• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (LAPS) SEKTOR JASA KEUANGAN DI INDONESIA. Heni Marlina Serlika Aprita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (LAPS) SEKTOR JASA KEUANGAN DI INDONESIA. Heni Marlina Serlika Aprita"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2541-3813 E-ISSN: 2655-1810

JURNAL THENGKYANG

Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang

Alamat Redaksi : Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang, Jl. Sultan Muhammad Mansyur Kb Gede, 32 Ilir, Kec. Ilir Bar. II, Kota Palembang, Sumatera Selatan 30145, Palembang, Sumatera Selatan 30139, Indonesia.

E-mail: jurnaltengkiang@gmail.com Website: http://jurnaltengkiang.ac.id

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (LAPS) SEKTOR JASA KEUANGAN DI

INDONESIA

Heni Marlina Serlika Aprita

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang Correspondence Email: hmarlina061@gmail.com

ABSTRAK

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) adalah lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. Dengan adanya LAPS, maka akan terwujud adanya kepastian konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) atas sengketa yang timbul. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa dibentuk oleh lembaga jasa keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi masingmasing sektor jasa keuangan. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dilakukan oleh orang-orang yang memang memahami karakter produk jasa keuangan serta memiliki keahlian sesuai dengan jenis sengketa, sehingga diharapkan dapat menghasilkan putusan yang profesional serta relevan. Dan yang menjadi peranan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan yaitu: melakukan upaya perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha di sektor jasa keuangan. lembaga alternatif penyelesaian sengketa mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor jasa keuangan (khususnya antara konsumen dengan lembaga jasa keuangan). Untuk mendukung tugas dan fungsi OJK dalam perlindungan konsumen, OJK telah menciptakan sistem pelindungan konsumen yang melibatkan lembaga jasa keuangan, lembaga alternatif penyelesaian sengketa maupun internal OJK.

LAPS merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa yang diciptakan untuk menjadi sarana penyelesaian sengketa antara lembaga jasa keuangan dan konsumennya dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa itu dinyakini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh OJK tersebut

Kata Kunci :Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen, perlindungan konsumen, Jasa Keuangan

.

(2)

14 ABSTRACT

Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS) is an institution that performs dispute resolution in the financial services sector. With the LAPS, there will be certainty for consumers and Financial Services Institutions (LJK) for disputes that arise. Alternative dispute resolution institutions are formed by financial services institutions coordinated by the respective associations of the financial services sector. Dispute Resolution through Alternative Dispute Resolution Institutions is carried out by people who do understand the character of financial service products and have expertise according to the type of dispute, so that it is expected to produce professional and relevant decisions. And the role of alternative dispute resolution institutions in the financial services sector is: to protect consumers and business actors in the financial services sector. alternative dispute resolution institutions mandate the existence of a dispute resolution system that occurs in the financial services sector (especially between consumers and financial service institutions). To support OJK's duties and functions in consumer protection, OJK has created a consumer protection system that involves financial service institutions, alternative dispute resolution institutions and internal OJK. LAPS is an alternative dispute resolution created to be a means of resolving disputes between financial service institutions and their consumers and the alternative dispute resolution institutions are believed not to conflict with the principles stipulated by the OJK.

Keywords: Alternative Consumer Dispute Resolution Agencies, consumer protection, Financial Service

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perlindungan terhadap hak-hak konsumen merupakan perihal yang patut untuk diperhatikan dalam usaha pembangunan nasional terutama dalam era globalisasi ini. Penegakan terhadap perlindungan hak-hak konsumen ini, dengan diwujudkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK) yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku secara efektif setahun setelahnya. Dalam UUPK, dirumuskan istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal yang menyatakan, bahwa

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”1

UUPK tidak hanya mengatur hak dan kewajiban konsumen tetapi juga hak dan kewajiban pelaku usaha. Definisi pelaku usaha dalam Pasal 1 Angka 3 UUPK menyatakan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang

1 M.S. Tumanggor, Pengenalan Otoritas Jasa Keuangan, Pasar Uang, Pasar Modal, dan Penanaman Modal, (Jakarta: CV. Rasterindo, 2017), hlm. 1.

(3)

15

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun secara bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.” Salah satu yang dapat disebut pelaku usaha adalah lembaga keuangan baik perbankan maupun non-perbankan.

Dalam lembaga keuangan non-perbankan terdapat banyak usaha, salah satunya adalah lembaga pembiayaan konsumen. Kegiatan usaha ini lahir dari adanya kebutuhan dana bagi banyak orang, dan di lain pihak juga ada banyak badan hukum yang memiliki kelebihan dana untuk disalurkan kepada masyarakat dengan mendapat keuntungan. Sehingga dana yang berlebihan tersebut perlu diinvestasikan dengan cara yang paling menguntungkan secara ekonomis ataupun sosial. Kumpulan orangorang/lembaga/badan hukum inilah yang kemudian disebut sebagai Pelaku Usaha Jasa Keuangan (yang selanjutnya disebut PUJK), yang diawasi dan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (yang selanjutnya disebut OJK), yakni merupakan sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi yang terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (yang selanjutnya disebut UU OJK). Pasal 1 UU OJK menentukan bahwa yang dimaksud dengan OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. OJK juga memiliki fungsi sebagai penyelenggara sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.2

Kedudukan konsumen dan pelaku usaha cenderung dirasa tidak seimbang karena posisi pelaku usaha yang lebih kuat dan tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah. Konsumen dapat

2Lukmanul Hakim, ”Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Pihak Nasabah Dengan Industri Jasa Keuangan Pada Era Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Keadilan Progresif Volume 6. Nomor 2., (2015)

(4)

16

menjadi obyek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran akan hakhak dan kewajibannya yang membuat kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar.3

Selain itu, seiring perwujudan dari kewajiban OJK untuk memberikan perlindungan secara khusus terhadap konsumen sektor jasa keuangan, OJK kemudian pada tahun 2014 membentuk Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya disebut LAPS-SJK) melalui Peraturan OJK (yang selanjutnya disebut POJK) Nomor 1 Tahun 2014, untuk menyelesaikan sengketa di luar jalur pengadilan, yakni mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Kehadiran LAPS-SJK ini kemudian disinyalir sebagai bentuk lex specialis dari BPSK untuk menangani sengketa secara khusus antara PUJK dengan konsumen sektor jasa keuangan.4 Maka sejak saat dibentuknya LAPS- SJK, PUJK dalam usahanya untuk menyelesaikan sengketa dengan konsumen wajib memilih LAPS-SJK sebagai badan penyelesaian sengketanya sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh OJK.5

2. Rumusan Masalah

Adapun pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor di Jasa Keuangan (LAPS) dalam Menangani Sengketa yang Terjadi antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan ?

2. Bagaimana Hasil Dari Kekuatan Mengikat dari Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (LAPS) ?

3. Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.6 Penelitian hukum normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

3Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan kedua, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 1.

4Ema Rahmawati dan Rai Mantili, ”Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyeleesasian Sengketa i Sektor Jasa Keuangan”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 Nomor 2 (2016) 241.

5Agus Suwandono dan Deviana Yuanitassari, ”Kedudukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 1, Nomor 1 (2016) 15.

6Mukti Fajar N. dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Cetakan Ke-1.

(5)

17

peraturan perundang-undangan (law in a book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.7 Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian normatif yakni penelitian hukum yang dilaksanakan menggunakan teknik meneliti bahan pustaka yang memakai objek penulisan berupa pustaka- pustaka yang ada, baik berbentuk buku-buku, majalah, serta ketetapan-ketetapan yang memiliki hubungan dengan pembahasan penelitian ini, alhasil penulisan ini sifatnya juga penulisan pustaka (library research).8

B. PEMBAHASAN

1. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor di Jasa Keuangan (LAPS) dalam Menangani Sengketa yang Terjadi antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan

Pemerintah menyadari bahwa dalam dunia bisnis, kedudukan konsumen sangat lemah dan rentan untuk dijadikan sebagai obyek bisnis bagi pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka dari itu pemerintah membuat regulasi guna melindungi kepentingan konsumen dari tindakan-tindakan pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen, yaitu dengan diundangkannya UUPK. Dengan keberadaan UUPK ini, diharapkan konsumen menjadi lebih terlindungi dan pelaku usaha menjadi lebih berhati-hati serta memperhatikan hak-hak konsumen dalam menjalankan usahanya. UUPK yang telah secara tegas menetapkan hak-hak konsumen diharapkan dapat menjadi pelecut bagi pelaku usaha untuk menjalankan usahanya dengan itikad baik.9

Selain telah ditetapkannya hak-hak konsumen, UUPK juga memberikan kesempatan bagi konsumen untuk menggugat pelaku usaha apabila merasa telah dirugikan atas tindakan pelaku usaha. Gugatan tersebut dapat diajukan baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan, Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang disediakan adalah mengajukan gugatan melalui BPSK. Dibentuknya BPSK sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha merupakan mandat yang terdapat di UUPK. Keberadaan BPSK ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi konsumen yang merasa dirugikan untuk

(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010).hlm.23.

7 Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ke-2. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).,hlm.12.

8Sulistyowati Irianto, dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009)

9 I Gede Hartadi Kurniawan, “Implikasi Penerapan Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan Mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Lex Jurnlica Volume 13 Nomor 1, April 2016, hlm. 46.

(6)

18

memperoleh perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dari pelaku usaha.

BPSK pertama kali dibentuk pada tanggal 21 Juli 2001 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001. Dengan usianya yang sudah hampir 15 (lima belas) tahun, eksistensi BPSK begitu menonjol. Hal ini ditandai dengan banyaknya konsumen yang mengajukan sengketa kepada BPSK. Salah satu contohnya, BPSK Provinsi DKI Jakarta yang menerima gugatan dari konsumen sebanyak 111 kasus pada Tahun 2014 dan 121 kasus pada Tahun 2015.10

Menurut ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Kepmenperindag RI Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 jo.

Pasal 52 huruf a UUPK, BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menyediakan beberapa mekanisme, yaitu konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. UUPK dan Kepmenperindag RI Nomor:

350/MPP/Kep/12/2001 menetapkan bahwa ketiga mekanisme penyelesaian sengketa konsumen ini (konsiliasi, mediasi, atau arbitrase) merupakan pilihan yang ditawarkan kepada konsumen dan pelaku usaha. Namun dalam implementasinya terdapat penyimpangan, yang mana ketiga mekanisme ini tidak diterapkan sebagai pilihan/alternatif/opsional, melainkan diterapkan secara berjenjang.11 Sampai dengan tahun Juni 2016, setidaknya sudah ada 7 (tujuh) LAPS-SJK yang dbentuk dan terdaftar di OJK, yaitu:

(1) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI);

(2) Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI);

(3) Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP);

(4) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI);

(5) Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI);

(6) Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI); dan (7) Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI).

2. Kekuatan Mengikat dari Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (LAPS)

Mengenai putusan yang dihasilkan oleh BPSK dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk ditinjau dari mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan. Jika para pihak menggunakan cara konsiliasi atau mediasi guna menyelesaikan sengketa yang terjadi, maka hasil penyelesaian

10H. Priyatna Abdurrasyid, arbitrase & alternatif penyelesaian sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia “BANI”, 2002), hlm. 18.

11Intan Nur Rahmawanti & Rukiyah Lubis, “Win-win Solution Sengketa Konsumen”, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014) hlm.82.

(7)

19

sengketa tersebut dibuatkan dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak, dan dikuatkan dengan keputusan majelis dan ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Lain halnya jika para pihak menggunakan cara arbitrase, maka hasil penyelesaian sengketa dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis.12

Pasal 42 Ayat (1) Kepmenperindag Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 jo. Pasal 54 Ayat (3) UUPK menyatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kata “final” di sini seharusnya memiliki makna bahwa terhadap putusan BPSK ini tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi, sehingga para pihak harus tunduk untuk melaksanakan isi dari putusan BPSK.13 Hal ini juga tidak sejalan dengan asas dalam Hukum Acara Perdata, yaitu peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Selain itu juga adanya keharusan bagi majelis BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen dalam jangka waktu selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja (Pasal 38 Kepmenperindag Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001). Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, tentunya akan menjadi tidak efisien jika terhadap putusan BPSK masih dapat diajukan keberatan oleh konsumen atau pelaku usaha yang tidak menerima putusan.14

C. DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU-BUKU

Abdurrasyid, H. Priyatna. 2002. Arbitrase & alternatif penyelesaian sengketa Suatu Pengantar. Jakarta: Fikahati Aneska.

Adi Nugroho, Susanti. 2010. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Prenadamedia Grup.

Ali, Zainuddin. 2010. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ke-2. Jakarta: Sinar Grafika.

Aziz Billah, Abd. 2018. Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sektor Jasa Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional”, Jurnal Rechts Vinding (Media Pembinaan Hukum Nasional), Volume 7, Nomor 1, April.

12 Abd. Aziz Billah, ”Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sektor Jasa Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional”, Jurnal Rechts Vinding (Media Pembinaan Hukum Nasional), Volume 7, Nomor 1, April 2018, hlm. 73.

13 Susanti Adi Nugroho. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2010), hlm. 250.

14 Saryo, Bismar Nasution, Suhaidi dan Mahmul Siregar, “Analisis Yuridis Atas Tugas Dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Melindungi Konsumen Jasa Keuangan”, USU Law Jurnal, Vol.5.No.4 (Oktober 2017), hlm.

169-175.

(8)

20

Fajar N, Mukti. dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Hakim, Lukmanul. 2015. Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Pihak Nasabah Dengan Industri Jasa Keuangan Pada Era Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Keadilan Progresif Volume 6. Nomor 2.

Irianto, Sulistyowati. dan Shidarta. 2009. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kurniawan, I Gede Hartadi. 2016. Implikasi Penerapan Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan Mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Lex Jurnlica Volume 13 Nomor 1, April.

Rahmawati, Ema. dan Rai Mantili. 2016. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyeleesasian Sengketa i Sektor Jasa Keuangan. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 Nomor 2. 241.

Rahmawanti, Intan Nur. Dan Rukiyah Lubis. 2014. Win-win Solution Sengketa Konsumen.

Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Suwandono, Agus. dan Deviana Yuanitassari. 2016. Kedudukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 1, Nomor 1.

Saryo, Bismar Nasution. dan Mahmul Siregar. 2017. Analisis Yuridis Atas Tugas Dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Melindungi Konsumen Jasa Keuangan”, USU Law Jurnal, Vol.5.No.4.

Tumanggor, M.S. 2017. Pengenalan Otoritas Jasa Keuangan, Pasar Uang, Pasar Modal, dan Penanaman Modal. Jakarta: Rasterindo.

Widjaja, Gunawan. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Halaman form Jenis Adat Halaman ini akan tampil jika administrator memilih form input Jenis Adat yang ada pada menu sebelah atas halaman administrator, pada halaman

Pondok Pesantren Terpadu adalah lembaga pendidikan Islam dengan ciri-ciri Pesantren tetap ada, yaitu Kyai sebagai pimpinan Pondok Pesantren, santri sebagai murid, memakai

PERAN FACEBOOK DALAM KOMUNIKASI POLITIK (STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF PERAN FACEBOOK DALAM KOMUNIKASI POLITIK TERHADAP PEMILIH PEMULA PADA

Perakaunan, pengurusan perniagaan, ekonomi, kewangan dan perbankan, insurans, perniagaan Islam dan kurikulum pengurusan teknologi disepadukan dengan kaedah-kaedah

Dengan itu, diharapkan kajian ini boleh dilanjutkan untuk melihat pengaruh antara kedua-dua pemboleh ubah ini iaitu gaya kepimpinan guru besar dan tekanan kerja

Perkembangbiakan tumbuhan adalah proses penambahan species melalui proses penurunan (henriditas). Bagian tumbuhan yang ditanam untuk memperoleh tumbuhan baru disebut alat

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Manfaat teoritis, dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum tata negara, khususnya terkait

Kebanyakan ibu mengatakan bahwasanya sedikit dari mereka yang didampingi suami saat proses persalinan dikarenakan suami merasa takut dan cemas serta merasa kasihan