• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI IBU SEBAGAI SINGLE PARENT DALAM FILM YANG TAK TERGANTIKAN (ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)

N/A
N/A
Anaqunni Vanka

Academic year: 2022

Membagikan "REPRESENTASI IBU SEBAGAI SINGLE PARENT DALAM FILM YANG TAK TERGANTIKAN (ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI IBU SEBAGAI SINGLE PARENT DALAM FILM YANG TAK TERGANTIKAN (ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)

Anaqunni Vanka

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

ABSTRAK

Fenomena orang tua tunggal meningkat setiap tahunnya di Indonesia karena perceraian. Tingginya angka perceraian ini, menyebabkan jumlah kepala keluarga perempuan menjadi lebih tinggi. Menjadi seorang ibu dan orang tua tunggal, merupakan kondisi yang tidak mudah dihadapi. Selain harus menjadi ibu dan ayah secara bersamaan, beban ekonomi dan sosial pun harus dihadapi seperti Adanya stigma negatif di masyarakat yang cenderung memandang dan menilai buruk terhadap seorang ibu sebagai orang tua tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui representasi dari ibu sebagai single parent dalam film yang tak tergantikan dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa mengamati secara langsung adegan-adegan yang ada dalam film.

Kata kunci: representasi, orang tua tunggal, film, semiotika roland barthes

ABSTARCT

The phenomenon of single parent increases every year in Indonesia due to divorce. This high divorce rate causes the number of female family heads to be higher. Being a single mother and parent, is a condition that is not easy to deal with. In addition to having to be a mother and father at the same time, economic and social burdens must also be faced, such as the existence of a negative stigma in society that tends to view and judge badly of a mother as a single parent. This study aims to analyze and determine the representation of the mother as a single parent in an irreplaceable film using Roland Barthes' semiotic analysis. The method used in this study is a qualitative approach using Roland Barthes' semiotic analysis, namely denotation, connotation and myth. The data collection technique used in this research is in the form of observing directly the scenes in the film.

Keywords: representation, single parent, film, semiotics roland barthes

(2)

PENDAHULUAN

Fenomena single parent meningkat setiap tahunnya di Indonesia, menurut catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rata-rata angka perceraian sudah mencapai 738 kasus setiap harinya dan sebanyak 70%

penggugatnya merupakan perempuan, dengan mayoritas penyebabnya adalah karena kekerasan domestik dalam rumah tangga. Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri yang disebabkan oleh ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku. Tingginya angka perceraian ini, menyebabkan jumlah kepala keluarga perempuan menjadi lebih tinggi.

Menjadi seorang ibu dan orang tua tunggal secara bersamaan, merupakan kondisi yang tidak mudah dihadapi. Walaupun harus mencari nafkah, ibu sebagai orang tua tunggal tetap bertanggung jawab dalam memonitor apa yang terjadi di dalam rumah. Anak-anak dengan single parent atau orang tua tunggal cenderung rentan mengalami pengaruh psikologis, yang kemudian dapat membentuk perilaku anak di rumah, sekolah, dan masyarakat.

Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi permasalahan bagi ibu sebagai orang tua tunggal, karena harus dapat bekerja dan memiliki penghasilan agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup keluarga beserta anak-anaknya. (ikhwanul, 2018). Menurut data BPS RI tahun 2017, presentase laki-laki sebagai kepala rumah tangga (84,83%) lebih tinggi dibandingkan dengan presentase perempuan sebagai kepala rumah tangga (15,17%),

Hal ini mengakibatkan mayoritas perempuan tidak terbiasa menjadi kepala keluarga setelah bercerai dengan pasangannya dan cenderung kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, selain karena harus dapat bekerja dan memiliki penghasilan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup keluarga beserta anak- anaknya, bersaing dan mencari pekerjaan pun bukan lah hal yang mudah dilakukan, apalagi untuk ibu yang sudah lama menjadi ibu rumah tangga dan tidak memiliki pengalaman pekerjaan yang cukup. (ikhwanul, 2018)

Menurut data dari Yougov, di antara negara-negara yang disurvei di Asia, presentase ibu yang bekerja, paling rendah terdapat di Indonesia (51%), bahkan pendapat mengenai posisi ibu yang berkarir atau bekerja paling sedikit didukung oleh responden dari Indonesia (52%). Tidak hanya beban ekonomi, beban sosial pun harus dihadapi.

(3)

Adanya stigma negatif dari masyarakat yang cenderung memandang dan menilai buruk terhadap seorang ibu sebagai orang tua tunggal, hal ini terjadi karena masyarakat masih rentan atau sensitif terhadap status ibu sebagai orang tua tunggal, selain itu mereka juga tidak memahami bagaimana perasaan dan perjuangan ibu sebagai orang tua tunggal. (Erina, 2017)

Ibu sebagai orang tua tunggal seringkali ditempatkan pada posisi yang tidak berdaya, rendah, dan membutuhkan belas kasihan, sehingga dalam kondisi sosial budaya seringkali terjadi diskriminasi, ini terjadi karena adanya budaya patriarki yang lebih memberi kesan negatif kepada seorang ibu sebagai orang tua tunggal dibandingkan seorang bapak tunggal. (Sakina, 2017).

Stigma dan pandangan yang negatif ini tentu saja tidak sesusai dengan fakta yang ada, dan dapat merugikan banyak pihak, seperti orang tua, anak, dan keluarga. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dan memberikan pandangan baru kepada masyarakat. Salah satu cara melakukan perubahan adalah melalui film. Film merupakan karya yang didalamnya mampu mengangkat sebuah realitas rekaan yang nantinya dapat dibandingkan dengan realitas yang terjadi pada masyarakat sebenarnya, sehingga film dapat membentuk sebuah pemahaman tertentu kepada masyarakat yang nantinya dapat diambil pelajaran yang menghibur. (Sumarno, 1996)

Film dapat berperan dalam membawa perubahan kepada khalayak, karena film sendiri merupakan salah satu media penyampaian pesan yang isinya lebih mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakat. Film digunakan sebagai media massa yang bertujuan untuk dinikmati dan merupakan media yang sangat efektif untuk penyadaran dan pembelajaran masyarakat. (asri, rahman 2020).

Kemampuan dan kekuatan film dapat menjangkau banyak bagian sosial, sehingga memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi penontonnya. Salah satu kemampuan yang dimiliki oleh film adalah mengantarkan pesan secara unik.

Selain untuk menghibur, di dalam film juga dapat mengandung fungsi informatif, edukatif, dan juga persuasif. Film merupakan salah satu media yang ampuh dalam menyampaikan makna dan pesan, makna yang diberikan atau disampaikan oleh film tersebut secara tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap isi dan makna sebuah film. Industri film di Indonesia sedang meningkat dan berkembang, Jumlah penonton diperkirakan mencapai 58 juta hingga akhir 2019 naik 262% dari tahun 2015 menurut Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

(4)

Film yang tak tergantikan ini, merupakan film ber genre drama keluarga, Tokoh utamanya, yaitu Aryati adalah seorang orang tua tunggal yang bekerja sebagai supir taksi online untuk menafkahi ketiga anaknya yaitu, Bayu,Tika, dan Kinanti. Rintangan tanggung jawab sebagai orangtua ia jalani sendiri, sampai muncul kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan anak-anaknya mulai memiliki masalah masing-masing yang membutuhkan perhatian lebih dari Aryati.

Film merupakan representasi dari realita sosial, yang dalam penyampain pesannya, terdapat nilai-nilai ideologis. Adegan-adegan yang ada pada film, memiliki tanda dan maknanya sendiri. Tanda merupakan produk dari masyarakat yang memiliki makna dan merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat untuk memaknai tanda tersebut. Tanda terbagi menjadi dua aspek yaitu penanda dan petanda. Penanda dapat dikatan sebagai saspek yang memberikan makna, sedangkan petanda merupakan aspek dimana makna tersebut diberikan kepada suatu tanda atau simbol.

Paradigma mengenai pertandaan ini memunculkan beberapa ahli seperti Roland Barthes, Saussure, dan lain lain yang ikut memberikan pemikiran mengenai ilmu pertandaan secara mendalam dan deskriptif, pemikiran ini dikenal sebagai ilmu semiotika. Ilmu yang mengkaji mengenai paradigma tanda dan makna ini disebut dengan Semiotika, yang sifatnya dinamis dan memiliki keberagaman. Roland Barthes, berpendapat bahwa, tanda mengambil nilai-nilai dari sistem nilai dominan atau ideologi berdasarkan kebudayaan yang ada masyarakat tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin meneliti mengenai representasi ibu sebagai single parent dalam film yang tak tergantikan (analisis semiotika Roland Barthes), karena film ini membahas mengenai masalah yang realistis dengan kondisi keluarga yang sering terjadi di kehidupan nyata yang ada di masyarakat Indonesia, selain itu, cerita dalam film ini memiliki isu sosial yang sering dipandang memiliki stigma yang negatif oleh masyarakat.

Penelitian ini memiliki persamaan dan juga perbedaan dengan beberapa penelitian terdahulu, yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Millenia Vega Wong dan Daniel Tamburian (2021), dengan judul “Analisis Semiotika Representasi Ibu sebagai orang tua tunggal dalam Film Susah Sinyal.” Memiliki persamaan penelitian dengan penelitian yang sedang diteliti penulis, yaitu sama- sama membahas mengenai ibu sebagai single parent, dan memiliki persamaan metode, analisis semiotika Roland Barthes. Perbedaanya dengan penelitian ini

(5)

adalah, selain adanya perbedaan objek film yang diteliti, film susah sinyal lebih berfokus pada masalah seorang ibu sebagai orang tua tunggal dengan pekerjaan yang sukses dengan anak tunggalnya.

Sedangkan film yang tak tergantikan, memiliki fokus permasalahan yang lebih relate pada masalah sosial yang ada di masyarakat, dari permasalahan perselingkuhan dan perceraian, ekonomi sampai anak. penelitian yang kedua, dengan judul penelitian “Representasi peran ibu dalam film “room” (analisis Semiotika Pendekatan John Fiske Pada Film "room" Karya Sutradara Lenny Abrahamson)”. Persamaan dengan penelitian yang peneliti sedang lakukan, Penelitian yang disusun oleh Dewi Maulati dan Arie Prasetio (2017) ini membahas mengenai representasi peran seorang ibu. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah, adanya perbedaan objek yang diteliti dan metode yang digunakan, Dewi dan Arie melakukan penelitian dengan objek film room dengan metode analisis semiotika John Fiske, sedangkan peneliti melakukan penelitian dengan film yang tak tergantikan dengan metode analisis semiotika Roland Barthes.

Penelitian yang ketiga, Widianto Andhani dan Idola Perdini Putri. (2017) meneliti mengenai “Representasi Peran Ibu Sebagai Single parent dalam Film Sabtu Bersama Bapak (analisis Semiotika John Fiske Dalam Film Sabtu Bersama Bapak)”. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang sedang dilakukan, yaitu sama-sama berfokus pada representasi ibu sebagai orang tua tunggal.

Perbedaannya adalah, penelitian ini menggunakan analisis semiotika John Fiske, sedangkan penelitian yang sedang dilakukan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Selain itu, objek yang diteliti pun berbeda, dalam film sabtu bersama bapak, peran ibu sebagai orang tua tunggal terjadi karena suaminya meninggal dunia, selain itu fokus masalah yang dihadapi adalah penyakit yang dimiliki oleh peran ibu. Sedangkan dalam film yang tak tergantikan membahas masalah sosial sehari-hari, sepeti masalah perceraian, kenakalan anak, sampai ekonomi.

Pada penelitian keempat, yaitu “Representasi Sosok Ayah Dalam Film Searching.” yang disusun oleh Dzikra Regitta Putri.(2019) terdapat persamaan metode yang digunakan untuk penelitian yang sedang disusun peneliti, yaitu sama sama menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang sedang peneliti teliti adalah, peneliti membahas mengenai representasi peran ibu sebagai orang tua tunggal,

(6)

sedangkan Dzkira dalam penelitiannya membahas mengenai representasi sosok ayah sebagai orang tua tunggal.

Pada penelitian kelima, disusun oleh Putri, Dine Aulian Rifanka (2021) dengan judul “Representasi Perjuangan Ibu Single parent Tentang Tanggung Jawab Terhadap Anak Dalam Film Banyu”. Persamaan dari penelitian adalah, sama- sama meneliti mengenai representasi ibu single parent, dan perbedaanya dengan penelitian yang sedang diteliti adalah, penelitian ini menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce.

Pada penelitian keenam, yaitu “Representation of Future Lifestyle in Science Fiction Hollywood Movies: Semiotic Analysis of Movie Tomorrowland (2015) for Technological Utopianism” merupakan penelitian yang disusun oleh Yahya Ahmad, Fahad Mahmood (2020). Persamaannya adalah sama-sama meneliti mengenai representasi yang ada pada film dan menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah, objek yang ingin diteliti oleh Yahya Ahmad adalah gaya hidup di masa depan yang ada pada film Tommorowland, sedangkan objek yang sedang diteliti oleh penulis adalah peran ibu sebagai orang tua tunggal dalam film yang tak tergantikan.

Penelitian ke tujuh, dengan judul “The multimodal representation of emotion in film: Integrating cognitive and semiotic approaches” dan di susun oleh Dezheng Feng and Kay L. O'Halloran (2013). Persamaannya dengan penelitian yang sedang diteliti adalah, sama-sama menggunakan analisis semiotika dan sama- sama mencari representasi yang ada dalam film. Sedangkan perbedaanya adalah, penelitian yang disusun oleh Feng dan O’Halloran berfokus pada emosi direpresentasikan melalui film, sedangkan dalam penelitian yang disusun peneliti, berfokus pada bagaimana peran ibu sebagai orang tua tunggal direpresentasikan melalui film.

Pada penelitian kedelapan, diteliti oleh Eugène Loos, Piotr Kubiński dan Margarida Romero (2017) dengan judul “The representation of older people playing a digital game in the short film ‘Pony Place’: A semiotic and narratological analysis” memiliki persamaan dengan penelitian yang sedang peneliti susun, yaitu sama-sama mencari representasi yang ada dalam film dan sama sama menggunakan analisis semiotika. Berbeda dengan penelitian ini yang membahas mengenai representasi dari ibu sebagai orang tua tunggal, Loos dkk membahas mengenai bagaimana representasi dari orang tua yang bermain permainan digital.

(7)

Pada penelitian yang ke sembilan, Huili Hao. (2009) menyusun penelitian dengan judul “The Representation of Motherhood in Post-socialist Chinese Cinema”. Walaupun penelitian ini memiliki metode yang berbeda dengan penelitian yang sedang peneliti susun, yaitu metode analisis wacana. Penelitian ini memiliki persamaan dalam fokus yang ingin diteliti, yaitu representasi keibuan yang ada dalam suatu film.

Penelitian terakhir adalah, penelitian dengan judul “Semiotics Analysis of Cultural Representation in Pakistani Dramas Title Pages” yang diteliti oleh Khadija Tul Kubra, Ayesha Murtza & Ruqyya Akhter (2017). Memiliki persamaan dalam membahas mengenai representasi yang ada didalam film. Namum memiliki perbedaan dalam objek dan metode yang digunakan dalam penelitian.

Penelitian ini memiliki pertanyaan penelitian yaitu, bagaimanakah representasi ibu sebagai single parent dalam film yang tak tergantikan dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes?

(8)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif.

Penelitian kualitatif menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes, yaitu denotasi, konotasi dan mitos.

Sumber data yang peneliti kumpulkan adalah Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Dalam penelitian ini, data primer nya diperoleh dengan mengobservasi dan mengamati adegan-adegan yang ada didalam film Yang tak tergantikan dan data sekunder, adalah data yang mendukung dan melengkapi data primer yang tersedia. Penulis mengumpulkan data dari kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti yaitu, dari bukubuku, penelitian terdahulu, jurnal ilmiah dan situs resmi.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data berupa film sehingga teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan mengamati secara langsung film yang tak tergantikan, kemudian mengamati setiap adegan- adegan yang terdapat dalam film yang tak tergantikan, dan mengkatagorikan atau memilih adegan-adegan yang merepresentasikan sosok ibu sebagai single parent untuk dianalisis dalam penelitian. Melalui penelitian dengan judul Representasi Ibu Sebagai Single Parent Dalam Film Yang Tak Tergantikan (Analisis Semiotika Roland Barthes), unit analisisnya adalah cerita dan gagasan-gagasan yang terdapat didalam film yang tak tergantikan.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah, Setelah peneliti memilih adegan-adegan yang sesuai dengan topik penelitian, dan mengelompokkan bagian-bagian yang merepresentasikan sosok ibu sebagai single parent atau orang tua tunggal, kemudian dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes sesuai dengan tanda dan makna yang ada didalam adegan-adegan film yang sudah dipilih sebelumnya, dan terakhir menarik kesimpulan dari hasil analisis.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan penafsiran untuk dapat mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia, yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar kegiatan.

(9)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Untuk menganalisis representasi Ibu sebagai single parent dalam film yang tak tegantikan ini, penulis memilih sembilan belas adegan yang merepresentasikan sosok ibu sebagai single parent, yang kemudian akan dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes dengan makna denotasi, konotasi, dan mitos.

Melalui adegan pertama, Aryati yang menangis merepresentasikan kesedihan dan kesulitan yang dialami oleh sosok ibu yang menjadi orang tua tunggal karena mengalami perceraian. Walaupun Aryati yang memutuskan untuk bercerai karena suaminya berselingkuh, dan sudah membenci mantan suaminya, ia tetap merasa sedih dan tak kuasa menahan tangisnya.

Adegan kedua menceritakan mengenai tindakan Aryati yang sendirian menyiapkan sarapan, membantu persiapan Bayu, Tika dan Kinanti sebelum berangkat untuk beraktivitas, menghadapi rewelan dari Tika dan juga menghadapi keributan yang diakibatkan oleh Kinanti terhadap kakaknya yaitu Tika, dalam waktu yang bersamaan mempresentasikan bahwa Aryati merupakan sosok Ibu sebagai orang tua tunggal yang terbiasa untuk mengerjakan banyak hal dalam satu waktu (Multitasking) dan terbiasa mengurus semuanya sendirian, padahal Aryati juga harus bersiap untuk mencari nafkah.

Menurut Egelman (2004), multitasking adalah salah satu dampak umum keluarga tidak utuh bagi orang tua, hal ini memunculkan konflik peran pada single parent karena banyaknya peran yang harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Adegan ketiga merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal ketika harus menghadapi anaknya yang belum menerima kondisi yang dialami oleh orang tuanya dan meminta ibunya untuk kembali rujuk dengan ayahnya. Sebagai ibu dan orang tua tunggal, setelah membaca surat dari Kinanti, Aryati semakin merasa sedih sekaligus bersalah kepada anak-anaknya akan situasinya tersebut.

Moss dan Moss (dalam Kirana, 2002) berpendapat bahwa kepergian salah satu orang tua, akan membawa masalah baru bagi keluarga tersebut, dalam adegan ini masalah yang muncul adalah adanya rasa bersalah yang dialami Aryati sebagai orang tua tunggal karena Kinanti menginginkan ia untuk rujuk kembali dengan mantan suaminya.

Tindakan Aryati dalam adegan keempat merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal yang tak kenal lelah untuk berjuang demi anak-anaknya, Aryati harus mencari nafkah lebih untuk menghidupi keluarganya, hingga ia memutuskan

(10)

untuk kerja sampai larut malam dan mengalami kelelahan, yang dapat membahayakan dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat Weiss mengenai sumber ketegangan pada orang tua tunggal, Aryati memiliki tugas yang berlebihan sehingga ia harus mengambil alih semua pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh dua orang, seperti bekerja, mengurus rumah dan anak-anaknya.

Tindakan Aryati dalam adegan kelima merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal yang selalu bekerja keras bahkan hingga kelelahan hanya untuk menafkahi ke-tiga anaknya. Aryati yang bekerja sebagai supir taksi online dan bekerja hingga larut malam, langsung tertidur disofa saat baru sampai dirumah karena terlalu lelah dan mengantuk. Adegan ini juga memperlihatkan bagaimana Aryati mengalami kelelahan karena menjalani tugas yang berlebihan setiap hari dalam keluarganya, sebagaimana yang dikatakan oleh Weiss sebagai sumber ketegangan pada orang tua tunggal.

Adegan keenam memperlihatkan masalah yang timbul akibat kepergian salah satu orang tua bagi keluarga (Moss dan Moss dalam Kirana, 2002), yaitu hilangnya dukungan sosial untuk tempat sharing atau meminta bantuan.

Adegan ketujuh merepresentasikan salah satu dari banyaknya keresahan yang dimiliki oleh seorang ibu sebagai orang tua tunggal. Menurut Weiss ada tiga sumber ketegangan pada orang tua tunggal, salah satunya adalah tanggung jawab yang berlebihan. Keresahan yang dialami oleh Aryati dalam adegan ini terjadi karena adanya tanggung jawab yang berlebihan sehingga mengharuskan Aryati untuk mengambil keputusan dan merencanakan segala hal sendirian, seperti mencemaskan masa depan anak-anaknya. Keluarga dengan orang tua yang utuh, saat harus mengambil keputusan maka hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Weiss mengidentifikasi bahwa ada tiga sumber ketegangan yang dialami oleh orang tua tunggal, salah satunya adalah tanggung jawab yang berlebihan.

Tindakan Aryati dalam adegan kedelapan merepresentasikan ibu sebagai orang tua tunggal, yang lebih memikirkan anak-anaknya daripada diri sendiri, padahal Aryati baru saja mengalami kecelakaan yang fatal dan menyakitkan dirinya, namun hal yang ia pikirkan adalah anak-anaknya bukan kondisi kesehatannya yang masih rentan.

Situasi dalam adegan kesembilan ini merepresentasikan ibu sebagai orang tua tunggal, yang harus menghadapi, memikirkan dan menanggung beban masalah ekonomi yang terjadi dalam keluarganya seorang diri. Adegan ini juga semakin

(11)

memperlihatkan besarnya beban yang harus ditanggung oleh seorang ibu sebagai orang tua tunggal.

Adegan kesepuluh merepresentasikan sakitnya perasaan seorang ibu sebagai orang tua tunggal ketika melihat anaknya disakiti dan dipermalukan karena perceraian dan perselingkuhan yang dilakukan oleh mantan suainya. Selain itu, tindakan dalam adegan ini juga memperlihatkan masalah yang timbul akibat kepergian salah satu orang tua bagi keluarga (Moss dan Moss dalam Kirana, 2002), yaitu memnuculkan rasa bersalah Aryati terhadap anak-anaknya, dalam hal ini adalah ketika Kinanti dirundung dan diejek karena perceraian orang tuanya dan perselingkuhan ayahnya.

Tindakan Aryati dalam adegan kesebelas merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal yang harus bisa memberikan penjelasan mengenai kondisi perceraian kepada anak-anaknya secara baik-baik, tanpa menjelekkan atau merendahkan sosok ayah dari anak-anaknya tersebut. Walaupun Aryati sudah dipenuhi oleh rasa sakit hati dan mungkin rasa benci terhadap mantan suaminya, ia tetap berusaha tidak menyalahkan mantan suaminya saat sedang menjelaskan kepada anak-anaknya.

Tindakan yang dilakukan oleh Aryati dalam adegan kedua belas merupakan salah satu hal yang merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal, walaupun sudah berpisah dan dipenuhi oleh rasa benci, Aryati tetap harus berhubungan dengan mantan suaminya, karena ia merupakan bapak dari anak- anaknya. Selain itu, Aryati akan berusaha sekuat mungkin untuk keuntungan anak- anaknya, maka dari itu ia mau bertemu lagi dengan mantan suaminya yang sudah merusak kehidupan keluarganya, hanya agar anak-anaknya memiliki sososk bapak yang baik dan tidak dipermalukan lagi.

Adegan ketiga belas juga merepresentasikan ibu sebagai orang tua tunggal, yang hanya dapat mengandalkan diri sendiri dan harus tetap tenang ketika menghadapi atau menemukan bahwa perilaku anak-anaknya yang menyimpang atau melakukan kenakalan. Adegan ini memperlihatkan bahwa Aryati menerapkan ola asuh permisif kepada Bayu, yaitu pola asuh yang memberikan kebebasan kepada anak dengan kontrol perilaku anak yang rendah, akibatnya Bayu mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang menyimpang seperti penggunaan obat- obatan terlarang tersebut. Penggunaan pola Asuh ini juga dapat disebebakan karena Bayu adalah anak pertama yang sudah dianggap mandiri dan dewasa oleh Aryati.

(12)

Adegan keempat belas ini menggambarkan representasi dari ibu sebagai orang tua tunggal yang harus bertanggung jawab seorang diri, bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika anaknya melakukan perilaku buruk. Ia dapat memaafkan anaknya dengan mudah, namu tidak dapat memaafkan dirinya sendiri.

Ada beberapa macam pola asuh orang tua (Djamarah, 2014:51), dalam adegan ini memperlihatkan bahwa Aryati menggunakan pola asuh permisif kepada Bayu, yaitu memberikan kebebasan yang tinggi namun mengontrol prilaku anak dengan rendah, sehingga Bayu dapat bertindak dan melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Aryati juga memberikan toleransi atas perbuatan Bayu dan memaafkannya.

Adegan kelima belas juga merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal, yang harus menanggung beban sendirian untuk memberikan disiplin dan hukuman kepada anak-anaknya jika melakukan kesalahan, walau hal tersebut membuat anak-anaknya membencinya.

Tindakan Tika dalam adegan ini menunjukkan bahwa ia memiliki sosio- emosional yang terjadi akibat pola pengasuhan dan situasi orang tua tunggal, yaitu menjadi sangat marah atau bertempramental, ketika sesuatu terjadi tidak sesuai dengan kehendaknya, dalam hal ini Tika marah karena dihukum oleh Aryati.

Tindakan Aryati dalam adegan keenam belas ini merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal yang panik dan khawatir juga marah akan kondisi yang terjadi, sehingga ia melampiaskan kemarahannya kepada Bayu dan Kinanti, padahal Aryati tidak pernah bermaksud untuk menyakiti hati anak-anaknya.

Perilaku Aryati ini juga memperlihatkan salah satu karakteristik gaya pengasuhan bagi orang tua tunggal, yaitu menyalahkan anak-anaknya secara habis-habisan atau melampiaskan kepada anak-anaknya.

Tindakan Aryati dalam adegan ketujuh belas juga merepresentasikan sosok ibu sebagai orang tua tunggal ketika sedang khawatir, panik dan takut. Ketika Tika sudah pulang, ia langsung memarahi ke-tiga anaknya tersebut, padahal yang ia rasakan adalah rasa lega. Sama halnya dengan adegan ketujuh belas, Perilaku Aryati ini memperlihatkan karakteristik gaya pengasuhan bagi orang tua tunggal, yang menyalahkan anak-anaknya secara habis-habisan atau melampiaskan kepada anak-anaknya. Selain itu, Aryati juga mengalami sumber ketegangan pada orang tua tunggal, yang diidentifikasikan oleh Weiss, yaitu adanya tanggung jawab dan emosi yang berlebihan.

(13)

Tindakan Aryati dalam adegan kedelapan belas menggambarkan salah satu masalah yang terjadi ketika menjadi orang tunggal (Moss dan Moss dalam Kirana 2002), yaitu rasa bersalah orang tua terhadap keberlangsungan anak-anaknya.

Selain itu, Aryati dalam adegan ini dapat memberikan dampak bagi dirinya sendiri, salah satu dampak umum keluarga orang tua tunggal bagi Aryati menurut Egelmen (2004) adalah adanya issues of self, dimana pandangan akan diri sendiri akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orang tua.

Adegan kesembilan belas merepresentasikan sosok ibu sebagi orang tua tunggal yang terbuka dan selalu berusaha untuk memahami anak-anaknya, ia melepaskan gengsi dan meminta maaf karena telah menyakiti hati anak-anaknya, padahal hati ia sendiri tentu saja masih sedih dan sakit. Tindakan Aryati dalam adegan ini, menggambarkan bahwa ia mencoba untuk menerapkan pola asuh demokrasi, dimana ia berusaha untuk menerima saran, dan bahkan kritik dan juga pendapat dari anak-anaknya.

SIMPULAN

Setelah menganalisis film yang tak tergantikan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, dapat disimpulkan bahwa representasi ibu sebagai orang tua tunggal dalam film ini digambarkan melalui perjuangan Aryati dalam melakukan peran ganda sebagai ibu dan juga ayah, yaitu dengan mencari nafkah, mengambil keputusan, menghadapi dan mengatasi masalah dan mengurus juga mendidik anak-anaknya seorang diri dalam waktu yang bersamaan.

Ada beberapa macam pola suh orang tua (Djaramah, 2014), dalam penelitian ini, Aryati sebagai ibu dan orang tua tunggal, pada mulanya menerapkan pola asuh permisif, yang cenderung membebaskan anak-anaknya dengan kontrol perilaku yang rendah, diperlihatkan melalui adegan keempat belas, ketika Bayu menggunakan obat-obatan terlarang dan Aryati memaafkan Bayu tanpa memberikan hukuman atau tanggung jawab.

Setelah adegan tersebut Aryati menyadari kesalahannya dan berusaha untuk lebih mengontrol dan memberikan tanggung jawab kepada anak-anaknya, khususnya ketika mereka melakukan tindakan yang tidak baik. Namun, Aryati justru menjadi terlalu mengontrol dan kurang menerima sikap anak, pola asuh ini disebut sebagai pola asuh otoritarian. Pola asuh otoritarian ini diperlihatkan dalam adegan kelima belas, enam belas, dan tujuh belas, ketika Tika melanggar

(14)

peraturan sekolah, dan Aryati menghukum, juga memarahi tidak hanya Tika, namun Bayu dan Kinanti juga, bahkan mengakibatkan kaburnya Tika dari rumah.

Aryati kemudian sadar dan merasa bersalah, ini diperlihatkan dalam adegan kedelapan belas ketika ia menangis sendirian dikamar. Adegan selanjutnya yaitu adegan kesembilan belas, memperlihatkan bahwa ia menyesal dan berusaha untuk meminta maaf pada anak-anaknya, ia juga menerima saran, dan bahkan kritik dan pendapat dari anak-anaknya. Tindakan Aryati dalam adegan ini menggambarkan bahwa ia mencoba menerapkan pola asuh demokrasi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Andhita, P. R. (2021). Komunikasi Visual. Jawa Tengah: Zahira Media Publisher Alvonco, J. (2014). Practical Communication Skill. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Clara, E. & Wardani, A. A. D. (2020). Sosiologi Keluarga. Jakarta Timur: UNJ PRESS

Dagun, Save M. (2002). Psikologi Keluarga (Peranan Ayah Dalam Keluarga).

Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.

Dyatmika, T. (2021). ILMU KOMUNIKASI. Yogyakarta: Zahir Publishing.

Ernawati. & Sari, R. N. (2020). Representasi Kesadaran Budaya Lokal Perupa.

Dalam Penciptaan Karya Seni Rupa Dan Desain Di Era Kontemporer. Jawa Timur:

Penerbit Qiara Media

Iskandar, D. (2018). KONVERGENSI MEDIA: Perbauran Ideologi, Politik, dan Etika Jurnalisme. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Kumora, N. B. (2019). Menaksir Gerak dan Arah Pembangunan Indonesia Timur.

Malang: Program Studi Antropologi Universitas Brawijaya.

Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthe. Magelang: IndonesiaTera.

Lantowa, J. Marahayu. N. M. & Khairussyiban, M. (2017). Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Deepublish.

Lspr. (2010). Beyond Borders: communication modernity & History. Jakarta Pusat:

London School

Prasetya, A. B. (2019). Analisis Semiotika Film dan Komunikasi. Malang: Intarns Publishing.

Suryadi, D. (2020). Melenting Menjadi Resilien. Yogyakarta: Penerbit ANDI Wibowo, I. (2013). Semiotika Komunikasi; Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan

Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

(16)

Jurnal :

Ahmad, Y. & Mahmood. F. (2020). REPRESENTATION OF FUTURE LIFESTYLE IN SCIENCE FICTION HOLLYWOOD MOVIES: SEMIOTIC ANALYSIS OF MOVIE TOMORROWLAND (2015) FOR TECHNOLOGICAL UTOPIANISM.

Journal of Media Studies, 35(2), 355-388.

Andhani, W. & Putri, I. P. (2017). REPERESENTASI PERAN IBU SEBAGAI SINGLE PARENT DALAM FILM SABTU BERSAMA BAPAK. E-proceeding of Management, 4(3), 91- 99.

Asri. R. (2020). MEMBACA FILM SEBAGAI SEBUAH TEKS: ANALISIS ISI FILM NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI (NKCTHI). Jurnal Al Azhar Indonesia Seri Ilmu Sosial,1, 74-80.

Feng, D. & O'Halloran, K. (2013). THE MULTIMODAL REPRESENTATION OF EMOTION IN FILM: INTEGRATING COGNITIVE AND SEMIOTIC APPROACHES. Journal of Semiotica, 2013(197), 79- 100. https://doi.org/10.1515/sem-2013-0082

Hao, H. (2009). THE REPRESENTATION OF MOTHERHOOD IN POSTSOCIALIST CHINESE CINEMA. Networking Knowledge: Journal of the MeCCSA Postgraduate Network, 2(1), 1-15.

https://doi.org/10.31165/nk.2009.21.36

Kubra, K. T., Murtza, A., & Akhter, R. (2017). SEMIOTICS ANALYSIS OF CULTURAL REPRESENTATION IN PAKISTANI DRAMAS TITLE PAGES.

Journal of Literature, Languages and Linguistic., 38, 10-13.

Loos, E., Kubiński, P., & Romero, M. (2017). THE REPRESENTATION OF OLDER PEOPLE PLAYING A DIGITAL GAME IN THE SHORT FILM 'PONY PLACE':

A SEMIOTIC AND NARRATOLOGICAL ANALYSIS. Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology, 8(2), 43-62.

Maulati, D. & Prasetio, A. (2017). REPRESENTASI PERAN IBU DALAM FILM “ ROOM ” ( ANALISIS SEMIOTIKA PENDEKATAN JOHN FISKE PADA FILM

“ ROOM ” KARYA SUTRADARA LENNY ABRAHAMSON). Eproceeding of Management, 4(2), 2109-2116.

Putri, D. R. (2019). REPRESENTASI SOSOK AYAH DALAM FILM SEARCHING.

11-26.

Putri, D. A. R. (2021). REPRESENTASI PERJUANGAN IBU SINGLE PARENT TENTANG TANGGUNG JAWAB TERHADAP ANAK DALAM FILM BANYU.

27-72.

(17)

Rohmah, E. (2010). PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS ANAK MI/SD: STUDI ATAS DAMPAK KEPERGIAN IBU SEBAGAI TKW KE LUAR NEGERI. Kodifikasia:

Jurnal Penelitian Islam, 4(1), 1-20.

Sudarto, A. D. Senduk, J. & Rembang, M. (2015). ANALISIS SEMIOTIKA FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI. Journal of Acta Diurna, 4, 2-11.

Sakina, A. I. & Siti. D. H. (2017). MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA. Social Work Journal, 7, 72-76.

Wong, M. V. Tamburian. D. (2021). ANALISIS SEMIOTIKA REPRESENTASI IBU TUNGGAL DALAM FILM SUSAH SINYAL. Koneksi, 5(2), 229-236.

Referensi

Dokumen terkait

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan sistem informasi yang dapat membantu para petani dalam proses penyimpanan data hasil produksi jamur tiram..

merupakan kumpulan makalah pada saat Seminar Nasional dan Lokakarya Nasional III AITBI dilaksanakan pada tanggal 4-5 Agustus 2017 dan diselenggarakan di Fakultas

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masyarakat Kecamatan Medan Polonia dalam menghadapi bencana pandemic berbasis

Analisis kinematika scanline III Mengetahui apakah suatu lereng itu berpotensi longsoran guling mungkin terjadi atau tidak, yang perlu diperhatikan adalah keberadaan dari

Form kartu persediaan adalah form yang digunakan untuk menampilkan laporan kartu persediaan yang berasal dari master barang berupa kuantitas barang yang masuk dan

employment kekuatan TNI Angkatan Laut di luar yurisdiksi nasional pada saat operasi pembebasan MV Sinar Kudus, secara tidak langsung juga telah melatih dan