• Tidak ada hasil yang ditemukan

WILLY SYAHPUTRA L.TOBING Magister Kenotariatan ABSTRACT. Keywords: Tax, Application for Land registration, Grant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WILLY SYAHPUTRA L.TOBING Magister Kenotariatan ABSTRACT. Keywords: Tax, Application for Land registration, Grant"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS YURIDIS ATAS PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) FINAL ATAS PERMOHONAN PENDAFTARAN TANAH HIBAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 2016

WILLY SYAHPUTRA L.TOBING Magister Kenotariatan

willysyahputratobing09@gmail.com ABSTRACT

An application for registration of rights over the land granted to a first degree relative is submitted because the land and/or building rights are transferred. This case has encouraged a further research entitled “A juridical Analysis of Final Income Taxation for the Application for Registration of Granted Land grounded on the Government Regulation No. 34/2016.” The research problems are how the provisions concerning the authority of National Land Office are stipulated regarding the Final Income Taxation for Land and/or Building Right Transfer in the application for registration of the land granted to a first degree relative, how the legal certainty principle is about the Final Income Taxation for the application for registration of the land granted to a first degree relative, and how the justice principle is fulfilled about the exception in the Final Income Taxation for Land and/or Building Right Transfer in the application for registration of the land granted to a first degree relative. This is a normative juridical research with descriptive analysis. It uses secondary data consisting of primary legal materials such as Law No. 36/2008 on Income Tax and the Government Regulation No. 34/2016 on Land and/or Building Right Transfer made in a Sale and Purchase Contract for the Land and/or Building and any changes on them (PHTB-PPJBTB), secondary legal materials such as books, and tertiary legal materials such as dictionaries.

Keywords: Tax, Application for Land registration, Grant

1. PENDAHULUAN

Tanah memiliki arti yang yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai sosial asset dan kapital asset. Sosial asset artinya tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai kapital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Tanah harus dipergunakan

dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir,

(2)

batin, adil dan merata. Fungsi lainya, tanah juga harus dijaga kelestariannya sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, Negara dan rakyat. Tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan

hidup bangsa Indonesia, sehingga perlu campur tangan Negara untuk mengaturnya, sesuai yang diatur Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang berbunyi “Bumi dan air kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1

Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok sAgraria menyatakan bahwa “Bumi, air dan ruangan angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tinggi dikuasai Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, memberikan kekuasaan yang besar dan kewenangan yang sangat luas kepada Negara untuk menentukan adan- ya macam-macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum, ter- masuk peralihan haknya. Peralihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain, salah satu bentuk dari peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara pemberian hibah. Hibah menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam pasal 1666 yang berbunyi:

1 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan I, ba- yumedia Publishing, Jakarta 2007. Hal 1-2.

(3)

“Hibah adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya

kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu”2

Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain

yang dilakukan ketika seseorang tersebut masih hidup dan pelaksana pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak saudara yang

tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seseorang pemilik harta

kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapapun.3

Dalam Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan

bahwa hibah hanyalah mengenai benda-benda yang sudah ada, jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari maka hibah adalah ba-

tal.4 Maka diketahui unsur-unsur hibah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan Cuma-Cuma artinya tidak kontra prestasi dari pihak penerima hibah.

2. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.

3. Objek perjanjian hibah adalah segala macam harta benda milik penghibah

baik berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak

2 KUH Perdata, Pasal 1666.

3 Eman Suparman, Hukum Waris Islam, PT. Refika Aditama, Bandung 2018. Hal 113.

4 Ibid, hal 436

(4)

4. Hibah tidak dapat ditarik kembali.

5. Penghibah harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.

6. Hibah harus dilakukan dengan akta Notaris.

Hibah sebagaimana dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 1687 yang tidak dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan hukum.5 Ketentuan Hukum

dalam surat hibah yang dibuat oleh Notaris ini terkait dengan akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa

akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai yang berkuasa

untuk itu ditempat dimana akta dibuat.

Kemudian dibidang Hukum Perdata oleh Notaris. Pada umumnya akta

otentik yang menyangkut bidang perdata dibuat dihadapan Notaris, hal itu ditegaskan dalam Reglement op het Notarisambt in Indonesia, S 1860-3 disingkat

PJN pasal 1 yang mengatakan, para Notaris adalah pejabat umum, khusus berwenang membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,

dan ketetapan berdasarkan Undang-undang atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, jadi pejabat yang berwenang dalam bidang hukum perdata

adalah Notaris sesuai dengan Peraturan Pejabat Notaris di Indonesia.6

Untuk menjamin sesuatu kepastian hak dan kepastian hukum hak atas tanah yang diberikan berdasarkan hibah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah menggariskan adanya

5 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal 99.

6 Yahya Harahap. M., Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan pengadilan, Sinar Grafika 2005, Jakarta, hal 566.

(5)

keharusan untuk melaksanakan pendaftaran di Indonesia, sebagaimana tertulis

pada pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1690 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan ketentuan yang

ditunjuk kepada pemerintah untuk menyelanggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia yang sekaligus merupakan dasar hukum bagi pelaksana pendaftaran tanah dalam meperoleh suatu tanda bukti hak atas tanah yang berlaku

sebagai alat bukti pmbuktian yang kuat. Sebagaimana dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Untuk menindak lanjuti hal tersebut maka telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Negara Lembaran Negara

Nomor 3696), sebagaimana penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah sebelumnya. Tujuan dari pendaftaran tanah menurut pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 tahun 1997 yang berbunyi:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atau suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuk- tikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperileh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanag dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggarannya tertib administrasi pertanahan.7

7 Pasal 12 Peraturan Pemerinta Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

(6)

Pendaftaran tanah dilaksanakan dengan pendaftaran perubahan data fisik dan atau yuridis, objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar dengan mencatat di

dalam daftar umum sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah, perubahan data fisik atau yuridis berdasarkan Pasal 94 sebagaimana dimaksud:

a. Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya

b. Peralihan hak karena pewarisan

c. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi

d. Pembebanan Hak Tanggungan e. Peralihan Hak Tanggungan

f. Hapusnya hak atas Tanah, hak pengelolaan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Hak Tanggungan.

g. Pembagian hak bersama

h. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan ketua Pengadilan.

i. Perubahan nama akibat pemegang hak ganti nama j. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.

Untuk melaksanakan perubahan data fisik dan/atau yuridis pendaftaran tanah atas peralihan hak karena pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam

(7)

garis keturunan lurus satu derajat, berdasarkan Pasal 103 ayat (3) huruf i dan j

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1997, permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah tersebut wajib melampirkan bukti

pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Final dan juga melampirkan asli surat-surat bukti perolehan tanah dan surat Bukti Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Sedangkan berdasarkan Pasal 6 huruf b Peraturan Pemerintah

nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah

dan/atau Bangunan Berserta Perubahannya, dikecualikan atas pengenaan Pajak

Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud:

“Orang Pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis ke-

turunan lurus satu derajat, badan agama, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuanya diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan”.8

Pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat tersebut, menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, sebagai berikut:

8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 6 huruf b tentang Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Berserta Perubahannya.

(8)

1. Bagaimana ketentuan tentang kewenangan Kantor Badan Pertanahan Nasional dalam pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

satu derajat ?

2. Bagaimana kepastian hukum ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas

permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ?

3. Bagaimana pemenuhan prinsip keadilan tentang pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah

dan/Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ?

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan tentang kewenangan Kantor

Badan Pertanahan Nasional dalam pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ?

2. Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

(9)

atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.

3. Menganalisis bagaimana pemenuhan prinsip keadilan tentang pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas

Tanah dan Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.

II. Metode Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan atas hasil yang didapatkan, secara umum data yang didapat dati suatu penelitian bisa digunakan untuk memecahkan masalah, mamahami disitu yaitu proses informasi atau masalah yang sebelumunya tidak diketahui dan kemudian menjadi tahu. Sedangkan memecahkan maksdunya meminimalkan atau menghilangkan masalah sementara mengantisipasi adalah agar tidak terjadi lagi masalah, maka dengan ini penulis menggunakan metode penelitian.

a. Bahan Hukum primer

Yaitu dokumen yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang 9. Dalam tulisan ini diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2015 Tentang Kementerian Keuangan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dan Perjanjian Pengikatan

(10)

Jual Beli Atas Tanah Dan Atau Bangunan Beserta Perubahan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

261/PMK.03/2016, Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Nasional Tentang Pemberian Hak Guna Bangunan.

b. Bahan Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian terhadap bahan sekunder ini dimaksudkan untuk membantu menganilisi dan memahami bahan hukum primer.

c. Bahan hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap hukum primer dan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum yaitu kamus. 10

III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan.

pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah adalah;

a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-

hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

10 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo 2003, hal 12.

(11)

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepent- ingan termasuk Pemerintah agar mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang- bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggarakan tertib administrasi pertanahan.11

Di dalam UUPA objek pendaftaran tanah atau dikenal dengan hak-hak atas tanah menurut ketentuan yang ditetapkan UUPA Pasal 16 UUPA nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria terdiri dari:

1. Hak Milik, 2. Hak Guna Usaha, 3. Hak Guna Bangunan, 4. Hak Sewa,

5. Hak Membuka Tanah, 6. Hak Memungut hasil hutan,

7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah lebih memperluas obyek pendaftaran tanah, yaitu tidak hanya hak atas tanah, tetapi juga hak-hak yang lain. Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menetapkan obyek-obyek pendaftaran tanah, yaitu:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, serta hak pakai;

2. Tanah hak pengelolaan;

3. Tanah wakaf;

4. Hak milik atas satuan rumah susun;

5. Hak tanggungan;

6. Tanah Negara.

11 Urip Santoso, Op.cit, hal18-20.

(12)

Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain semasa hidupnya,

jikalau, sang pemberi hibah telah meninggal dunia, sepanjang hibah sudah dilakukan, maka hibah tersebut tetap sah. Menurut Pasal 1666 KUHPerdata Hibah adalah Perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan

Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan sipenerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Oleh Karena itu menurut Pasal 1666 KUHPerdata hibah merupakan keperluan sepihak dimana pemberian hibah dilakukan secara Cuma-Cuma yang

berarti tidak memerlukan pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun.

Maka sehubungan dengan hal tersebut ketentuan mengenai pajak atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan atas pemberian hibah dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final karena hibah atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bisa disebut penghasilan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Final, penghasilan dapat dikenai pajak bersifat

final yaitu antara lain penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah

dan/atau bangunan. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Final

diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 tentang PHTB-PPJBTB.

Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut adalah

penghasilan yang diterima atau diperoleh melalui penjualan, tukar menukar,

(13)

pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris atau cara lain yang disepakati antara pihak. 12

Pengalihan tanah dan/atau bangunan atas pemberian hibah tersebut selain dikenakan Pajak Penghasilan (PPh), dan juga dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) berdasarkan Undang-Undang nomor 28

tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juncto Peraturan Daerah/Kabupaten tentang Bea Perolehan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan/atau Bangunan.

Bea Perolehan Hak Atas Bangunan adalah satu jenis pajak daerah. Pajak daerah sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah

pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak atau retribusi. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.13

Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, tarif yang dikenai Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5%, dan dalam ayat (2) nya menyatakan tarif BPHTB ditetapan dengan Peraturan Daerah.

Pengertian Pajak secara umum adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undag-Undang atau yang dapat dipaksa dengan tiada mendapat jasa timbal. Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau

12 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang

13 Angger Sigit Pramukti, Pokok-Pokok Hukum Perpajakan, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2015, hal. 61

(14)

badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.

Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat

digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.14

Pajak penghasilan dapat dikelompokan menjadi PPh yang bersifat final.

Pajak penghasilan bersifat final artinya pajak penghasilan yang pengenaannya

sudah final (berakhir), sehingga tidak dapat dikreditkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun.15 Pajak penghasilan bersifat final dapat

digolongkan antara lain Pasal 4 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 2 huruf d, Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 22.

Kategori PPh final yang yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:

1. PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya.

2. PPh Final Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara.

3. PPh Final Bunga Simpanan Anggota (OP) Koperasi;

4. PPh Final Hadiah Undian;

5. PPh Final Transaksi Saham dan Sekuritas Lain Derivatifnya dan Diperdagangkan di Bursa;

6. PPh FinalPeusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Pentertaan Modal pada Perusahaan Pasangannya;

7. PPh Final Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan beserta Perubahannya;

14 Adrian Sutedi, Hukum pajak, Sinar Grafika offset, Jakarta, 2011.hal. 51.

15 Ibid, hal.143.

(15)

8. PPh Final Usaha Jasa Konstruksi;

9. PPh FinalUsaha Real Estate;

10. PPh Final Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan;

11. PPh FinalUMKM;

12. PPh Final penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

Bahwa untuk melaksanakan pemungutan Pajak Pusat maka kementerian keuangan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang keuangan negara untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dalam Pasal 5

Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan, Pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan, organisasi Kementerian Keuangan membentuk susunan organisasi kementerian keuangan yang terdiri dari;

a. Sekretariat jenderal;

b. Direktorat jenderal anggaran;

c. Direktorat jenderal pajak;

d. Direktorat jenderal Bea dan Cukai;

e. Direktorat jenderal perbendaharaan;

f. Direktorat jenderal kekayaan negara;

g. Direktorat jenderal perimbangan keuangan;

h. Direktorat jenderal pengelolaan pembiayaan dan risiko i. Inspektorat jenderal;

(16)

j. Badan kebijakan fiskal;

k. Badan pendidikan dan pelatihan keuangan;

l. Staf ahli bidang peraturan dan penegakan hukum pajak;

m. Staf ahli bidang kepatuhan pajak;

n. Staf ahli pengawasan pajak;

o. Staf ahli bidang kebijakan penerimaan negara;

p. Staf ahli bidang pengeluaran negara

q. Staf ahli bidang makro ekonomi dan keuangan internasional;

r. Staf ahli bidang kebijakan dan regulasi jasa keuangan dan pasar modal; dan s. Staf ahli bidang organisasi, birokrasi, dan teknologi informasi.

Dalam pembentukan organisasi tersebut, kementerian keuangan menunjuk

Direktorat Jenderal Pajak dalam hal untuk pelaksanaan pemungutan pajak dibidang perpajakan, maka dengan itu Direktorat Jenderal pajak berada dibawah

dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Sehingga dapat disimpulkan maka berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan yang berwenang dalam pemungutan Pajak Pusat adalah Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 16 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 28 Tahun 2015

tentang Kementerian Keuangan maka dalam hal untuk pemungutan Pajak Pusat adalah Direktorat Jenderal Pajak. Dengan itu Direktorat Jenderal Pajak

mempunyai tugas dalam hal menyelenggarkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal

1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.01/2017

(17)

tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak, kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau disebut Kantor Wilayah yang

merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak yang dipimpin oleh seorang kepala.

Berdasarkan pasal 52 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.01/2017 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak, KPP merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal

Pajak yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah (KKW), maka berhubungan dengan itu KPP dipimpin oleh seorang kepala. KPP terdiri dari atas KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madya, dan KPP Pratama, dan oleh karena itu berdasarkan pasal 58 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.01/2017 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak, KPP Pratama mempunyai tugas dalam melaksanakan pelayanan dalam hal pembayaran Pajak Penghasilan dalam wilayah dan wewenang berdasarkan peraturan pemerintah.

kewenangan dalam memungut pajak pusat termasuk Pajak Penghasilan

Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat yang adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama bukan di Kantor Badan Pertanahan Kementerian Agraria Dan Tata Ru-

ang/Badan Pertanahan Nasional.

(18)

Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atas pemberian hibah kepada kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat

berdasarkan Pasal 4 ayat (2) tentang UU PPh Final juncto Pasal 6 huruf b PP nomor 34 Tahun 2016 tentang PPH Final PHTB-PPJBTB dan Pasal 10 ayat (1)

huruf b Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, Dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau

Bangunan Beserta Perubahannya. Dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan (PPh) Final pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan dengan

demikian pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atas pemberian hibah kepada kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat telah memenuhi prinsip asas certainty (kepastian hukum) untuk tidak dikenakan dalam pemungutan pajak penghasilan (PPh) Final atas pemberian hibah kepada kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.

Keadilan menurut hukum pajak berkaitan dengan asas-asas pemungutan pajak. Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak tersebut. Asas-asas prinsip

(principle) adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan untuk menjelaskan suatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak itu harus dilandasari dengan asas-asas yang merupakan ukuran

untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak, 16 Berdasarkan hal

16 Bohari, op.cit., h. 41

(19)

tersebut dapat diketahui keadilan menurut hukum pajak adalah terpenuhinya asas-asas dalam pemungutan pajak.

Dalam rangka mewujudkan keadilan dalam perpajakan ini, sebaiknya ditempuh agar pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata.

Kenyataannya bahwa rakyat gembel hidup dengan hina dina, sedangkan kaum bangsawan hidup dalam kemewahan. Rakyat bangsawan dibebaskan dari segala macam pajak, sedangkan rakyat jelata tidak dibebaskan dari pajak.17

sebagai pedoman untuk menetukan terpenuhinya prinsip keadilan da-

lamperundang-undangan, menurut Adam Smith harus terpenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut:

a. Equality and Equity b. Certainty

c. Convienience Of Collection d. Economic Of Colletion.18

Maka pengecualian atas pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah/bangunan berdasarkan pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat telah diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 tentang

Pajak Penghasilan (PPh) Final, juncto Pasal 6 huruf b Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya, dan Pasal 10 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan

17 Tungul Anshari Setia Negara, Ilmu Hukum Pajak, Setara Press, 2017, hal 51.

18 R. Santoso Brotodihardjo, Op,Cit. hal 14

(20)

Repubklik Indonesia Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyerotan, Pelaporan, Dan Pengecualilan Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya.

Maka oleh karena itu pengecualian atas pemungutan Pajak Penghasilan

(PPh) Final hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat telah mencapai prinsip keadilan (asas equity), karena pada umumnya

orang pribadi yang menerima hibah tersebut pendapatan penghasilannya yang

lebih rendah dan kemampuan untuk membayar pajaknya juga rendah (Nett Wealth Tax), berbeda orang pribadi yang mempunyai kesejahteraan yang

tinggi (The Ability To Pay Principle) mampu untuk membayar pajak. Oleh karena itu penerima hibah tersebut secara umum tidak memiliki kemampuan (The

Ability To Pay Principle) tidak mampu untuk membayar Pajak Pengasilan (PPh)

Final baik didalam kondisi asas keadilan Horizontal maupun asas keadilan Vertikal.

IV. Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan

1. Secara Atribusi kewenangan untuk pengenaan pajak pusat termasuk

Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, kewenangannya diberikan kepada Kantor Pelayanan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 16

(21)

Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan juncto Pasal 58 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 210/PMK.01/2017 tentang Organisasi Dan Tata Kerja

Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak, sehingga Kepala Kantor Badan Pertanahan Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional tidak berwenang atas pengenaan Pajak tersebut.

2. Pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, pengenaan Pajak tersebut tidak dikenakan (dikecualikan) berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Final,

juncto Pasal 6 huruf b Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya, dan Pasal 10 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyero- tan, Pelaporan, Dan Pengecualilan Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya.

3. Pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,

(22)

berdasarkan pendekatan teori The Ability To Pay Principle (kemampuan membayar pajak) telah memenuhi prinsip keadilan horizontal maupun vertikal, karena pada umumnya penerima hibah tersebut kemampuan untuk membayar Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tersebut sangatlah rendah.

Saran

1. Hendaknya Peraturan Menteri Negara Agararia/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, direvisi atau dicabut isi dari bunyi Pasal 103 ayat (3) huruf j yang mensyaratkan pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, karena pada umumnya pengenan Pajak tersebut di pungut langsung oleh

Kantor Pelayanan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

2. Hendaknya Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional tidak mengenakan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan atas permohonan pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, karena berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Final, juncto Pasal 6 huruf b Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak

(23)

atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya, dan Pasal 10 ayat (1) huruf b

Peraturan Menteri Keuangan Repubkli Indonesia Nomor

261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyerotan, Pelaporan, Dan Pengecualilan Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya.

3. Kantor Pelayanan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan

Republik Indonesia, hendaknya berkoordinasi dengan kantor Kepala Badan Pertanahan Nasional Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan melakukan sosialisasi bahwa atas permohonan

pendaftaran tanah pemberian hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Final, juncto Pasal 6 huruf b Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya, dan Pasal 10 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Repubkli Indonesia

Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyerotan, Pelaporan, Dan Pengecualilan Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah/Bangunan Beserta Perubahannya, dikecualikan (tidak dikenakan) atas Pajak Penghasilan Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan.

(24)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU.

Achamad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum, Cetakan I, bayumedia Publishing, Jakarta 2007.

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2011.

Anger Sigit Pramukti, Pokok-Pokok Hukum Perpajakan, Pustaka Yustisia, Jakarta 2015.

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Press, 2016.

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003

Tunggul Anshari Setia Negara, Ilmu Hukum Pajak, Setara Press, 2017 Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Tanah, Kencana, Jakarta 2011.

Yahya Hrp M. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, 2005.

B. Peraturan Perundang-Undangan.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris.

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

6. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.

7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan.

8. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.

(25)

9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepada Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

11. Peraturan Pamerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

12. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pertama Peraturan Pemerintah nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

14. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

15. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

16. Peraturan Menteri Nomor 38 Tahun 2016 tentang Organisasi Dan Tata

Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan.

17. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan.

18. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 201/PMK.01/2017 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permeneg Agraria No. 3/1997”), kepala. kantor pertanahan

– IPPNU MA Al – Muslihun Kalidawir Tulungagung yang secara sengaja maupun tidak sengaja diadakan memang karena ada dukungan oleh madrasah, serta menjadi aplikasi dari

Ketiga, sebagian mahasiswa tidak dapat menyebutkan nama alatnya dengan benar tetapi mengetahui fungsi dan gambar alat tersebut seperti buret, klem, cawan petri,

Setelah dilakukan perhitungan mengenai pengaruh kualitas pelayanan karyawan front office terhadap kepuasan tamu mengginap di Hotel The Axana Padang yang dikumpulkan melalui

Perangkat lunak yang akan dikembangkan dalam Penelitian ini adalah perangkat lunak bernama Dio- StockAnalyzer yang melakukan analisis teknikal terhadap data historis

adalah satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang digunakan untuk menyusun biaya komponen masukan kegiatan;.. Standar Biaya

perbedaan pemahaman antara orang tua dan anak, ini juga merupakan kesulitan yang dialami oleh subjek yang memiliki anak tuna rungu, kesulitan untuk

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran