• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TERAPI KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA ABSTRAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA ABSTRAK

Pendahuluan: Skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang sifatnya menahun dan butuh waktu lama untuk proses penyembuhannya sehingga banyak pasien yang menghentikan terapi psikofarmaka. Lamanya program pengobatan dan efek samping obat sebagai salah satu penyebab munculnya prilaku ketidakpatuhan pasien terhadap program pengobatannya. Sampai saat ini masih sedikit informasi dari hasil-hasil penelitian tentang pemanfaatan terapi tradisional dan alternatif oleh para penderita gangguan jiwa di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pemanfaatan terapi tradisional dan alternatif di antara penderita gangguan jiwa di Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan Charmaz Constructive Grounded Theory untuk mengeksplorasi pemanfaatan terapi tradisional dan alternatif di antara pasien yang menderita gangguan jiwa. Metode pengumpulan data termasuk interaksi langsung (wawancara semi- terstruktur), document review, catatan lapangan dan memo. Pemahaman terkait pengalaman pasien gangguan jiwa setelah diberikan terapi guided imagery merupakan hal penting karena guided imagery adalah salah satu terpai modalitas yang dianjurkan untuk digunakan dalam membantu mengubah perilaku pasien gangguan jiwa yang maladptif menajdi adaptif. Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi terkait pengalaman pasien gangguan jiwa ketika guided imagery diberikan. Penelitian ini merupakan penelitian qualitatif dengan menggunakan metode narrative inquiry. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Surakarta selama 2 bulan. Total sampel berjumlah 16 pasien gangguan jiwa yang belum pernah mendapatkan terapi guided imagery dan sample diambil menggunakan teknik non-probability sampling. Data diambil menggunakan wawancara mendalam dan observasi tehadap responden. Seiring dengan perkembangan

masyarakat saat ini, yang banyak mengalami perubahan dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, sebagai manusia tentu saja tidak terlepas dari masalah. Setiap individu mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi masalah tersebut. Besar kecilnya suatu masalah dalam kehidupan memang harus dihadapi, tetapi tidak sedikit pulaindividu yang tidak mampu

menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Hal inilah yang dapat mempengaruhi seseorang mengalami masalah psikologi atau gangguan kesehatan jiwa. Salah satu gangguan jiwa yangdimaksud adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan masalah kesehatan umum di seluruh dunia. Prevalensi skizofrenia di Indonesia sendiri adalah tiga sampai lima perseribu penduduk.

Bila diperkirakan jumlah penduduk sebanyak 220 juta orang akan terdapat gangguan jiwa dengan skizofrenia kurang lebih 660 ribu sampaisatu juta orang. Hal ini merupakan angka yang cukup

(2)

besar serta perlu penanganan yang serius (Sulistyowati dkk 2006). Berdasarkan catatan medis RuangSakura Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas didapatkan data bahwa pasien dengan diagnosa skizofrenia menempati peringkat pertama dibandingkan dengan gangguan kesehatan jiwa lainnya. Dari daftar 20 besar penyakit rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas, pada bulan Juli, Agustus dan September 2007 pasien dengan skizofrenia paranoid menempati urutan pertama dengan jumlah pasien sebanyak 304 Sejak Juli 2013, Rumah Sakit Provinsi Jawa Barat membuka Poli Konseling Psikiatri di Grha Atma yang melibatkan perawat spesialis keperawatan jiwa. Penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan penelitian survei dengan metode kuantitatif dan menggunakan rancangan cross sectional.orang dan skizofrenia residual menempati urutan kelima dengan jumlah pasien sebanyak 65 orang.

(Agus Waluyo, 2017) PENDAHULUAN

Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik yang dapat menghambat produktifitas individu dalam kehidupannya. Skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang sifatnya menahun, dan butuh waktu lama untuk proses penyembuhannya. Lamanya waktu pemberian obat psikofarmaka (antipsikosis) dan efek samping obat yang menurut pasien membuat tidak nyaman membuat pasien menghentikan terapi psikofarmaka.Berikut ini beberapa alasan yang membuat pasien skizofrenia menghentikan terapi psikofarmaka, Menurut Ashwin (2007 dalamBustilo, 2008) adanya kejenuhan dari pasien skizofrenia minum obat setiap hari. Wardhani (2009), mengidentifikasi bahwa adanya efek samping obat terhadap fisik, seksualitas, aktifitas dan tingkat konsentrasi menjadi alasan pasientidak patuh bahkan sampaimenghentikan minum obat. Gejala fisik seperti tidak kuat berdiri lama, mual, kaku, bicara pelo dan badan tidak enak adalah ungkapan- ungkapan yang menggambarkan efek samping obat terhadap fisik.Berawal. Istilah ‘penyakit jiwa’ digunakan untuk menunjukkan berbagai masalah dan perilaku akibat gangguan jiwa yang termasuk dalam the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, Tenth revision (ICD-10) (WHO, 2013). Penyakit gangguan jiwa termasuk “gangguan atau penyakit seperti depresi, gangguan afektif bipolar, skizofrenia, kecemasan, demensia, gangguan pemanfaatan zat, kecacatan kemampuan intelektual, dan gangguan perkembangan dan perilaku yang biasanya terjadi dimulai pada masa kanak- kanak dan remaja, termasuk autisme” (WHO, 2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fifth edition (DSM-V) juga mendefinisikan berbagai jenis penyakit jiwa, termasuk skizofrenia, kecemasan dan gangguan afektif, gangguan makan, dan gangguan kepribadian (American Psychiatric Association, 2013). Tahun 2020, para ahli

(3)

memerkirakan bahwa 15% populasi global akan memiliki masalah dengan gangguan jiwa dan antara 1% sampai 3% dari mereka menderita gangguan jiwa berat (Harpham, Reichenheim, Oser, Thomas, Hamid, Jaswal, Ludermir, & Aidoo, 2003). Para penderita gangguan jiwa terkena dampak tidak hanya harus berurusan dengan gejala dan dampak penyakit, tetapi juga dengan stigmatisasi atau diskriminasi terhadap mereka (Kapungwe, Cooper, Mwanza, Mwape, Kakuma, Lund, dan Flisher, 2010). Menurut Departemen Kesehatan RI (2013), prevalensi penderita gangguan jiwa berat di Indonesia adalah 1.7 per 1.000 dan gangguan jiwa ringan adalah sekitar 6% dari total populasi. Kebanyakan penderita gangguan jiwa parah terdapat di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Tengah (Keliat, 2013). Bukti evidence dari seluruh dunia, terutama dari negara berpenghasilan rendah dan menengah, menunjukkan bahwa komplementer tradisional atalternatif biasa digunakan oleh sejumlah besar orang dengan gangguan jiwa (Gureje dkk, 2015).

epresi, 60 juta orang terkena skizofrenia dan 47,5 juta terkena dimensia yang terjadi pada tahun 2016. Gangguan jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Kejadian gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang (Dinas Kesehatan, 2013).

Berdasarkan data yang diperoleh Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2016) jumlah kunjungan penderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa tahun 2016 sebanyak 413.612. Berdasarkan data rekam medis Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta (2018) jumlah kunjungan pasien di mulai dari tahun 2012 sampai 2017 tercatat pada tahun 2012 sebanyak 5.906 kali kunjungan, Sementara pada 2013 menjadi 3.190 kali kunjungan, kemudian 2014 menjadi 3.139 kali.

(Arsyad Subu, 2015)

kunjungan, sedangkan pada tahun 2015 yang mencapai 2.817 kali kunjungan, tahun 2016 mengalami peningkatan dari tahun

sebelumnya yaitu terdapat 2.993 kali kunjungan, padatahun 2017 angka kunjungan rumah sakit jiwa mencapai 2.815 kali kunjungan. Keadaan jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa yang tidak sedikit ini membutuhkan terapi yang tepat agar dapat memberikan tindakan terbaik untuk kesembuhan pasien, sehingga dapat dipilih terapi yang ada dalam keperawatan untuk menangani gangguan jiwa antara lain terapi modalitas, terapi komplementer dan terapi farmakologi (Nasir, 2011).

Terapi modalitas merupakan terapi yang memfokuskan cara pendekatan dengan pasien gangguan jiwa yang bertujuan untuk mengubah prilaku pasien gangguan jiwa yang tadinya berprilaku

(4)

maladaptif menjadi adaptif (Sutejo,2017). Salah satu terapi modalitas yang dianjurkan untuk menurunkan depresi dan kecemasan pasien gangguan jiwa dapat dilakukan dengan pemberian relaksasi guide imagery. Menurut Susana (2012) Relaksasi guided imagery merupakan terapi keperawatan yang dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk membayangkan hal-hal yang membahagiakan dalam hidupnya sehingga menimbulkan rasa senang dan sedikit melupakan beban pikiran yang dirasakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hudaya (2015) teknik guided imagery dapat mengurangi kecemasan diperoleh 81% subjek penelitian mengalami penurunan tingkat kecemasan dan 19%

subjek penelitian tingkat kecemasannya tetap. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21 Mei 2018 didapatkan data kunjungan dalam 1 tahun belakangan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta sebanyak 2815 kunjungan. Fenomena yang ada bahwa pasien yang mengalami cemas dan amuk pada awalnya akan diajak komunikasi terapeutik dan diberikan terapi farmakologi untuk penenang, selanjutnya dilakukan restrain atau pengikatan pada bagian ekstremitas pasien. Pemeberian restarain memiliki resiko cidera fisiologis dan psikologis apabila tidak dilakukan dengan benar.

Seiring dengan perkembanganmasyarakat saat ini, yang banyak mengalami perubahan dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, sebagai manusia tentu saja tidak terlepas dari masalah. Setiap individu mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi masalah tersebut. Besar kecilnya suatu masalah dalam kehidupan memang harus dihadapi, tetapi tidak sedikit pulaindividu yang tidak mampu

menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Hal inilah yang dapat mempengaruhi seseorang mengalami masalah psikologi atau gangguan kesehatan jiwa. Salah satu gangguan jiwa yang dimaksud adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan masalah kesehatan umum di seluruh dunia.

Prevalensi skizofrenia di Indonesia sendiri adalah tiga sampai lima perseribu penduduk. Bila diperkirakan jumlah penduduk sebanyak 220 juta orang akan terdapat gangguan jiwa dengan skizofrenia kurang lebih 660 ribu sampaisatu juta orang. Hal ini merupakan angka yang cukup besar serta perlu penanganan yang serius (Sulistyowati dkk 2006). Fakta tentang masalah kesehatan mental ini perlu mendapatkan penanganan yang berkesinambungan dari berbagai elemen di masyarakat. Strategi yang dapat dilakukan meliputi strategi nasional dan strategi keilmuan. Strategi nasional dapat dilihat dari adanya berbagai program kesehatan terkait dengan masalah kesehatan jiwa. Berbagai bentuk strategi yang dapat dilakukan meliputi kegiatan pencegahan primer, kuratif, dan reha- bilitasi. Selain itu, terdapat bentuk pelayanan yang diberikan

(5)

terdiri atas pendekatan hospital base dan community base. Bentuk pelayanan paripurna tersebut melibatkan setiap unsur fasilitas kesehatan yang ada di masyarakatKegiatan pencegahan dan rehabilitasi dapat dikembangkan di masyarakat dalam bentuk community mental health nursing.

Akan tetapi, kegiatan kuratif dapat dilakukan dirumah sakit jiwa dan unit pelayanan umum/rumah sakit umum dan puskesmas bagi kasus gangguan mental berat dan gangguan mental emosional.

(Arsyad Subu, 2015)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kategori 1: Kerasukan (Setan, Roh atau Jin) Beberapa budaya di Indonesia masih mempercayai konsep kerasukan, dimana mereka percaya bahwa penyakit jiwa disebabkan oleh ‘setan, roh atau jin jahat’. Menurut salah seorang partisipan perawat, masyarakat masih dipengaruhi juga oleh kepercayaan tentang masa lalu; jika seseorang menderita penyakit jiwa, itu karena ia kerasukan setan atau roh. Benar iya iya ... pasien dan keluarga menggunakan terapi atau pengobatan alternatif pada orang-orang pintar yang 196 banyak di luar sana karena mereka menganggap sakit jiwa akibat disambar atau dipengaruhi... atau kerasukan setan, dikuasai oleh jin atau roh dan sebagainya, ...

itu yang saya ketahui dari pasien. Jadi gangguan jiwa dikaitkan dengan setan, jin atau mahluk halus (Pr2).

Kategori 2: Penyakit Dosa Orang orang juga masih berasumsi bahwa penyakit atau gangguan jiwa disebabkan oleh dosa-dosa penderita sendiri atau dosa keluarganya. Oleh karena itu, merupakan hal yang menjatuhkan martabat atau memalukan bagi keluarga jika seseorang menderita gangguan jiwa. Masyarakat kita berbeda beda. Juga, pendidikan mereka berbeda beda. Umumnya mereka mengasumsikan bahwa penyakit gangguan jiwa adalah akibat dari dosa. Apa namanya?

Dosa...akibat perilaku masa lalu.... masa lalu pasien. Bisa juga masa lalu keluarganya, bisa ibu atau bapaknya atau dosa kakek atau neneknya. Bisa juga karena keturunan ... pasti … karena penyakit akibat dosa ini, mereka dianggap orang orang yang berdosa (Pr6).

Kategori 3: Berobat ke tradisional dulu baru akhirnya ke rumah sakit jiwa Menurut beberapa partisipan, umumnya penderita gangguan jiwa awalnya dibawa ke orang orang pintar yang praktek terapi tradisional dan alternatif. Nampaknya pengobatan Tradisional dan alternatif ini sering merupakan pilihan pertaman oleh pasien, keluarga dan masyarakat. Banyak anggota keluarga mengingkari keluarganya menderita gangguan jiwa dan beranggapan bahwa penderita kerasukan setan. Oleh karena itu penderita dibawa ke orang orang pintar.

(6)

Hasil dari penelitian didapatkan gambaran karakteristik resonden berjumlah 16 orang yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah sebelah orang dan lima orang berjenis kelamin perempuan. Rentang usia 23-52 tahun. Tingkat pendidikan bervariasi dari SD sampai SMA, tapi sebagian besar mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas. Partisipan baru pertama kali mendapat terapi guided imagery. Hasil dari identifikasi tema didapati 2 tema utama yang berkaitan dengan pengalaman pasien ganggua jiwa ketika diberikan terapi guided imagery, yaitu: pertama resiko kekerasan terhadap orang lain dan yang kedua ialah perasaan nyaman .

Tema yang pertama, berkaitan dengan resiko kekerasan terhadap orang lain, ditunjukan melalui perkataan pasien terkait beberapa perilaku yang biasa dilakukan oleh pasien gangguan jiwa ketika adanya peningkatan status emosional pasien. Yang pertama ialah faktor sosial mengakibatkan marah partisipan menceritakan penyebab terjadinya marah, didapati 12 partisipan mengatakan bahwa marahnya dipengaruhi oleh masalah dengan orang disekitarnya seperti orang tua, saudara, teman, pasangan hidup dan tetangga. (Perawat et al., 2019)

“...masalah dengan orang lain” (R) “...masalah dengan kakak saya” (R2)

“...yang bikin saya kesal itu teman saya” (R3)

“...biasanya kakak saya” (R4)

“...ada masalah sama tetangga” (R7) “...teman saya menjebak saya” (R8)

“...dikatain gila sama tetangga-tetangga saya” (R9

1. Karakteristik responden Kecemasan merupakan

fenomena alamiah yang ada pada diri manusia, hal ini disebabkan karena faktor internal maupun eksternal yang menyebabkan secara individual tidak mampu mengatasi stressor psikologis tersebut yang manifestasinya sangat beragam mulai dari kecemasan sedang sampai berat bahkan panik. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hawari (2001) bahwa kecemasan muncul karena ketidakmampuan individu mengatasi stressor. Banyak faktor yang yang menjadi pemicu munculnya kecemasan antara lain umur,

(7)

lingkungan dan kondisi kegawatan penyakit. Kecemasan dapat bergerak secara bebas sehingga sangat sulit untuk diidentifikasi secara spesifik, artinya siapapun dan dalam kondisi apapun bisa mengalami kecemasan (Gibson 1992, Maramis 1998).

a. Karakteristik responden berdasarkan umur Dari hasil penelitian didapatkan hasil yang terlihat pada tabel 4.1. kecemasan sedang dialami responden antara umur 15- 24 tahun yaitu sebanyak 12 (40 %) responden sedangkan yang lain mengalami kecemasan ringan. Hal ini disebabkan pada usia ini masalah-masalah kepribadian sering bermunculan begitu luas dan komplek (Kristiysrini 2008).

Kondisi ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka pengalaman yang diterimanya juga semakin banyak. Dengan demikian cara menjalani kehidupannya juga semakin matang (Hudak & Gallo 1997). Tetapi setelah mengukuti TAK stimulasi persepsi,halusinasi,kecemasan responden menurun, hal ini bisa disebabkan karena usia 15-24 tahun mereka masih mudah untuk menerima informasi yang diberikan.

b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Hasil penelitian didapatkan hasil yang terlihat pada tabel 4.2 menujukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 16 (53,3%) responden dan perempuan sebanyak 14 (46,7%) responden. Namun perbedaan antara responden laki-laki dan perempuan tidak terlalu signifikan. Jeniskelamin bukan faktordominant terhadap munculnya kecemasan.

c. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan dan mencerna informasi. Hasil analisis pada table 4.3 diketahui bahwa jumlah responden dengan halusinasi pendengaran berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak adalah Sekolah Dasar sebanyak 21 (70 %) responden sedangkan paling sedikit Perguruan Tinggi hanya 1 (3.3 %) responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Johanes (2008) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi daya tahannya dalam menghadapi stres. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin tinggi keberhasilannya melawan stress. Orang yang pendidikannya tinggi lebih mampu mengatasi masalah daripada orang yang pendidikannya rendah.

Karakteristik pasien dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, dan status pernikahan. Tabel 1 mengambarkan karak- teristik pasien. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pasien yang berkonsultasi ke Poliklinik Konseling lebih banyak perempuan (62%), pasien yang berkonsultasi ke Poliklinik Konseling lebih banyak yang berusia 20—40 tahun (52%) hampir

(8)

sebanding yang berusia 40—65 tahun (43%). Status pekerjaan antara yang tidak bekerja (52%) dan berlatar belakang pendidikan terbanyak adalah menengah (52%).

Karakteristik keluarga dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan hubungan keluarga ditampilkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa keluarga pasien lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan (83%), Sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak lima keluarga (62,5%) berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar keluarga berusia 41—60 tahun (62%) dan sebagian besar keluarga yang men- dampingi pasien adalah orang tua pasien (54%). (Perawat et al., 2019) (Agus Waluyo, 2017)

KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Terapi Penerimaan dan Komitmen (TPK) dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkankan mekanisme koping yang adaptif dalam mengatasi stresor yang muncul pada pasien gangguan jiwa yang sedang menjalani terapi psikofarmaka. Penurunan tanda dan gejala harga diri rendah kronsis, halusinasi dan isolasi sosial pada pasien merupakan efek dari pemberian TPK terapi generalis dan terapi psikofarmaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengobatan tradisional dan alternatif memainkan peran penting dalam sistim kesehatan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tentang pengobatan kesehatan jiwa. Pengobatan ini adalah pilihan pertama pasien jiwa dan keluarga mereka. Sebuah penelitian lain di Indonesia menunjukkan bahwa kebanyakan pasien jiwa telah menggunakan metode penyembuh tradisional dan alternatif sebelum pergi ke fasilitas kesehatan (Hawari, 2001). Hasil penelitian ini juga menunjukkan beberapa jenis pengobatan tradisional dan alternatif atau ‘orang pintar’, yang ada di masyarakat Indonesia termasuk ulama atau guru agama Islam (Kyai atau ulama), paranormal, pendeta, pengobatan Cina dan dukun. Hasil penelitian memberikan bahan dan informasi yang berguna untuk penelitian yang akan datang tentang penderita gangguan jiwa dan kaitannya dengan pemanfaatan terapi tradisional dan alternatif di Indonesia. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat efektifitas terapi tradisional dan alternatif ini karena metode terapi ini masih kurang diteliti dan didokumentasikan di Indonesia.

Simpulan Karakteristik pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, rata-rata berusia 34 tahun dan memiliki tingat pendidikan sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan. Pengalaman penderitagangguan jiwa sebelum dan sesudahmendapatkan terapi guided imagery menghasilkan dua temuan tema utama,yaitu esiko kekerasan terhadap orang lain dan yang kedua ialah perasaan nyaman.

(9)

1. Responden dengan halusinasi pendengaran yang mengalami

kecemasan pada kelompok umur paling banyak 15-24 tahun sebanyak 12 (40 %) responden, jenis kelamin paling banyak laki-laki sebanyak 16 (53,3 %) responden, pendidikan paling banyak adalah Sekolah Dasar sebanyak 21 (70 %) dan pengalaman rawat inap yang paling banyak adalah klien yang baru pertama kali dirawat yaitu sebanyak 19 (63,4%).

2. Sebelum dialakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi tingkat kecemasan yang paling banyak adalah tingkat kecemasan sedang diikuti kecemasan ringan. Setelah dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi tingkat kecemasan yang paling banyak adalah kecemasan ringan.

3. Dari hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat kecemasan sebelum dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi dengan tingkat kecemasan setelah dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi, dimana nilai signifikansinya 0,000 yang berarti lebih kecil dari alpha.

4. Dari hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kecemasan pada klien yang tidak dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi, dimana nilai signifikansinya 1,000 yang berarti lebih besar dari alpha

5. TAK stimulasi persepsi halusinasi dapat menurunkan tingkat kecemasan klien halusinasi pendengaran di ruang Sakura RSUD Banyumas. Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik pasien dan keluarga adalah bervariasi sehingga masing- masing memerlukan penanganan yang berbeda sesuai dengan diagnosis keperawatan. Beberapa terapi dapat dilakukan dengan tuntas, hal tersebut memberikan manfaat bagi pasien dan keluarga selama perawatan di rumah. Dengan demikian, hal tersebut harus dalam pemantauan supaya hal yang telah diajarkan oleh perawat spesialis keperawatan jiwa dapat dilakukan secara kon- sisten.

Penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang keefektifan setiap terapi spesialis. Selain itu, bagi sivitas akademik Fakultas Ilmu Keperawatan disarankan untuk menetapkan sertifikasi bagi perawat yang boleh melakukan terapi spesialis keperawatan jiwa dan melatih mahasiswa spesialis keperawatan jiwa terhadap berbagai kasus di lapangan. Untuk Rumah Sakit Jiwa di Provinsi Jawa Barat disaran- kan untuk mengembangkan Poli Konseling secara optimal dengan cara menambah perawat spesialis keperawatan jiwa melalui pendidikan, menem- patkan perawat spesialis keperawatan jiwa setiap hari kerja, dan juga menentukan tarif karena selama ini tidak diberlakukan tarif untuk layanan konseling. Pemanfaatan media telekomunikasi dan internet juga dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan terapi (DN, MK).

(Wulan, Hamid, & Daulima, 2015)

(10)

(Agus Waluyo, 2017)

Saran Terapi Penerimaan dan Komitmen direkomendasikan sebagai salah satu terapi spesialis keperawatan jiwa yang dapat diberikan pada pasien gangguan jiwa dengan ketidakpatuhan minum obat. Saran Bagi Institusi Pendidikan hasil penelitian ini menguatkan teori-teori tentang pemberian modalitas terapi dalam penurunan tingkat kecemasan dan perilaku agresif pada pasien gangguan jiwa khususnya pasien skizofrenia. Bagi Petugas Rumah Sakit perawat dan manajemen rumah sakit diharapkan mengembangkan metode-metode terapi modalitas lainnya untuk meningkatkan.

perawatan pasien gangguan jiwa, terutama untuk menurunkan tingkat agresifitas pasien gangguan jiwa. Bagi Peneliti Selanjutnya peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan menggunakan metode- metode modalitas terapi lainnya, sehingga diketahui metode terapi apakah yang paling efektif dan efisien dalam memperbaiki perasaan pasien khususnya dalam menurunkan tingkat kecemasan dan agresifitas pasien gangguan jiwa

1. Bagi Rumah Sakit

a. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan perlu memberikan asuhan TAK stimulasi persepsi halusinasi karena dapat mengurangi tingkat kecemasan klien.

b. Pemberian TAK stimulasi persepsi halusinasi yang selama ini telah dijalankan dapat terus dikembangkan sesuai dengan tahap TAK di ruang sakura RSUD Banyumas.

(11)

c. TAK stimulasi persepsi halusinasi hanya dilakukan pada klien yang mengalami halusinasi.

2. Bagi peneliti lain Perlu ada penelitian-penelitian yang lain dengan menambah variabel- variable lain yang berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pada klien halusinasi pendengaran. Dalam melakukan penelitian dengan klien gangguan jiwa perlu pendekatan dan membina hubungan saling percaya yang baik

(Wulan et al., 2015)

(12)

DAFTAR PUSATAKA

Agus Waluyo, A. (2017). Penerapan Terapi Penerimaan Dan Komitmen Pada Klien

Ketidakpatuhan Minum Obat Di Rumah Sakit Jiwa. Jurnal Keperawatan Bina Sehat, 14(2), 37–44.

Arsyad Subu, M. (2015). Pemanfaatan Terapi Tradisional dan Alternatif oleh Penderita Gangguan Jiwa. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, v3(n3), 193–203.

https://doi.org/10.24198/jkp.v3n3.8

Perawat, P., Indonesia, N., Tengah, J., Pratiwi, A., Mutya, E., Andriyani, S. H., … Surakarta, U.

M. (2019). Pengalaman Pasien Gangguan Jiwa Ketika Diberikan Terapi the Experience of Mental Illness Patient Using Guided Imagery Relaxation. 2(1), 89–96.

Wulan, W. R., Hamid, A. Y. S., & Daulima, N. H. C. (2015). Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga. Jurnal Keperawatan Indonesia, 18(1), 59–66.

https://doi.org/10.7454/jki.v18i1.399

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan responden merasa puas bukan hanya melalui produk yang dimiliki oleh J.Co Donuts & Coffee dan Starbucks Coffee namun lebih disebabkan adanya

2.fototransistor terkena cahaya dengan intensitas lebih besar maka dari rangkaian sensor akan memiliki nilai tegangan keluaran yang lebih kecil dibandingkan dengan

Peralatan yang dipergunakan meliputi: perangkat lunak (software) MS Excel, Crop Water Balance Evapotranspiration (CWB-ETO) yang dikeluarkan oleh CIRAD Perancis tahun 2001,

Nilai nitrat yang didapat yaitu sebesar 0,5 mg/l dikarenakan aktivitas yang terjadi pada setiap stasiun tidak menyumbang pasokan limbah terlalu banyak ke

Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi penugasan karyawan pada bagian produksi adalah sebagai berikut : pengaturan penugasan terhadap tenaga kerja bagian produksi

Adapun faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasyiah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut dapat disimpulkan, bahwa jika proporsi utang jangka panjang dalam struktur modal semakin besar maka akan semakin besar pula

Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai F hitung adalah 6.897 dengan tingkat Signifikan sebesar 0.002, yang jauh lebih kecil dari 0.05, dapat disimpulkan bahwa