• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai implementasi kebijakan alih fungsi alah pertanian pernah dilakukan Harjono (2005) menganalisis mengenai Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan di Kabupaten Kendal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi mengenai implementasi kebijakan pengendalian konversi lahan di Kabupaten Kendal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah formative evaluation dengan mengkaji produk hukum mengenai konversi lahan pertanian, kinerja panitia pertimbangan izin perubahan tanah, dan perilaku masyarakat dalam mengonversi lahan pertanian. Penelitian ini mendapatkan hasil yang menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian terjadi karena tidak adanya sanksi yang jelas bagi pelanggar, kurangnya komitmen panitia pertimbangan izin perubahan tanah dalam menindak pelanggar dikarenakan alasan kemanusiaan, serta perilaku masyarakat dalam mengonversi lahan pertanian tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Studi lain yang pernah dilakukan oleh Handari (2012) menganalisis Implementasi Kebijakan Perlindungan Pertanian Lahan Pangan di Kabupaten Magelang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta strategi pencapaiannya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan menggunakan metode campuran (mixed methods). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Magelang sampai pada tahap identifikasi lokasi, yang mana menyebabkan variabel dan indikator penelitian tidak berpengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Riset serupa juga dilakukan oleh Putra (2015) yang menganalisis tentang Implementasi Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kota Batu sebagai Kawasan Agropolitan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran terperinci mengenai implementasi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Batu dalam menanggulangi perkara alih fungsi lahan pertanian. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Mazmanian & Grindle. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batu telah dirasa cukup di sebagian besar aspek dengan catatan perlu ditingkatkannya kesadaran masyarakat.

Sebuah penelitian serupa juga dilakukan oleh Dewi P et al. (2018) yang menganalisis implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 dalam mengendalikan alih fungsi lahan sawah. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dipadukan dengan metode deskriptif kualitatif. Implementasi kebijakan tersebut dianalisis menggunakan indikator-indikator yang diambil dari pendekatan Mazmanian-Grindle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 belum berjalan efektif, ditandai dengan masih adanya ketidakjelasan akan tujuan kebijakan dan lemahnya supremasi hukum.

(2)

6

Terdapat juga penelitian yang dilakukan Fattah & Purnomo (2018) menganalisis tentang Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan yang berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif berdasarkan teori Giacchino dan Kakabadse. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Ceper yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan (Dinas Pertanian Kabupaten, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten, dan Pemerintah Kecamatan Ceper) belum optimal dikarenakan beberapa faktor pendukung, terutama dalam aspek pengawasan dari para pemangku kebijakan tersebut.

Satu studi lain yang dilakukan oleh Romadhan et al. (2020) menganalisis tentang Perlindungan Ekologi Politik terhadap Sumber Daya Air di Kota Batu. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kebijakan serta upaya Pemerintah Kota Batu dalam perlindungan sumberdaya air dari perspektif ekologi politik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan metode pengumpulan data berupa in-depth interview, observasi, dan observasi dan dokumentasi. Penelitian ini menunjukkan upaya Pemerintah Kota Batu dalam mewujudkan perlindungan sumber daya air tidak sebanding dengan percepatan alih fungsi lahan hutan dan pertanian sebagai penopang keberlangsungan sumber daya air akibat pesatnya pertumbuhan industry pariwisata.

Studi maupun penelitian yang telah disebut di atas memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan.Perbedaan penelitian Harjono dengan penelitian yang sedang penulis lakukan terletak pada metode yang digunakan, sedangkan persamaan antara penelitian terdahulu dan penelitian yang sedang penulis lakukan terletak pada ada kajian mengenai implementasi kebijakan.Perbedaan antara penelitian Handari dan penelitian yang sedang peneliti lakukan terletak pada lokasi penelitian, sedangkan persamaan terletak pada tujuan utama, yaitu untuk menganalisis bagaimana implementasi kebijakan, dan metode penelitian yang digunakan.Persamaan penelitian Putra dan penelitian yang penulis lakukan sekarang terletak pada tujuansedangkan perbedaan penelitian terdahulu tersebut dengan yang penelitian yang penulis sedang lakukan terletak pada pendekatan yang diambil.Persamaan penelitian Dewi P et al. dan penelitian yang penulis lakukan terletak pada aspek implementasi kebijakan. Sedangkan perbedaan terletak pada teori implementasi yang diambil, di mana penelitian tersebut menggunakan pendekatan Mazmanian-Grindle sedangkan penulis menggunakan pendekatan Van Meter-Van Horn. Persamaan antara penelitian Fattah & Purnomo dan penulis lakukan terletak pada tujuan sedangkan perbedaan terletak pada pendekatan dan teori yang digunakan dalam penelitian. Persamaan penelitian Romadhan et al. dan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada lokasi serta metode deskriptif, sedangkan perbedaan terletak pada tujuan serta teori yang digunakan dalam analisis.

1.2. Tinjauan Teori

1.2.1. Kebijakan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011

Berdasarkan amanat Konstitusi 1945, bahwa segala kekayaan air, tanah dan udara dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat

(3)

7

Indonesia, maka diperlukan adanya suatu perencanaan pembangunan yang bersifat nasional dan komprehensif sebagai acuan pembangunan di masing-masing provinsi dan kabupaten atau kota. Rencana pembangunan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut serta Peraturan Daerah Provinsi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kota Batu menindaklanjuti melalui ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu Tahun 2010-2030. Peraturan daerah ini dibuat berdasarkan kebutuhan untuk mengarahkan pembangunan Kota Batu dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakan dan pertahanan keamanan serta bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat.

1.2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan ialah perubahan fungsi ruang-ruang terbuka berupa lahan hijau dan produktif yang disebabkan oleh pembangunan kota (urban sprawl) untuk pemukiman, industri, serta peruntukkan lainnya (Baja, 2012). Khusus di wilayah perkotaan atau urban, problematika alih fungsi lahan ini telah menjadi satu isu sosial tersendiri, dikarenakan banyaknya lahan atau ruang publik hijau yang dialihfungsikan demi tujuan komersil. Selain itu, kasus yang sering terjadi di Indonesia sendiri ialah alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan ekses dari proses kebijakan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung (Pakpahan & Anwar, 2016).

Alih fungsi lahan didorong oleh beberapa faktor antara lain:

1. Faktor kependudukan, di mana pesatnya pertumbuhan penduduk membuat permintaan terhadap tanah untuk keperluan perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya meningkat.

2. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian seprti real estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang menuntut ketersediaan lahan dalam jumlah besar.

3. Faktor ekonomi, yakni tingginya biaya sewa lahan (land rent) yang diperoleh sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian.

4. Faktor sosial budaya, seperti keberadaan hukum waris yang menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan.

5. Degradasi lingkungan, seperti kekeringan menahun; penggunaan bahan-bahan kimiawi secara berlebihan; pencemaran air irigasi; serta rusaknya lingkungan sawah sekitar pantai yang mengakibatkan intrusi (penyusupan) air laut ke daratan yang dapat meracuni tanaman padi.

6. Otonomi dan kebijakan daerah yang lebih mengutamakan pembangunan pada sektor yang memberikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

7. Kurang kuatnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Isa, 2006).

(4)

8

Fenomena alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di pedesaan secara global, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, menunjukkan bahwa peningkatan luas areal tanam bahan-bahan pangan tidak sebanding untuk mengimbangi ledakan populasi. Dalam kurun waktu tersebut, luasan areal tanam untuk bahan-bahan pangan meningkat 19 kali lipat, sedangkan jumlah penduduk meningkat 132% atau tujuh kali lebih cepat. Hal tersebut mengakibatkan penurunan luas per kapita tanaman pangan, dalam 50 tahun terakhir, yang semula 0,24 hektar menjadi 0,12 hektar. Jika tren tersebut terus terjadi, maka FAO memprediksi pada 2050 produksi pangan harus ditingkatkan minimal 40%, dengan asumsi tidak ada penambahan luas lahan tanaman pangan, untuk mempertahankan ketahanan pangan (Brown et al., 2000).

Kasus yang terjadi di Indonesia sendiri dalam kurun waktu 1979-1999, konversi lahan sawah mencapai 1.627.514 ha atau 81.376 ha/tahun. Dari jumlah yang telah disebut selama kurun waktu tersebut, sekitar 1.002.005 ha atau 61,57% atau 50.100 ha/tahun terjadi di Jawa, sedangkan di luar Jawa mencapai kisaran 625.459 ha atau 38,43%. Apabila tidak ada upaya untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan maka hal tersebut dapat mengurangi kapasitas produksi pangan nasional (Isa, 2006).

Laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian ini tentunya berpengaruh besar terhadap kinerja sektor pertanian. Konversi lahan ini secara langsung menurunkan luasan daerah kegiatan produksi pertanian yang pada skhirnya akan berpengaruh pada ketersediaan pangan lokal dan nasional. Konversi lahan ini juga mengurangi serapan pekerja dari sektor pertanian, terutama di daerah pedesaan di mana sektor pertanian merupakan sektor utama serta latar belakang pendidikan masyarakatnya yang secara umum kurang memadai. Selain itu dikarenakan alih fungsi lahan tersebut, investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang telah dibangun akan menjadi sia-sia (Isa, 2006).

1.2.3. Implementasi Kebijakan

Implementasi ialah tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta demi tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Van Meter & Van Horn, 1975). Terdapat juga pernyataan yang menyebutkan bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu (Grindle, 1980). Secara konsep implementasi dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu implementasi merupakan persamaan fungsi dari maksud, output, dan outcome (Lane & Ersson, 2010). Pendapat yang lain menyatakan bahwa implementasi merupakan persamaan fungsi dari kebijakan, formator, implementor, inisiator dan waktu (Sabatier, 1986). Penekanan kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dapat dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Akib, 2012). Hakikat utama dari implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan, pemahaman tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengelola secara administratif dan menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau fenomena-fenomena tertentu (Sumual, 2015).

Tugas dari implementasi sendiri ialah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (Van Meter &

(5)

9

Van Horn, 1975). Implementasi diperlukan karena adanya masalah kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan (Edward III, 1984). Sejalan dengan pendapat tersebut, Implementasi kebijakan diperlukan karena pada tahap tersebutlah dapat dilihat “kesesuaian” berbagai faktor determinan keberhasilan implementasi kebijakan atau program (Akib, 2012). Demi mendukung keberhasilan, implementasi kebijakan perlu didasarkan pada tiga aspek yaitu tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya, adanya kelancaran rutinitas dan ketiadaan masalah, serta pelaksanaan dan manfaat yang dikehendaki dari semua program terarah (Ripley et al., 1987). Proses implementasi kebijakan dapat diukur keberhasilannya berdasarkan variabel dorongan dan paksaan tingkat federal, kapasitas negara, dan dorongan serta paksaan pada tingkat pusat dan daerah (Goggin et al., 1990). Dampak atau akibat dari suatu kebijakan dapat dilihat dari muncul atau tidak munculnya suatu perubahan sikap masyarakat pasca permberlakuan kebijakan terkait atau dapat juga dilihat dari perubahan kondisi yang terjadi pada masyarakat (Muhammad et al., 2015).

Apabila dibahas dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar dan dalam buku (Mulyadi, 2016). Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yaitu:

1. Persiapan sumber daya, unit dan metode

2. Penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan

3. Penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.

Sedangkan dalam buku “Implementasi Kebijakan Publik” yang ditulis oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2012), ada beberapa tahapan dalam proses implementasi yaitu:

1. Tahap Sosialisasi

Merupakan tahap penyampaian informasi dari pemerintah kepada kelompok sasaran dengan tujuan kelompok sasaran dapat memahami kebijakan apa yang akan diimplementasikan oleh pemerintah jadi mereka tidak hanya sebatas menerima apa yang diberikan oleh pemerintah tetapi kelompok sasaran tersebut juga dapat berperan aktif guna mendukung suatu implementasi kebijakan atau berpartisipasi dengan adanya keterlibatan dari kelompok sasaran dalam upaya mewujudkan tujuan kebijakan. Pada tahap sosialisasi biasanya juga memberikan penjelasan secara lengkap mengenai tujuan kebijakan, manfat kebijakan, mekanisme, serta keuntungan yang dapat dirasakan oleh kelompok sasaran.

2. Tahap Pelaksanaan

Merupakan kegiatan untuk menyampaikan policy output kepada kelompok sasaran. Tahap pelaksanaan dinilai berhasil apabila kebijakan sampai dan diterima oleh kelompok sasaran dengan baik dengan beberapa indikator antara lain: tepat waktu penyampaian, tepat kuantitas, tepat kualitas, dan tepat sasaran.

3. Hasil Kebijakan

Pada tahap ini yang merupakan hasil kebijakan apabila policy output telah sampai kepada kelompok sasaran dan menimbulkan dampak langsung atau efek pada kelompok sasaran. Policy outcome itu dinilai memiliki kinerja implementasi yang tinggi apabila policy outcomes tersebut dapat mewujudkan

(6)

10

tujuan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Menurut Ripley et al. (1987), ada beberapa indikator yang digunakan untuk menilai kualitas policy output (hasil kebijakan) yaitu akses, cakupan, frekuensi, bias, service delivery (ketepatan pelayanan), akuntabilitas dan kesesuaian program dengan kebutuhan.

Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain disebutkan dalam teori implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Teori Implementasi Van Meter-Van Horn menyebutkan terdapat 6 variabel yang memperlihatkan hubungan yang mempengaruhi kinerja implementasi yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur karena apabila standar dan sasaran kebijakan kabur maka akan menimbulkan multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik.

2. Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources).

3. Hubungan antar organisasi. Dalam implementasi sebuah kebijakan/program diperlukan dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.

4. Karakteristik agen pelaksana. Mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu kebijakan/program.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik. Mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan, dukungan kelompok kepentingan, karakteristik partisipan, sifat opini publik dan dukungan elit politik.

6. Sikap pelaksana. Mencakup respon implementor, kognisi dan intensitas disposisi implementor (Van Meter & Van Horn, 1975).

(7)

11 Kinerja implementasi Disposisi pelaksana Lingkungan ekonomi, sosial dan politik Sumberdaya

Ukuran dan tujuan kebijakan

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan

pelaksanaan

Karakteristik badan pelaksana

(8)

12

2.2.4. Kerangka Pemikiran

Permasalahan alih fungsi lahan pertanian di Indonesia, khususnya Kota Batu, telah menjadi persoalan yang menahun. Hal ini terutama sejak mencuatnya Kota Batu menjadi salah satu destinasi wisata terbesar di Jawa Timur. Tumpang tindih penyediaan lahan bagi sektor pariwisata berkontribusi pada menciutnya lahan terbuka hijau dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tentu menjadi suatu problem yang mempengaruhi produktivitas sektor pertanian di Kota Batu. Demi mencegah dampak yang ditimbulkan lebih lanjut, Pemerintah Kota Batu menelurkan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu 2010-2030. Melalui peraturan tersebut, persoalan mengenai kesimpangsiuran penyediaan lahan di Kota Batu dapat ditengahi dan diselesaikan.

Kerangka pemikiran di atas berfungsi sebagai acuan penelitian yang akan dilakukan. Kerangka pada bagan 1 menunjukkan bahwa analisis Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 dilaksanakan menggunakan dua alur. Pertama, analisis proses implementasi kebijakan menggunakan data yang diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara yang dipadukan dengan data-data sekunder yang diperoleh dari instansi pemerintah, dalam hal ini

pemerintah desa, setempat. Analisis proses implementasi kebijakan menggunakan model dari Purwanto dan Sulistyastuti dengan melihat aspek sosialisasi,

pelaksanaan, dan luaran yang dihasilkan. Kedua, identifikasi faktor-faktor yang

Bagan 2.2 Kerangka Pemikiran

Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Batu 2010-2030 Proses Implementasi Kebijakan (Model Purwanto-Sulistyastuti) Faktor Penghambat Implementasi (Model Van Meter-Van

Horn)

Dampak Implementasi Kebijakan terhadap Petani

(9)

13

menghambat implementasi kebijakan menggunakan data hasil wawancara yang akan dianalisis menggunakan model Van Meter dan Van Horn.

Referensi

Dokumen terkait

dalam rangkaian acara yang digelar hingga 12 Februari ini juga terdapat prosesi pengangkatan jabatan yang dilakukan langsung oleh Dirut Sumber Daya Manusia

Serta pemahaman pembelajaran dengan menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) akan lebih mudah diserap dan tidak akan mudah hilang, sebab anak diarahkan bukan hanya

informasi publik ini dibatasi dengan hak individual dan privacy seseorang terkait dengan data kesehatan yang bersifat rahasia (rahasia medis). Jadi dalam hal ini dapat dianalisis

Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan

Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai, agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar

Pers sebagai institusi sosial mempunyai fungsi yang penting dalam komunikasi massa. Melalui pers manusia ingin mencapai komunikasi dengan masyarakat luas, tidak hanya di suatu

Sifat penata yang senang menyendiri, tidak percaya diri dan suka memendam perasaan merupakaan watak yang terdapat pada watak melankolis yang sempurna dan

Metode ini memanfaatkan arus listrik bervoltase kecil yang dihubungkan ke benda yang akan dites, dengan memindahkan secara elektrolisis sejumlah kecil sampel ke kertas