bawah atau lebih kecil disebut tekanan diastolik adalah tekanan saat jantung beristirahat di antara detak, dikatakan tekanan darah tinggi jika sistolik ≥ 130 atau tekanan diastolik ≥ 80, yang tetap tinggi dari waktu ke waktu (American Heart Association, 2017).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah menjadi naik yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang dipengaruhi kondisi pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawah oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Hastuti, 2019).

Hipertensi adalah gangguan kardiovaskular kompleks yang tidak hanya mempengaruhi pengukuran tekanan darah dalam ambang batas normal, akan tetapi ada tidaknya faktor risiko hipertensi, kerusakan organ, kelainan fisiologis dari sistem kardiovaskular yang disebabkan oleh hipertensi (Kurnia, 2020).

Sehingga dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, hipertensi merupakan kondisi saat tekanan darah menghasilkan kekuatan yang terlalu tinggi dalam mendorong dinding pembuluh darah yang menghasilkan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, yang dapat terjadi tamp memberikan tanda gejala atau Sillent

(2)

Killer namun mengganggu sistem kardiovaskular secara kompleks yang dapat berakibat pada kerusakan organ, maupun kelaianan fisiologis sistem kardiovaskular.

2.2 Klasifikasi Hipertensi

1. Klasifikasi hipertensi menurut American Heart Association

Table 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut American Heart Association kategori usia ≥ 18 tahun

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 dan < 80

Meningkat 120-129 dan < 80

Hipertensi (Stage 1) 130-139 atau 80-89

Hipertensi (Stage 2) ≥ 140 atau ≥ 90

Hipertensi Krisis ≥ 180 dan/atau ≥ 120

Sumber : (American Heart Association, 2017)

Tekanan darah normal adalah di bawah 120/80 mm Hg. Menurut panduan terbaru (American Heart Association, 2017), jika tekanan sistolik 120 hingga 129, dan tekanan diastolik kurang dari 80, sudah dapat dikatakan mengalami peningkatan tekanan darah. Selain itu jika didapati terjadi hipertensi krisis (≥ 180/120 mmHg) walaupun tidak disertai tanda gejala dianjurkan sesegera mungkin memeriksakan diri ke dokter.

2. Klasifikasi hipertensi menurut perhimpunan dokter spesialis kardiovaskuler Indonesia

Table 2.2 Klasifikasi hipertensi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal 120-129 dan/atau < 80

Normal tinggi 130-139 dan/atau 80-89

Hipertensi derajat 1 ≥ 140 dan/atau ≥ 90

Hipertensi derajat 2 ≥ 180 dan/atau ≥ 120

Hipertensi derajat 3 dan/atau

Hipertensi sistol terisolasi

dan

Sumber : (Hastuti, 2019)

(3)

3. Selain klasifikasi diatas, hipertensi dapat dibedakan menurut sebabnya menjadi hipertensi primer dan sekunder.

a. Hipertensi primer disebut juga hipertensi essensial yaitu hipertensi yang tidak ditemukan penyebabnya dari peningkatan tekanan darah tersebut.

b. Hipertensi sekunder merupakan yang penyebab spesifiknya dapat diketahui, kejadian hipertensi sekunder sekitar 10% dari penderita hipertensi (Kurnia, 2020) .

4. Berdasarkan kemunculan gejalanya hipertensi dibagi menjadi Benigna dan Maligna.

a. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala biasanya ditemukan saat penderita dicek up.

b. Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal (Hastuti, 2019).

2.3 Tanda & Gejala Hipertensi

Hipertensi sering disebut “Silent Killer” (pembunuh diam- diam) karena pada umumnya tidak memiliki tanda dan gejala sehingga baru diketahui setelah menimbulkam komplikasi (Kurnia, 2020). Pada hipertensi primer lebih sering terjadi tanpa gejala dan gejala timbul setelah terjadi komplikasi pada organ seperti ginjal, mata, otak dan jantung (Hastuti, 2019). Adapun gejala-gejala hipertensi dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir tidak jauh berbeda dengan penyakit lainnya, gejala tersebut antara lain :

1. Sakit kepala

2. Jantung berdebar-debar

3. Sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat 4. Mudah lelah

5. Penglihatan kabur

(4)

6. Wajah memerah 7. Hidung berdarah

8. Sering buang air kecil, terutama di malam hari 9. Telinga berdering (Tinnitus)

10. Pusing berputar (Vertigo) Tanda gejala yang lain dapat berupa :

1. Rasa berat di tenguk 2. Suka tidur

3. Cepat merah

4. Mata berkunang-kunang dan pusing

2.4 Penyebab Hipertensi

Penyebab hipertensi dapat dijelaskan berdasarkan sebagai berikut : 1. Penyebab hipertensi essensial/primer

a. Hereditar atau faktor genetik

b. Lingkungan, termasuk asupan garam, obesitas, pekerjaan, kurang olahraga, asupan alkohol, stress psikososial, jenis kelamin dan usia

c. Sistem renin, angiotensin, aldosteron

d. Defek membran sel daram sekresi Na, yaitu penurunan

pengeluaran Na dari dalam sel yang disebabkan kelainan pada sistem Na+Ka+ATPase dan Na+H+exchanger

e. Resistensi insulin atau hiperinsulinemia mengakibatkan retensi natrium ginjal, meningkatkan aktivitas saraf simpatis,

meningkatkan tekanan arteri, dan hipertrofi otot polos 2. Penyebab hipertensi sekunder

a. Penggunaan estrogen b. Penyakit ginjal

c. Hipertensi vaskuler renal d. Hiperaldosteronisme primer e. Sindrom chushing

f. Feokromositoma g. Koarktasio aorta

(5)

h. Kehamilan (Hastuti, 2019)

2.5 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya hipertensi terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi (Kurnia, 2020) . Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi a. Riwayat Keluarga/Keturunan

Jika seseorang yang memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga, maka kecenderung menderita hipertensi juga lebih besar dibandingkan keluarga yang tidak memiliki riwayat hipertensi.

Kemungkinan ini mendukung faktor genetik mempunyai peranan penting sebagai faktor pencetus dalam terjadinya hipertensi.

b. Jenis Kelamin

Angka kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada laki- laki sekitar 5-47% daripada wanita, kondisi ini bertahan hingga wanita memasuki usia pre-menopause. Hal tersebut dikarenakan wanita dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan mengatur sistem renin angiotension-aldosteron yang memiliki dampak baik pada sistem kardiovaskular, seperti pada jantung, pembuluh darah, dan sistem syaraf pusat.

c. Umur

Insiden hipertensi menigkat dengan bertambahnya umur.

Sebanyak 50-60% dari penderita hipertensi berusia 60 tahun memiliki tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Tingginya kejadian hipertensi pada lanjut usia disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi kaku yang mempengaruhi laju tekanan darah.

2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi a. Diet

(6)

Modifikasi diet dapat dilakukan dengan mangatur pola makan. Insisden dan keparahan hipertensi dipengaruhi oleh status gizi dan asupan nutrisi yang dikonsumsi. Adapun konsumsi lemak dan garam secara berlebih meningkatkan risiko terserang hipertensi, dengan mengatur pola makan diharapkan dapat mengurangi jenis makan pencetus hipertensi, salah satunya dengan diet DASH yaitu diet yang menekankan konsumsi makanan yang kaya akan serat, kaya buah-buahan, sayuran dan mengkonsumsi susu rendah lemak.

b. Obesitas

Obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovakular, hal itu dipengaruhi peningkatan berat badan berbanding lurus dengan peningkatan tekanan darah. Pada kejadian obesitas kemungkinan terjadi sumbatan pembuluh darah lebih besar yang diakibatkan oleh penumpukkan lemak dalam tubuh., selain itu pada orang dengan obesitas dapat mengalami peningkatan jaringan adiposa yang dapat menyumbat aliran darah dan menimbulkan tekanan darah menigkat.

c. Kurangnya Aktivitas Fisik/Olahraga

Aktivitas fisik dikaitkan dengan pengelolan pasien hipertensi. melakukan aktivitas fisik secara teratur setiap hari dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol LDL sehingga tidak terjadi sumbatan lemak pada pembuluh darah yang akan menimbulkan tekanan darah meningkat.

d. Merokok dan Mengkonsumsi Alkohol

Merokok merupakan faktor risiko pada kematian akibat penyakit jantung, kanker, stroke, dan penyakit paru. Hal ini diakibatkan peningkatan kadar ketekolamin dalam plasma, sehingga akan menstimulasi syaraf simpatik. Hubungan yang erat antara rokok dengan kejadian hipertensi adalah karena rokok mengandung nikotin yang akan menghambat oksigen ke jantung sehingga menimbulkan pembekuan darah dan terjadi kerusakan

(7)

sel. Sedangkan pengaruh alkohol dapat meningkatkan kadar kortisol dan meningkatkan volume sel darah merah serta terjadi viskositas darah (kekentalan) sehingga aliran darah tidak lancar dan menimbulkan peningkatan tekanan darah.

e. Stres

Stres merupakan salah satu faktor dalam peningkatan aktivitas saraf simpatik yang selain itu dapat meningkatkan tekanan darah. Individu yang sering mengalami stres, cenderung lebih mudah terkena hipertensi. Emosi yang dihasilkan dapat meningkatkan tekanan darah karena adanya pelepasan adrenalin tambahan oleh kelenjar adrenal yang terus menerus aktif seiring berjalannya emosi tersebut. Untuk itu penderita hipertensi dianjurkan untuk relaks dan menghindari stres dengan menghindari faktor pencetus yang dapat menimbulkan emosi serta membangun suasana aman dan menyenangkan.

2.6 Patofisiologi Hipertensi

Faktor-faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah, pada dasarnya merupakan faktor dari rumus dasar :

Tekanan darah dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi yang merupakan hasil dari aksi pompa jantung atau yang sering disebut curah jantung (Cardiac Output) dan tekanan dari arteri perifer atau sering disebut risistensi perifer. Kedua penentu primer adanya tekanan darah tersebut masing-masing juga ditentukan oleh berbagai interaksi faktor-faktor serial yang sangat kompleks. Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka peningkatan tekanan darah secara logis terjadi karena peningkatan curah jantung dan atau peningkatan resistensi perifer.

Peningkatan curah jantung dapat melalui dua mekanisme yaitu melalui peningkatan volume cairan (preloud) atau melalui peningkatan kontraktilitas karena rangsangan neural jantung. Meskipun faktor peningkatan curah jantung terlibat dalam permulaan timbulnya hipertensi,

tekanan darah = curah jantung x resistensi perifer

(8)

namun temuan-temuan pada penderita hipertensi kronis menunjukkan adanya hemodinamik yang khas yaitu adanya peningkatan resistensi perifer dengan curah jantung yang normal (Pikir, B., S., 2015).

Adanya pola peningkatan curah jantung yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi perifer secara persisten, maka tekanan darah awalnya akan naik sebagai konsekuensi tingginya curah jantung, namun dalam beberapa hari resistensi perifer akan meningkat dan curah jantung kembali ke nilai basal. Perubahan resistensi perifer tersebut menunjukkan adanya perubahan properti intrinsik dari pembuluh darah yang berfungsi untuk mengatur aliran darah yang terkait dengan kebutuhan metabolik dan jaringan (Pikir, B., S., 2015). Proses tersebut diatas disebut sebagai autoregulasi, yaitu proses dimana dengan adanya peningkatan curah jantung maka jumlah darah yang mengalir menuju jaringan akan meningkat pula, dan peningkatan aliran darah ini meningkatkan pula aliran nutrisi yang berlebihan melebihi kebutuhan jaringan dan juga meningkatkan pembersihan produk-produk metabolik tambahan yang dihasilkan, maka sebagai respon terhadap perubahan tersebut, pembuluh darah akan mengalami vosokontriksi untuk menurunkan aliran darah dan mengembalikan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan nutrisi kembali ke normal, namun resistensi perifer akan tetap tinggi yang dipicu dengan adanya penebalan struktur dari sel-sel pembuluh darah (Pikir, B., S., 2015).

Selain dipengaruhi faktor diatas, hipertensi dapat dijelaskan dari beberapa faktor mekanisme patofisiologi, diantaranya secara garis besar sebagai berikut :

1. Mekanisme Retensi Sodium oleh Renal

Pada mekanisme renal, ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan sodium terbukti menyebabkan peningkatan tekanan darah, baik melalui mekanisme yang terkait volume cairan maupun yang tidak terkait dengannya.

2. Mekanisme Hormonal melalui Sistem RAA

(9)

Pada mekanisme hormonal, melalui sistem RAA, telah diketahui bahwa aldosteron, angiotension II, renin dan bahkan prorenin dapat mengaktifkan jalur-jalur yang memicu sinyal-sinyal yang dapat mengaktifkan serangkaian proses yang dapat merusak pembuluh darah yang sehat dan menyebabkan hipertensi dengan mekanisme yang kompleks.

3. Mekanisme Neural

Mekanisme neural yaitu peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dengan berbagai penyebab, dapat menimbulkan peningkatan tekanan darah. Selain itu pada jangka lama dapat berkontribusi mempertahankan dan memperburuk hipertensi melalui stimulasi terhadap jantung, pembuluh darah perifer dan retensi cairan melalui mekanisme yang kompleks.

4. Mekanisme Vaskuler

Melalui mekanisme vaskuler terjadi disfungsi pada endotel yang menjadi fenomena kompleks dimana terdapat peningkatan prostanoid sebagai faktor vasokontrikstor intrinsik utama penurunan jumlah Nitrit Oksida (NO) sebagai vasodilator intrinsik sebagai akibat perubahan jalur L arginin Nitrit Oksida (NO) sintase guanilil siklase, menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan tekana darah. ROS yaitu yang menunjukkan adanya stress oksidan spesies oksigen reaktif yang dengan konsentrasi minimal sudah dapat menyebabkan disfungsi endotel melalui serangkaian proses hasil dari angiotension II (Pikir, B., S., 2015).

2.7 Komplikasi Hipertensi

Perjalanan penyakit hipertensi menurut (Blood Pressure Association, 2021) dapat merusak pembuluh darah arteri dan membuatnya mengalami penyempitan yang menjadi faktor utama munculnya berbagai penyakit komplikasi pada hipertensi. Komplikasi tersebut yaitu penyakit-

(10)

penyakit kardiovaskular seperti : penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah perifer, maupun stroke.

1. Penyakit Arteri Koroner

Arteri koroner memasok darah ke jantung. Ketika menyempit sekitar 70% karena aterosklerosis, otot jantung tidak menerima cukup darah.

Ini menyebabkan nyeri dada saat beraktivitas atau berolahraga, yang dikenal sebagai angina atau angina pektoris, meskipun terkadang tidak memiliki gejala apa pun. Selain menyakitkan, kurangnya aliran darah ke jantung membuta otot jantung tidak dapat bekerja dengan baik, yang menyebabkan masalah seperti fibrilasi atrium. Jika gumpalan darah terbentuk di area yang menyempit, arteri bisa tersumbat total. Ini disebut trombosis koroner dan menyebabkan serangan jantung

2. Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Penyakit pembuluh darah perifer juga dikenal sebagai penyakit yang terjadi pada pembuluh darah khususnya pada perifer dari arteri.

Penyakit pembulu darah perifer terjadi dipengaruhi tekanan darah tinggi yang berlangsung lama, dimana terjadi kerusakan pembuluh darah akibat penyempitan maupun proses pengerasan yang mengaakibatkan pembatasan aliran darah ke kaki dan menyebabkan rasa sakit. Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol diiringi gaya hidup yang tidak sehat menjadi salah satu faktor utama penyebab penyakit arteri perifer yang gejala utamanya yakni rasa sakit atau nyeri yang semakin bertambah saat beraktivitas.

3. Stroke

Stroke merupakan gangguan suplai darah ke otak yang menyebabkan kerusakan bahkan kematian sel otak karena tidak mendapat cukup oksigen. Tekanan darah tinggi menjadi penyebab tersebar dari stroke, yang mempengaruhi elastisitas pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku dan menyempit sehingga dapat terjadi penyumbataan hingga pecahnya pembuluh darah mengakibatkan penurunan bahkan penghentian aliran darah ke otak yang sangat

(11)

mengancam nyawa, kemungkinan ini semakin besar jika tekanan darah terus tidak dapat dikontrol.

2.8 Penatalaksanaan Hipertensi

Pentalaksanaa hipertensi jika dilakukan secara komperhensif dapat menurunkan kejadian pada komplikasi akibat penyakit ini seperti gangguan sistem kardiovaskular. Penatalaksanaan tersebut mencakup terapi farmakologi maupun non-farmakologi.

1. Terapi Farmakologi

Pada terapi farmakologi terdapat prinsip-prinsip yang mengatur penggunaan obat anti hipertensi, prinsip tersebut diketahui dari (Pikir, B., S., 2015) antara lain :

a. Penggunaan obat dengan dosis rendah untuk memulai terapi, sebagai upaya dalam megurangi efek samping. Bila respon penurunan tekanan darah tidak tercapai, dapat menaikkan dosisinya dengan obat yang sama, selama dapat ditoleransi dengan baik.

b. Penggunaan obat kombinasi dengan tepat untuk memaksimalkan keberhasilan penurunan tekanan darah sambil meminimalkan efek samping. Dapat dilakukan penambahan obat kedua dengan dosis kecil menjadi pilihan lebih baik dibandingkan meningkatkan dosis pada obat awal, dengan begitu kedua obat tersebut digunakan dalam dosis kecil untuk meminimalkan efek samping.

c. Merubah obat ke jenis yang berbeda jika didapati respons yang rendah pada obat yang pertama, sebelum meningkatkan dosis obat pertama atau menambah obat kedua.

d. Penggunaan obat long-acting memberikan efikasi 24 jam setiap sekali sehari. Kelebihan obat tersebut mencakup perbaikan dalam kepatuhan terhadap terapi dan meminimalisir variabilitas tekanan darah dan kontrol tekanan darah lebih konsisten.

(12)

Adapun beberapa panduan dalam mengoptimalkan penatalaksanaan hipertensi. NICE (National Institute for Health and Clinical Excellence) tahun 2011 merekomendasikan panduan dalam penggunaan obat hipertensi yakni :

a. Step 1

 Pada pasien dengan umur < 55 tahun pilihan obat hipertensi angiotension converting enzim (ACE) inhibitor atau angiotension receptor blocker (ARB) jika terjadi intoleransi (misal batuk)

 Jangan mengkombinasikan ACE-1 dengan ARB

 Pada pasien dengan umur >55 tahun pilihan obat hipertensi calcium channel blocker (CCB). Jika CCB tidak memungkinkan semisal bengkak atau intoleransi, atau dalam kondisi gagal jantung akut atau risiko tinggi terjadinya gagal jantung akut bisa diganti thiazide like diuretic.

 Jika pemberian diuretik diberikan awal atau menggantikan thiazide like diuretic seperti chlortalidone (12,5-25,0 mg sekali sehari) atau indapamide (1,5 mg modified-release sekali sehari atau 2,5 mg sekali sehari) dapat diberikan conventional thiazide diuretic seperti bendroflumethiazide atau hydrochlorotthiazide dan tekanan darah terkontrol baik penggunaan bisa diteruskan.

 Beta blocker tidak direkomendasikan sebagai terapi awal hipertensi, meskipun bisa diberikan pada pasien yang muda, jika adanya intoleransi atau kontra indikasi pemberian ACE-I atau ARB pada wanita dengan child bearing potential, atau pada pasien dengan peningkatan symphatatetic drive.

 Jika terapi awal diberikan beta blocker dan obat kedua akan diberikan., maka CCB lebih dipilih daripada

(13)

thiazide like diuretic pada pasien dengan risiko tinggi terjadinya diabetes

b. Step II

 Jika tekanan darah belum terkontrol pada step I, maka bisa diberikan kombinasi CCB dengan salah satu antara ACE-1 dan ARB

 Jika CCB tidak memungkinkan semisal bengkak atau intoleransi, atau dalam kondisi gagal jantung akut atau risiko tinggi terjadinya gagal jantung akut bisa diganti thiazide like diuretic.

c. Step III

 Sebelum masuk step III, jika tekanan darah belum terkontrol dilakukan evaluasi terhadap step II apakah sudah optimal atau toleransi terhadap dosis yang diberikan

 Jika diberikan tiga obat maka kombinasi ACE-1 atau ARB, CCB, thiazide like diuretic bisa diberikan.

d. Step IV

 Jika tekanan darah belum terkontrol, lebih tinggi dari 140/90 setelah optimalisasi dosis ACE-1 atau ARB, CCB dan diuretik disebut sebagai hipertensi resisten dan bisa diberikan obat keempat.

 Pengobatan hipertensi resisten bisa diberikan spironolakton dosis rendah (25 mg sekali sehari) jika kadar potassium darah 4,5 mmol/I atau lebih rendah, dan bisa diberikan thiazide like diuretic dosis tinggi jika kadar potassium darah lebih dari 4,5 mmol/I

 Jika terapi diuretik diberikan pada step IV, maka monitoring kadar sodium, potasium dan fungsi ginjal perlu diperiksa setiap bulan.

 Jika terapi diuretik intoleransi atau kontraindikasi bisa diberikan alpha atau beta blocker

(14)

 Jika tekanan darah belum terkontrol dengan optimalisasi dosis empat obat maka perlu dirujuk kepada seorang ahli (Pikir, B., S., 2015).

2. Terapi Non-Farmakologi

Terapi non-farmakologi untuk hipertensi berupa perubahan gaya hidup serta pola nutrisi, seperti membatasi asupan garam, olah raga rutin, berhenti merokok, menurunkan berat badan, pembatasan konsumsi alkohol adalah beberapa hal yang direkomendasikan dalam mengendalikan hipertensi (Pikir, B., S., 2015).

a. Membatasi Asupan Garam

Konsumsi tinggi garam dihubungkan dengan kejadian stroke dan meningkatkan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular. Menurunkan asupan garam sebesar < 1700 mg (75 mmol) per hari dapat menurunkan tekanan darah 4-5 mmHg pada orang hipertensi dan 2 mmHg pada orang sehat b. Modifikasi Diet/Nutrisi

Diet DASH merupakan salah satu panduan yang dapat digunakan dalam mengontrol hipertensi, dalam diet DASH pembatasan dan anjuran makanan yang dilakukan meliputi : Diet kontrol (lemak, karbohidrat, protein, kolesterol, kalium, magnesium dan kalsium), dan tinggi buah serta sayur.

Table 2.3 Makanan Spesifik Rekomendasi DASH

Bahan Makan Porsi per Hari Kandungan Gizi Sumber

Padi 7-8 Serat Roti, tepung terigu, gandunm,

kue kering, jagung tanpa gram

Sayur Mayur 4-5 Serat, Kalium,

Magnesium

Tomat, kentang, wortel, kacang hijau, buncis

Buah 4-5 Serat, Kalium,

Magnesium

Pisang, anggur, jeruk, melon, buah persik, kismis Rendah/Bebas

lemak

2-3 Protein, Kalsium Skim atau susu rendah lemak (1%) frozen yougurt Daging, Unggas,

Ikan

4-5 Protein, serat, magnesium

Daging tanpa lemak, unggas tanpa kulitnya (tidak digoreng)

Kacang 2-3 Protein, serat,

magnesium

Almond, kacang tanah, kenari Lemak, Minyak,

Gula

5/minggu Protein, serat, magnesium

Margarin, minyak sayur seperti olive, corn, canola, gula, jelly

fruit punch

Sumber : Thomas & Maicel (2008 dalam Pikir, B., S., 2015)

(15)

c. Penurunan Berat Badan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki atau wanita dengan body mass index (BMI) ≥ 30 kg/m2 akan memiliki risiko terjadinya hipertensi sebesar 38,4%. Penurunan berat badan meliputi tiga tahap yaitu : Cessation of weight gain merupakan upaya untuk mencegah lebih lanjut penambahan berat badan, Weight loss adalah penurunan berat badan sebesar 10% dari berat badan atau sebesar 10 pon. Menurut NHLBI Obesity guidelines penurunan 10% dar berat badan dilakukan selama 6 bulan. sedangkan Weight maintenance merupakan upaya dalam pemeliharaan berat badan yang menjadi aspek penting dalam program manajemen berat badan.

d. Olahraga Rutin

American Collage of Sports Medicine (ACSM) pada tahun 2004 memberikan pernyataan bahwa hipertensi bisa dicegah dan diturunkan dengan aktivitas fisik secara rutin. Penurunan tekana darah terjadi akibat penurunan tahan perifer sistemik yang dihubungkan dengan peningkatan diameter pembuluh darah. Hal ini terjadi akibat adaptasi yang lama terhadap aktivitas fisik sehingga terjadi vasodilatasi. Adapun contoh regimen latihan untuk pasien hipertensi yaitu : dengan aktivitas otot besar seperti berjalan, lari kecil, berlari, bersepeda dengan intensitas sedang selama 30 menit yang dilakukan setiap hari dalam seminggu, diikuti setiap minggu dalam 4 minggu pertama, setiap bulan dalam 6 bulan pertama.

e. Berhenti Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko kuat terjadinya penyakit kardiovaskular. Merokok menyebabkan kenaikan tekanan darah dan detak jantung 15 menit setelah menghirup 1 batang rokok. Perokok memiliki risiko 2-6 kali terjadi penyakit jantung koroner dan 3 kali terjadinya stroke dibandingkan bukan perokok. Meskipun merokok diketahui dapat

(16)

meningkatkan risiko pada perkembangan hipertensi tetapi tidak ada penelitian yang menunjukkan berhenti merokok dapat menurunkan tekana darah secara langsung (Pikir, B., S., 2015).

1.9 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga Teoritis

Menurut aspek keperawatan yang paling penting dan menjadi dasar dalam membentuk kesehatan skala besar bergantung dari unit keluarga.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga merupakan bagian individu, kelompok, dan komunitas yang menjadi klien perawat atau penerima pelayanan asuhan keperawatan. Keluarga membentuk unit dasar masyarakat dan tentunya unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan individu yang memungkinkan menentukan keberhasilan atau kegagalan kehidupan individu. Unit keluarga menempati posisi diantara individu dan masyarakat (Bronfenbrenner, 1979 dalam Friedman, 2017) Hal ini menjadi dasar bagi perawat untuk mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan keluarga dengan baik demi terciptanya keluarga dan masyarakat yang sehat.

Asuhan keperawatan keluarga merupakan proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan sistematik untuk bekerjasama dengan keluarga dan individu sebagai anggota keluarga (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017) Tahapan proses keperawatan keluarga meliputi pengkajian keluarga dan individu dalam keluarga, perumusan diagnosa keperawatan, penyusunan rencana keperawatan, pelaksanaan asuhan keperawatan dan evaluasi.

1. Pengkajian Keperawatan Keluarga

Pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh perawat untuk mengukur keadaan klien (keluarga) yang memakai patokan norma-norma kesehatan pribadi maupun sosial serta integritas dan kesanggupan untuk mengatasi masalah.

a. Pengumpulan data

(17)

Format pengkajian keluarga model (Friedman, M., Bowden, F., &

Jones, 2017) yang diaplikasikanke kasus dengan masalah utama hipertensi meliputi:

1. Data umum

Menurut (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017) data umum yang perlu dikaji adalah :

a) Nama kepala keluarga dan anggota keluarga, alamat, jenis kelamin,umur, pekerjaan dan pendidikan.

b) Tipe keluarga

Menjelaskan mengenai jenis/tipe keluarga beserta kendala atau masalah-masalah yang terjadi dengan jenis/tipe keluarga

c) Status sosial ekonomi Keluarga

Status sosial ekonomi keluarga ditentukan oleh pendapatan baik dari kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang yang dimiliki oleh keluarga.

2. Riwayat Keluarga dan Tahap Perkembangan Keluarga a) Tahap Perkembangan Keluarga Saat Ini

Tahap perkembangan keluarga ditentukan oleh anak tertua dari

keluarga ini.

b) Tahap Perkembangan Keluarga yang Belum Terpenuhi Menjelaskan perkembangan keluarga yang belum terpenuhi, menjelaskan mengenai tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi oleh keluarga serta kendala-kendala mengapa tugas perkembangan tersebut belum terpenuhi.

c) Riwayat keluarga inti

(18)

Menjelaskan mengenai riwayat keluarga inti meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing- masing anggota keluarga, perhatian keluarga terhadap pencegaha penyakit termasuk status imunisasi, sumber pelayanan kesehatan yang biasa digunakan keluarga dan pengalaman terhadapa pelayanan kesehatan.

d) Riwayat keluarga sebelumnya

Menjelaskan mengenai riwayat kesehatan keluarga dari pihak suamidan istri.

3. Pengkajian lingkungan

Karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat tipe rumah, jumlah ruangan, jenis ruang, jumlah jendela, jarak septic tank dengan sumber air, sumber air minum yang digunakan, tanda cat yang sudah mengelupas, serta dilengkapi dengan denah rumah (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017)

4. Fungsi keluarga a) Fungsi afektif

Hal yang perlu dikaji seberapa jauh keluarga saling asuh dan saling mendukung, hubungan baik dengan orang lain, menunjukkan rasa empati, perhatian terhadap perasaan (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017).

b) Fungsi sosialisasi

Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh

mana anggota keluarga belajar disiplin, penghargaan, hukuman, serta memberi dan menerima cinta (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017).

c) Fungsi keperawatan

1) Keyakinan, nilai, dan prilaku kesehatan : menjelaskan nilai yang di anut keluarga, pencegahan, promosi kesehatan yang dilakukan dan tujuan kesehatan keluarga

(19)

2) Status kesehatan keluarga dan keretanan terhadap sakit yangdirasa: keluarga mengkaji status kesehatan, masalah kesehatan yang membuat keluarga rentan terkena sakit dan jumlah kontrol kesehatan

3) Praktik diet keluarga : keluarga mengetahui sumber makanan yang dikonsumsi, cara menyiapkan makanan, banyak makanan yang dikonsumsi perhari dan kebiasaan mengkonsumsi makanan kudapan 4) Peran keluarga dalam praktik keperawatan diri :

tindakan yang dilakukan dalam memperbaiki status kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan keluarga dirumah dan keyakinan keluarga dalam perawatan dirumah

5) Tindakan pencegahan secara medis : status imunisasi anak, kebersihan gigi setelah makan, dan pola keluarga dalam mengkonsumsi makanan (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017).

d) Fungsi reproduksi

Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi reproduksi keluarga adalah berapa jumlah anak, apa rencana keluarga berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, metode yang digunakan keluarga dalam upaya mengendalikan jumlah anggota keluarga (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017)

e) Fungsi ekonomi

Data ini menjelaskan mengenai kemampuan keluarga dalam memenuhi sandang, pangan, papan, menabung, kemampuan peningkatan status kesehatan.

5. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga, metode yang digunakan sama dengan pemeriksaan fisik

(20)

klinik head to toe (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017).

2. Perumusan Diagnosa Keperawatan Keluarga

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menggunakan dan menggambarkan respons manusia. Keadaan sehat atau perubahan pola interaksi potensial/actual dari individu atau kelompok dimana perawat dapat menyusun intervensi-intervensi definitive untuk mempertahankan status kesehatan atau untuk mencegah perubahan.

Diagnosis keperawatan keluarga dirumuskan berdasarkan data yang didapat pada pengkajian yang terdiri dari masalah keperawatan yang akan berhubungan dengan etiologi yang berasal dari pengkajian fungsi perawatan keluarga. Diagnosis keperawatan merupakan sebuah label singkat untuk menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah - masalah aktual, resiko atau potensial atau diagnosis sejahtera yang mengacu pada Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).

Menegakkan diagnosa dilakukan dua hal, yaitu analisis data yang mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian dibandingkan dengan standar normal sehingga didapatkan masalah keperawatan.

Perumusan diagnosis keperawatan, komponen rumusan diagnosis keperawatan meliputi: Masalah (problem) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota keluarga. Penyebab (etiologi) adalah kumpulan data subjektif dan objektif. Tanda (sign) adalah sekumpulan data subjektif dan objektif yang diperoleh perawat dari keluarga secara langsung atau tidak langsung atau tidak yang mendukung masalah dan penyebab.

Secara teoritis masalah keperawatan yang dapat muncul pada pasien Hipertensi adalah sebagai berikut :

1. Kurang pengetahuan tentang penyakit hipertensi 2. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan

(21)

3. Perilaku kesehatan cenderung beresiko 4. Risiko jatuh

5. Konflik pengambilan keputusan tentang penyakit Hipertensi Menentukan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga

Selain itu menurut (Doenges, 2007) diagnosa keperawatan individu pada pasien hipertensi sebagai berikut:

1. Nyeri akut (sakit kepala) yang berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

3. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload vasokonstriksi.

4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.

5. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan/penghentian aliran darah

6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema

7. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.

Table 2.4 Membuat Skor Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga

No Kriteria Nilai Bobot

1. Sifat Masalah Skala :

a. Aktual b. Risiko c. Potensial

3 2 1

1

2. Kemungkinan masalah dapat diubah

Skala :

a. Dengan mudah b. Hanya sebagian c. Tidak dapat

2 1 0

2

3. Potensial masalah untuk dicegah Skala :

1

(22)

a. Tinggi b. Cukup c. Rendah

3 2 1 4. Menonjolnya masalah

Skala :

a. Masalah berat harus ditangani

b. Masalah yang tidak perlu segera ditangani

c. Masalah tidak dirasakan

2 1

0

1

Total 5

Sumber : (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017) Skoring = skor x bobot

angka tertinggi

Faktor yang dapat mempengaruhi penentuan prioritas :

 Kriteria 1 : Sifat masalah bobot yang lebih berat diberikan pada tidak/kurang sehat karena yang pertama memerlukan tindakan segera dan biasanya disadari dan dirasakan oleh keluarga.

 Kriteria 2 : Kemungkinan masalah dapat diubah, perawat perlu memperhatikan terjangkaunya faktor-faktor sebagai berikut : Pengetahuan yang ada sekarang, teknologi dan tindakan untuk menangani masalah, Sumber daya keluarga dalam bentuk fisik, keuangan dan tenaga, Sumber daya perawat dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan waktu, Sumber daya masyarakat dalam bentuk fasilitas, organisasi dalam masyarakat dan dukungan masyarakat.

 Kriteria 3 : Potensi masalah dapat dicegah, faktor-faktor yang perlu diperhatikan : Kepelikan dari masalah yang berhubungan dengan penyakit atau masalah, lamanya masalah, yang berhubungan dengan jangka waktu masalah itu ada, tindakan yang sedang dijalankan adalah tindakan-tindakan yang tepat dalam memperbaiki masalah, adanya kelompok 'high risk" atau

(23)

kelompok yang sangat peka menambah potensi untuk mencegah masalah.

 Kriteria 4 : Menonjolnya masalah, perawat perlu menilai persepsi atau bagaimana keluarga melihat masalah kesehatan tersebut. Nilai skor tertinggi yang terlebih dahulu dilakukan intervensi keperawatan keluarga.

3. Perencanaan Keperawatan Keluarga

Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari penetapan tujuan, yang mencakup tujuan umum dan tujuan khusus serta dilengkapi dengan kriteria dan standar. Kriteria dan standar merupakan pernyataan spesifik tentang hasil yang diharapkan dari setiap tindakan keperawatan berdasarkan tujuan khusus yang ditetapkan (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017). Penyusunan rencana perawatan dilakukan dalam 2 tahap yaitu pemenuhan skala prioritas dan rencana perawatan. Langkah pertama yang dilakukan adalah merumuskan tujuan keperawatan.

Tujuan terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.

Tujuan jangka panjang mengacu pada bagaimana mengatasi problem/masalah (P) di keluarga, sedangkan penetapan tujuan jangka pendek mengacu pada bagaimana mengatasi etiologi yang berorientasi pada lima tugas keluarga.

4. Implementasi Keperawatan Keluarga

Tindakan yang dilakukan oleh perawat kepada keluarga berdasarkan perencanaan mengenai diagnosis yang telah dibuat sebelumnya. Tindakan keperawatan terhadap keluarga mencakup lima tugas kesehatan keluarga menurut (Friedman, M., Bowden, F., &

Jones, 2017) yaitu:

a. Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah dan kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi, mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang

(24)

kesehatan dan endorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah.

b. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat dengan cara mengidentifikasi konsekuensi tidak melakukan tindakan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga, mendiskusikan tentang konsekwensi tiap tindakan.

c. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan alat dan fasilitas yang ada di rumah, mengawasi keluarga melakukan perawatan.

d. Membantu keluarga untuk menemukan cara bagaimana membuat lingkungan menjadi sehat, dengan cara menemukan sumber- sumber yang dapat digunakan keluarga, melakukan perubahan lingkungan dengan seoptimal mungkin.

e. Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada dengan cara memperkenalkan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga dan membantu keluarga menggunakan fasilitas kesehatan.

Pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan pada rencana yang telah disusun. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap keluarga yaitu sumber daya keluarga, tingkat pendidikan keluarga, adat istiadat yang berlaku, respon dan penerimaan keluarga dan sarana dan prasarana yang ada pada keluarga.

5. Evaluasi Keperawatan Keluarga

Evaluasi merupakan komponen terakhir dari proses keperawatan.

Evaluasi merupakan upaya untuk menentukan apakah seluruh proses sudah berjalan dengan baik atau belum. Apabila hasil tidak mencapai tujuan maka pelaksanaan tindakan diulang kembali dengan melakukan berbagai perbaikan. Sebagai suatu proses evaluasi ada empat dimensi yaitu :

(25)

a. Dimensi keberhasilan, yaitu evaluasi dipusatkan untuk mencapai tujuan tindakan keperawatan.

b. Dimensi ketepatgunaan: yaitu evaluasi yang dikaitkan sumber daya

c. Dimensi kecocokan, yaitu evaluasi yang berkaitan dengan kecocokan kemampuan dalam pelaksanan tindakan keperawatan d. Dimensi kecukupan, yaitu evaluasi yang berkaitan dengan

kecukupan perlengkapan dari tindakan yang telah dilaksanakan Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Kerangka kerja evaluasi sudah terkandung dalam rencana perawatan jika secara jelas telah digambarkan tujuan perilaku yang spesifik maka hal ini dapat berfungsi sebagai kriteria evaluasi bagi tingkat aktivitas yang telah dicapai Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP secara operasional. Tahapan evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan selama proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir (Friedman, M., Bowden, F., & Jones, 2017).

Evaluasi disusun menggunakan SOAP :

 S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.

 O: Keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan yang obyektif.

 A : Merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.

 P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

Gambar

Table 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut American Heart Association kategori usia ≥ 18  tahun
Table 2.3 Makanan Spesifik Rekomendasi DASH
Table 2.4 Membuat Skor Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kelimpahan rahmat dan karunia Nya sehingga dapat menyelesaukan tesis tentang “ Pengaruh Kompensasi dan

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Secara kultural adalah tali yang digunakan untuk menurunkan madu dari atas pohon ke bawah dengan cara mengulurnya secara perlahan merupakan simbol suatu benda yang

Dalam segmentasi, pemasaran ceruk ini dilakukan dengan memilih satu kelompok konsumen yang bukan merupakan target / sasaran terbesar (dalam hal market share).. Ceruk

Unlevered beta rata-rata perusahaan pembanding yang diperoleh dari perhitungan ini kemudian di-relever dengan tingkat leverage yang berlaku pasar untuk memperoleh beta

Pengamatan laju dekomposisi dilakukan dengan metode litter bag yang dimasukan ke dalam boks eksperimen selama waktu yang ditentukan, kemudian diukur pengurangan

Sedangkan untuk studi kasus industrialisasi dengan nuklir (Gambar 6.b), pada awalnya PLTU Batubara mendominasi energi yang dibangkitkan. Akan tetapi, dominasi