137
1Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Salah satu alternatif pengurangan penggunaan terigu dalam pembuatan mi basah adalah dengan memanfaatkan pangan lokal, seperti sagu, singkong, dan ubi jalar yang terfermentasi yang memiliki sifat fungsional yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan membuat mi basah menggunakan sagu terfermentasi dan substitusi tepung nonterigu (MOCAF, tepung ubi jalar fermentasi, dan tepung kacang hijau). Rancangan Acak Kelompok (RAK) dua faktor dengan dua ulangan digunakan dalam penelitian ini. Faktor pertama lama fermentasi pati sagu, yaitu FI= 7 hari, F2= 14 hari , dan F3= 21 hari. Faktor kedua, rasio sagu fermentasi dan tepung substitusi non terigu (80:20), yaitu S1=pati sagu fermentasi:MOCAF, S2=pati sagu fermentasi:tepung ubi jalar fermentasi, dan S3=pati sagu fermentasi:tepung kacang hijau.
Hasil penelitian fermentasi pati sagu menunjukkan bahwa fermentasi meningkatkan (P≤0,05) swelling power pada suhu 90oC, tapi menurunkan (P≤0,05) solubility, viskositas panas, dan viskositas dingin pati sagu. Nilai swelling power 90oC, solubility, viskositas panas, dan viskositas dingin pati sagu fermentasi cukup tinggi pada fermentasi hari ke 7 (F1), menurun pada fermentasi hari ke14 (F2), dan kembali meningkat (P≤0,05) pada fermentasi hari ke 21 ( F3).
Pembuatan mi basah menunjukkan bahwa fermentasi pati sagu 7 hari (F1) menghasilkan nilai uji putus, dan elastisitas mi basah yang lebih tinggi (lebih baik) (P≤0,05), dibandingkan mi basah dari pati sagu 14 dan 21 hari (F2 dan F3), walaupun kelengketan, dan aroma asam mi basahnya rendah (kurang baik) (P≤0,05). Perlakuan fermentasi sagu terbaik adalah pati sagu yang difermentasi 7 hari dengan nilai rendemen 88%, pH 5,43, swelling power 60oC dan 90oC berturut-turut 1,41, dan 2,34, solubility 0,48%, viskositas panas 629,90 cP, viskositas dingin 803,80 cP, kadar air 13,70%, dan kadar abu 0,6%. Produk mi basah terbaik diperoleh dari pati sagu yang difermentasi 7 hari dengan substitusi tepung ubi jalar fermentasi, dengan nilai cooking loss 2,42%, uji putus 0,35cm, kadar air 61,70%, kadar abu 0,62%.
Kata kunci: mi basah, pati sagu, fermentasi, substitusi, tepung non terigu.
ABSTRACT
One alternative to reduce the use of flour in producing wet noodles is to utilize local foods, such as fermented sago, cassava, and sweet potatoes that have better functional properties. This study aims to produce wet noodles using fermented sago and non-wheat substitution flour (MOCAF, fermented sweet potato flour, and green bean flour). A Group Randomized Block Design with two replicates was used in this study. The first factor is the length of sago starch fermentation (F), ie FI = 7 days, F2 = 14 days, and F3 = 21 days. The second factor (S), the ratio of fermented strach sago and non- wheat substitution flour (80:20), ie S1 = fermented sago starch: MOCAF, S2 = fermented sago starch: fermented sweet potato flour, and S3 = fermented sago starch: green bean flour.
The results of fermentation of sago starch showed that fermentation increased (P≤0.05) swelling power at 90oC, however decreased (P≤0.05) solubility, heat viscosity, and cold viscosity of sago starch. The values of swelling power at 90oC, solubility, heat viscosity, and cold viscosity of fermented sago starch were quite high at 7th day fermentation (F1), decreasing at 14th day fermentation (F2), and increasing (P≤0.05) again at 21st day fermentation (F3). Wet noodle production showed that 7-day sago starch fermentation resulted in higher (better) (P≤0.05) breaking test value, and elasticity of wet noodles, compared to wet noodles from sago starch fermented in 14 and 21 days (F2 and F3), although the values of adhesiveness, and acid aroma of wet noodle were low (poor) (P≤0.05). The best sago fermentation treatment was sago starch fermented for 7 days with a yield value of 88%, pH of 5.43, swelling power at 60oC and 90oC respectively of 1.41, and 2.34, solubility of 0.48%, heat viscosity of 629.90 cP, cold viscosity of 803.80 cP, water content of 13.70%, and ash content of 0.6%. The best wet noodle product was obtained from 7-day fermented sago starch with fermented sweet potato flour substitution, with cooking loss value of 2.42%, 0.35cm break test, 61.70% moisture content, 0.62% ash content.
Keywords: wet noodles, sago starch, fermentation, substitution, non-wheat flour Normalina Arpi¹*, Yanti Meldasari Lubis¹, Fahrizal1, Mulizani¹
Jl. Krueng Hasan Kalee 3, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, 23111, Indonesia
*email: [email protected]
NATURAL FERMENTED SAGO APPLICATION AND NON WHEAT FLOUR SUBSTITUTION ON WET NOODLE
138 1. PENDAHULUAN
Mi adalah salah satu produk pangan yang populer di Indonesia. Bahan baku pembuatan mi pada umumnya mengunakan terigu.
Terigu berasal dari gandum yang merupakan salah satu komoditas impor, dengan meningkatnya konsumsi mi maka akan berpeluang semakin besarnya penurunan devisa negara dan akan terganggunya ketahanan pangan nasional.
Salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan terigu adalah dengan memanfaatkan komoditas pangan lokal sebagai bahan pengganti terigu. Pangan lokal yang dapat digunakan diantaranya sagu, singkong, ubi jalar, dan kacang hijau. Namun mi yang terbuat dari komoditas pangan lokal ini masih memiliki banyak kelemahan dalam sifat fungsionalnya. Untuk itu perlu dilakukan modifikasi agar mi basah yang dihasilkan memiliki sifat fungsional yang lebih baik dan bisa diterima oleh konsumen.
Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990) kandungan kalori pati sagu sebesar 353 kkal tidak jauh berbeda dengan kalori dari terigu yaitu 340 kkal . Namun protein yang terkandung dalam pati sagu sangat sedikit. Pati sagu tidak ada kandungan protein gliadin dan glutenin yang dapat membentuk lembaran yang memiliki tekstur elastis seperti pada adonan mi berbahan dasar terigu. Hasil penelitian tentang pemanfaatan sagu dalam proses pembuatan mi menunjukkan perlu adanya perlakuan tertentu untuk meningkatkan kualitas mi non terigu. Salah satu perlakuan yang dilakukan adalah metode modifikasi pati dengan cara fermentasi. Fermentasi alami pati sagu dan perlakuan kombinasi pati sagu dengan tepung lain diharapkan dapat memperbaiki struktur atau karakteristik dari mi.
Penelitian Yusmarini dkk. (2013) menunjukkan bahwa mi instan yang terbuat dari 100% pati sagu, belum memenuhi syarat mutu, karena tingkat keutuhan (tidak patah) dari mi yang dihasilkan hanya 82,46%.
Tussa’diah (2015) menyatakan fermentasi pati sagu menurunkan nilai pH pati sagu, dan cenderung meningkatkan nilai viskositas dingin pati, selain itu semakin lama (15, 20, dan 25 hari) fermentasi alami sagu menyebabkan semakin menurunnya nilai
cooking loss. Struktur mi basah dari hasil fermentasi alami lebih kuat dibandingkan mi basah dengan fermentasi menggunakan inokulum. Efendi (2010) menunjukkan semakin lama proses fermentasi singkong untuk menjadi MOCAF (Modified Cassava Flour) menyebabkan warna (derajat putih), viskositas, dan daya serap air semakin meningkat, akan tetapi terjadi penurunan terhadap bulk density. Arpi dkk. (2015) menyatakan fermentasi alami ubi kayu selama 7 hari dengan ketebalan potongan ubi 3 cm menghasilkan tepung ubi kayu terfermentasi yang sesuai untuk mi basah.
Penelitian Alfiani (2015) menunjukkan hasil terbaik diperoleh dengan metode fermentasi ubi jalar kuning secara alami dengan lama perendaman 4 hari dan ketebalan 0,5 cm.
Yuliani dkk. (2015) menyatakan substitusi sagu dengan tepung kacang hijau 4,7% pada mi sagu kering dapat menurunkan nilai kekerasan, kelengketan, dan elongasi namun meningkatkan cooking loss. Diniyati (2012) menyatakan mi instan terigu yang disubstitusi ubi jalar merah 20% dan tepung kacang hijau 10% menyebabkan penurunan nilai tekstur, kekerasan, selain itu warna dan aroma mi memiliki tingkat kesukaan tertinggi dari panelis, tetapi tidak berpengaruh terhadap rasa mi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lama fermentasi pati sagu dan substitusi tepung (MOCAF, tepung ubi jalar fermentasi dan tepung kacang hijau) terhadap karakteristik mi sagu basah yang dihasilkan.
2. MATERIAL DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Oktober 2016. Tempat Laboratorium Pengolahan Nabati, Laboratorium Analisis Pangan dan Organoleptik Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Unsyiah.
Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp) merk Saba Sagu yang berasal dari Aceh Singkil sebagai bahan utama, MOCAF komersial merk daun singkong siap pakai dari Bandung, kacang hijau tanpa kulit yang
139 dijadikan tepung dari pasar Peunayong Banda Aceh, ubi jalar kuning dari pasar Tungkop Banda Aceh, soda abu merk gajah, garam merk dolpin dan air. Alat-alat yang digunakan selama proses pengolahan meliputi wadah plastik, alat pencetak mi (ampia), kompor, panci, sendok.
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam fermentasi pati sagu dan tepung non terigu adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) sedangkan rancangan yang digunakan dalam pembuatan mi basah adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan dua faktor.
Faktor pertama yaitu lama fermentasi pati sagu dengan taraf F1=7 hari, F2=17 hari dan F3=21 hari. Faktor kedua yaitu rasio pati sagu fermentasi dan tepung substitusi (80%:20%) dengan taraf S1=pati sagu fermentasi:MOCAF, S2=pati sagu fermentasi:tepung ubi jalar kuning fermentasi dan S3=pati sagu fermentasi:tepung kacang hijau. Penelitian dilakukan dengan 2 kali ulangan.
Analisis Data
Data dianalisis statistik dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance).
Apabila perlakuan yang diberikan menunjukkan pengaruh terhadap parameter yang diuji, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).
Prosedur Penelitian
1. Proses Fermentasi Alami Pati Sagu (Tussa’diah, 2015)
Pati sagu ditimbang masing-masing perlakuan sebanyak 350 g. Sagu yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam stoples untuk dilakukan proses fermentasi dengan cara merendam sagu yang telah ditambahkan air sebanyak 700 ml. Stoples diberi label, stoples pertama 7 hari, stoples kedua 17 hari dan stoples ke tiga 21 hari. Fermentasi ini diulang sebanyak dua kali ulangan. Stoples kemudian ditutup mengunakan kain saring dan diletakkan pada suhu ruang dengan lama fermentasi atau penyimpanan seperti hari yang tertera pada label tiap stoples.
Fermentasi sagu diaduk pada hari ke 3
fermentasi dan kelipatanya. Air rendaman dibuang setelah proses fermentasi. Sagu kemudian dicuci dengan air bersih dengan cara merendam pati sagu dalam 200 ml air lalu diaduk secara merata. Setelah diaduk, diendapkan sampai pati sagu mengendap atau terpisah dari air, lama pengendapan 30 menit. Proses pencucian ini dilakukan sebanyak 3 kali. Pati sagu kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama 18 jam jika matahari terik atau 27 jam jika kondisi hari mendung. Pati sagu yang telah kering dihaluskan dengan blender dan diayak menggunakan saringan dengan ukuran 80 mesh. Pati sagu disimpan dalam plastik bening dan dimasukkan kedalam stoples tertutup. Pati siap diaplikasikan sebagai bahan baku pembuatan mi.
2. Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Terfermentasi (Alfiani, 2015)
Ubi jalar ditimbang sebanyak 1,5 kg, kemudian dikupas kulitnya. Ubi jalar yang sudah dikupas kemudian dipotong dengan ketebalan 0,5 cm. Kemudian direndam dalam wadah yang berisi air sebanyak 1500 ml dan ditutup dengan kain saring. Ubi jalar difermentasi selama 4 hari. Setelah difermentasi air hasil fermentasi dibuang dan ubi jalar dicuci, kemudian ditiriskan. Ubi jalar dikeringkan dengan sinar matahari hingga kering. Setelah kering ubi jalar dihaluskan menggunakan blender dan diayak dengan ayakkan 80 mesh. Lalu disimpan dalam plastik dan dimasukkan dalam stoples tertutup. Pati ubi jalar terfermentasi siap diaplikasikan.
3. Tahapan Aplikasi Pati Sagu dan Tepung Dalam Pembuatan Mi Basah (Tussa’diah, 2015)
Pati sagu yang sudah difermentasi ditimbang sebanyak 80 g, dan tepung substitusi sebanyak 20 g. Perbandingan pati dan tepung substitusi yaitu 80%:20%. Pati sagu kemudian diambil sebanyak 20% (16 g) untuk dijadikan gel. Setelah terbentuk gel, pati sagu dan tepung sisa yang sudah ditambahkan garam 2 g dan soda abu 1 ml diaduk bersama gel dengan menggunakan tangan. Lama pengadukkan antara 15-20 menit. Adonan diistrirahatkan selama 15
140 menit dalam keadaan dibungkus dengan plastik. Adonan dibentuk menjadi lembaran menggunakan ampia. Pembentukkan lembaran merupakan proses yang dilakukan untuk menghaluskan serat-serat pada adonan dan membentuk adonan menjadi lembaran. Kemudian adonan ditaburi tapioka secukupnya, kira-kira untaian-untaian mi tidak lengket satu sama lain pada saat dipotong menjadi untaian mi dengan menggunakan ampia dengan ketebalan 1,5 mm. Lembaran dipotong menjadi untaian benang-benang mi selanjutnya dilakukan perebusan mi dalam air mendidih selama 2 menit. Mi yang telah direbus diangkat dan didinginkan dengan air yang mengalir, selanjutnya dilumuri dengan minyak makan sebanyak 1 sendok makan dan mi siap untuk dianalisis.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Swelling Power (60oC dan 90oC) Pati Sagu dan Tepung Non Terigu
Swelling power adalah proses mengembangnya atau daya mengembang granula pati yang disebabkan banyaknya air yang terserap kedalam granula.
Pengembangan granula ini terjadi ketika granula pati dipanaskan dalam air. Swelling power 60oC pada penelitian ini berkisar antara 1,41-3,44 dengan rata-rata 2,38. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama fermentasi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai swelling power 600C, tapi berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap swelling power 900C. Nilai swelling power 900C pati sagu fermentasi berkisar antara 1,74-3,72 dengan dengan rata-rata 2,59.
Nilai swelling power 900C cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai swelling power 600C. Komponen amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam granula pati sangat mempengaruhi nilai swelling power dari pati. Wirakartakusumah dan Febriyanti (1994), menyatakan bahwa struktur semi kristal dari pati akan rusak dalam air panas dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak sehingga menyebabkan granula pati membengkak (mengembang). Pembengkakan granula pati terjadi ketika suspensi pati dipanaskan
dalam air, maka energi kinetik molekul- molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antar molekul pati didalam granula, sehingga air dapat masuk dalam butiran-butiran pati (Akbar dan Yuanita, 2014). Nilai swelling power 900C dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh lama fermentasi pati sagu dan tepung substitusi terhadap nilai swelling power 90oC (BNT0,05=0,34, KK=10,34 nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). F0=pati sagu tanpa fermentasi F1=fermentasi selama 7 hari, F2=
fermentasi selama 14 hari, F3=fermentasi selama 21 hari, S1=MOCAF, S2= Tepung Ubi Jalar Fermentasi, S3=Tepung Kacang Hijau.
Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan nilai swelling power setelah dilakukan proses fermentasi. Nilai swelling power 900C pada fermentasi 7 hari (F1) berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan fermentasi 21 hari (F3). Meningkatnya swelling power diduga karena terjadinya proses degradasi selama fermentasi. Hal ini sesuai dengan penyataan Kusumaningrum dan Sumardiono (2013), pati mengalami proses degradasi selama proses fermentasi sehingga rongga pati menjadi porous setelah proses pengeringan sehingga pati menyerap air lebih banyak dan menyebabkan granula pati membengkak atau mengembang sehingga swelling power naik. Kekuatan pembengkakan pada pati menggambarkan kemampuan pati berinteraksi dengan molekul air (Zubaidah dan Irawati, 2011 dalam Akbar dan Yuanita, 2014).
141 Solubility Pati Sagu dan Tepung Non Terigu
Solubility atau kelarutan dinyatakan sebagai persen berat pati yang larut dalam air. Kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Solubility pati dipengaruhi oleh suhu dan kandungan amilosa yang terkandung dalam granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka sifat pati akan semakin mudah larut.
Pada penelitian ini suhu pengukuran solubility yang digunakan adalah suhu 600C.
Nilai solubility berkisar antara 0,22%-0,64%
dengan rata-rata yaitu 0,38%. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P≤0,05) terhadap solubility pada suhu 600C. Hasil analisis solubility dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh lama fermentasi pati sagu dan tepung substitusi terhadap nilai solubility 60oC ( BNT0,05=0,07, KK= 35,03 nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). F0=pati sagu tanpa fermentasi F1=
fermentasi selama 7 hari, F2= fermentasi selama 14 hari, F3= fermentasi selama 21 hari, S1= MOCAF, S2 = tepung ubi jalar fermentasi, S3= tepung kacang hijau.
Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi pati sagu maka solubility cenderung menurun. Rendahnya nilai solubility diduga karena proses pemanasan yang belum maksimal karena suhu yang digunakan adalah 60oC. Amilosa adalah fraksi pati yang terlarut dalam air panas dan dapat terbebaskan (leaching) yang disebabkan karena pecahnya granula pada saat terjadinya proses gelatinisasi. Tingkat kelarutan akan semakin tinggi dengan banyaknya granula pati yang pecah. Menurut Haryanti dkk. (2014), amilosa yang sudah
terbentuk mengalami depolimerisasi pada pemanasan suhu tinggi sehingga amilosa memiliki bobot molekul rendah.
Viskositas Pati Sagu dan Tepung Non Terigu
Viskositas panas (80oC)
Viskositas merupakan resistensi atau ketidakmampuan bahan mengalir bila dikenai gaya (mengalami penegangan) atau gesekan internal dalam cairan dan merupakan suatu ukuran terhadap kecepatan aliran. Pada saat suspensi pati dipanaskan granula pati akan mengembang hingga mencapai suhu gelatinisasi.
Hasil dari pengukuran viskositas panas berkisar antara 113,9-629,9cP dengan rata- rata 400,06 cP. Sidik ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap nilai viskositas panas pati sagu fermentasi dan tepung substitusi. Nilai viskositas panas cenderung menurun dengan semakin lama fermentasi. Hasil analisis viskositas panas dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh lama fermentasi pati sagu dan tepung substitusi terhadap nilai viskositas panas 80oC (BNT0,05 = 40,85 KK= 15,16% nilai yang dikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). F0=pati sagu tanpa fermentasi F1=fermentasi selama 7 hari, F2=fermentasi selama 14 hari, F3=fermentasi selama 21 hari, S1=MOCAF, S2=Tepung Ubi Jalar Fermentasi, S3=Tepung Kacang Hijau.
Gambar 3 menunjukkan perbedaan lama fermentasi pati sagu menyebabkan terjadinya penurunan nilai viskositas panas.
Nilai viskositas panas pati sagu fermentasi terendah pada penelitian ini terjadi pada fermentasi selama 14 hari. Hasil penelitian
142 ini berbanding terbalik dengan pernyataan Anggraeni dan Yuwono (2014), dimana semakin lama fermentasi maka viskositas akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin lama perendaman maka granula pati akan mengalami pembengkakan karena terjadinya penyerapan air. Pembengkakan granula pati menyebabkan pati lebih mudah tergelatinisasi sehingga meningkatnya nilai viskositas.
Viskositas Dingin (26oC)
Viskositas dingin dari pati sagu fermentasi pada penelitian ini berkisar antara 305,90-1982,00 cP dengan nilai rata- rata 1080,76 cP. Sidik ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap nilai viskositas dingin.
Hasil analisis viskositas dingin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh lama fermentasi pati sagu dan tepung substitusi terhadap nilai viskositas dingin 26oC (BNT0,05=63,76, KK=9,50 % nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). F0=pati sagu tanpa fermentasi F1=fermentasi selama 7 hari, F2= fermentasi selama 14 hari, F3=fermentasi selama 21 hari, S1=MOCAF, S2= Tepung Ubi Jalar Fermentasi, S3=Tepung Kacang Hijau.
Gambar 4 menunjukkan nilai viskositas dingin cenderung lebih tinggi dari masing- masing viskositas panasnya (Gambar 3) kenaikkan nilai viskositas ketika pati didinginkan disebabkan oleh retrogadasi pati. Menurut Singh dkk. (2009), selama proses pendinginan molekul antar pati terutama amilosa akan membentuk struktur gel dan nilai viskositas meningkat.
Peningkatan nilai viskositas saat pendinginan menunjukkan kecenderungan berkumpulnya kembali pati yang
merefleksikan kecenderungan produk untuk teretrogradasi.
Kadar Air Pati Sagu dan Tepung Non Terigu
Kadar air pati sagu fermentasi dan tepung substitusi berkisar antara 11,10-14,20%
dengan rata-rata 13,17%. Sidik ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P≤0,05) terhadap kadar air. Hasil analisis kadar air dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh lama fermentasi pati sagu dan tepung substitusi terhadap nilai kadar air (BNT0,05 = 0,59 KK= 5,86 nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). F1=fermentasi selama 7 hari, F2=fermentasi selama 14 hari, F3=fermentasi selama 21 hari, S1=MOCAF, S2=Tepung Ubi Jalar Fermentasi, S3=Tepung Kacang Hijau.
Gambar 5 menunjukkan kadar air cenderung menurun pada hari ke 14 (F2) fermentasi dan kembali naik pada hari ke 21 (F3). Hal ini diduga selama proses fermentasi berlangsung banyak air terikat yang bebas.
Naiknya kadar air pada hari ke 21 (F3) diduga karena lama proses fermentasi pati sagu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widyasaputra dan Yuwono (2013), selama perendaman bahan menyerap air lebih banyak sehingga kadar airnya meningkat.
Kadar air pati sagu fermentasi telah memenuhi nilai SNI syarat mutu pati sagu (SNI 01-3729-1995) yaitu maksimal 13%.
Uji Putus Mi Basah
Nilai uji putus mi basah pada penelitian ini berkisar antara 0,15-0,45 cm dengan nilai rata-rata 0,31 cm. Hasil sidik ragam menunjukkan lama fermentasi berpengaruh nyata (P≤0,05) sedangkan substitusi pati dan tepung berpengaruh sangat nyata (P≤0,01)
143 Gambar 6. Pengaruh lama fermentasi pati sagu
terhadap uji putus mi basah (BNT0,05 = 0,05 KK= 20,05 nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). F1=fermentasi selama 7 hari, F2=fermentasi selama 14 hari, F3=
fermentasi selama 21 hari.
Gambar 6 menunjukkan semakin lama fermentasi nilai uji putus semakin menurun.
Nilai uji putus tertinggi diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 7 hari. Nilai uji putus yang semakin menurun dengan semakin lamanya fermentasi diduga berkaitan dengan nilai swelling power (pengembangan) yang meningkat sehingga nilai uji putus mi menurun. Menurut Chelule dkk (2010), waktu fermentasi yang lama menyebabkan terdegradasinya makromolekul sehingga menghasilkan molekul-molekul sederhana yang lebih banyak. Makromolekul yang semula memiliki sifat kompak menjadi berporous sehingga lebih mudah menyerap air.
Gambar 7. Pengaruh substitusi tepung terhadap uji putus mi basah (BNT0,05=0,05, KK=20,05 nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). S1=MOCAF, S2=Tepung Ubi Jalar Fermentasi, S3=Tepung Kacang Hijau.
penambahan tepung kacang hijau.
Penambahan tepung kacang hijau (S3) menjadikan semakin panjangnya mi sebelum putus, dibandingkan dengan MOCAF dan tepung ubi jalar fermentasi. Hal ini diduga karena kandungan protein yang tinggi pada kacang hijau. Kadar protein MOCAF sebesar 0,98 (Rosmeri dan Monika, 2013), kadar protein ubi jalar fermentasi sebesar 3,29 (Dewi, 2014 dalam Novianti, 2016), dan kadar protein kacang hijau sebesar 23,53 (Ladamay dan Yuwono, 2014). Semakin tinggi kadar protein pada tepung maka semakin kuat ikatan antar komponen pati dan protein, sehingga daya putus mi akan meningkat (Ratnaningsih dkk., 2010 dalam Diniyati, 2012). Daya putus yang tinggi pada mi basah berbahan baku terigu sebabkan oleh gluten. Protein terigu (gluten) akan membentuk struktur utama mi. Gluten merupakan campuran antar dua jenis protein pada tepung terigu yaitu glutenin dan gliadin.
Glutenin memberi sifat yang tegar/kokoh sedangkan gliadin memberi sifat yang lengket sehingga mampu memerangkap gas yang tebentuk selama pengembangan adonan. Sifat spesifik tersebut tidak dimiliki oleh sagu, tepung ubi jalar atau kacang hijau (Diniyati, 2012).
Cooking Loss Mi Basah
Cooking loss adalah presentase kehilangan padatan yang terjadi akibat pemasakan, hal ini terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas dan tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan pada air rebusan.
Hasil analis menunjukkan bahwa cooking loss mi basah berkisar antara 1,95%-2,42%
dengan rata-rata 2,15%. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan lama fermentasi dan substitusi tepung berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap cooking loss mi basah.
Nilai cooking loss dari penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai cooking loss mi basah hasil penelitian Tussa’diah (2015), dimana nilai cooking lossnya diperoleh sebesar 5,15% pada fermentasi alami 20 hari. Nilai cooking loss
144 menghasilkan mi yang memiliki tekstur yang homogen (Yuliani dkk., 2015). Nilai swelling power pati dan tepung juga dapat mempengaruhi peningkatan dan penurunan cooking loss (Vignaux, 2005 dalam Yuliani dkk., 2015). Pecahnya granula pati yang mengalami pengembangan atau pembengkakan (swelling power) yang menyebabkan molekul pati linear rantai pendek keluar dari granula dan masuk kedalam air sehingga menyebabkan air rebusan menjadi keruh.
Kadar Air Mi Basah
Nilai kadar air mi basah pada penelitian ini berkisar antara 55,90-74,30% dengan rata- rata 63,76%. Hasil sidik ragam kadar air menunjukan lama fermentasi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) sedangkan tepung substitusi berpengaruh nyata (P≤0,05) terhadap kadar air mi basah. Hasil analisis kadar air mi basah dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengaruh tepung substitusi terhadap kadar air mi basah (BNT0,05 = 4,61 KK= 9,4145 nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata). S1= MOCAF, S2 = Tepung Ubi Jalar Fermentasi, S3= Tepung Kacang Hijau.
Gambar 8 menunjukkan kadar air mi basah dengan substitusi tepung MOCAF adalah kadar air terendah dibandingkan tepung ubi jalar fermentasi dan tepung kacang hijau yang tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Kadar air pada penelitian ini sudah memenuhi SNI mi basah (SNI 2987-2015) yaitu maksimal 65% (BSN, 2015). Amilosa mempunyai struktur yang lurus dan rapat sehingga mudah menyerap air dan mudah untuk melepaskan air yang terdapat dalam bahan.
panas, viskositas dingin, pati sagu cukup tinggi pada fermentasi 7 hari (T1), menurun (P≤0,05) pada 14 hari (T2) dan kembali tinggi pada fermentasi 21 hari (T3).
Fermentasi pati sagu selama 7 hari menghasilkan mi basah dengan uji putus dan elastisitas mi basah yang lebih tinggi (P≤0,05) dari mi basah yang mengunakan pati sagu fermentasi 14 dan 21 hari (T2 dan T3).
Mi basah yang terbaik diperoleh pada lama fermentasi pati sagu 7 hari dengan substitusi tepung ubi jalar kuning terfermentasi (F1S2) dengan karakteristik nilai cooking loss 2,42%, uji putus 0,35cm, kadar air 61,70%, kadar abu 0,62%,
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M.R. dan Yuanita. 2014. Pengaruh Lama Perendaman Na2S2O5 dan Fermentasi Ragi Tape Terhadap Sifat Fisik Kimia Tepung Jagung. J. Pangan dan Agroindustri 2(2):91-102.
Alfiani, D. 2015. Pembuatan Mie Basah Dari Tepung Ubi Jalar Kuning Termodifikasi Sebagai Subsitusi Terigu. [Skripsi]. Teknologi Hasil Pertanian.
Unsyiah, Aceh.
Anggraeni, Y.P. dan S.S. Yuwono. 2014. Pengaruh Fermentasi Alami Pada Chips Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Terhadap Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar Terfermentasi. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 2 (2):59-69.
Arpi, N., A. Patria, N.E. Husna dan M. Novita. 2015.
Pemafaatan Pangan Lokal Ubi Kayu Termodifikasi Secara Fermentasi Untuk Substitusi Terigu Dalam Pembuatan Mie Basah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Riset dan Standarisasi Industri V. Kementrian Perindustrian RI Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan Standarisasi Industri. Banda Aceh.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2015. Standar Nasional Indonesia. Mi Basah. SNI 2987-2015, Jakarta).
Chelule, P.K., M.P. Mokoena, dan N. Ggaleni. 2010..
Advantages of Traditional Lactic Acid Bacteria Fermentation of Food in Africa. Current Research, Technology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biothecnology 2: 1160- 1167.
Diniyati, B. 2012. Kadar Betakaroten, Protein, Tingkat, Kekerasan dan Mutu Organoleptik Mie Instan Dengan Substitusi Ubi Jalar Merah (Ipomoea batatas) dan Kacang Hijau (Vigna radiata). Artikel Penelitian.
Falkutas Kedokteran. Universitas Diponegoro, Semarang.
145 Efendi, P.J. 2010. Kajian Karakteristik Fisik Mocaf
(Modified Cassava Flour) Dari Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Varietas Malang-I dan Varietas Mentega Dengan Perlakuan Lama Fermentasi [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Haryanti, P., R. Setyawati, dan R. Wicaksono. 2014.
Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Suspensi Pati Serta Konsentrasi Butanol Terhadap Karakteristik Fisikokimia Pati Tinggi Amilosa dari Tapioka.
Jurnal Agritech 34 (3).
Kusumaningrum dan Sumardiono. 2013. Upaya Perbaikan Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi Sawut Ubi Kayu Dengan Starter Bakteri Asam Laktat Lactobacillus casei dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Baku Snack Tradisional Pilus dan Roti Muffin. Universitas Diponegoro, Semarang.
Ladamay, N.A. dan S.S. Yuwono. 2014. Pemanfaatan Bahan Lokal Dalam Pembuatan Foodbars (Kajian Rasio Tapioka:Tepung Kacang Hijau dan Proporsi CMC). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya, Malang. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (10):(67-78).
Novianti, D. 2016. Pengaruh Jenis Fermentasi Terhadap Karakteristik Tepung Komposit Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) Sebagai Bahan Baku Produk Mie Kering. [Tesis]. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Rosmeri, V.I. dan B.N. Monika. 2013. Pemanfaatan Tepung Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan Tepung MOCAF (Modified Cassava Flour) Sebagai
Kimia dan Industri, 2 (2):246-256
Singh, N., Bendi, R., Garg, R.,Garg, M. dan Singh, J. 2009.
Physico-chemical, thermal and pasting properties of fractions obtained during three successive reduction milling of different corn types. J. Food Chemistry 113(1):71-77.
Tussa’diah, H. 2015. Modifikasi Pati Sagu Dengan Fermentasi Alami dan Baktri Asam Laktat (Lactobacillus plantarum) Serta Aplikasinya Pada Pembuatan Mie Basah [Skripsi]. Teknologi Hasil Pertanian, Unsyiah. Banda Aceh.
Widyasaputra, R. dan S.S. Yuwono. 2013. Pengaruh Fermentasi Alami Terhadap Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) Terfermentasi. Trubus Agrisarana, Surabaya. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 1 (1):78-89.
Wirakartakusumah, M.A. dan Febriyanti, T. 1994. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Ubi Kayu. Seri Penelitian Pangan Lanjut. 1: 95-110.
Yuliani, H., N.D. Yuliana, dan S. Budijanto. 2015.
Fomulasi Mi Kering Sagu Dengan Subsitusi Tepung Kacang Hijau. Fakultas Teknologi Pertanian. ITB, Bogor. Jurnal Agritech, 35(4):387- 395.
Yusmarini., U. Pato, S. Anirwan, dan H. Siregar. 2013.
Mie Instan Berbasis Pati Sagu dan Ikan Patin Serta Pendugaan Umur Simpan Dengan Metode Akselerasi.
Jurnal Teknologi dan Industri Indonesia, 5 (2):25-33.