• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBORDINASI TERHADAP ANAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA DI DESA PERANGIAN KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SUBORDINASI TERHADAP ANAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA DI DESA PERANGIAN KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Sosiologi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh SUARNI 10538 02275 11

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015

(2)

viii

Musuh yang paling berbahaya diatas dunia ini

adalah penakut dan bimbang, teman yang paling setia hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh.

aku datang, aku bimbingan, aku ujian, aku revisi, dan aku menang.

Kupersembahkan karya sederhana ini spesial sebagai tanda cinta kasihku kapada ibunda dan ayahanda tercinta, saudara, keluarga, sahabat, agama, almamaterku, bangsa dan negara.

Terima kasih Ayah. . . .. . . . Terima kasih bunda. . . . Peluk cium anakmu. . . .

(3)

viii

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kekuatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Subordinasi terhadap Anak Perempuan dalam Keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang”.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Penulis menyadari bahwa melangkah untuk mencapai suatu tujuan, hambatan dan rintangan menemani silih berganti. Namun, berkat rahmat dan hidayah-Nya disertai usaha dan doa serta dorongan motivasi dari temen-teman seperjuangan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak segala hambatan dan kesulitan yang dihadapi penulis dapat teratasi.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya serta salam penuh hormat dengan segenap cinta ananda haturkan kepada Ayahanda Muhajir dan Ibunda Tawia yang selalu mencurahkan cinta dan kasih sayangnya serta keikhlasan dalam mendidik penulis dengan segala jerih payahnya serta selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1).

Penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih juga penulis haturkan kepada Almarhumah Dra. Hj. Marham Muhammadiyah, M.Pd., selaku pembimbing I dan Bapak Muhammad Nawir, S.Ag, M.Pd., selaku pembimbing II

(4)

ix disampaikan dengan hormat kepada :

Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah menyetujui dan menerima skripsi penulis. Dr. H. Nursalam, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar. Muhammad Akhir, S.Pd., M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan selama kuliah sehingga proses penyelesaian studi. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi yang telah memberikan banyak ilmu dan berbagi pengalaman selama penulis menimba ilmu di Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar.

Saudara-saudariku Suparman, Rahmat dan Alwi yang senantiasa memberikan doa dan dukungan kepada penulis demi terselesainya skripsi ini.

Buat sahabat-sahabat seperjuangan di Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unismuh Makassar khususnya angkatan 011 kelas F terima kasih atas kebersamaan dan kekompakan kita selama ini yang penuh keceriaan dan saling membantu.

(5)

x

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kita memohon semoga berkat dan rahmat serta limpahan pahala yang berlipat ganda selalu dicurahkan kepada kita dan semoga niat baik, suci serta usaha yang sungguh-sungguh mendapat ridho disisi-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.

Makassar, Agustus 2015

Penulis

(6)

xi

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hasil Penelitaian yang Relevan... 8

B. Konsep Tentang Masyarakat... 10

C. Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga ... 12

D. Munculnya Subordinasi dalam Keluarga ... 15

E. Inferioritas Perempuan dalam Pergaulan Sosial ... 21

(7)

xii BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian... 34

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 34

C. Fokus Penelitian ... 35

D. Instrument Penelitian ... 35

E. Data dan Sumber Penelitian ... 35

F. Teknik Pengumpulan Data... 37

G. Teknik Analisis Data... 38

H. Teknik Keabsahan Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 41

2. Karakteristik Umum Informan ... 47

3. Dampak Subordinasi terhadap Anak Perempuan dalam Keluarga 49 4. Faktor Penyebab Subordinasi Terhadap Anak Perempuan ... 55

B. Pembahasan 1. Dampak Subordinasi terhadap Anak Perempuan ... 61

2. Penyebab Terjadinya Subordinasi ... 63

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 66

(8)

xiii 1. Pedoman Wawancara

2. Daftar Informan 3. Dokumentasi

(9)

i xiv

4.1. Jumlah penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42

4.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia ... 43

4.3 Mata Pencaharian Penduduk ... 44

4.4. Tingkat Pendidikan Penduduk ... 45

4.5. Fasilitas Pendidikan ... 46

4.6. Responden Menurut Kelompok Umur ... 48

4.7. Tingkat Pendidikan Responden... 49

(10)

xv

2.1. Bagan Kerangka Pikir ... 33

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah masyarakat yang hidup bersama disuatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup lama yang saling berhubungan dan saling berinteraksi dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.

Salah satu definisi dari masyarakat pada awalnya adalah merupakan gabungan atau kumpulan dari keluarga-keluarga. Jadi, keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat, dimana setiap keluarga dapat menganggap dirinya adalah sentral dari seluruh masyarakat. Keluarga merupakan salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk.

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia. Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam

1

(12)

lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuh kembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atau aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya yang dikenal dengan istilah diskriminasi gender.

Gender muncul menjelang abad ke-20. Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai analisis ilmu sosial. Menurut Ann Oakley dalam Narwoko (2004:334), sejak itu gender dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.

Olehnya itu, konsep gender adalah suatu konsep sosial budaya, yang digunakan untuk menggambarkan peran, fungsi, dan perilaku laki-laki serta perempuan.

Tujuannya adalah terbukanya kemungkinan untuk suatu hubungan yang menjauhi sifat a-simetris dengan kaum perempuan dalam posisi subordinat terhadap laki- laki, menuju hubungan yang lebih setara yang bersifat kemitraan.

Diskriminasi terhadap perempuan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia masih menunjukkan bahwa pemahaman serta usaha-usaha untuk mewujudkan kesetaraan gender masih banyak menemukan kendala. Masih kuatnya budaya patriarkis (budaya yang didasarkan pada kekuasaan laki-laki) masih memposisikan perempuan pada peran dan posisi yang termarginalkan.

Padahal, relasi yang seimbang (kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan dapat mendorong percepatan proses pembangunan

(13)

yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi tanpa adanya imperioritas satu jenis kelamin di satu sisi dan superioritas jenis kelamin di sisi lainnya.

Dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum laki-laki ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga. Dengan demikian, bukan hal yang aneh apabila anggota keluarga lainnya menjadi sangat tergantung kepada kaum laki-laki. Posisi laki-laki yang demikian superior sering kali menyebabkan dirinya menjadi sangat berkuasa di tengah-tengah lingkungan keluarga. Bahkan pada saat laki-laki melakukan berbagai penyimpangan kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya dimana perempuan dan juga anak menjadi korban utamanya tidak ada seorang pun dapat menghalanginya.

Pandangan terhadap perempuan dibeberapa belahan dunia dan diberbagai lingkungan tertentu di Indonesia khususnya di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang, masih terlihat minor. Perempuan tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya, bahkan terkadang tidak diberi kesempatan untuk berkembang seperti kaum laki-laki. Hal ini tidak hanya terjadi dalam skala makro saja, tetapi juga dirasakan dalam skala mikro, seperti di dalam keluarga. Dalam berumah tangga pasti akan banyak sekali masalah yang timbul sehingga dituntut adanya sosok yang dapat berkuasa dalam mengambil sebuah keputusan.

Di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Perempuan dipandang sebagai makhluk lemah, yang hanya bisa menangis ketika menghadapi permasalahan. Kesan ini mengakar kuat dalam masyarakat di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa memiliki pemahaman yang sama tentang hal ini. Tangisan perempuan

(14)

merupakan sesuatu yang lazim dan biasa dalam kehidupan keseharian. Tak bisa dipungkiri, hal ini merupakan hasil pembentukan budaya yang tertanam sejak kecil. Seorang anak perempuan diizinkan untuk mengekspresikan perasaannya melalui tangisan, sedangkan jika anak laki-laki yang menangis orang dewasa akan segera menghardik dan mengatakan bahwa tidak pantas laki-laki menangis. Tanpa disadari, hal ini terbawa dalam kehidupan selanjutnya, meski telah dewasa perempuan terbiasa mengekspresikan perasaannya melalui tangisan sehingga muncul anggapan bahwa perempuan identik dengan sifat cengeng dan emosional sedangkan laki-laki tidak demikian.

Seperti yang telah diketahui, pada umumnya berdasarkan kecenderungan masyarakat, citra seorang perempuan selalu dianggap lebih rendah daripada laki- laki. Banyak fakta yang memperlihatkan bahwa kebanyakan seorang perempuan (istri) terlepas dari kewajibannya, terlalu diposisikan di bawah dari kaum laki-laki yang biasa disebut subordinasi. Seharusnya perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam kebebasan bersuara, berpendapat, dan mengaktualisaikan dirinya sehingga tercipta sebuah kesinergisan yang saling menguntungkan.

Persoalan seperti ini yang sering terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek- obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih

(15)

mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua.

Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu kelas menengah dan berpendidikan, misalnya relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan.

Banyak hal yang tidak disadari oleh masyarakat bahwa sebenarnya perempuan telah memberikan kontribusi yang besar dalam urusan rumah tangga, terutama dalam hal pengelolaan keuangan keluarga. Baik seorang ibu yang bekerja ataupun yang tidak bekerja memiliki peranan yang sama didalamnya.

Sebuah keluarga dimungkinkan tidak dapat mencukupi kepentingan serta kebutuhan keluarganya apabila tidak memiliki manajamen dan pengaturan keuangan yang baik dalam menggunakan peghasilan yang didapat. Maka dari itu, dalam hal ini peran seorang wanita harus dapat lebih dilibatkan dan diintegrasikan didalam pengambilan keputusan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran dan kedudukan wanita di dalam keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan yang lebih mendalam akan masalah ini. Tidak mungkin selamanya wanita selalu terkekang dan berada di bawah wewenang pria sehingga mereka menjadi kaum yang terkucilkan dalam pergaulan masyarakat dan tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam pengambilan keputusan beberapa permasalahan di dalam suatu keluarga.

(16)

Berdasarkan uarian di atas, maka penulis perlu mengadakan suatu penelitian dengan judul “Subordinasi Terhadap Anak Perempuan Dalam Keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belalang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana dampak subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang?

2. Menagapa subordinasi terhadap anak perempuan masih terjadi dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dampak subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang.

2. Untuk mengetahui subordinasi terhadap anak perempuan terjadi dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoretis

Sebagai upaya untuk penjelasan kalian tentang gender terutama terhadap ketidakadilan pada perempuan. Di samping itu untuk penjelasan

(17)

ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu sosiologi pada kajian sosiologi gender dewasa ini.

2. Manfaat Praktis a. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk umum tentang subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

b. Bagi lembaga terkait

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi berbagai pihak sebagai bahan tambahan informasi bagi para peneliti selanjutnya.

c. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan sebagai bekal dalam mengaplikasikan pengetahuan teoritik terhadap masalah praktis, sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan rujukan oleh peneliti-peneliti lain.

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Anas Prambudi (2012), Subordinasi Dalam Bias Gender. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa subordinasi terjadi karena ideologi gender yang bertumpu pada ideologi familialisme. Ideologi gender yang bertumpu pada ideologi familialisme mendasarkan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dari peran dalam keluarga. Berdasarakan ideologi familialisme tersebut, peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga. Analisis tentang interaksi dan proses kekuasaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan ideologi gender akan memunculkan kesimpulan bahwa perempuan adalah pihak yang tersubordinasi, menjadi sasaran serta tunduk pada ideologi tersebut. Pada penelitian ini, subordinasi merupakan akar kultural ketimpangan gender.

Subordinasi ini telah terjadi secara turun temurun dan mengakar di setiap suku di Indonesia. Posisi perempuan sejak dahulu sampai sekarang hampir tidak banyak berubah, yakni mengalami perlakuan sangat berbeda dengan laki-laki.

Novianti Ida (2004), Subordinasi Peran Sosial Perempuan (Analisis terhadap Cerpen “Laila” Karya Putu Wijaya). Hasil penelitian tersebut

menjelaskan bahwa subordinasi yang dialami oleh perempuan di wilayah domestik menjadi peristiwa yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari.

Keluarga yang mestinya menjadi tempat paling nyaman dan aman justru menjadi

8

(19)

sumber petaka bagi perempuan. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlangsung terus- menerus, maka harus ada upaya-upaya konkret untuk mengatasinya. Pemerintah telah menghasilkan produk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Akan tetapi, UU ini belum efektif meredam kekerasan yang terjadi pada perempuan. Kurangnya sosialisasi, ketidaktahuan korban melapor sampai kekurangpedulian masyarakat yang mengetahui adanya kekerasan terhadap penderitaan korban, dan anggapan urusan keluarga adalah urusan privasi menjadi faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan dalam wilayah publik terus terjadi. Realitas sosial ini dipotret oleh Putu Wijaya dalam sebuah cerpen untuk membuka mata masyarakat bahwa peristiwa yang digambarkan dalam cerpen “Laila” ini merupakan cermin dari keadaan yang ada di masyarakat. Hubungan suami-istri yang berstruktur, pemaksaan kehendak, tidak adanya nafkah, pemerasan ekonomi, kekerasan fisik dan mental, merupakan jenis-jenis perlakuan tidak adil yang sering menimpa kaum perempuan. Sebagian pelaku kekerasan menyandari perbuatan mereka pada ajaran budaya, tradisi, bahkan agama. Secara turun temurun, orangtua membekali anak perempuannya tentang pentingnya taat dan patuh pada suami. Adapun kepada anak laki-laki, ditanamkan bahwa laki-laki adalah pemimpin yang memiliki kedudukan di atas perempuan. Banyak kalangan yang memahami ajaran ini dengan fanatik sehingga menimbulkan kesenjangan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Seli Sesilia (2014),Bentuk ketidakadilan Subordinasi terhadap Perempuan dalam Novel Jalan Bandungan Karya Nh.Dini. Hasil penelitian ini menjelaskan tentang adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional,

(20)

irasional dalam berfikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai peminpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan strategis (second person). Perempuan dianggap tidak bisa memimpin seperti laki-laki sehingga perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting.

B. Konsep tentang Masyarakat

Masyarakat sering dikenal dengan istilah society yang membentuk berarti sekumpulan orang yang membentuk sistem yang terjadi komunikasi dalam kelompok tersebut. Menurut Wikipedia, kata masyarakat sendiri diambil dari bahasa Arab, musyarak. Masyarakat juga biasa diartikan sebagai sekelompok orang yang saling berhubungan dan kemudian membentuk kelompok yang lebih besar, biasanya masyarakat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang hidup dalam satu wilayah dan hidup teratur oleh adat didalamnya.

Pengertian masyarakat menurut beberapa ahli:

1. Maclver dan Page dalam Nurani Soyomukti (2004:62) Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.

2. Ralft Linton dalam Nurani Soyomukti (2004:63) Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas – batas yang dirumuskan dengan jelas.

(21)

3. Selo Soemardjan dalam Nurani Soyomukti (2004:63) Mayarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.

4. Auguste Comte dalam Nurani Soyomukti (2004:63) Masyarakat adalah keseluruhan organik yang pada dasarnya selalu terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung.

5. Ansyar dalam Eddy Tukijan (2010:16) Masyrakat merupakan kumpulan para individu yang menyatakan diri mereka menjadi satu kelompok.

6. P.J. Bouman dalam Abdullah Idi (2010:38) Masyarakat merupakan pergaulan hidup yang akrab anatara manusia, dipersatukan dengan cara tertentu oleh hasrat-hasrat kemasyarakatan tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan dan suatu sistem dari kebiasaan atau tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia dan merupakan kumpulan para individu yang menyatakan diri mereka menjadi satu kelompok.

Ciri-ciri suatu masyarakat pada umumnya sebagai berikut.

1. Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang.

2. Bergaul dalam waktu cukup lama. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia.

3. Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.

(22)

4. Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena mereka merasa dirinya terkait satu dengan yang lainnya.

C. Laki- Laki dan Perempuan dalam Keluarga

Perempuan dan laki-laki berbeda dalam kodratnya. Perbedaan secara kodrati ini tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal kedudukan namun menentukan perannya dalam kehidupan. Dari segi fungsi reproduksi perempuan memungkinkan mengandung calon keturunannya karena perempuan memiliki rahim yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Demikian juga dalam hal pengasuhan dan keberlangsungan bayi saat masih kecil, perempuan dianugerahi kemampuan untuk menyusui dan perasaan kasih sayang dan ketahanan tubuh yang lebih dibandingkan dengan laki-laki.

Dari perbedaan itulah maka perempuan dan laki-laki memiliki peran yang saling melengkapi. Dalam perbedaan peran ini bukan berarti perempuan harus menggantikan peran laki-laki ataupun sebaliknya, karena masing-masing memiliki proporsi yang berbeda sesuai dengan kodratnya.

Perbedaan yang ada antara wanita dengan pria seharusnya tidak menjadi sebuah masalah yang dapat menyebabkan kesenjangan diantara keduanya. Banyak pandangan yang seakan-akan menilai bahwa posisi wanita selalu lebih rendah dibandingkan dengan pria. Pria memiliki wewenang yang lebih banyak daripada wanita dalam segala hal, termasuk di dalam sebuah keluarga.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan itu terjadi. Faktor biologis atau genetis merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak dapat dirubah

(23)

karena sudah berasal dari lahir. Sedangkan faktor lingkungan berhubungan dengan adanya perbedaan peranan antara wanita dan pria. Wanita hanya dibatasi oleh peranan internal dimana hanya mengurusi persoalan yang ada di dalam rumah tangga saja, sedangkan pria memiliki peranan yang lebih dari wanita dan bervariasi, tentunya di luar yang berhubungan dengan urusan kerumahtanggaan.

Sehingga timbul sebuah asumsi bahwa di dalam keluarga pria lebih memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan.

Tidak semestinya wanita selalu termarjinalkan. Sebenarnya, banyak peran yang telah dilakukan oleh wanita dalam kelangsungan rumah tangganya. Salah satunya adalah peran wanita dalam pengelolaan keuangan keluarga, dimana ternyata wanita juga dapat memiliki kekuasaan dalam mengatur serta mengambil keputusan untuk mengelola penghasilan yang diperoleh. Baik ibu yang bekerja ataupun yang tidak bekerja memiliki peranan yang sama, hanya saja bagi ibu yang bekerja selain mengelola penghasilan suami, ia juga berperan dalam mengelola penghasilannya sendiri.

Asumsi dalam masyarakat yang memandang bahwa yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga adalah laki-laki tidak selamanya benar. Kenyataannya, hampir semua pria (suami) memberikan kekuasaan dan kepercayaan penuh kepada wanita (istri) dalam mengelola keuangan keluarganya . Ini adalah peran kecil yang dapat dilakukan oleh wanita, akan tetapi tanpa disadari hal tersebut dapat memberikan dampak yang besar dalam kelangsungan kehidupan berkeluarga.

Dalam Islam, suami di lingkup keluarga menurut mayoritas ulama di

(24)

posisikan sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu, suami memiliki otoritas- otoritas sebagai pemimpin keluarga yang tidak dimiliki anggota keluarga lainnya.

Ketentuan normatif otoritas kepemimpinan seorang suami dalam lingkup keluarga disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis antara lain surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.

Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Besar lagi Maha Tinggi.”

Dalam surat an-Nisa ayat 34, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban istri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam realita terjadi nusyuz dari pihak istri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan istri kembali ke jalan yang benar. Ayat ini dianggap sebagai legitimasi untuk menegakkan supremasi laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri) dan membolehkan seorang suami untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika seorang istri membangkang, mulai dari menasihati, memisahkan tidurnya, sampai memukul dalam rangka pendidikan.

Relasi suami-istri yang ideal dalam Islam berdasarkan pada prinsip mu’asyarah bil ma’ruf sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa: 19 yang artinya:

(25)

“Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan cara yang baik (patut), kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kelebihan yang banyak.”

Ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah menghendaki dalam perkawinan harus dibangun relasi suami istri dalam pola interaksi yang positif, harmonis, dengan suasana hati yang damai yang ditandai oleh keseimbangan hak dan kewajiban keduanya.

D. Munculnya Subordinasi dalam Keluarga 1. Pengertian Subordinasi

Subordinasi memiliki arti diletakkan dibawah atau didudukan didalam sebuah posisi yang inferior dihadapan orang lain, atau menjadi tunduk terhadap kontrol atau otoritas orang lain. Kekuasaan tersebut sebenarnya berasal dari perasaan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki merasa sebagai makhluk yang utama.

Anggapan bahwa perempuan itu irasisonal atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin,, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi terhadap gender tersebut terjadi dengan segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan kedapur juga, bahkan, pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dia bisa mengambil keputusan sendiri, sedangkan bagi istri yang hendak tugas belajar keluar harus meminta izin kepada suami. Dalam keluarga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus

(26)

mengambil keputusan untu menyekolahkan anak- anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

Jadi dapat dikatan bahwa subordinasi ialah sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dainggap bertanggung jawab dan memilii peran dalm urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalm urusan publik atau produksi. Hal itu dapat terjadi karena keyakinan terhadap jenis kelamin yang dianngap lebih penting atau lebih unggul ialah laki-laki, telah dikonsepkan secara turun temurun.

2. Posisi Disubordinasi dan Mensubordinasi

Perempuan dengan organ yang dimiliki dikonstruksi budaya untuk memiliki sifat halus, penyabar, penyayang, keibuan, lebih lembut dan sejenisnya.sifat itulah yang yang kemudain dikenal dengan istilah feminisme.

Fisik laki-laki yang tidak direpotkan oleh siklus reproduksi tersebut dikonstruksi ole budaya sebagai fisik yang kuat, kekar, jantan, perkasa dan bahkan kasar. Sifat- sifat itulah yang disebut dengan istilah maskulin. Dengan demikian berdasarkan organ fisik masing-masing kelamin kemudian dikonstruksi dikotomi sifat yang diletakkan pada laki-laki dan perempuan, yaitu sifat feminim dan maskulin.

Karena sifatnya feminim, perempuan membutuhkan perlindungan dari laki-laki yang maskulin. Muncullah dominasi laki-laki terhadap perempuan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun didunia publik. Dalam kehidupan rumah tangga,

(27)

laki-laki atau suami denagn sifatnya yang maskulin, ditempatkan oleh budaya pda posisi sebagai kepala rumah tangga, sedangkan istri atau perempuan sebagai orang keduanya. Istri digambarkan sebagai pendamping suami, bahkan pendamping yang pasif.

3. Faktor Pendorong Terjadinya Subordinasi

Ann Oakley dalam Narwoko (2004:334) mengatakan bahwa gender merupakan alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial budaya bahkan melalui kekuasaan negara.

Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara sosial budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial budaya menjadi seolah-olah ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi. Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita adalah hasil konstruksi sosial dan budaya atau gender. Gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut.

Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.

(28)

Pendekatan sosial budaya melihat bahwa persoalan subordinasi perempuan berakar pada konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional, tidak bisa tampil memimpin /mengambil keputusan, sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Contohnya, perihal pendidikan dalam keluarga lebih diprioritaskan ke anak lelaki ketimbang anak perempuan.

Masyarakat sebagai suatu kelompok, menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga, atau urusan domestik seperti mencuci, memasak dan merawat anak acapkali dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal peran gender semacam itu adalah hasil konstruksi sosial budaya dalam masyarakat. Peran-peran gender semacam itu bisa pula dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.

4. Beberapa Pengertian tentang Gender

Istilah gender memiliki beberapa pengertian, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsha Putra dalam Dwi Narwoko (2004:336- 339), sebagai berikut:

a. Gender sebagai Suatu Istilah Asing dengan Makna Tertentu.

Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak banyak diketahui orang secara benar, sehingga wajar jika istilah gender

(29)

menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang yang mendengarnya. Sering kali, orang memandang perbedaan gender disamakan denga perbedaan seks (jenis kelamin) sehingga menimbulkan pengertian yang salah.

b. Gender sebagai Suatu Fenomena Sosial Budaya

Perbedaan jenis kelamin (seks) adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri yang jelas dan tidak dapat dipertukarkan. Oleh karena itu diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan jenis kelamin yang ada, sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan. Bahkan dijelaskan bahwa kehidupan di dunia ini tidak akan bertahan tanpa ada lagi fungsi reproduksi perempuan, kalau pun ada itu melalui rekayasa.

c. Gender sebagai Suatu Kesadaran Sosial.

Konsep gender dalam wacana akademik dimaknai sebagai suatu kesadaran sosial. Pembedaan sexual dalam masyarakat merupakan suatu konstruksi sosial. Pembedaan sexual dalam masyarakat merupakan suatu konstruksi sosial. Berawal dari sinilah kemudian masyarakat menyadari bahwa pembedaan tersebut merupakan produk sejarah dan interaksi warga dengan komunitasnya. Hal inilah yang melahirkan kesadaran bahwa ada banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini menjadi lebih baik, harmonis dan berkeadilan. Masyarakat sadar akan adanya jenis kelamin tertentu yang lebih unggul sehingga terjadi dominasi jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain, dan di sini gender menjadi persoalan sosial budaya.

(30)

d. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya.

Pembedaan laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi masalah ketika melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan, karena jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari jenis kelamin yang lain. Oleh karena itu, untuk menghapus ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa melihat akar permasalahannya, yaitu pembedaan atas dasar jenis kelamin.

e. Gender sebagai Sebuah Konsep untuk Analisis

Dalam ilmu sosial, konsep dan defenisi gender tidak dapat dilepaskan dari asumsi dasar atau paradigma. Asumsi dasar tersebut merupakan pandangan filosofis san ideologis. Untuk kepentingan analisis, konsep gender dipahami sebagai akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin atau yang lain menurut paradigma yang digunakan.

f. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk Memandang Suatu Kenyataan.

Dalam kaitan ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka teori lengkap dengan asumsi dasar, model, dan konsep-konsepnya. Peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin beserta implikasi-implikasi sosial budaya yang ditimbulkannya.

E. Inferioritas Perempuan dalam Pergaulan Sosial

Posisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superordinat

(31)

dalam berbagai aspek kehidupan. Hubungan dengan perempuan, dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas terhadap perempuan. Sebagai jenis kelamin yang yang memosisikan diri lebih unggul, laki- laki menciptakan legimitasi yang terbentuk melalui lembaga- lembaga patriarki guna melanggengkan hegemoni terhadap kedudukan perempuan.

Tindakan subordinasi dan represi oleh laki-laki terhadapa perempuan merupakan bagian dari sistem kontrol yang berupaya menegaskan kedudukan yang tidak setara anatara dua jenis kelamin tersebut. Berdasarkan hal ini, prasangka gender kemudian muncul sebagai upaya diskriminasi terhadap eksistensi pihak subordinat. Pandangan dan perlakuan laki-laki terhadap perempuan yang meresap dan dilegalkan oleh lembaga-lembaga patriarki membuat kaum perempuan mengikuti ideologi tentang ketidaksetaraan gender tersebut. Pada akhirnya perempuan tidak hanya memunculkan perilaku inferior dalam hubungannya dengan pihak laki-laki. Akan tetapi, perempuan juga membentuk citra inferior dan mendorong diri sendiri kepada posisi subordinat dalam hubungannya dengan sesema perempuan.

Membahas masalah pandangan dan perlakuan laki-laki terhadap perempuan, hal yang ingin diungkapkan secara rinci ialah perihal subordinasi dan dampaknya terhadap hubungan yang terbangun antara laki-laki dengan perempuan, atau antara perempuan dengan perempuan.

Mengingat subordinasi dalam bentuk operasi dan peremehan eksistensi perempuan merupakan sebuah manifestasi prasangka gender, uraian pada bagian ini berusaha mengungkapkan bentuk-bentuk hubungan yang terjalin antara laki-

(32)

laki dan perempuan, atau antara perempuan dengan perempuan yang telah mengakibatkan kemunculan hal tersebut.

Keluarga sebagai sebuah wadah komunikasi anatara laki-laki dan perempuan merepresentasikan banyak hal tentang bentuk-bentuk hubungan anatara kedua belah pihak. Dalam kerangka keluarga, hubungan antara dua jenis kelamin bervariasi dalam kehidupan sehari-harinya. Laki-laki dan perempuan berhubungan, menikah, membentuk sebuah keluarga, memiliki anak dan sebagainya. Proses tersebut dimungkinkan oleh keberadaan berbagai bentuk hubungan yang terdapat dalam keluarga.

Mayarakat, disisi lain, sebagai kerangka wilayah hubungan yang lebih luas, turut merepresentasikan bentuk-bentuk hubungan yang lebih kompleks.

Dengan demikian, variable yang digunakan dalm mengukur kualitas hubungan yang terjalin didalm struktur masyarakat menjadi beraneka ragam. Akur dan tidak akur, harmonis dan konflik, permusushan dan persahabatan merupakan beberapa contoh variable yang digunakan dalam usaha mengetahui bentuk-bentuk hubungan yang terjalin.

Kesan-kesan inferioritas, salah satunya dapat ditemukan dalam sistem pembagian kerja yang menyangkut fungsi dan peran perempuan. Terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa perempuan tidak hanya berperaan sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga bagi keluarga, tetapi jiuga secara sosial dan budaya dalam lingkup yang lebih luas. Akan tetapi, ketika peran-peran bagi anggota keluarga secara dominan dikuasai oleh laki-laki, perempuan tidak

(33)

memiliki peran yang signifikan dalam menjalankan sesuatu fungsi tertentu karena sudah ditangani oleh laki-laki.

Salah satunya ialah peran perempuan yang tidak berjalan dalam menjalankan fungsi sosial sebagai bagian dari sebuah komunitas masyarakat.

Perempuan membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat tempat ia tinggal, bukan sebagai ndividu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan sosial dengan masyarakat tempat tinggal dengan tidak memperhitungkan berbagai perbedaan seperti agama, etnis, ras dan sebagainya. Peran tersebut tidak dapat dilaksanakan karena sudah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak laki-laki.

Dalam konteks inferioritas perempuan, ruang domestic merupakan wilayah pertama yang mengesankan hal tersebut. Kecenderungan yang berlaku di dalam masyarakat, perempuan diidentikkan dengan funsi sosialnyasebagai pekerja rumah tangga. Artinya, perempuan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangga seperti mengurus anak, membersihkan rumah, mencuci, menanak nasi, dan sebagainya. Ruang publik, disisi lain merupakan wilayah yang lebih didominasi oleh laki-laki karena fungsi-fungsi seperti pencarian sumber daya ekonomi dilakukan oleh mereka.

F. Manifestasi Gender pada Posisi Kaum Perempuan

Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan geder yang berimbas pada posisi yang disandang oleh kaum perempuan. Menurut Fakih (1996:147- 157), perbedaan gender yang berdasar pada anggapan dan penilaian oleh konstruksi sosial pada akhirnya menimbulkan sifat dan stereotip yang oleh

(34)

masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan tuhan. Sifat dan stereotip yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultur, dalam proses yang panjang dan akhirnya telah mengakibatka terkondisikannya beberapa posisi perempuan, antara lain:

1. Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan, termanifestasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan laki-laki.

Subordinasi disini berkaitan berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun jumlahnya 50% jumlahnya dari penduduk bumi, namun posisi kaum perempuan ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki. Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapata dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat maupun dimasing-masing rumag tangga, tetapi juga secara global. Banyaka sekali contoh kasus , baik dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun dalam aturan birokrasi dimana kaum perempuan diletakkan dalam posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Misalnya persyaratan bagi perempuan yang hendak menunaikan tugas belajar ke luar negeri ia harus mendapat izin dari suami, sebaliknya suami tidak perlu persyaratan izin dari istri.

2. Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender melahirkan proses marginalisasi perempuan secara ekonomis dalam kultur, birokrasi, maupun program-program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau, kaum perempuan

(35)

secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan.penggantian bibit pertanian jenis unggul terpaksa mengganti ani-ani dengan sabit, artinya mengsur banyak sekali pekerjaan kaum perempuan dikomunitas agraris terutama dipedesaan. Dengan hanya mengakui laki-laki sebagai “Kepala Rumah Tamgga” program industrialisasi pertanian secara sistematis menghalangi, tidak member ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam bidang pertanian ataupun akses kredit. Perlakuan semacam itu secara tidak terasa menggusur keberadaan kaum perempuan yang slalu dianggap tidak produktif (dianggap bernilai rendah), sehingga mendapat imbalan ekonomis yang lebih rendah.

3. Perbedaan dan pembagian gender membentuk stereotipe terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka.

Stereotipe merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan cultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan sehingga berakibat pada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya stereotype kaum perempuan sebagai ibu rumagtangga sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun dipemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Sementara stereotype laki-laki sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa saja

(36)

yang dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak dianggap atau tidak dihargai.

4. Perbedaan dan pembagian gender membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dalam hal pengurusan lingkup domestik, terlebih lagi kaum perempuan turut bekerja luar rumah yang menyebabkan merek menerima beban ganda. Pada umumya, jika dicermati, disuatu rumah tangga ada beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan.

Pada kenyataannya, dalam banyak observasi yang dilakukan, menunjukkan bahwa hampir 90% pekerjaan domestic dikerjakanoleh perempuan. Terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja (umpamanya buruh industry atau profesi lainnya), artinya mereka memiliki peran ganda (beban kerja ganda di rumah da di luar rumah).

5. Perbedaan gender tersebut juga mengakibatkan munculnya kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun secara mental.keberagaman bentuk kekerasn terhadap perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk. Yaitu yang bersifat fisik seperti pemerkosaan, persetubuhan antaranggota keluarga (incest), pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih sadis lagi pemotongan alat genitalperempuan dalam bentuk nonfisik, yamg sering terjadi mislanya pelecehan seksual, menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara emosional.

6. Perbedan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinyadiatas, mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan penerimaan

(37)

nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain segenap manifestasi ketidakadilan gender itu sendiri juga merupakan proses penjinakan (cooptacian) peran gender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang seperi sekarang ini sebagai sesuatu yang normal dan kodrati. Jadi, keseluruhan manifestasi tersebut ternyata saling berkait dan saling tergantung serta saling menguatkan satu sama yang lain.

Pelanggengan posisi subordinasi, stereotype dan kekerasan terhadap kaum perempuan ini tidak secara sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultur patriarki, yakni ideologi yang berdasarkan pada kekuasaan laki-laki. Ideologi ini ada di kepala kaum laki-laki maupun perempaun, juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan Negara dan birokrasi pembangunan.

Beberapa hal bisa disimpulkan dari reflaksi ini,pertama bahwa memperjuangkan perempuan tidak sama dengan perjuangan perempuan melawan laki-laki. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan kaum laki-laki, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyrakat dan ketidakadilan gender adalah salah satunya. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan tranformasi dan bukan gerakan untuk membalas dendam laki-laki. Jika demikian, gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesame manusia yang secara fundamental lebih baik dan baru. Hubungan ini meliputi hubungan ekonomi, politik, cultural, ideology, lingkungan dan termasuk di dalamnya hubungan antara laki-laki dan

(38)

perempuan. Untuk itu ada beberapa agenda guna mengakhiri sistem yang tidak adil ini:

1. Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideology. Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut basib perempuan di mana saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja.

Pertanyaan tersebut dapat dimulai dari kasusyang sifatnya makro, seperti women in development (WID), sampai kasus-kasus yang dianggap kecil yakni pembagian peran gender di rumah tangga.

Biasa juga melakukan pendidikan yang sifatnya pendidikan kritis (critical education) atau kegiatan apa saja yang akan membantu perempuan memahami pengalamannyadan menolak ideologi dan normayang dipaksakan kepada mewreka (Weiler dalam Fakih

:1996). Tujuan upaya tersebut adalah membangkitkan Kesadaran Kritis Gender (Gender Critical Consciousness) yakni kesadaran akan ideology hegemoni domonan dan kaitannya dengan penindasan gender. Maka, tugas utama harus dilakukan adalah membentuk visiyang berakar pada sistem modernisasi, developmentalism dan kapitalisme. Melalui pendidikan kritis, akan lahir gagasan dan nilai baru yang menjadi dasar bagi transformasi gender.

2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bawha keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berparsitifasi dalam pembangunan. Karena perempuan dianggap tidak

(39)

mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka program perlu didesain oleh perencana ahli yang kemudian dikirimkan kepada mereka. Perempuan dianggap sebagai objek, yakni diidentifikasi, diukur, dan diprogramkan. Perempuan juga dianggap sebagai objek pengembangan mereka. Karena, “knowledge is power”, maka riset terhadap perempuan adalah juga proses dominasi. Tujuan riset mereka adalah untuk memahami perempuan, agar dapat melakukan prediksi perilaku perempuan dalam rangka merekayasa peranannya dalam pembangunan. Dengan demikian perjuangan perempuan termasuk senantiasa mempertanyakan dominasi elit yang menggunakan pengetahuan.

G. Landasan Teori 1. Teori Sosial-Konflik

Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-laki dan perempuan tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat.

(40)

Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan sentral dari setiap hubungan social termasuk hubungan laki-laki dan perempuan. Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Atas dasar asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat akan merubah posisi dan hubungan. Demikian juga, perubahan yang terjadi pada hubungan antara laki-laki dan perempuan akan dilihat dari konflik antar dua kepentingan.

Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki- laki atas perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja.

Penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan .

Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat.

Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan

(41)

menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya.

2. Feminisme Radikal

Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis- sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas.

Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan.

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

Feminisme radikal didasarkan pada dua kepercayaan sentral yang diserang emosional yaitu bawha perempuan mempunyai nilai positif absolute sebagai wanita, suatu kepercayaan yang ditegaskan melawan apa yang mereka klaim sebagai penurunan nilai perempuan yang universal, dan bahwa perempuan ditindas disegala tempat dan ditindas dengan keras oleh sistem patriarki.

(42)

H. Kerangka Pikir

Subordinasi ialah sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Subordinasi memiliki arti diletakkan dibawah atau didudukan didalam sebuah posisi yang inferior dihadapan orang lain, atau menjadi tunduk terhadap kontrol atau otoritas orang lain. Kekuasaan tersebut sebenarnya berasal dari perasaan superioritas laki- laki terhadap perempuan. Laki-laki merasa sebagai makhluk yang utama.

Anggapan bahwa perempuan itu irasisonal atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin,, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Perempuan seringkali dinilai sebagai makhluk yang lebih inferior daripada laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah sehingga harus berada di bawah kekuasaan laki-laki. Perbedaan yang terjadi terhadap kaum perempuan mulai dari lingkungan keluarga, tempat tinggal hingga lingkungan kerja. Kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan kesempatan untuk berkiprah dalam kehidupan sosial apabila dibandingkan dengan laki-laki. Fenomena, realitas, dan fakta-fakta sosial budaya sebagaimana dikemukakan memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris yang timpang, yang tidak setara, dan diskriminatif .

(43)

Bagan Kerangka Pikir

Anak perempuan dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang

Culture Dampak

Konstruksi sosial terhadap perempuan

 Didominasi

 Irasional

 Lemah

 Emosional

Ketidakadilan / subordinasi terhadap anak perempuan

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan memfokuskan penelitian pada “Subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang”.

Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alami dan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan berperilaku yang dapat diamati yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh).

Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut pandang partisipan. Dengan demikian penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan, yaitu bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2015 di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang.

34

(45)

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada bagaimana dampak yang dialami perempuan yang tersubordinasi dalam keluarga dan mengapa perempuan dalam keluarga mengalami subordinasi. Maka peneliti akan mementukan informan yang dianggap dapat memberikan informasi yang terkait dengan subordinasi perempuan di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang. Di dalam unsur keluarga seperti orang tua atau anak perempuan maupun anak laki-laki, sedangkan dalam unsur masyarakat, seperti tokoh agama dan tokoh adat.

D. Instrument Penelitian

Instrumen dalam penelitian kualitatif ini adalah peneliti itu sendiri.

Dimana peneliti dapat mengetahui secara langsung melalui proses melihat dan merasakan makna-makna tersembunyi yang dimunculkan oleh subjek penelitian.

Sugiyono (2013: 222) menyatakan bahwa peneliti kualitatif sebagai Human Instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai

sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.

Untuk memperoleh hasil penelitian yang cermat dan valid serta memudahkan penelitian maka perlu menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara (daftar pertanyaan), pedoman observasi, pensil atau pulpen dan catatan peneliti yang berfungsi sebagai alat pengumpul data serta alat pemotret.

E. Data dan Sumber Data

Data primer dan data sekunder sebagai berikut ;

(46)

1. Data Primer merupakan data yang didapatkan dari informan utama yaitu anak perempuan yang mengalami subordinasi yang ada di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

2. Data Sekunder merupakan data pelengkap yang didapatkan dari informan, buku-buku, internet, yang dianggap bisa memberikan informasi terkait dengan penelitian ini.

No Data Sumber Data

T. I

Dampak subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

a.Apa dampak negatif yang akan ditimbulkan dari subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

b.Apa dampak positif yang akan ditimbulkan dari subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

c.Dampak apa yang akan timbul dalam keluarga dari subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

d.Dampak apa yang akan timbul dalam masyarakat dari

a. Anak perempuan b. Orang tua c. Masyarakat umum

(47)

subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

T.2

Penyebab subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga.

a. Mengapa anak perempuan tersubordinasi di dalam keluarga.

b. Faktor apa yang menyebabkan sehingga anak perempuan di dalam keluarga mengalami subordinasi.

c. Apa yang membedakan anak perempuan dengan anak laki- laki didalam keluarga di tinjau dari segi gender.

a. Anak perempuan b. Orang tua

c. Masyarakat umum

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam hal ini metode tersebut sebagai penjaring data primer tentang subordinasi terhadap anak perempuan dalam keluarga di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang.

(48)

1. Observasi

Mengadakan pengamatan secara langsung ke lokasi peneliti. Dalam arti bahwa, pengamatan tidak menggunakan media-media transpsran, ini di maksudkan untuk mengetahui obyektifitas dari kenyataan yang ada tentang keadaan dan kondisi obyek yang akan di teliti.

2. Wawancara

Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan cara berdialog langsung dengan informan untuk memperoleh keterangan tentang permasalahan yang diteliti.

3. Dokumentasi

Dokumentasi ini digunakan dalam upaya melengkapi data-data yang telah diperoleh berupa gambaran penelitian, keadaan populasi dan data yang digunakan melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan atau dengan kata lain sumber data sekunder.

G. Teknik Analisi Data

Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik analisis secara kualitatif deskriptif. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan dan setelah selesai di lapangan. analisis data kualitatif dilakukan dengan menggunakan model interaktif yaitu:

1. Pengumpulan data, data dikumpulkan dari wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasilnya ditulis dalam bentuk catatan lapangan.

(49)

2. Peneliti akan menganalisis data atau informasi yang dikumpulkan dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yaitu dengan mengklasifikasikan data berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti kemudian membandingkan data atau informasi dari setiap sumber-sumber yang peneliti dapatkan dilapangan serta mencari hubungan antara data atau informasi yang diperoleh yang ada kaitannya dengan fokus penelitian.

3. Menyimpulkan yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi.

H. Teknik Kebsahan Data

Demi terjaminnya keakuratan data maka peneliti akan melakukan keabsahan data. Data-data yang salah akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang salah,demikian pula sebaliknya data yang sah akan menghasilkan kesimpulan hasil penelitian yang benar. Penulis memilih keabsahan data dengan pendekatan triangulasi sumber untuk mengungkap dan menganalisis masalah- masalah yang dijadikan objek penelitian. Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik Trianggulasi, yaitu:

1. Trianggulasi sumber, adalah untuk menguji kredibilitas data yang di lakukan dengan cara mengecek data yang telah di peroleh melalui beberapa sumber, maksudnya bahwa apabila data yang di terima dari satu sumber meragukan, maka harus mengecek kembali ke sumber lain, tetapi sumber daya tersebut harus setara sederajatnya ,kemudian peneliti menganalisis data tersebut sehingga menghasilkan suatu kesimpulan dan di mintakan kesempatan dengan sumber- adalah untuk meguji sumber data tersebut.

(50)

2. Trianggulasi tehnik,adalah untuk menguji krebilitas data yang di lakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan tehnik yang berbeda,yaitu yang awalnya menggunakan tehnik observasi, maka di lakukan lagi tehnik pengumpulan data dengan tehnik wawancara kepada sumber data yang sama dan juga melakukan tehnik dokumentasi.

3. Trianggulasi waktu, adalah untuk melakukan pengecekan data dengan cara wawancara dalam waktu dan situasi yang berbeda. Seperti, yang awalnya melakukan pengumpulan data pada waktu pagi hari dan data yang di dapat, tetapi mungkin saja pada waktu pagi hari tersebut kurang tepat karena mungkin informasi dalam keadaan sibuk.

Dalam penelitian ini digunakan beberapa sumber buku sebagai acuan teoritis (referensi), sehingga benar-benar dapat dibandingkan antara teori yang satu dengan yang lain. Dengan membandingkan beberapa teori serta didukung dengan data yang ada, sehingga peneliti dapat melaporkan hasil penelitian yang disertai penjelasan-penjelasan sebagaimana yang ditentukan. Dengan demikian akan menambah derajat kepercayaan data yang ada.

(51)

68 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Letak Geografis

Kabupaten Enrekang terletak antara 3º 14’36” LS dan 119º40’53” BT.

Jarak dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) ke kota Enrekang dengan jalan darat sepanjang 235 Km. Batas-batas daerah Kabupaten Enrekang : Sebelah Utara Kabupaten Tana Toraja, Sebelah Selatan Kabupaten Sidenreng Rappang, Sebelah Barat Kabupaten Pinrang, dan Sebelah Timur Kabupaten Luwu.

Kabupaten Enrekang berada di daerah pegunungan, terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit sambung menyambung, mengambil dari ± 85% dari seluruh luas Kabupaten Enrekang yang luasnya ± 1.786,01 Km atau 2,92 dari seluruh luas propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Enrekang terbagi menjadi 12 kecamatan dan 129 Desa/Kelurahan yaitu Kecamatan Enrekang, Kecamatan Maiwa, Kecamatan Baraka, Kecamatan Anggeraja, Kecamatan Alla, Kecamatan Cendana, Kecamatan Malua, Kecamatan Bungin, Kecematan Curio, Kecamtan Buntu Batu, Kecamatan Massalle, Dan Kecamatan Baroko.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Perangian yang merupakan salah satu dari 15 desa diwilayah kecamatan Baraka yang terletak 12 KM kearah selatan dari ibu kota kecamatan Baraka. Desa perangian mempunyai luas wilayah seluas ±6,2 KM .

41

(52)

68 Adapun batas- batas di Desa Perangian sebagai berikut :

- Seblah utara : Desa Tangru - Sebelah timur : Desa Pandung Batu - Sebelah selatan : Desa Parinding - Sebelah barat : Desa Batu Noni b. Kondisi Demografis

Berdasarkan data pada tahun 2015, penduduk di Desa Perangian Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang berjumlah 962 jiwa. Dimana penduduk yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 505 jiwa dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 457 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Persen

Laki-Laki 505 52,5

Perempuan 457 47,5

Jumlah 962 100

Sumber : Kantor Desa Perangian 2015

Data diatas menunjukkan bahwa penduduk di Desa Perangian pada tahun 2015 berjumlah 962 jiwa dengan persentase sebanyak 100%. Berdasarkan tabel diatas sangat jelas terlihat bahwa penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dengan persentase 52,5 % dari jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan yang persentasenya sebanyak 47,5%.

Adapun mengenai umur penduduk di Desa Perangian dari data kantor Desa perangian tahun 2015 dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

(53)

68 Adapun jumlah penduduk menurut usia di Desa Perangian dapat dilihat

pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia di Desa Perangian

No. Kelompok Usia Jumlah Persentase (%)

1. 0-4 tahun 65 jiwa 6,8

2. 5-9 tahun 97 jiwa 10,1

3. 10-14 tahun 127 jiwa 13,2

4. 15-19 tahun 124 jiwa 12,9

5. 20-24 tahun 97 jiwa 10,1

6. 25-29 tahun 74 jiwa 7,7

7. 30-34 tahun 81 jiwa 8,4

8. 35-39 tahun 80 jiwa 8,3

9. 40-44 tahun 60 jiwa 6,2

10. 45-49 tahun 39 jiwa 4,0

11. 50-54 tahun 30 jiwa 3,1

12. 55-59 tahun 27 jiwa 2,8

13. 60-64 tahun 21 jiwa 2,2

14. 65 + 40 jiwa 4,2

Jumlah 962 100

Sumber: Kantor Desa Perangian,2015

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa umur 0-4 tahun berjumlah 65 jiwa atau sekitar 6,8%, umur 5-9 tahun berjumlah 97 jiwa atau 10,1%, umur 10-14 tahun berjumlah 127 atau 13,2% merupakan tingkat umur dengan jumlah tertinggi, umur 15-19 tahun berjumlah 124 jiwa atau 12,9%, umur 20-24 tahun

(54)

68 berjumlah 97 jiwa atau 10,0%, umur 25-29 tahun berjumlah 74jiwa atau 7,7%,

umur 30-34 tahun dengan jumlah 81 jiwa atau 8,4%, umur 35-39 tahun dengan jumlah 80 jiwa atau 8,3%, umur 40-44 tahun berjumlah 60 atau 6,2%, umur 45-49 tahun berjumlah 39 jiwa atau sekitar 4,0%, umur 50-54 tahun dengan jumlah 30 jiwa atau sekitar 3,1%, umur 55-59 tahun berjumlah 27 jiwa atau sekitar 2,8%, umur 60-64 tahun berjumlah 21 jiwa atau 2,2% yang merupakan jumlah umur penduduk yang terendah. Umur 65+ berjumlah 40 jiwa atau 4,2%.

c. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Desa Perangian sangat bervariasi sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 4.3 Mata Pencaharian Penduduk di Desa Perangian

No. Mata Pencaharian Jumlah Jiwa

1. Petani 322

2. Buruh tani 65

3. Pegawai Negeri Sipil 9

4. Wiraswasta 19

5. Peternak 16

6. Pedagang 8

Jumlah 439

Sumber:Kantor Desa Perangian, 2015

Dengan melihat tabel di atas maka dapat diketahui penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 322 orang ,bekerja sebagai buruh tani sebanyak 65 orang, bekerja PNS sebanyak 9 orang, bekerja sebagai

Gambar

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Persen
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia di Desa Perangian
Tabel 4.3  Mata  Pencaharian  Penduduk  di Desa Perangian
Table 4.4 Tingkat Pendidikan Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Perangian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengasuhan orang tua tunggal berada pada kategori cukup baik, dengan menganalisis angket yang dibagikan kepada 28 responden, mengenai pola asuh orang tua yang

Nilai baru yang terbentuk adalah sadarnya masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak laki- laki maupun perempuan, antara buruh laki- laki dan perempuan

Berdasarkan jenis kelamin, trichuriasis lebih banyak terjadi pada anak perempuan (7,2%) dibandingkan anak laki-laki (5,6%) sedangkan berdasarkan kelompok umur anak-anak

Petani perempuan tidak memiliki kedudukan yang mandiri akan tetapi ia merupakan bagian dari petani yang notabenenya adalah laki-laki, ini terlihat dari KTP petani

Dalam kehidupan sehari-hari orang tua harus mampu bersikap yang benar, karena lingkungan yang pertama dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak

Usia anak, usia muda, usia dewasa, usia tua.. 2) Spesifikasi wajah berdasarkan jenis kelamin. Pada karakter wajah laki-laki, terbilang paling banyak bentuk dan macamnya

Kendala yang dihadapi orang tua dalam membentuk kepribadian anak di Desa Banti Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang adalah pengaruh lingkungan (teman

Dalam tabel 13 berikut dapat dilihat kepada siapa (anak laki-laki atau anak perempuan) orang tua pertama-tama meminta bantuan bila mereka