BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi
Soehartono et al. (2007) menyebutkan bahwa gajah asia tersebar ke dalam tiga region besar yaitu, (1) India (meliputi India, Nepal, Bhutan dan Bangladesh), (2) Asia Tenggara (meliputi Cina, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia), dan (3) Asia Kepulauan yang termasuk dalam Kepulauan Andaman (Sri Lanka, Sumatera (Indonesia) dan Borneo (meliputi Malaysia dan Indonesia)). Gajah sumatera merupakan sub spesies dari Gajah Asia (Elephas maximus). Gajah sumatera memiliki sistematika, yaitu dunia Animalia, filum
Chordata, kelas Mamalia, ordo Proboscidae, famili Elephantidae, genus Elephas, spesies Elephas maximus, dan sub spesies Elephas maximus sumatranus Temminck 1847. Nama ilmiah gajah sumatera yaitu Elephas maximus sumatranus Temminck 1847 (Ciszek 1999).
Gajah sumatera memiliki tubuh yang sangat besar. Berat gajah sumatera dapat berkisar antara 3000 hingga 4000 kg. Gajah sumatera memiliki panjang kepala dan badan yaitu 150-550 cm (Leckagul dan Mcneely 1977). Tinggi gajah sumatera pada waktu lahir kira-kira 90-95 cm dan meningkat hingga 130 cm setelah berusia dua tahun. Pada usia tiga tahun tingginya sekitar 150-160 cm, pada umur empat tahun sekitar 175-190 cm, dan pada umur enam tahun tingginya bervariasi mencapai antara 180-200 cm. Tinggi gajah sumatera dewasa dapat mencapai 1,7-2,6 meter (WWF 2005). Menurut Maryanto et al. (2008) gajah sumatera dewasa memiliki tinggi 1,7-2,6 meter untuk gajah jantan dan 1,5-2,2 meter untuk gajah betina.
Gajah memiliki kulit berwarna abu-abu bercampur dengan warna coklat.
Kulit gajah sangat tebal dan kering, terdapat rambut-rambut halus di seluruh tubuhnya (Ciszek 1999). Selain itu pada kulit gajah juga terdapat banyak benjolan-benjolan, bergelombang dan sangat elastis. Pada kulit gajah tidak terdapat kelenjar keringat, hanya terdapat kelenjar susu dan dua buah kelenjar temporal pada setiap bagian samping kepala (PKBSI 1983).
Gajah sumatera memiliki telinga yang lebar untuk menutupi bagian bahunya. Ukuran telinga gajah sumatera relatif lebih kecil bila dibandingkan
dengan gajah afrika. Daun telinga gajah berupa tulang rawan yang diselubungi kulit tipis. Telinga pada gajah berfungsi dalam pengaturan suhu tubuh dan alat berkomunikasi (Ciszek 1999).
Belalai gajah sumatera memiliki satu bibir di ujungnya berbeda dengan gajah afrika yang memiliki dua bibir pada ujung belalainya (Ciszek 1999). Belalai pada gajah berfungsi sebagai tangan, alat bernapas, sebagai senjata, dan alat berkomunikasi. Fungsi lain dari belalai adalah sebagai indera penciuman yang mengalami perkembangan yang baik sehingga arah datangnya bau dapat ditetapkan (Leckagul dan McNeely 1977).
Gading pada gajah sumatera hanya dimiliki oleh gajah jantan tetapi pada gajah afrika gading dimiliki oleh gajah jantan maupun betina. Sebagian besar gajah sumatera jantan mempunyai gading dengan ukuran panjang 0,5-1,7 meter dan bobot 25-30 kg (satu buah) dan sebaliknya betina tidak memiliki atau sangat pendek gadingnya dan tersebunyi di balik bibir atas. Gading gajah merupakan perkembangan dari gigi serinya (Eltringham 1982 dalam Prayetno 1996). Pada gajah jantan, sepasang gigi seri yang memanjang akan bertambah 17 cm per tahun hingga menjadi gading (Ciszek 1999).
Gajah memiliki kaki yang besar dan terdiri dari jari kaki dan kuku kaki.
Tapak kaki gajah sumatera bagian depan berbentuk bulat dengan lima kuku dan telapak kaki belakang berbentuk bulat telur dengan empat buah kuku. Hal ini berbeda dengan gajah afrika yang memiliki empat jari kaki depan dan tiga jari kaki belakang (Ciszek 1999).
Gajah betina dewasa memiliki lama kebuntingan 530-760 hari, anak yang baru lahir mempunyai bobot lahir sebesar 50-150 kg dengan tinggi bahu 90 cm.
Induk memelihara anaknya hingga berumur sekitar dua tahun. Gajah betina memiliki lama kebuntingan 17-18 bulan (Maryanto et al. 2008). Siklus estrus gajah betina adalah sekitar 21 hari. Gajah betina menerima kopulasi pada hari pertama estrus. Tidak terdapat musim khusus dalam kegiatan reproduksi. Baik gajah jantan maupun gajah betina mengalami dewasa kelamin pada umur sekitar 14 tahun. Gajah jantan tidak dapat kawin sebelum mampu mendominasi gajah jantan dewasa lainnya (Ciszek 1999).
Gajah yang dipelihara dengan baik dapat bertahan hidup lebih lama bila dibandingkan dengan yang berada pada lokasi dengan keterancaman habitat yang cukup tinggi. Gajah sumatera di alam memiliki kemampuan hidup hingga 70 tahun dan untuk gajah di penangkaran memiliki rata-rata kemampuan hidup hingga 65,5 tahun (Ciszek 1999).
2.2 Penyebaran dan Populasi Gajah Sumatera
Alikodra (2002) menyatakan bahwa pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk menyesuaikan dan memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembangbiak secara normal. Pergerakan satwaliar merupakan suatu perilaku, sehingga mempunyai pola-pola tertentu sesuai dengan jenisnya. Pergerakan ini erat hubungannya dengan sifat individu dan kondisi lingkungannya seperti ketersediaan makanan, fasilitas untuk berkembangbiak, pemangsaan, kondisi cuaca, sumber air maupun adanya pengrusakan lingkungan.
Gajah sumatera tersebar di Pulau Sumatera meliputi 8 propinsi dan terbagi dalam 44 populasi. Gajah sumatera diketahui menyebar luas di seluruh Sumatera dalam berbagai ekosistem (Haryanto & Blouch 1984 dalam Zahrah 2002). Pada tahun 1970-an populasi gajah sumatera lebih besar dari pada kondisi tahun 2007- an. Hal ini disebabkan karena daya dukung (carrying capacity) lingkungan sebagai habitat alami gajah pada tahun 1970-an lebih baik dari kondisi lingkungan tahun 2007-an. Selain itu tingkat kerusakan habitat gajah tahun 1970-an masih kecil bila dibandingkan dengan tingkat kerusakan pada tahun 2007-an, yang disebabkan karena adanya konflik gajah dengan manusia, pembalakan liar, kebakaran hutan, dan gangguan lainnya (Supartono 2007).
Populasi gajah asia diperkirakan masih terdapat antara 34.000-54.000 individu. Gajah asia tersebut tersebar di beberapa wilayah, mulai dari Himalaya, Indocina, India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, hingga wilayah Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan. Populasi tertinggi berada di wilayah India yaitu diperkirakan lebih dari 20.000 individu dan Myanmar berkisar antara 3.000-10.000 individu (Santiapillai dan Jackson 1990).
2.3 Habitat Gajah Sumatera
Habitat adalah suatu daerah bagi organisme yang terdiri dari berbagai faktor (fisiografi vegetasi dan kualitasnya) dan merupakan tempat hidupnya (Elton 1949 dalam Alikodra 2002). Gajah sumatera memiliki habitat di berbagai tipe ekosistem mulai dari pantai hingga ketinggian diatas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci. Habitat gajah terdiri dari beberapa tipe hutan, yaitu : (1) hutan rawa (swamp forest), tipe hutan ini dapat berupa rawa padang rumput, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder dan hutan rawa gambut (peat swamp forest). (2) hutan dataran rendah (lowland dipterocarp forest), yaitu tipe hutan yang berada pada ketinggian 0-750 meter di atas permukaan air laut, (3) hutan hujan pegunungan rendah (hill dipterocarp forest), yaitu tipe hutan yang berada pada ketinggian 750-1.500 meter di atas permukaan air laut (WWF 2005).
Gajah sumatera tinggal di wilayah padang rumput, belukar, hutan rimba dan juga areal berbukit sampai mencapai tinggi 3.600 meter atau 11.800 kaki. Hal tersebut menunjukkan bahwa gajah sumatera dapat hidup di lokasi manapun yang bebas dari gangguan manusia. Gajah sumatera juga dapat hidup di daerah yang dijadikan lahan pertanian dan pembalakan. Habitat gajah sumatera dipengaruhi pula oleh musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Pada musim kemarau yaitu sekitar akhir bulan Mei hingga bulan September, gajah-gajah menjadikan tepi sungai sebagai habitatnya. Pada musim hujan, gajah-gajah akan memilih kawasan hutan yang lebat dan rimbun serta dipenuhi oleh rumput-rumput yang tinggi sebagai habitat. Pada musim transisi yaitu di antara bulan September dan November gajah memilih areal hutan yang luas dan dipenuhi rumput-rumput yang pendek (Sukumar 2003).
2.4 Pakan Gajah Sumatera
Pakan merupakan kebutuhan pokok atau komponen utama dalam suatu habitat untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa. Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik habitat, seperti iklim dan tanah sebagai media pertumbuhannya. Ketersediaan pakan yang cukup mempengaruhi kesejahteraan satwa, sehingga dapat menghasilkan satwa-satwa yang memiliki daya reproduksi yang tinggi dan memiliki ketahanan terhadap penyakit (Zahrah 2002).
Pakan gajah sumatera berupa daun-daun tua dan tidak jarang berupa pohon-pohon kecil (Maryanto et al. 2008). Gajah sumatera membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah atau 5-10% dari berat badannya (WWF 2005). Gajah sumatera juga memakan bagian-bagian tumbuhan lain seperti batang kayu, ranting, akar, dan buah. Tidak jarang pula gajah memakan tumbuh-tumbuhan bukan pohon seperti tepus, rotan, pisang liar, serta jenis herba yang lain. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan gajah sebagai pemakan segala macam tumbuhan. Gajah menyukai rerumputan dan juga mengkonsumsi kulit kayu, akar, dedaunan, dan batang pohon (Ciszek 1999).
Agustian (2007) mengatakan bahwa di Taman Nasional Tesso Nilo bagian Timur ditemukan jenis tumbuhan pakan gajah sumatera sebanyak 47 jenis. Jenis pakan tersebut dapat dibedakan menurut tingkatannya yaitu tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai. Beberapa jenis tumbuhan pakan gajah sumatera yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo bagian Timur disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis tumbuhan pakan gajah sumatera di hutan sekunder Taman Nasional Tesso Nilo bagian Timur
No. Nama Lokal Nama Latin
1. Akasia Acacia mangium
2. Balam Palaqium sp.
3. Cempedak Artocarpus integer
4. Durian Durio zibethinus
5. Jambu-jambu Syzygium cliviflorum
6. Kandis Garcinia parvifolia
7. Kelat Eugenea sp.
8. Mahang Macaranga gigantea
9. Medang Litsea odorivera
10. Mampening Querqus lucida
11. Mandarahan Knema laurina
12. Meranti Shorea sp.
13. Meranti Kunyit Shorea sp.
14. Meranti Sarang Semut Shorea pinanga
15. Petai Hutan Parkia speciosa
16. Putat Barringtonia reticulata
17. Putat Batu Barringtonia sp.
Tabel 1 (Lanjutan)
18. Renghas Gluta renghas
19. Sendok-sendok Endospermum diadenum
20. Sungkai Peronema canescens
21. Toap Artocarpus sp.
Sumber: Agustian (2007)
Menurut Leckagul dan McNeely (1977) gajah di alam mengkonsumsi makanan sebanyak 250 kg/hari/ekor. Menurut Sukumar (2003) seekor gajah dewasa menghabiskan hijauan pakan sebanyak 4% dari berat tubuhnya, sementara gajah betina yang sedang menyusui dapat menghabiskan hijauan pakan sebanyak 6 % dari berat tubuhnya.
2.5 Perilaku Makan dan Minum Gajah Sumatera
Gajah sumatera termasuk satwa pemakan rumput (grazer), semak (browser), daun (folifor), dan pemakan buah (frugifor). Gajah mengambil makanannya dengan cara direnggut, dipatahkan dan dirobohkan. Gajah mengambil makanan dengan belalainya, selain itu dapat pula dibantu dengan gading, dahi, kaki depan, dan mulut. Pada saat gajah makan, gajah merenggut makanannya, tidak semua dimasukkan ke mulut namun ditebarkan ke tempat lain atau kepunggungnya sendiri. Terkadang gajah untuk mendapatkan makanannya merobohkan pohon untuk mengambil daun muda dari pohon tersebut, sehingga seringkali tempat makan gajah cenderung rusak (WWF 2005).
Gajah merupakan mamalia terestrial yang aktif baik di siang maupun malam hari. Sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Gajah mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16-18 jam/harinya. Gajah bukan satwa yang hemat terhadap pakan sehingga cenderung meninggalkan banyak sisa makanan bila masih terdapat makanan yang lebih baik (WWF 2005).
Pada saat berendam di sungai, gajah minum dengan mulutnya. Pada sungai yang dangkal atau di rawa gajah menghisap dengan belalainya. Gajah mampu menghisap sebanyak 9 liter air dalam satu kali isap (WWF 2005). Menurut Ciszek (1999) gajah sumatera membutuhkan air sekitar 35 - 50 galon atau sekitar 140
liter air per ekor dalam sehari dan tidak dapat hidup jauh dengan sumber air.
Gajah melakukan aktivitas minum menggunakan belalainya, dengan cara menghisap atau menyedot air lalu menuangkan kedalam mulutnya, namun apabila ia sedang berendam, gajah akan menggunakan mulutnya untuk minum (Supartono 2007). Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50 - 100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya (WWF 2005).
2.6 Palatabilitas
Palatabilitas merupakan hasil keseluruhan faktor-faktor yang menentukan sampai dimana tingkat suatu pakan menarik bagi satwa. Palatabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor satwa itu sendiri, fase pertumbuhan dan kondisi pakan, kesempatan satwa untuk memilih pakan lainnya, tatalaksana serta pemupukan hijauan (Ivins 1952 dalam McIlroy 1976). Pengukuran palatabilitas dapat dilakukan dengan studi lapangan yaitu mengamati jenis yang dimakan satwa dan melalui pengamatan langsung cara makan satwa tersebut (Trippense 1948 dalam Damanik 2003 dalam Anugrah 2007).
Pengelompokan makanan berdasarkan palatabilitas, ketersediaan bahan makanan dan kadar gizi dapat digolongkan menjadi bahan makanan disukai, bahan makanan pokok, bahan makanan dalam keadaan darurat, bahan makanan pengisi/tambahan, dan bahan makanan yang tidak dimakan (Leopold et al. 1933 dalam Sectionov 1999). Berdasarkan pemilihan jenis tumbuhan pakan dalam
habitatnya, gajah sumatera memiliki pola pemilihan pakan (a) permanent (mengkonsumsi jenis makanan yang sama sepanjang tahun) (b) pemakan semak/perdu, browser pada musim kemarau dan (c) pemakan rumput/herba, graze pada musim hujan (Abdullah 2008).
2.7 Biomassa dan Daya Dukung Habitat
Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan hidup di atas permukaan tanah pada pohon yang dinyatakan dalam berat kering tanur per unit area. Komponen biomassa di atas permukaan tanah merupakan bagian yang terbesar dari jumlah biomassa. Tumbuhan banyak menyimpan karbon pada bagian
atas permukaan tanah dan hanya sebagian kecil yang tersimpan di akar. Karbon atau zat arang adalah salah satu unsur yang terdapat dalam bentuk padat maupun cairan di dalam perut bumi, di dalam batang pohon, atau dalam bentuk gas di udara atau atmosfer.
Daya dukung suatu habitat dapat diestimasi berdasarkan biomassa dari vegetasi. Dengan mengetahui jumlah biomassa dari suatu habitat maka dapat diketahui jumlah gajah yang dapat ditampung. Gajah sumatera membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah atau 5-10% dari berat badannya (WWF 2005). Kebutuhan gajah sebesar 1,5% bahan kering dari bobot badan per hari (Sukumar 2003).
2.8 Desain Pengelolaan Pakan Gajah Sumatera
Pengelolaan satwaliar merupakan suatu ilmu dan seni yang memanipulasikan adanya perubahan dan interaksi antara habitat dengan populasi satwaliar untuk mencapai tujuan pengelolaan yang sudah ditetapkan, yaitu agar mereka dapat hidup dan berkembangbiak secara normal (Giles 1969 dalam Alikodra 2002). Habitat mempunyai peranan penting untuk mendukung kehidupan satwaliar. Kuantitas dan kualitasnya perlu dijaga kelestariannya, sehingga tetap berfungsi sebagai tempat mencari makan, minum, berkubang, tidur, istirahat, berlindung, dan berkembangbiak. Sesuai dengan kepentingannya, teknik pengelolaan habitat dapat dibedakan menjadi pengelolaan sumber makanan (pakan satwa liar), pengelolaan sumber-sumber air dan pengelolaan tempat-tempat berlindung serta bersarang. Upaya dalam pengelolaan pakan biasanya berupa peningkatan kualitas dan kuantitas (Alikodra 2002). Desain pengelolaan pakan gajah bertujuan untuk membangun, memelihara (maintenance), memperbaiki (improvement), atau menciptakan serta memantau dan mengevaluasi kondisi optimal vegetasi pakan gajah sumatera baik jumlah, mutu, keanekaragaman jenis maupun preferensi sesuai keperluan satwa untuk bisa hidup dan berkembangbiak (Anugrah 2007).
Teknik manajemen yang tepat secara ekologis meliputi pilihan/penentuan teknik manajemen, kapan, dimana, dan bagaimana melakukannya. Beberapa syarat penting yang perlu mendapat perhatian di dalam pengelolaan (tumbuhan)
pakan satwa, yakni (1) cukup, artinya jumlah pakan yang tersedia harus dapat memenuhi kebutuhan satwa, (2) sempurna, artinya mutu pakan harus sesuai yang diperlukan, yaitu mengandung semua jenis zat makanan yang diperlukan, serta tidak mengandung zat yang beracun atau dapat mengganggu, (3) disukai (palatable atau preference), pakan harus disukai karena betapapun pakannya banyak tersedia dan bermutu tinggi tetapi jika tidak disukai, tentu tidak akan banyak gunanya, (4) kontinyu, selalu tersedia sepanjang waktu, dan (5) non- kompetitif artinya pakan untuk satwa tidak atau kurang memiliki persaingan dengan jenis satwa lain (Mas’ud dan Prayitno 1997).
2.9 Arboretum PT Arara Abadi
PT Arara Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dan merupakan Group Sinar Mas Forestry (SMF) di Perawang-Riau, yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI). Perusahaan ini bergerak dalam bidang produksi pulp and paper sehingga memiliki hutan yang cukup luas dengan tanaman
industri utama yaitu Akasia dan Eucalyptus. Dalam pengelolaannya PT Arara Abadi menyisihkan beberapa kawasan untuk dijadikan kawasan lindung, salah satu kawasan lindung tersebut terletak di tengah-tengah kawasan HTI yang kerap disebut dengan Arboretum. Arboretum ini merupakan salah satu kawasan yang dilindungi yang berperan penting sebagai pelindung sistem penyangga sumber daya hutan dan air (FED Sinar Mas 2007).
Arboretum PT Arara Abadi diartikan sebagai tempat tanaman atau budi daya tumbuhan berkayu, bukan hanya pohon yang ditanam tetapi juga tanaman herbal dan bunga yang ditujukan sebagai koleksi dan konservasi tumbuhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arboretum diartikan sebagai tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakan untuk tujuan penelitian atau pendidikan. Arboretum PT Arara Abadi dijadikan sebagai sarana pendidikan, penelitian, edukasi-rekreasi alam dalam pelestarian sumberdayanya. Arboretum tersebut memiliki luas ± 173 ha, yang terletak di Desa Mandi Angin, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak. Pembangunan dan pengelolaan arboretum ini dimulai pada tahun 1998 (FED Sinar Mas 2007).
Menurut peruntukan tata ruangnya merupakan kawasan lindung yang dikelola untuk mencegah kegiatan-kegiatan yang dapat merusak kondisi kawasan seperti penebangan kayu, pembukaan lahan, dan pembakaran lahan. Arboretum ini memiliki kondisi yang baik dan unik, di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati flora dan fauna yang dapat berfungsi sebagai wahana pendidikan lingkungan (FED Sinar Mas 2007).