i
STANDARISASI EKSTRAK ETANOL KULIT KAYU BANYURU (Pterospermum celebiqum Miq.) DENGAN
PENETAPAN PARAMETER SPESIFIK
RITA SARI N111 10 126
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
ii
STANDARISASI EKSTRAK ETANOL KULIT KAYU BANYURU (Pterospermum celebiqum Miq.) DENGAN
PENETAPAN PARAMETER SPESIFIK
SKRIPSI
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
RITA SARI N111 10 126
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iii
iv
iv
v
PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Rita Sari
Nim : N111 10 126
Judul : “Standarisasi Ekstrak Etanol Kulit Kayu Banyuru (Pterospermum celebiqum Miq.) Dengan Penetapan Parameter Spesifik”
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini adalah karya saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, 11 Agustus 2017 Yang menyatakan,
Rita Sari
vi
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan, tak lupa pula penulis kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini banyak rintangan yang dihadapi namun rintangan dan hambatan dapat terlewati berkat dukungan, doa dan motivasi yang diberikan oleh orang-orang terdekat, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yakni Bapak H. Abdul Kadir dan Ibunda Hj. Terang karena atas pengobanannya selama ini penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini dan pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
2. Ibu Prof. Dr. Asnah Marzuki, M.Si., Apt., Bapak Subehan, S.Si., M.Pharm.Sc, Ph.D., Apt., dan Bapak Ismail, S.Si., M.Si., Apt atas bimbingannya selama ini sebagai dosen pembimbing yang meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Tadjuddin Naid, M.Sc, Apt., selaku penasehat akademik pertama, dan Penggantinya yaitu Bapak Firzan Nainu,
vii
S.Si, M.Biomed.Sc., Ph.D., Apt selaku penasehat akademik penulis yang selalu memberikan nasehat, dan semangat yang membangun selama penulis kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Kepada Kedua Orang Tua saya, dan keluarga saya yang senantiasa mendukung saya, memberikan cinta kasih yang tulus dari segi materil dan moril
6. Kak Dewi Purnamasari Laela, S.Si., Sahabat saya Ananda Lisda Putri, S.Si., adik Yayu Permatasari Ahyar, S.Si., teman angkatan saya Rudi Arfiansyah, S.Si., Apt., Muh.Aswar, S.Si., Apt., Ridha Sari Marzuki., S.Si., Apt., adik Budiman Yasir, S.Si., adik Muh.
Aldila Satria, S.Si., adik Syukur, S.Si., dan adik Firda, yang memberi dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian penulis
7. Korps Asisten Fitokimia juga penulis haturkan rasa terima kasih atas bantuan selama penulis melakukan penelitian
8. Keluarga besar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Farmasi yang senantiasa memberi dukugan dan motivasi kepada penulis
9. Saudara-saudaraku SOLUT10 angkatan 2010 yang senantiasa memberika dukungan, bantuan dan doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
viii
viii
10. Teman-temanku Tiara Ayu Permata, S.Si., Asti Febrianti, S.Si., Rahmita Burhamzah, S.Si., Apt., Suharpiami, S.Si., Apt., Dian Ekawati, S.Si., Apt., dan adik Mieke Tyara, S.Si., Apt., Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya selama ini.
11. Teman-teman KKN-Reguler Gelombang 90, Desa Malimpung, Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang: Fachri, Mirza, Wahyu, Kia, dan Tayuti
12. Semua pihak yang senantiasa membantu penulis dalam melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan pada penyusunan, dikarenakan keterbatasan dan kemampuan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat belajar dari kekurangan tersebut, penulis berharap karya kecil ini dapat berguna bagi orang lain, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanyanya.
Makassar , 11 Agustus 2017
Penulis
ix ABSTRAK
Standardisasi mutu spesifik ekstrak etanol kulit kayu Banyuru (Pterospermum celebicum Miq.) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan standar dengan parameter spesifik pada ekstrak etanol kulit kayu Banyuru. Sampel diperoleh dari daerah Bantaeng, Parepare, dan Malino. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit kayu Banyuru memiliki parameter spesifik sebagai berikut: hasil organoleptik ekstrak adalah ekstrak kental yang berwarna coklat kehitaman, tidak berbau, dan berasa pahit. Kelarutan senyawa dalam etanol >
38,33±4,71%, dan kelarutan senyawa dalam air >39,16±8,81%.
Penentuan profil KLT menggunakan fase gerak kloroform : aseton :asam formiat (4:1:1) yang dibandingkan dengan rutin memperoleh nilai Rf 0,58 – 0,60.Kadar Kandungan Flavanoid total (Pembandingnya adalah Kuersetin) yang diukur dengan alat instrument spektrofotometer dengan panjang gelombang 431 nm menunjukan bahwa kadar Kuersetin dari ekstrak
>1,40 %.
Kata Kunci : Banyuru, Flavonoid, Pterospermum celebicum Miq, Standarisasi Spesifik
x
x ABSTRACT
Specific quality standarization of ethanol extract of Banyur cortex (Pterospermum celebicum Miq.) was performed. The purpose of this study is to determine standard with specific parameter on ethanol extract of Banyuru cortex. Samples were obtained from Bantaeng, Parepare, and Malino. The result shows that ethanol extract of Banyuru cortex has specific parameter such as: organoleptic result of the extract is viscous dark brown extract, odorless, and bitter. Compund solubility in ethanol
>38,33±4,71 %, and compund solubility in water >39,16±8,81%. TLC profile determination using chloroform: aceton:formiac acid (4:1:1) was compared to Rutin with Rf 0,58 – 0,60. Total Flavonoids consentration (Quersetine as comparing substance) was measured by spectrophotometer at wave length 431 nm showed that Quersetine from the extract > 1,403%.
.
Keywords : Banyuru, Flavonoids, Pterospermum celebicum Miq , Specific Standarization
xi DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
II.1 Uraian Tanaman ... 3
II.1.1 Klasifikasi Banyuru... 3
II.1.2 Klasifikasi Tanaman ... 3
II.1.3 Nama Daerah ... 3
II.1.4 Morfologi Tanaman ... 4
II.1.5 Kandungan Kimia ... 4
II.1.6 Kegunaan Tanaman ... 4
II.2 Standarisasi ... 4
II.2.1 Aspek Parameter Spesifik ... 5
xii
xii
II.2.2 Standardisasi Obat Herbal ... 6
II.2.3 Kromatografi Lapis Tipis………... 7
II.3. Spektrofotometri ... 8
II.3.1 Metode Ekstraksi Bahan Alam ... 11
II.3.2 Definisi Ekstrak ... 11
II.3.3 Definisi Ekstraksi ... 12
II.4. Metode Ekstraksi ... 14
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN ... 19
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan Penelitian ... 19
III.2 Metode Kerja ... 19
III.2.1 Pengambilan Sampel ... 19
III.2.2 Pengolahan Sampel ... 19
III.3 Penetapan Parameter Spesifik ekstrak ... 20
III.3.1 Identitas ekstrak ... 20
III.3.1.2 Uji Organoleptik ... 20
III.3.2 Penetapan Kadar Senyawa Larut Air………... 20
III.3.3 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol... 21
III.4 Penentuan Profil Kromatogram ... 21
III.5. Penetapan Kadar Flavanoid Total ... 22
III.5.2 Pembuatan Kurva Baku Kuersetin ... 22
III.5.3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kuersetin ... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
IV.1 Standarisasi ... 24
xiii
IV.1.1 Penetapan Parameter Spesifik Ekstrak ... 26 IV.1.2 Identitas ekstrak ... 26 IV.2. Proses Ekstraksi Menggunakan Metode Maserasi ... 27 IV.2.1 Parameter Kadar Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu .. . 28 IV.2.2 Parameter Kadar Flavanoid Total ... 29 IV.3 Pola Kromatogram ... 31
xiv
xiv DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil Rendamen Ekstrak Kulit Kayu Banyuru ... 27 2. Hasil Penetapan Parameter Kadar Senyawa Larut Air &
Etanol... ... 28 3. Hasil Penetapan Kadar Flavanoid total dengan UV-VIS
Spektrofotometer ... 29 4. Nilai Rf profil kromatografi lapis tipis dari ekstrak kulit kayu
banyuru pada UV 254 dan UV 366 dan Pereaksi sitroborat ... 31 5. Data Penimbangan dan Hasil Perhitungan Kadar Sari Larut
Etanol ... 39 6. Data Penimbangan dan Hasil Perhitungan Kadar Sari Larut
Air ... 40 7. Data Pengukuran Kadar Kandungan Senyawa ... 42 8. Hasil Perhitungan Kadar Kuersetin ... 42
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram skematis Spektrofotometer UV-Vis ... 11
2. Profil Kromatogram ... 31
3. Struktur senyawa kimia kuersetin&rutin ……… 32
4. Lamda Maksimum Baku Kuersetin ... 41
5. Grafik Kurva Baku Kuersetin ... 41
6. Pohon Banyuru (Pterospermum celebiqum Miq.) ……… 46
7. Kulit kayu Banyuru yang dipotong kecil-kecil……….. 46
8. Proses Maserasi ………. 46
9. Hasil Maserat ……….. 47
10. Kadar senyawa larut etanol ……… 47
11. Kadar senyawa larut air ………... 47
12. Rotary evrotavapor (Buchii®) ……… 47
13. Spektrofotometer UV-vis (Shimadzu®) ……… 48
14. Waterbath ……… 48
xvi
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema kerja ... 38
2. Perhitungan Kadar Sari Larut Etanol ... 39
3. Perhitungan Kadar Sari Larut Air……….. 40
4. Perhitungan Kadar Kuersetin……… 42
5. Determinasi tumbuhan ... 44
6. Kunci Determinasi tumbuhan ... .45
7. Gambar Penelitian ... 46
1 BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tumbuhan Banyuru (Pterospermum celebicum Miq.) dalam bahasa daerah disebut Banyoro merupakan tumbuhan khas daerah sulawesi.
Tumbuhan ini adalah sejenis pohon penghasil kayu yang berkualitas baik, yang digunakan sebagai bahan pembuatan furniture, kapal, kertas, dan dapat bertahan pada serangan rayap (1).
Selain tumbuhan khas daerah Sulawesi, Banyuru (Pterospermum celebicum Miq.) termasuk tumbuhan yang dilindungi oleh pemerintah,
seperti di daerah Sulawesi Selatan di bagian kota Parepare yang terdapat di daerah kawasan hutan lindung dan hanya terdapat jumlah yang sedikit.
Telah dilakukan penelitian mengenai pemeriksaan farmakognostik, penapisan komponen kimia secara kromatografi lapis tipis, pada Banyuru (P. celebicum Miq.), dan telah dilaporkan bahwa pada bagian kulit batang, dan daun ditemukan adanya senyawa tanin, katekin, fenol dan steroid (2).
Penelitian sebelumnya telah dilaporkan pula bahwa bagian kulit batang banyak terdapat senyawa antioksidan yang kuat (3). Kulit batang Pterospermum digunakan sebagai obat disentri, sakit gigi, bisul dan
keseleo (4). Maka diperlukan serangkaian standarisasi agar manfaat dari senyawa tumbuhan ini dapat diaplikasikan pada produk herbal.
Standardisasi bahan baku obat dari bahan alam seperti ekstrak tanaman
2
2
obat adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian.
Mutu artinya memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian pada umumnya (5).
Standardisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam Tujuan dari standardisasi sendiri adalah menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal, menjaga senyawa-senyawa aktif selalu konsisten terukur antara perlakuan, menjaga keamanan dan stabilitas ekstrak/bentuk sedian terkait dengan efikasi dan keamanan pada konsumen, dan meningkatkan nilai ekonomi (6).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan parameter spesifik dari kulit kayu banyuru. Hasil yang diperoleh meliputi identitas ekstrak, sifat organoleptik ekstrak, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar sari larut air, profil kromatografi ekstrak, penetapan kadar zat aktif- kadar flavanoid total yang dapat dijadikan acuan pada pembuatan Farmakope Herbal Indonesia.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman
II.I.1 Klasifikasi Banyuru (7) Dunia : Plantae
Devisi : Magnoliophyta Subdivisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Malvales Suku : Sterculiaceae Marga : Pterospermum
Jenis : Pterospermum celebicum Miq.
II.1.2 Klasifikasi Tanaman (8) Suku : Sterculiaceae Marga : Pterospermum
Jenis : Pterospermum sp. (Lampiran 4) II.1.3 Nama Daerah
Nama daerah banyuru antara lain: bayur, cayur (Sunda), bayur, wayur, wadang, walang (Jawa), phenjur (Medan) bolang (Bali) buli, banyuru (Sulawesi) damarsala (NTT), teunggi leuyan (Kalimantan) (7).
4
4 II.1.4 Morfologi Tanaman
Pohon kayu yang tingginya mencapai 50 m dan berdiameter 1 m, daun bersirip tunggal, berbentuk bulat telur, dan berwarna cokelat merah karat pada permukaan bawah, bunganya berwarna merah kecoklatan berbulu, buahnya seperti tabung melancip pada ujungnya dan bersudut lima (9).
II.1.5 Kandungan Kimia
Senyawa kimia yang terkandung dalam kulit kayu banyuru yaitu senyawa tannin, katekin, fenol dan steroid. Senyawa tersebut dapat menghambat bakteri, menangkal radikal bebas, dan pembentukan hormon ditubuh (2).
II.1.6 Kegunaan Tanaman
Tumbuhan ini digunakan untuk mengobati gatal-gatal, bisul, jerawat, masuk angin dan disentri (9).
II.2 Standardisasi
Standardisasi dalam ilmu kefarmasian adalah serangkaian parameter atau prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (Kimia, Biologi dan Farmasi) termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas produk kefarmasian umumnya. Pengertian standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu (10).
5
Syarat mutu adalah semua paparan yang tertera dalam monografi merupakan syarat mutu simplisia dan ekstrak yang bersangkutan. Suatu simplisia dan ekstrak tidak dapat diketahui bermutu FHI (Farmakope Herbal Indonesia) jika tidak memenuhi syarat mutu tersebut. Syarat mutu ini berlaku bagi simplisia dan ekstrak dengan tujuan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, tidak berlaku untuk keperluan lain (11).
II.2.1 Aspek Parameter Spesifik
Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis.
Parameter spesifik meliputi (11,12) :
1. Identitas meliputi: deskripsi tata nama, nama simplisia (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dan lain-lain) dan nama Indonesia tumbuhan.
2. Organoleptis meliputi: penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana se- objektif mungkin.
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu meliputi: melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah kandungan senyawa secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan
6
6
dan metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa.
4. Uji kandungan kimia meliputi : a. Pola kromatogram
Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT dan KCKT).
b. Kadar kandungan kimia tertentu
Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi .
II.2.2 Standardisasi Obat Herbal
Standardisasi obat herbal merupakan rangkaian proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi bersadarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tumbuhan obat herbal. Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian
7
memenuhi syarat standar (kimia,biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu.Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut (10).
II.2.2 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu contoh kromatografi planar disamping kromatografi kertas.KLT sering digunakan untuk analisis obat herbal (12).
Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmallof dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, yang mana fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembanagan secara menurun (descending) (13).
Pada lempeng tipis, cuplikan biasa ditotolkan sebagai bercak bulat atau garis 1,5-2 cm dari tepi bawah, bercak sebaiknya berukuran sama dan mempunyai diameter 3-6 mm. Penotolan dapat dilakukan dengan
8
8
mikropipet, biasanya diperlukan 1-20 mikroliter. Volume lebih dari itu dapat ditotolkan bertahap dalam bagian-bagian kecil dengan pengeringan antara penotolan itu (14).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf (Retardation factor). Nilai Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak yang ditempuh senyawa dengan jarak yang ditempuh pelarut pengembang sedangkan untuk membandingkan Rf analit dengan Rf baku pembanding maka dikenal istilah Rx (Faktor Retensi Relatif) (14).
II.3. Spektrofotometri
Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dengan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorpsi, kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer panjang adalah gelombang dari sinar putih lebih terseleksi, diperoleh dengan penguraiseperti prisma, gratingatau celah optis, suatu spektrofotometer tersusun dari spektrum
tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan atau blangko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun perbandingan. Spektra UV-Vis dapat
9
digunakan sebagai informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
1. Aspek kualitatif
Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/ analisis kualitatif suatu senyawa tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut yang kesemuanya itu dapat diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan.
2. Aspek kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intenitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya.
Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang perdetik. Serapan dapat terjadi jika foton/ radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami
10
10
penurunan dengan adanya penghamburan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (15).
Teknik spektroskopi pada daerah ultraviolet dan sinar tampak biasa disebut spektroskopi UV-Vis. Dari spektrum absorpsi dapat diketahui panjang gelombang dengan absorbans- maksimum dari suatu unsur atau senyawa. Konsentrasi suatu unsur atau senyawa juga dengan mudah dapat dihitung dari kurva standar yang diukur pada panjang gelombang dengan absorbans maksimum. Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia. Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik sebuah molekul, artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan electronelectron itu mengatasi kekangan inti dan pindah keluar ke orbital baru yang lebih tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih
tinggi (15).
Suatu pernyataan dalam suatu penetapan kadar atau pengujian mengenai panjang gelombang serapan maksimum mengandung implikasi bahwa maksimum tersebut tepat pada atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditetapkan (17).
11
Suatu spektrofotometri UV-Vis tersusun dari sumber spectrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbs antara sampel dan blangko ataupun pembanding (18).
Gambar 1.1 Diagram skematis Spektrofotometer UV-Vis (16).
II.3.1 Metode Ekstraksi Bahan Alam II.3.2 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (17). Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%.
Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (19).
12
12
Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. Sedangkan faktor kimia yaitu: faktor internal (Jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida) .Selain faktor yang mempengaruhi ekstrak, ada faktor penentu mutu ekstrak yang terdiri dari beberapa aspek, yaitu; kesahihan tanaman, genetik, lingkungan tempat tumbuh, penambahan bahan pendukung pertumbuhan, waktu panen, penangan pasca panen, teknologi ekstraksi, teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak, dan penyimpanan ekstrak (19).
II.3.3 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak, merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkandan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yg telah ditetapkan. Pengetahuan mengenai golongan senyawa aktif yang
13
dikandung dalam simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (20).
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering (penyerbukan). Penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas. Simplisia yang telah halus akan memberikan kesulitan pada proses penyarian. Kemudian dilakukan pembasahan serbuk.
Pembasahan serbuk sebelum dilakukan penyarian dimaksudkan memberikan kesempatan sebesar -besarnya kepada cairan penyari memasuki seluruh pori - pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya (21).
Penyarian simplisia dengan air dilakukan dengan cara maserasi,perkolasi, atau penyeduhan dengan air mendidih. Penyarian dengan campuran etanol dan air dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi (22). Zat - zat yang tersari dalam sel – sel bagian tumbuhan, umumnya dalam keadaan kering. Cairan penyari masuk kedalam sel-sel dari bahan dan zat yang tersari larut dalam cairan penyari, setelah itu larutan yang mengandung zat yang tersari dipisahkan dari simplisia yang
14
14
disari. Penyarian akan lebih cepat terjadi apabila bahan dasar dalam keadaan halus. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan dan biota laut dengan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi ini berdasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk menembus dinding sel dan masuk dalam rongga sel yang mengandung zat aktif (22).
Penyarian atau ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat pokok yang di inginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan bahan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut . Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan -lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan mengandung zat tersebut. Proses penyarian dapat dipisahkan menjadi pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian, dan pemekatan (23).
II.4. Metode Ekstraksi
Ada beberapa metode ekstraksi bahan obat alam yang dapat Dilakukan dengan menggunakan pelarut tertentu yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Metode ekstraksi tersebut antara lain, yaitu (22) : 1. Cara Dingin
a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
15
b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/
penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang tidak meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir diuapkan pada suhu ± 50OC.
Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu (23).
2. Cara Panas
a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga proses ekstraksi sempurna.
Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (23).
b. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
16
16
ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih (23).
c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50OC.
d. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-98OC selama 15-20 menit di penangas air dapat berupa bejana infus tercelup dengan penangas air mendidih.
e. Ultrasonik adalah metode maserasi yang dimodifikasi dimana ekstraksi difasilitasi dengan menggunakan ultrasound (pulsa frekuensi tinggi, 20 kHz). Ekstrak ditempatkan dalam botol. Vial ditempatkan dalam penangas ultrasonik, dan USG digunakan untuk menginduksi mekanik pada sel melalui produksi kavitasi dalam sampel. Kerusakan seluler meningkat pelarutan metabolit dalam ekstraksi pelarut dan meningkatkan hasil. Efisiensi ekstraksi tergantung pada frekuensi instrumen, dan panjang dan suhu sonikasi. Ultrasonication adalah jarang diterapkan untuk ekstraksi
17
skala besar; itu adalah sebagian besar digunakan untuk awal ekstraksi dari sejumlah kecil bahan. Hal ini umumnya diterapkan untuk memfasilitasi ekstraksi metabolit intraseluler dari kultur sel tanaman. Penggunaan ultrasonik pada dasarnya menggunakan prinsip dasar yaitu dengan dengan mengamati sifat akustik gelombang ultrasonik yang dirambatkan melalui medium yang dilewati. Pada saat gelombang merambat, medium yang dilewatinya akan mengalami getaran. Getaran akan memberikan pengadukan yang intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan meningkatkan proses ektraksi. Keuntungan metode ekstraksi dengan bantuan ultrasonic: Mempercepat waktu ekstraksi Lebih efisien dalam penggunaan pelarut.Tidak ada kemungkinan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi menguap sampai kering.
Berbeda halnya apabila menggunakan hot plate, terutama apabila menggunakan sedikit pelarut dalam proses peleburan atau pelarutan. Aman digunakan karena prosesnya tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan pada struktur kimia, partikel, dan senyawa-senyawa bahan yang digunakan. Meningkatkan ekstraksi lipid dan protein dari biji tanaman, seperti kedelai (misalnya tepung kedelai atau yg dihilangkan lemak) atau bibit minyak lainnya.
Kekurangan dari metode ekstraksi dengan bantuan ultrasonic:
18
18
Membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena relatif mahal.
Membutuhkan curing pada prosesnya (23).
Keuntungan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang Digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugiannya pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Etanol merupakan cairanyang mudah menguap, jernih tidak berwarna, bau khas dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78OC mudah terbakar. Pelarutan bercampur dengan air dan paktis bercampur dengan semua pelarut organik. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisa dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, penyari ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dandiserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Kemudian endapan dipisahkan.Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti alam dan lain-lain (23)