• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pengelolaan Obat di Puskesmas Kasihan 1 Tahun 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Evaluasi Pengelolaan Obat di Puskesmas Kasihan 1 Tahun 2019"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Evaluasi Pengelolaan Obat di Puskesmas Kasihan 1 Tahun 2019

Anita Dessy Setiawati1, Pinasti Utami2

1,2Program Studi Farmasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, 55183 Email: anitadessy555@gmail.com

ABSTRAK

Pengelolaan obat di puskesmas merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan agar tercapainya ketersediaan obat yang baik serta mampu menjamin mutu obat. Kurang baiknya pengelolaan obat membuat ketersediaan dan mutu obat terganggu sehingga pelayanan kesehatan menjadi kurang maksimal. Perlu adanya pengelolaan obat yang baik, karena pengelolaan obat yang baik akan menjamin pelayanan obat yang efektif, efisien dan rasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi pengelolaan obat di puskesmas Kasihan 1 sebagai puskesmas dengan pelayanan rawat inap dan rawat jalan sehingga dapat dijadikan rujukan untuk meningkatkan mutu pengelolaan obat serta pelayanan kesehatan yang ada. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental bersifat deskriptif evaluatif dengan metode kuantitatif. Penelitian dilakukan di Puskesmas Kasihan 1 Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Data yang digunakan adalah data retrospektif yaitu, lembar LPLPO dan kartu stok tahun 2019. Penelitian ini menggunakan PMK RI No.74 Tahun 2016 sebagai dasar pelaksanaan.

Analisis evaluasi pengelolaan obat dilihat dengan membandingkan persentase ketepatan obat dengan standar yang ada. Standar yang digunakan adalah PMK RI No. 54 Tahun 2018, JICA 2010, WHO 1993 dan penelitian Pudjaningsih 1996. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian obat yang tersedia di puskesmas dengan FORNAS sebesar 96,43% standar 100%, ketepatan permintaan obat 75,88% standar 100%, persentase obat rusak atau kedaluwarsa 1,62% standar 0%, persentase ketepatan distribusi 33,47% standar 100%, persentase obat tidak diresepkan 27,86% standar 0%, persentase peresepan obat generik 100% standar 100%, persentase perbedaan pencatatan obat pada kartu stok dan jumlah fisik obat 10,71% standar 0%. Puskesmas Kasihan 1 memenuhi 1 indikator sesuai standar sedangkan 6 indikator lain belum sesuai standar sehingga perlu meningkatkan pengelolaan obat pada aspek permintaan, pendistribusian, penggunaan dan pencatatan.

Kata kunci: Pengelolaan Obat, Puskesmas Kasihan 1 Bantul, Evaluasi

PENDAHULUAN

Obat menduduki peranan penting dalam terapi sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu pengobatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan termasuk puskesmas.

Ketersediaan obat yang ada di sarana pelayanan kesehatan masyarakat tentu harus didasari pada pengelolaan obat yang tepat agar terciptanya ketersediaan obat yang sesuai dengan kebutuhan karena ada tidaknya ketersediaan obat yang tepat

menjadi cerminan baik atau buruknya mutu pengeloaan suatu obat di fasilitas kesehatan tersebut. Adanya Kebijakan Obat Nasional (KONAS) menjadi pendukung terjaminnya ketersediaan obat dari berbagai macam segi baik jumlah dan jenis yang mencukupi, pemerataan, pendistribusian dan penyerahan obat yang harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing puskesmas.

Terjadinya ketidaksesuaian pada pengelolaan obat dapat dikarenakan beberapa hal seperti perencanaan yang kurang matang, penyimpanan yang tidak semestinya dan juga human error. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Syukriati Chaira, dkk (2016) pada 7 puskesmas di kota Pariaman didapatkan hasil pengelolaan obat untuk kesesuaian jenis obat yang tersedia dengan DOEN sebesar 64.70%-73.51%, ketepatan permintaan obat sebesar 2.28%- 24.47%, ketepatan distribusi obat sebesar 4.66%-35.59%, persentase obat yang tidak diresepkan sebesar 5.00%- 23.49%, persentase peresepan obat generik sebesar 97.27%- 100%, persentase perbedaan pencatatan kartu stok dengan jumlah fisik obat sebesar 0.00%-13.13%. Dapat disimpulkan bahwa pengelolaan obat pada 7 puskesmas di kota Pariaman belum baik karena belum sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Nabila Hadiah Akbar, dkk tahun 2016 mengenai manajemen penyimpanan obat di puskesmas se-kota Banjarbaru mendapatkan hasil serupa. Pada tahun 2014-2015, persentase stok mati 41,07%; 38,54%, persentase obat kedaluwarsa 0,50%;

0,52%, dan persentase nilai stok akhir obat 14,27%;

16,94%. Persentase ini menunjukkan manajemen pengelolaan obat berdasarkan banyaknya persentase stok mati, obat kedaluwarsa dan nilai stok akhir obat di seluruh puskesmas di kota Banjarbaru masih belum efisien.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan R. Adi Soeprijanto tahun 2011 mengenai evaluasi manajemen pengelolaan obat di puskesmas rawat inap Kabupaten Purbalingga. Didapatkan hasil bahwa puskesmas dalam melakukan perencanaan tergolong tidak baik. Hal itu dikarenakan adanya stok optimum yang tidak tercatat pada kartu stok dan masih terdapat permintaan obat diluar DOEN untuk Puskesmas Kalimanah 84,51%, Puskesmas Bobotsari 79,64% dan Puskesmas Rembang 85,35%. Namun dalam hal penerimaan, distribusi, pengendalian penggunaan, pencatatan dan pelaporan obat sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan.

Pengelolaan obat yang kurang baik seperti terjadinya over stock, stock out dan banyak obat rusak atau ED pada fasilitas kesehatan membuat ketersediaan dan mutu obat terganggu sehingga pelayanan kesehatan menjadi kurang maksimal. Selain itu menurut WHO (1996), bagian terbesar dari anggaran kesehatan adalah pada pengadaan obat. Di negara maju, biaya pengadaan obat yang

(2)

dihabiskan berkisar 10-15 % dari total anggaran kesehatan.

Sementara di negara berkembang, biaya lebih besar antara 35-65 % dan untuk Indonesia mencapai 39 %. Persentase yang cukup besar ini tentunya dapat dimanfaatkan secara efektif dan efien dengan adanya pengelolaan obat yang baik dan benar.

Pengelolaan obat di pelayanan kesehatan tingkat pertama (pelayanan kesehatan dasar) seperti puskesmas memiliki peran yang signifikan karena bertujuan untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien, efektif, dan rasional.

Pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di puskesmas memiliki beberapa aspek yaitu perencanaan kebutuhan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan, pelaporan, pengarsiapan dan pemantauan serta evaluasi pengelolaan (Permenkes, 2016). Kurang baiknya manajemen pengelolaan obat mengakibatkan persediaan obat mengalami stagnant (kelebihan persediaan obat) dan stock out (kekurangan atau kekosongan persediaan obat). Obat yang mengalami stagnan memiliki risiko kedaluwarsa dan kerusakan bila disimpan terlalu lama atau tidak disimpan dengan baik. Maka dari itu obat stagnan dan stock out tentunya akan berdampak terhadap kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas. (Rosmania dkk, 2015).

Dalam melakukan pengelolaan obat diperlukan standar sebagai acuan kesesuaian namun, belum ada standar resmi dari pemerintah yang dapat digunakan. Standar yang digunakan sampai saat ini baru berasal dari beberapa penelitian ilmiah. Sehingga perlu adanya kontribusi dari pemerintah mengenai standar pengelolaan obat sebagai modal pelaksanaan sehingga pengelolaan obat yang ada menjadi lebih terarah. Standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah PMK RI Nomor 54 Tahun 2018, penelitian Pudjaningsih 1996, Kemenkes RI & JICA 2010 dan WHO 1993.

Manajemen pengelolaan obat berupa sediaan farmasi dan bahan habis pakai di puskesmas tentu harus didukung dengan adanya sumber daya manusia yang ahli dibidangnya yaitu farmasis sehingga menghasilkan pelayanan farmasi yang ideal. Penerapan yang diharapkan seperti setiap kali diperlukan obat selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau, mutu terjamin dan dalam waktu yang tepat. Permintaan obat seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan obat agar tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan obat. Begitu juga dengan gudang obat puskesmas perlu mendapat perhatian khusus dengan dilengkapi fasilitas dan sistem penyimpanan obat yang baik agar mutu obat tetap terjamin serta mudah dalam pengontrolan dan pengendalian obat. (Adi Soeprijanto R, dkk, 2011).

Melakukan pengelolaan obat yang benar sebagai farmasis bukan hanya sebagai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukan namun juga agar pekerjaan yang dikerjakan memberikan kemaslahatan bagi orang lain sehingga pekerjaan yang dikerjakan mendapat berkah-Nya, seperti yang tersirat pada firman Allah SWT dalam Alquran surat At-Taubah Ayat 105, yaitu:

Artinya: “ Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mangetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Berkaitan dengan pelayanan kesehatan, di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seperti saat ini pelayanan kesehatan sudah tidak lagi berpusat pada rumah sakit namun dilakukan berjenjang sesuai kebutuhan medisnya. Program ini diawali dari fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas selanjutnya diberi rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yaitu rumah sakit. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan.

Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2016, Kabupaten Bantul memiliki 27 unit Puskesmas yang terdiri dari 16 unit puskesmas rawat inap dan 11 unit puskesmas rawat jalan. Puskesmas yang digunakan pada penelitian ini adalah Puskesmas Kasihan 1 yang memiliki program rawat inap dan rawat jalan. Puskesmas ini dipilih karena memenuhi kriteria yang diinginkan selain itu lokasi masih berada dalam satu kawasan UMY sehingga kebermanfaatan UMY dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini berupa evalusi pengelolaan obat dari puskesmas tersebut. Mengingat pentingnya pengelolaan obat demi meningkatkan mutu pelayanan obat di puskesmas maka perlu dilakukan evaluasi pengelolaan obat dengan harapan pengelolaan obat menjadi lebih. Tercapainya pengelolaan obat yang baik diharapkan mampu menghasilkan pelayanan kesehatan masyarakat menjadi lebih maksimal.

KAJIAN LITERATUR

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Syukriati Chaira, dkk tahun 2016 pada puskesmas di kota Pariaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian jenis obat yang tersedia dengan DOEN : 64.70%-73.51%, ketepatan permintaan obat 2.28%-24.47%, ketepatan distribusi obat, 4.66%-35.59%, persentase obat yang tidak diresepkan, 5.00%-23.49%, persentase peresepan obat generik 97.27%-100%, persentase perbedaan pencatatan kartu stok dengan jumlah fisik obat, 0.00%-13.13%, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan obat pada puskesmas di kota Pariaman belum baik, karena belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Perbedaan pada penelitian sebelumnya adalah pada tahun dan tempat penelitian.

Pengelolaan Obat di Puskesmas

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan wujud pelaksanaan upaya kesehatan dari pemerintah dalam hal meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas,

(3)

yaitu sebagai fasilitas pusat pelayanan kesehatan pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat, pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan dan pusat pemberdayaan masyarakat. Ruang lingkup kegiatan pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik di dukung dengan adanya sarana prasarana dan sumber daya manusia (Permenkes, 2014)

Menurut PMK Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang dimaksud dengan pengelolaan sediaan farmasi yaitu obat dan bahan medis habis pakai adalah rangkaian kegiatan mencakup perencanaan kebutuhan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan, pelaporan, pengarsipan dan pemantauan serta evaluasi pengelolaan. Manajemen pengelolaan obat bertujuan agar tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik jenis, jumlah maupun kualitas secara efesien. Oleh karena itu manajemen obat dapat dipakai sebagai proses penggerakan dan pemberdayaan semua sumber daya yang optimal dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat.

(Mangidara dkk, 2012).

Perencanaan Obat

Perencanaan obat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyusun daftar kebutuhan obat yang berkaitan dengan suatu pedoman atas dasar konsep kegiatan yang sistematis dalam mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan dan pengadaan obat merupakan suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit serta kebutuhan di pelayanan kesehatan, hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim perencanaan obat yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana obat melalui kerja sama antar instansi yang terkait dengan masalah obat (Oscar & Jauhar, 2016)

Menurut PMK Nomor 74 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang dimaksud perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang mendekati kebutuhan, meningkatkan penggunaan obat secara rasional serta meningkatkan efisiensi dari penggunaan obat.

Perencanaan merupakan tahap awal dalam melakukan pengelolaan obat. Ada beberapa macam metode perencanaan yaitu:

Metode morbiditas/epidemiologi

Metode ini dilakukan berdasarkan beban kesakitan (morbidity load) yaitu berupa pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Pertimbangan dalam metode ini terkait dalam menentukan jumlah pasien yang akan dilayani dan jumlah

kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit, menyediakan formularium atau pedoman perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia. Perencanaan menggunakan metode epidemiologi perlu adanya pertimbangan anggaran, penetapan prioritas, sisa persediaan, data pemakaian periode lalu, waktu tunggu pemesanan dan rencana pengembangan.

Metode konsumsi

Metode konsumsi diterapkan berdasarkan data riel konsumsi perbekalan farmasi periode sebelumnya, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah dengan melakukan pengumpulan pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana yang ada. (Permenkes RI, 2016).

Permintaan Obat

Permintaan obat menurut Permenkes Nomor 58 Tahun 2014 yaitu pengadaan berupa kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan.

Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu yang ada. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah sediaan yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran. Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan tenaga kefarmasian (Permenkes RI, 2014).

Menurut Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 tujuan dari permintaan adalah memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.

Penyimpanan Obat

Penyimpanan obat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan kefarmasian, baik farmasi rumah sakit maupun farmasi komunitas.

Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara obat dengan menempatkan obat yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta dapat menjaga mutu obat. Sistem penyimpanan yang tepat dan baik sesuai persyaratan menjadi salah satu faktor penentu mutu obat yang akan didistribusikan. (IAI, 2015).

Menurut Permenkes RI Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang dimaksud dengan Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan

(4)

Medis Habis Pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima demi keamanan, terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

Tujuan dilakukannya penyimpanan adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi seperti menggunakan wadah asli dari produsen, obat dengan wadah baru harus tertera identitas obat, terpisah dari produk lain, terhindar dari dampak yang tidak diinginkan, mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi dan tercampur baurnya obat, tidak bersinggungan langsung antara kemasan dan lantai, memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis serta memperhatikan kemiripan penampilan dan penamaan Obat (Look Alike Sound Alike, LASA), memperhatikan sistem First Expired First Out (FEFO) dan atau sistem First In First Out (FIFO).

(BPOM, 2018) Proses penyimpanan yang tidak sesuai, maka akan terjadi kerugian seperti mutu sediaan farmasi tidak dapat terpelihara (tidak dapat mempertahankan mutu obat dari kerusakan, rusaknya obat sebelum masa kedaluwarsanya tiba (Palupiningtyas, 2014).

Distribusi Obat

Pendistribusian adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat secara teratur dan merata untuk memenuhi kebutuhan sub unit farmasi puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Sistem distribusi yang baik harus : menjamin kesinambungan penyaluran/penyerahan, mempertahankan mutu, meminimalkan kehilangan, kerusakan, dan kedaluwarsa, menjaga tetelitian pencatatan, menggunakan metode distribusi yang efisien, dengan memperhatikan peraturan perundangan dan ketentuan lain yang berlaku, menggunakan sistem informasi manajemen (Kurniawati &

Maziyyah 2017).

Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit / satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuan distribusi obat adalah untuk memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain) dilakukan dengan pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor stock), pemberian obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock). (Permenkes RI, 2016)

Penggunaan Obat

Penggunaan obat merupakan tahap akhir manajemen obat. Penggunaan obat atau pelayanan obat merupakan proses kegiatan yang mencakup aspek teknis dan non teknis yang dikerjakan mulai dari menerima resep

dokter hingga penyerahan obat kepada pasien. Dalam hal penggunaan obat, langkah yang paling penting diperhatikan adalah diagnosis yang tepat sehingga menghasilkan suatu peresepan yang diharapkan rasional, efektif, aman, dan ekonomis (Depkes RI, 1998).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat. WHO menyimpulkan terdapat 3 faktor adalah pola peresepan, pelayanan yang diberikan bagi pasien dan tersedianya fasilitas untuk merasionalkan penggunaan obat (World Health Organization, 1993). Faktor peresepan dapat berpengaruh langsung pada ketepatan pemberian obat yang akan dikonsumsi oleh pasien. Faktor pelayanan pasien berpangaruh pada ketepatan diagnosis dan terapi untuk pasien, serta informasi yang seharusnya diterima agar pasien mengerti akan tujuan terapi yang dijalani begitupun dengan penggunaan obat sedangkan faktor fasilitas yaitu ketersediaan daftar obat esensial menjadi penunjan bagi tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan penggunaan obat yang rasional (World Health Organization, 1993).

Pencatatan dan Pelaporan Obat

Menurut Permenkes RI Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, administrasi di puskesmas meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh rangkaian kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai, baik Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya. Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah sebagai bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai telah dilakukan, sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian dan sumber data untuk pembuatan laporan.

FORNAS

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/813/2019 Tentang Formularium Nasional yang dimaksud dengan FORNAS adalah daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan digunakan sebagai acuan penulisan resep pada pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Dalam hal ini obat yang dipilih adalah obat yang paling berkhasiat, aman, dan dengan harga terjangkau.

Obat Rusak atau Kedaluwarsa

Obat rusak adalah keadaan obat yang tidak bisa terpakai lagi karena rusak secara fisik atau berubah bau dan warna yang dipengaruhi oleh udara yang lembab, sinar matahari, suhu dan goncangan fisik sedangkan obat kedaluwarsa / expire date adalah obat yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa yang tercantum pada kemasan yang menandakan obat tersebut sudah tidak layak lagi untuk di konsumsi atau digunakan (Kareri, 2018).

Apoteker dan Asisten Apoteker bertanggung jawab dalam memelihara obat agar terhindar dari kerusakan, kedaluwarsa, dan hilang. Fungsi pemeliharaan ini dilakukan sejak obat dan bahan habis pakai diterima dan

(5)

disimpan di gudang obat, penyaluran ke beberapa unit yang membutuhkan hingga dikonsumsi oleh pasien atau sasaran.

Penghapusan obat dilakukan apabila terjadi kerusakan obat, terjadi kedaluwarsa, terjadi kelebihan obat, obat ditarik dari peredaran, dan terjadi ketidaksesuaian obat dengan kebutuhan yang ada di Puskesmas (Rosmania, Fenty Ayu &

Supriyanto, 2015). Menurut indikator Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Departemen Kesehatan, obat rusak dan kedaluwarsa di tingkat pengelola obat Kabupaten/Kota ditargetkan idealnya nol persen (Widiasih, 2015).

Obat Tidak Diresepkan

Obat tidak diresepkan atau obat dengan stok mati adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan persediaan obat di gudang farmasi yang tidak mengalami transaksi atau peresepan dalam waktu 3 bulan secara berturut-turut. Pengukuran stok mati bertujuan untuk mencegah kerugian yang diakibatkan karena adanya stok mati seperti perputaran uang yang tidak lancer maupun kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat kedaluwarsa (Satibi, 2014).

Obat Generik

Obat generik adalah obat yang apabila nama patennya habis masa berlakunya, maka perusahaan farmasi lain dapat memasarkan obat tersebut. Dalam hal ini obat sudah tidak diberi nama paten lagi, melainkan dipasarkan dengan nama generiknya, yaitu nama umum yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Obat generik dibagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk. Zat yang berkhasiat antara generik berlogo dan generik bermerk ini sama yang membedakan adalah satu diberi merk dan yang satu diberi logo generik (Yusuf, 2016).

Obat generik ialah obat-obatan yang masa patennya sudah tidak berlaku atau habis, sehingga bisa diolah dan dibuat oleh semua produsen obat-obatan tanpa mengeluarkan biaya tambahan. Adapun obat yang dikategorikan sebagai obat generik terdiri dari dua jenis, yaitu obat generik yang berlogo dan obat generik yang bermerek (Obat paten). Obat generik berlogo (yang biasa disebut obat generik saja) merupakan obat-obatan yang disediakan oleh pemerintah dengan sasaran seluruh masyarakat agar terciptanya akses obat yang merata khususnya bagi masyarakat kelas bawah. Sedangkan Obat generik bermerek (paten) merupakan obat generik tertentu yang dilabeli dengan merek produk yang sesuai dengan kehendak pemilik perusahaan dengan harga obatnya yang beragam (Safii & Silvia, 2018).

Kartu Stok

Penyimpanan Obat dan Bahan Obat harus dilengkapi dengan kartu stok, kartu stok dapat berbentuk kartu stok manual maupun elektronik. Manfaat dari adanya kartu stok adalah untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan obat dan sebagai prencanaan pengadaan dan penggunaan pengendalian persediaan. (BPOM, 2018)

LPLPO

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) merupakan suatu pengelolahan terhadap obat yang pemakian, distribusi, tingkatan stok, kebutuhan obat dibatasi dengan tujuan agar pemakaian yang ada dapat terkendali dengan baik. Tenaga Kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan atau peti, jenis dan jumlah Sediaan Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen LPLPO ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan diketahui oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga Kefarmasian dapat mengajukan keberatan. (Permenkes, 2016).

Dalam melakukan analisis pengelolaan obat, diperlukan indikator dan standar sebagai batasan kesesuaian. Berikut adalah indikator dan standar yang digunakan:

Permenkes RI Nomor 54 Tahun 2018

Dalam aspek perencanaan pengelolaan obat, indikator yang digunakan adalah Permenkes RI Nomor 54 Tahun 2018 Tentang Penyusunan Dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan dalam naskah disebutkan bahwa Formularium Nasional (FORNAS) adalah daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan digunakan sebagai acuan penulisan resep pada pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Dapat diartikan bahwa obat yang ada pada puskesmas dalam menjalankan program jaminan kesehatan yang ada mengacu pada FORNAS dengan persentase 100%.

Penelitian Pudjaningsih 1996

Dalam aspek permintaan indikator yang digunakan adalah persentase kesesuaian antara perencanaan obat dengan kenyataan masing-masing obat. Tujuan dari indikator ini untuk mengetahui ketepatan perencanaan obat.

Persentase yang digunakan sebesar 100-120% dengan pertimbangan adanya penambahan buffer stock 20%.

Dalam aspek penyimpanan indikator yang digunakan adalah persentase obat rusak dan kedaluwarsa (ED). Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya kerugian puskesmas akibat adanya obat rusak dan ED.

Persentase yang digunakan adalah 0% dengan adanya batas toleransi yang masih diperbolehkan sebesar 1%. Indikator lain yang digunakan adalah persentase obat tidak diresepkan (stok mati). Persentase yang digunakan sebesar 0% yang mana dapat diartikan tidak boleh ada obat dengan keadaan tidak diresepkan dalam waktu minimal 3 bulan.

Semakin banyak obat yang mengalami stok mati maka dikhawatirkan jumlah obat ED menjadi meningkat sehingga mengakibatkan kerugian dan dapat menurunkan pendapatan dari fasilitas kesehatan.

Dalam aspek pencatatan dan pelaporan indikator yang digunakan adalah kesesuaian pencatatan kartu stok dengan jumlah fisik obat. Tujuan dari indikator ini adalah untuk mengetahui kesesuaian pencatatan kartu stok dan juga untuk mengetahui ketelitian petugas gudang.

(6)

Persentase yang digunakan adalah 100%, dapat diartikan bahwa jumlah obat yang ada pada kartu stok dengan jumlah fisik obat harus sesuai.

Kemenkes RI & JICA 2010

Dalam aspek pendistribusian indikator yang digunakan adalah ketepatan distribusi obat. Tujuan dari indikator ini adalah untuk mengetahui kesesuaian obat yang didistribusikan pada pelayanan kesehatan. Persentase yang digunakan sebesar 100%, dapat diartikan bahwa pendistribusian yang ada pada pelayanan kesehatan harus sesuai sehingga persebaran obat merata.

WHO 1993

Dalam aspek Penggunaan indikator yang digunakan adalah peresepan obat generik. Tujuan dari indikator ini adalah melihat persentase penggunaan obat generik pada pelayanan kesehatan. Persentase yang digunakan sebesar 100% dengan minimum toleransi 82%.

Indikator ini juga dapat dijadikan evaluasi mengenai koordinasi antara apoteker dan dokter dalam hal peresepan obat

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental bersifat deskriptif-evaluatif dengan metode kuantitatif dan wawancara sebagai data pendukung. Menggunakan data retrospektif yaitu LPLPO dan kartu stok tahun 2019. Data kuantitatif didapatkan dari analisis dokumen pengelolaan obat sedangkan data pendukung didapatkan dari wawancara langsung apoteker penanggung jawab instalasi farmasi Puskesmas Kasihan 1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2019 sampai Februari 2020 di Puskesmas Kasihan 1 Kabupaten Bantul, DIY. Populasi pada penelitian ini adalah salah satu Puskesmas yang berada di Kabupaten Bantul yaitu Puskesmas Kasihan 1 dan sampel pada penelitian ini adalah dokumen pengelolaan obat yang dimiliki Puskesmas Kasihan 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan

Perencanaan obat dilakukan dengan seleksi berdasarkan kebutuhan obat periode sebelumnya yang ditinjau dari pola pemakaian. Indikator pada penelitian ini adalah persentase kesesuaian obat berdasarkan Formularium Nasional (FORNAS) dengan obat yang tersedia di puskesmas.

Dikatakan memenuhi standar apabila nama obat, bentuk sediaan dan dosis obat yang ada di puskesmas sesuai dengan daftar FORNAS. Hasil penelitian menunjukkan persentase kesesuaian obat di Puskesmas Kasihan 1 dengan FORNAS sebesar 96,43%. Diagram persentase kesesuaian obat di Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Kesesuaian Obat Yang Tersedia di Puskesmas Dengan Formularium Nasional Tahun 2019.

Hasil tersebut dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh PMK RI Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan dengan persentase sebesar 100%. Maka persentase kesesuaian obat dengan FORNAS di Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 belum sesuai standar. Ketidaksesuaian ini dikarenakan Puskesmas Kasihan 1 menjalankan beberapa program kesehatan seperti persalinan, rawat inap dan beberapa praktek dokter spesialis sehingga membutuhkan obat khusus dalam penyelenggaraannya. Selain itu juga adanya program kesehatan dari pemerintah seperti saat tercatatnya kasus malaria dan flu burung sehingga obat program pun diberikan. Dalam hal ini perlu adanya peninjauan kembali daftar FORNAS terkait obat dengan ketentuan khusus atau obat program yang boleh diadakan dalam formularium fasilitas kesehatan tingkat 1.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ivonie dkk tahun 2017 pada 6 puskesmas di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua juga mengalami hal yang sama. Kesesuaian obat dengan FORNAS belum mencapai standar yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan perubahan standar pengobatan di puskesmas selain itu beberapa obat dianggap cukup penting dan sangat dibutuhkan di puskesmas. Berikut grafik obat tidak sesuai FORNAS di tahun 2019 dengan jumlah obat tidak sesuai FORNAS terbanyak pada bulan Maret sebesar 464 obat. Grafik penggunaan obat tidak sesuai FORNAS tahun 2019 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Jumlah Obat Tidak Sesuai FORNAS tahun 2019.

(7)

Dari data LPLPO terdapat 140 obat dengan 5 obat tidak sesuai Formularium Nasional. Obat-obat tersebut yaitu:

Haloperidol 0,5 mg; dalam Formularium Nasional hanya ada di pelayanan kesehatan tingkat 2 dan 3 dengan peresepan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa, namun diadakan di puskesmas karena merupakan obat program untuk kebutuhan pasien jiwa lanjutan yang telah membawa surat pengantar dari dokter spesialis kesehatan jiwa.

Oxytetracycline salep mata 1%; Tidak ada dalam Formularium Nasional namun diadakan karena puskesmas melayani persalinan sehingga dibutuhkan untuk bayi baru lahir.

Oseltamivir; Tidak ada dalam Formularium Nasional namun diadakan karena merupakan obat program dari provinsi untuk kasus flu burung.

Pirazinamid tablet 500 mg; dalam Formularium Nasional hanya ada di tingkat 2 dan 3 namun diadakan karena obat program puskesmas dimana dokter spesialis anak akan memberikan obat racikan setiap 2 minggu sekali.

Antimalaria DHP; Tidak ada dalam Formularium Nasional namun diadakan karena termasuk obat program untuk kasus malaria yang tercatat pernah terjadi di puskesmas tersebut.

Permintaan

Permintaan obat di Puskesmas Kasihan 1 menggunakan metode konsumsi dimana permintaan dilakukan berdasarkan data pemakaian periode sebelumnya.

Periode permintaan yang dilakukan adalah setiap 1 bulan sekali. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi permintaan obat adalah persentase ketepatan permintaan obat. Hasil penelitian menunjukkan persentase ketepatan permintaan obat di Puskesmas Kasihan 1 pada tahun 2019 adalah sebesar 75,88%. Diagram ketepatan permintaan obat di Puskesmas Kasihan 1 pada tahun 2019 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Ketepatan Permintaan Obat Tahun 2019 Tabel 1. Persentase Kesesuaian Permintaan Obat Setiap Periode

Presentase Kesesuaian Permintaan Obat Setiap Periode Hasil tersebut dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dari penelitian Pudjaningsih 1996 sebesar 100%.

Maka persentase ketepatan permintaan obat Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 belum memenuhi standar.

Ketidaksesuaian ini terjadi karena dalam melakukan permintaan obat di beberapa periode pengelola obat tidak memperhitungkan stok optimum dan terkadang permintaan yang direncanakan berlebih atau kurang. Keadaan berikut mengakibatkan ketersediaan obat di puskesmas kurang maksimal terkadang over stock atau stock out. Perlu adanya tindakan untuk mengatasi ketidaksesuaian ini dengan lebih memperhatikan stok optimum di setiap periode pengadaan obat sebagai acuan jumlah stok ideal yang harus tersedia untuk menghindari stok kosong atau berlebih.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Syukriati Chaira, dkk tahun 2016 pada 7 puskesmas di kota Pariaman membuktikan hasil rata-rata ketepatan permintaan obat di seluruh puskesmas belum sesuai dengan standar. Penyebab terjadinya ketidaksesuaian pun sama yaitu puskesmas tidak memperhitungkan stok optimum. Keadaan tersebut mengakibatkan ketersediaan obat pada 7 puskesmas di kota Pariaman ada yang kurang dan ada yang berlebih.

Dari data persediaaan obat di LPLPO juga didapatkan data tambahan, diketahui 3 jenis obat dengan pemakaian terbanyak yaitu Paracetamol, Metformin dan Amlodipin yan dapat dilihat pada Gambar 4.

Bulan Obat Sesuai

Obat Tidak Sesuai

Persentase Kesesuaian

Januari 64 69 48,12%

Februari 79 51 60,77%

Maret 79 55 58,95%

April 114 19 85,71%

Mei 62 73 45,92%

Juni 87 45 65,91%

Juli 126 3 97,67%

Agustus 126 0 100%

September 123 0 100%

Oktober 113 17 86,92%

Desember 111 20 84,73%

Rata-rata 75,88%

(8)

Gambar 4. Grafik Pemakaian Obat Terbanyak Tahun 2019.

Paracetamol menjadi obat dengan pemakaian tertinggi dikarenakan obat ini merupakan analgesik antipiretik yang umum digunakan hampir semua usia.

Metformin menjadi obat dengan pemakaian tertinggi kedua dikarenakan banyaknya pasien diabetes maupun pasien diabetes terkontrol yang mendapatkan suplai obat teratur setiap bulannya. Selain itu bisa juga dikarenakan efek dari adanya pabrik gula di area sekitar sehingga pola konsumsi masyarakat yang dominan mengkonsumsi makanan manis.

Amlodipin menjadi obat dengan pemakaian terbanyak ke-3 dikarenakan banyaknya pasien tetap hipertensi yang mendapat obat teratur setiap bulannya. Banyaknya warga lansia di kawasan sekitar juga dapat menjadi sebab banyaknya penyakit degeneratif sehingga konsumsi amlodipin dan metformin masuk dalam kategori obat dengan persediaan terbanyak, hal ini juga mendukung adanya Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS) bagi pasien diabetes melitus tipe II dan hipertensi yang menjadi program dari BPJS diera JKN ini.

Penyimpanan

Indikator yang digunakan pada aspek penyimpanan adalah persentase obat rusak atau kedaluwarsa. Hasil penelitian didapatkan 1,62% obat mengalami kerusakan atau ED dari total 140 jenis obat di Puskesmas Kasihan 1 pada tahun 2019. Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Gafik Persentase Obat Rusak Atau Kedaluwarsa Tahun 2019

Tabel 2. Persentase Obat Rusak atau ED Setiap Periode Obat Rusak/ED

Bulan Rusak/ED Jumlah Jenis

Persentase

JAN 80 1/137 0,73%

FEB 30 1/137 0,73%

MAR 0 0/138 0%

APR 398 2/138 1,45%

MEI 301 2/139 1,43%

JUN 162 7/139 5%

JUL 64 3/139 2,16%

AGT 701 3/139 2,16%

SEP 26 2/139 1,43%

OKT 381 3/139 2,16%

NOV 35 2/139 1,43%

DES 896 1/140 0,71%

TOTAL 3074 1,62%

Hasil tersebut dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dari penelitian Pudjaningsih 1996 sebesar 0%. Maka dapat diartikan bahwa persentase obat rusak atau kedaluwarsa Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 belum memenuhi standar. Dari data yang ada ditemukan 27 jenis obat dengan total 3074 item obat rusak atau ED di tahun 2019. Ketidaksesuaian ini dikarenakan adanya renovasi gedung rawat inap puskesmas sehingga pelayanan rawat inap tidak berjalan dan obat-obat rawat inap seperti injeksi dan infus banyak yang tidak terpakai lalu mengakibatkan banyaknya obat rusak atau ED. Adanya obat rusak atau ED menjadi cerminan kurang baiknya pengelolaan obat yang juga dapat berpengaruh pada pendapatan puskesmas. Oleh karena itu dalam hal ini perlu adanya perencanaan yang tepat terkait kondisi yang ada sehingga dapat meminimalisir penumpukan obat slow moving yang dapat berakibat pada ED.

Hasil serupa terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Syukriati Chaira, dkk tahun 2016 pada 7 puskesmas di kota Pariaman tidak ada puskesmas yang memenuhi standar pada indikator ini, tercatat rata-rata pada tahun 2013 persentase obat rusak atau ED sebanyak 17,18% dan pada tahun 2014 sebanyak 20,42%. Terjadinya ketidaksesuaian dikarenakan kurangnya mutu penyimpanan dan kurang tepatnya perencanaan, permintaan serta pendistribusian.

Selain itu hasil berbeda di dutunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh R. Adi Soeprijanto dkk tahun 2011 pada 3

(9)

puskesmas di Kabupaten Purbalingga. Persentase obat kadaluwarsa untuk masing-masing Pukesmas sebesar 0%.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada obat rusak atau kedaluwarsa di puskesmas dan menunjukkan efektifitas penggunaan obat.

Pendistribusian

Selain pendistribusian yang dilakukan pada sub pelayanan kesehatan puskesmas, ketepatan pendistribusian yang didapatkan dari Instalasi Farmasi Kabupaten (IFK) juga sangat berpengaruh pada ketersediaan obat di puskesmas. Indikator yang digunakan adalah persentase ketepatan distribusi obat. Hasil penelitian didapatkan ketepatan distribusi obat di Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 sebesar 33,47%. Hasil penilaian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Persentase Ketepatan Distribusi Obat Tahun 2019

Hasil tersebut dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dari Kemenkes RI & JICA tahun 2010 sebesar 100%. Maka dapat diartikan persentase ketepatan distribusi obat tahun 2019 belum memenuhi standar.

Ketidaksesuaian ini dikarenakan dalam melakukan pendistribusian, obat yang diterima dari IFK terkadang tidak sesuai dangan permintaan yang dibuat bisa berlebih atau kurang tergantung ketersediaan dan pertimbangan dari dinkes kab/kota. Diperlukan koordinasi lebih lanjut antara puskesmas dan IFK agar ketersediaan obat di puskesmas dapat stabil.

Tabel 3. Persentase Kesesuaian Pendistribusian Setiap Periode

Penelitian lain yang dilakukan oleh Syukriati Chaira, dkk tahun 2016 pada 7 puskesmas di kota Pariaman mendapatkan hasil yang sama. Persentase ketepatan distribusi obat belum sesuai dengan standar yang digunakan. Ketidaksesuaian distribusi di 7 Puskesmas Pariaman terjadi karena dalam melakukan pendistribusian pengelola obat puskesmas tidak memperhatikan stok optimum karena pendistribusian obat tanpa berdasarkan stok optimum menyebabkan kelebihan dan kekurangan obat di sub unit pelayanan kesehatan.

Penggunaan

I. Indikator yang digunakan pada aspek penggunaan yang pertama adalah persentase obat tidak diresepkan. Dari penelitian ini didapatkan persentase obat tidak diresepkan tahun 2019 sebesar 27,86%. Hasil tersebut dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dari penelitian Pudjaningsih 1996 sebesar 0%. Maka dapat diartikan bahwa persentase obat tidak diresepkan Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 belum memenuhi standar.

Hasil evaluasi dapat dilihat pada Gambar 7.

Bulan Sesuai Tidak Sesuai

Persentase Kesesuaian Januari 22 17 56,41%

Februari 37 19 66,07%

Maret 42 14 75%

April 36 22 62,07%

Mei 37 38 49,33%

Juni 18 39 31,58%

Juli 24 30 44,44%

Agustus 2 53 3,64%

September 0 69 0%

Oktober 2 62 3,12%

November 8 72 10%

Desember 0 3 0%

Rata-rata 33,47%

(10)

Gambar 7. Grafik Persentase Obat Tidak Diresepkan Tahun 2019

Diketahui bahwa sebanyak 39 jenis obat mengalami stok mati dari total 140 obat yang tersedia dalam setahun. Dari 39 stok obat yang mati terdapat 4 obat dengan stok mati terlama yaitu 12 bulan. Obat-obat tersebut adalah Glibenklamid tablet 5 mg, Yodium Povidon lar 10 % 60 ml, Atropin Sulfas injeksi 0,25 mg/ ml - 1 ml, Kalsium Glukonas Injeksi. Keempat obat tersebut adalah obat yang digunakan untuk terapi rawat inap. Ketidaksesuaian terjadi karena stok mati ini berhubungan dengan adanya ED, semakin banyak stok mati yang ada maka kemungkinan obat ED semakin banyak. Maka dari itu perlu adanya perencanaan yang tepat agar tidak terjadi penumpukan obat slow moving. Penelitian lain yang dilakukan Nabila Hadiah Akbar pada 8 puskesmas di Kota Banjarbaru didapatkan hasil serupa persentase stok obat mati tidak sesuai dengan standar. Hal ini terjadi karena kurangnya komunikasi mengenai peresepan obat dengan dokter pada 8 puskesmas di Kota Banjarbaru.

Tabel 4. Daftar Stok Mati Tahun 2019

(11)

II. Penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah adalah hal yang wajib dilakukan untuk kebutuhan pasien rawat jalan dan rawat inap. Indikator yang digunakan pada penelitian ini adalah persentase peresepan obat generik. Hasil penelitian didapatkan persentase ketepatan peresepan obat generik di Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 sebesar 100%. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik Persentase Peresepan Obat Generik Tahun 2019.

Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan standar yang ditentukan dari WHO 1993 sebesar 100%.

Maka dapat disimpulkan bahwa persentase peresepan obat generik di Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 sudah memenuhi standar. Hal ini membuktikan baiknya koordinasi dan komunikasi antara apoteker dan dokter dalam melakukan peresepan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Syukriati Chaira, dkk tahun 2016 pada 7 puskesmas di kota Pariaman pada tahun 2013 memiliki hasil yang sama.

Persentase peresepan obat generik pada tahun 2013 di semua puskesmas sudah sesuai dengan standar yaitu 100 % sedangkan pada 2014 terjadi penurunan dikarenakan adanya permintaan obat non generik dari unit IGD, unit program, penulis resep, dan pasien.

Pencatatan dan Pelaporan

Pengambilan data ini dilakukan pada bulan Januari 2020 setelah dilakukan perekapan data kesesuaian obat dengan jumlah fisik tahun 2019. Pengecekan ini merupakan agenda tahunan pemeriksaan obat sekala besar.

Indikator yang digunakan adalah persentase perbedaan pencatatan obat pada kartu stok dan jumlah fisik obat. Hasil

(12)

analisis didapatkan persentase perbedaan pencatatan obat pada kartu stok dan jumlah fisik obat di Puskesmas Kasihan 1 tahun 2019 sebesar 10,71%. Hasil penelitian dapat di lihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik Persentase Perbedaan Pencatatan Obat Pada Kartu Stok dan Jumlah Fisik Obat Tahun 2019

Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan standar yang ditentukan dari penelitian Pudjaningsih 1996 sebesar 0%. Maka dapat diartikan bahwa persentase perbedaan pencatatan obat pada kartu stok dan jumlah fisik obat Puskesmas Kasihan 1 belum memenuhi standar. Dari data diketahui bahwa terdapat 15 obat yang memiliki kesalahan pencatatan pada kartu stok dari total 140 jumlah obat yang ada.

Tabel 5. Daftar Obat Dengan Kesalahan Pencatatan

Ketidaksesuaian ini bisa diakibatkan karena human eror atau kekeliruan petugas dalam pencatatan, kesalahan perhitungan, lupa mencatat saat pengambilan atau memasukan obat serta kurang fokus dalam bekerja akibat beban kerja. Pada hari-hari tertentu seperti hari senin dan selasa merupakan hari dengan kunjungan terbanyak sehingga beban kerja pun meningkat. Pencatatan stok obat yang tidak akurat dapat menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau berlebih dalam persediaan.

Diperlukan perhatian khusus dalam hal pencatatan obat ini seperti dengan memeberikan label di setiap etalase agar tidak lupa mencatat mutasi obat dan memperhatikan jam kerja karena kerja berlebihan dapat menghilangkan fokus akibat kelelahan.

Hasil penelitian lain ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Syukriati Chaira, dkk tahun 2016 pada 7 puskesmas di kota Pariaman. Terdapat 2 puskesmas sudah sesuai standar yaitu 0% sedangkan 5 puskesmas belum sesuai standar. Permasalahan ini terjadi karena pengelola obat tidak langsung mencatat pada saat penerimaan dan pengeluaran obat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pengelolaan obat di Puskesmas Kasihan 1 Kabupaten Bantul, Yogyakarta didapatkan hasil bahwa kesesuaian obat yang tersedia di puskesmas dengan FORNAS sebesar 96,43% standar 100%, ketepatan permintaan obat 75,88% standar 100%, persentase obat rusak atau kedaluwarsa 1,62% standar 0%, persentase ketepatan distribusi 33,47% standar 100%, persentase obat tidak diresepkan 27,86% standar 0%, persentase peresepan obat generik 100% standar 100%, persentase perbedaan pencatatan obat pada kartu stok dan jumlah fisik obat 10,71% standar 0%.

Saran

Bagi puskesmas

Perlu lebih memperhatikan lagi pengelolaan obat dalam aspek permintaan, pendistribusian, penggunaan dan pencatatan agar dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan rasional.

Bagi peneliti lain

Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengkajian yang lebih spesifik terkait cost analysis maupun aspek pengelolaan obat dengan indikator lain. Serta penelitian ini juga dapat dijadikan rujukan untuk penelitian terkait pengelolaan obat diseluruh puskesmas Kabupaten Bantul.

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini adalah belum adanya standar resmi dari pemerintah yang dapat digunakan. Standar evaluasi pengelolaan obat yang digunakan sampai saat ini baru berasal dari beberapa penelitian ilmiah. Sehingga perlu adanya kontribusi dari

Daftar Obat Dengan Kesalahan Pencatatan

No Nama Obat

1 Acetylsistein kapsul 200 mg 2 Antifungi DOEN salep 3 Captopril tablet 12,5 mg 4 Captopril tablet 25 mg 5 Combiven

6 Digoksin tablet 0,25 mg 7 Dimenhidrinat tablet 50 mg 8 Ketoconazol tablet 200 mg

9

Klorfeniramine Maleat (CTM) tablet 4 mg

10 Metformin HCl tablet 500 mg 11 Metilprednisolon tablet 4 mg 12 Natrium Diklofenak tablet 25 mg 13 Parasetamol tablet 500 mg

14

Vitamin B6 (Piridoksin HCl) tablet 10 mg

15

Vitamin C (Asam Askorbat) tablet 50 mg

(13)

pemerintah mengenai standar pengelolaan obat sebagai modal pelaksanaan sehingga pengelolaan obat yang ada menjadi lebih terarah.

.

REFERENSI

Adi Soeprijanto, R; Hapsari, Indri; Utaminingrum Wahyu.

(2011). Evaluasi Manajemen Pengelolaan Obat Di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Purbalingga Berdasarkan Tiga Besar Alokasi Dana Pengadaan Obat. PHARMACY, Vol.08 No. 03 Desember 2011 Akbar, Nabila H; Kartinah, Nani; Wijaya, Candra. (2015).

Analisis Manajemen Penyimpanan Obat di Puskesmas Se-Kota Banjarbaru. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. p-ISSN: 2088-8139

BPOM. (2018). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. Bpom, 1–50.

Chaira, Syukriati, dkk. (2016). Evaluasi Pengelolaan Obat pada Puskesmas di Kota Pariaman. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(1), 35-41.

Caroline, Ivonie; Fudholi, Achmad; Endarti, Dwi. (2017).

Evaluasi Ketersediaan Obat Sebelum Dan Sesudah Implementasi JKN Pada Puskesmas Di Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Volume 7 Nomor 1 – Maret 2017.

Depkes RI. (1998). Standar Pelayanan dan Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit.

Dorkas Rambu Kareri. (2018). Pelaporan Obat Rusak dan Kadaluarsa di Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur. Karya Tulis Ilmiah, 1–48.

IAI. 2015. Informasi Spesialite Obat Indonesia.

Kementrian Kesehatan RI & JICA. (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kesehatan Di Puskesmas.

Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Kementrian Kesehatan RI. (2013). Daftar Obat Esensial Nasional Pada Tahun 2013.

Kementrian Kesehatan RI. (2019). Nomor Hk.01.07/Menkes/813/2019 Tentang Formularium Nasional.

Kurniawati, Indah & Maziyyah, N. (2017). Evaluasi Penyimpanan Sediaann Farmasi Di Gudang Farmasi Puskesmas Sribhowono Kabupaten Lampung Timur.

Mangindara; Darmawansyah; Nurhayani; Balqis. (2012).

Analisis Pengelolaan Obat Di Puskesmas Kampala Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjaitahun 2011. Jurnal AKK, Vol 1 No 1, September 2012, hal 1-55.

Oscar, L. & Jauhar, M. (2016). Dasar-Dasar Manajemen Farmasi. Prestasi Pustaka Raya.

Palupiningtyas, R. (2014). Analisis Sistem Penyimpanan Obat Di Gudang Farmasi Rumah Sakit Mulya Tangerang.

Permenkes. (2014). Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.

Permenkes. (2016). Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.

Permenkes. (2018). Nomor 54 Tahun 2018 Tentang Penyusunan Dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Pudjaningsih, D., (1996), Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Farmasi RS, Tesis, 40, Program Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rosmania, Fenty Ayu & Supriyanto, S. (2015). Analisis Pengelolaan Obat Sebagai Dasar Pengendalian Safety Stock Pada Stagnant Dan Stockout Obat.

Safii & Silvia, V. (2018). Analisis Yang Memengaruhi Permintaan Obat Generik Di Kota Banda Aceh.

Satibi. (2014). Manajemen Obat di Rumah Sakit, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Widiasih, E. S. (2015). Analisis Dasar Hukum, Kebijakan dan Peraturan Penghapusan Obat Rusak Dan Kadaluwarsa Sebagai Barang Milik Daerah Di Dinas Kesehatan Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

World Health Organization. (1993). How to Investigate Drug Use in Health Facillities.

Yusuf, F. (2016). Studi Perbandingan Obat Generik Dan Obat Dengan Nama Dagang.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian korelasi parsial antara power tungkai dengan melempar ke sasaran diperoleh nilai korelasi parsial sebesar 0.407 dengan nilai probabilitas sebesar

4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika Dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian  Teknis Tata Kelola Obat... 9 tahun

Pindad (Persero) pada tanggal 09 September 2014 yang berjudul “CEO Pindad : Organisasi Harus Berpihak Kepada Karyawan yang Perform”, terdapat beberapa permasalahan

Seperti dikatakan Eko Budihardjo bahwa dalam rangka mencapai pembangunan perkotaan berkelanjutan yang manusiawi dan ramah terhadap lingkungan antara lain

Hasil penelitian tentang pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai di 11 Puskesmas Kota Kupang belum dilakukan dengan efisien karena tidak semua nilai indikator mencapai

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelayanan kefarmasian di Puskesmas Klari Karawang yang meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis

Penerimaan obat yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Karawang sesuai dengan peraturan menteri kesehatan No.26 Tahun 2020 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Bagian pertama untuk menilai Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas; yang menjadi variabel bebas adalah SDM, sarana dan prasarana, pengelolaan obat dan bahan