• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DARI MASA KE MASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DARI MASA KE MASA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA MANUSIA DAN

KEBUDAYAAN INDONESIA

DARI MASA KE MASA

EDITOR

(2)
(3)

Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, Editor

DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DARI MASA KE MASA

viii + 350 halaman, 23 x 15,5 cm ISBN 978-602-5401-15-2

© Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, 2017

Desain Sampul:

Epistula Communications Bali Ilustrasi Sampul: Made Widnyana Tataletak: Ema Sukarelawanto Penerbit: Pustaka Larasan

Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B Denpasar, Bali

Email: pustaka_larasam@yahoo.co.id Bekerja sama dengan

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin dari penulis.

(4)

Kata Pengantar

Sambutan Rektor Universitas Udayana

vii ix

1 Pendahuluan 1

2 Keberadaan Manusia Nusantara Pertama (Homo Erectus) hingga Manusia Modern (Homo Sapiens) di Indonesia

Oleh I Wayan Ardika 15

3 Rekonstruksi Budaya Austronesia

Oleh Ni Luh Sutjiati Beratha & I Wayan Ardika 39 4 Relasi Historis Bahasa-Bahasa Austronesia

Oleh Aron Meko Mbete 65

5 Sejarah Politik Hindu Buddha

Oleh I Ketut Setiawan 81

6 Seni Pahat dan Arsitektur Hindu Buddha di Indonesia

Oleh I Wayan Redig 111

7 Kakawin Sutasoma: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan

Sumber Pengetahuan Multikulturalisme

Oleh I Nyoman Suarka 145

8 Proses Islamisasi di Indonesia Selama Abad XV-XVI

Oleh Ida Ayu Wirasmini Sidemen 165

9 Budaya Indonesia Masa Kolonial

Oleh I Ketut Ardhana 185

10 Kontak Budaya Nusantara dengan Budaya Eropa dan Munculnya Agama Katolik dan Protestan di Indonesia

(5)

11 Politik dan Peran Bahasa Indonesia di Era Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan

Oleh I Wayan Pastika 223

12 Debat Intelektual tentang Kebudayaan Menjelang Kemerdekaan Indonesia

Oleh I Wayan Resen 243

13 Manusia dan Kebudayaan Indonesia Pada Era Global dan Postmodern

Oleh I Nyoman Dhana 281

14 Pariwisata sebagai Representasi Globalisasi dan Budaya Posmodern

Oleh Ida Bagus Gde Pujaastawa 297

15 Peran Media Massa dalam Revitalisasi Budaya Daerah di Indonesia di Era Global

Oleh I Nyoman Darma Putra 317

Indeks

Tentang Penulis

341 348

(6)

M

anusia mempunyai salah satu sifat mendasar yaitu berubah atau melakukan perubahan. Perubahan tersebut tentu mem peng ar uhi c ara-c ara hi dup man usia bese r ta masyarakat sekitarnya sehingga terjadilah perubahan kebudayaan atau yang disebut dengan dinamika kebudayaan. Secara universal tidak ada kebudayaan yang tidak berubah, tidak ada kebudayaan yang tidak adaptif terhadap bentuk perubahan. Hal ini yang menyebabkan kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif.

Kata dinamika mengandung nosi tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan, mengikuti pengaruh dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa dinamika kebudayaan adalah cara kehidupan masyarakat yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dinamika dan adaptasi budaya berlangsung karena adanya perubahan-perubahan yang melingkupi kehidupan manusia secara antropologis melalui proses belajar kebudayaan sendiri (yakni internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi), proses pengenalan kebudayaan asing (seperti akulturasi dan asimilasi), evolusi dan difusi kebudayaan, dan proses inovasi atau penemuan kebudayaan baru.

Indonesia adalah negara multietnik, multikultur dan multilingual dan manusia Indonesia secara kultural dapat dikatakan berada pada

(7)

tiga ruang budaya, yakni pertama, kampung lokal, misalnya etnik Jawa berkampung di Pulau Jawa, etnik Bali berkampung di Pulau Bali, dan seterusnya. Kedua, etnik-etnik di Indonesia adalah bagian dari NKRI sehingga mereka bisa disebut berada pada kampung nasional. Ketiga, NKRI berada pada kampung lebih besar, yakni kampung global – sekaligus berarti pula ikut pada kampung global karena etnik-etnik di Indonesia adalah bagian dari NKRI. Eksistensi manusia dan kebudayaan Indonesia saat ini telah mengalami evolusi panjang yang dibentuk melalui proses migrasi dan kontak dengan bangsa luar. Buku ini membentangkan lanskap dinamika manusia dan kebudayaan Indonesia dari masa prasejarah sampai era global dewasa ini yang mencakup keberadaan manusia Nusantara pertama (Homo Erectus) hingga manusia modern (Homo Sapiens) di Indonesia, kajian bahasa dan budaya Austronesia, kontak bangsa dan etnik Nusantara dengan bangsa luar, kehadiran dan dinamika agama-agama di Indonesia, falsafah Bhineka Tunggal Ika, kolonialisme, nasionalisme, polemik dan politik kebudayaan, pariwisata, hingga peran media massa dalam proses formasi lanskap budaya Indonesia.

Evolusi kebudayaan merupakan proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks. Kecepatan perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda setiap wilayah yang ada di muka bumi ini namun secara universal, masyarakat manusia berkembang secara lambat dari tingkat-tingkat rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Buku ini mencoba menggambarkan dinamika manusia dan kebudayaan Indonesia mulai dari tulisan I Wayan Ardika yang berjudul “Keberadaan Manusia Nusantara Pertama (Homo Erectus) hingga Manusia Modern (Homo Sapiens) di Indonesia”. Penghuni Kepulauan Indonesia menunjukkan keragaman genetik yang berawal dari 1,5 juta tahun silam hingga sekarang. Homo erectus telah menghuni Indonesia khususnya Pulau Jawa dan mungkin pula Flores selama kurang lebih satu juta tahun dengan evolusinya. Tulisan ini

(8)

mendeskripsikan temuan manusia Nusantara pertama (Homo erectus) dan perkembangannya selama kurun waktu satu juta tahun hingga ditemukan manusia modern (Homo sapiens). Teori migrasi baik Homo erectus maupun Homo sapiens yang diduga berasal dari Afrika (out of Africa) dibahas pada bagian tulisan ini. Kepulauan Indonesia tampaknya merupakan tempat perlintasan migrasi manusia dari Homo erectus, Homo sapiens dan Ras Mongoloid. Untaian kepulauan Indonesia digunakan sebagai jembatan oleh migran dari benua Asia hingga Australia, bahkan sampai ke Pasifik.

Budaya dan bahasa merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah bagian dari budaya dan budaya dimaknai melalui bahasa. Ni Luh Sutjiati Beratha dan I Wayan Ardika berusaha merekonstruksi budaya Austronesia yang dicirikan oleh kesamaan bahasa. Meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya, ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia adalah 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan; 2) Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah penutur Austronesia mempunyai stile/ gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal-bakal/pendiri keturunan.

Rekonstruksi budaya Austronesia juga didukung oleh kata-kata yang berkognat sebagai bukti bahwa nama-nama yang ada pada budaya Austronesia ditunjukkan oleh bukti kebahasaan yang ada pada bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Kesamaan unsur budaya tersebut mengindikasikan eksistensi dan kontak di kalangan komunitas penutur Austronesia yang tersebar di wilayah Nusantara. Tradisi seni dan upacara pemujaan leluhur masih tetap berlanjut, meskipun telah mengalami dinamika dan perubahan karena pengaruh dari luar dan perkembangan lokal.

(9)

Bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia, khususnya evolusi manusia dan evolusi bahasa manusia. Lebih jauh Aron Meko Mbete dalam buku ini mengungkap rumpun bahasa Austronesia dengan meyakini bahwa bantuan ilmu pengetahuan khususnya biologi dengan memanfaatkan metode Biologi Molekuler mutakhir sangat bermakna untuk menyingkap perjalanan sejarah manusia termasuk evolusi, perjalanan, dan perkembangan bahasa manusia. Evolusi tersebut tersingkap melalui temuan Homo sapiens hasil galian yang anatomis dan arkeologis, yang secara kronologi evolusi manusia bermula dari Afrika 1,5 juta tahun silam, kemudian menyebar ke pelbagai wilayah bumi, termasuk di Papua dan Australia. Namun demikian segi ragawi maupun keberagaman bahasa dan budaya di Papua, bahasa- bahasa asli Australia, dan di kawasan Asia Tenggara khususnya, tetap menjadi misteri. Ditilik dari segi jumlah penutur dan tradisi tulisnya, bahasa-bahasa daerah di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, bahasa-bahasa besar dengan jumlah penuturnya puluhan juta dan masih memiliki tradisi tulis seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali. Yang kedua, bahasa-bahasa kelompok ‘menengah’ dengan dukungan penuturnya jutaan jiwa seperti bahasa Bugis, bahasa Batak, bahasa Aceh, bahasa Mandar, bahasa Lampung, dan sebagainya. Kelompok ketiga adalah bahasa-bahasa ‘kecil’ dengan jumlah penuturnya hanya beberapa ratus ribu, bahkan ada bahasa- bahasa kecil yang hanya dituturkan oleh sekitar seratus atau beberapa puluh penutur saja. Akan tetapi meskipun berbeda-beda bahasa, karena memang tidak saling memahami, sesungguhnya bahasa-bahasa daerah itu memiliki hubungan genetis. Secara historis bahasa-bahasa itu bersumber dari asal-muasal yang sama. Jika perjalanan masa lalu bahasa-bahasa itu dijejaki kembali, bahasa-bahasa yang ada di Indonesia, Malaysia, Filipina, Formosa, Polinesia, Papua New Guinea termasuk Rumpun Austronesia. Sebagian lagi termasuk Rumpun Non- Austronesia. Rumpun Non-Austronesia disebut juga Rumpun Trans- Papua atau juga bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa Non-Austronesia itu hidup secara berdampingan di kawasan Nusantara ini.

(10)

Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam minteraksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia dan tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Seperti halnya bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia pada hakikatnya juga berkembang akibat adanya pengaruh luar. I Ketut Setiawan berbicara mengenai sejarah politik Hindu Buddha di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari masuknya unsur-unsur budaya dari luar, khususnya India. Pembahasan tentang masalah ini telah dimulai pada akhir abad ke-19 oleh para sarjana bangsa Belanda yang pada umumnya memiliki bekal pengetahuan tentang kebudayaan India. Hal yang menjadi perhatian utama adalah “tema Indianisasi” yang digunakan untuk menyatukan persoalan pokok peradaban Indonesia yang menunjukkan pengaruh besar agama Hindu dan Buddha.

Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang telah ditemukan, pengaruh India telah berada di Indonesia pada abad ke-4. Pengaruh itu bukan lagi dalam taraf awal, tetapi sudah menyebar dengan intensitas yang relatif telah maju dan mendalam. Peninggalan Hindu tertua di Indonesia adalah prasasti-prasasti pada yupa yang ditemukan di Kutai, di daerah Kalimantan Timur. Berdasarkan tipe aksaranya, prasasti-prasasti itu diduga berasal dari abad ke-4 serta prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Barat, yang dikeluarkan pada masa Kerajaan Tarumanagara. Unsur-unsur masukan dari India yang dikategorikan sebagai tradisi besar itu selain mengantar bangsa Indonesia memasuki masa sejarah, juga mengakibatkan terjadinya akulturasi dan proses sosial budaya lain, sehingga terbentuklah pola kehidupan masyarakat Indonesia dengan pelbagai pranatanya.

Peradaban Hindu Buddha Indonesia bersumber dari India tersebut diadopsi, tetapi juga diadaptasi dan dikembangkan di Indonesia sesuai

(11)

dengan tradisi Indonesia. Budaya yang diadopsi diseleksi, yang tidak cocok dibuang, yang cocok diambil untuk dikembangkan, dan dalam pengembangannya berlaku proses evolusi. I Wayan Redig menyajikan dalam buku ini saat-saat awal perkembangannya yakni “Seni Pahat dan Arsitektur Hindu Buddha di Indonesia” khususnya seni arca dan bangunan candi, yang sangat sederhana penampilannya, seperti candi-candi yang dibangun di Jawa Tengah bagian utara (Dieng dan Wonosobo) yang dibangun di pegunungan karena gunung adalah tempat tinggi, tempat suci untuk roh leluhur berdasarkan tradisi prasejarah.

Candi-candi yang megah dan arca-arca yang anggun muncul pada masa kemudian, terutama ketika memuncaknya masa keemasan bangunan klasik Hindu Buddha Indonesia di Jawa Tengah, abad IX-X. Pada abad tersebut pengaruh India menguat. Akan tetapi karena diimbangi dengan keterampilan yang matang untuk mengolahnya maka muncullah seni-seni yang mengagumkan. Borobudur misalnya, ini bangunan stupa, stupa juga ada di negeri lain, tetapi khusus untuk Borobudur memiliki kekhasan.

Seni pahat yang berkembang berupa pahatan dalam bentuk relief, dan juga berupa pahatan penuh yang dapat dilihat dari empat arah, yang dikenal dengan istilah patung atau arca. Pahatan berupa relief dapat memperindah tampilan sebuah candi. Biasanya pahatan relief ini, didapatkan pada bidang-bidang datar bangunan candi. Gambar-gambar yang ditampilkan bervariasi, biasanya berupa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Pahatan relief candi, selain menampilkan tema-tema cerita, juga menampilkan kehidupan manusia sehari-hari, seperti membajak di sawah, menggunakan perahu bercadik, menari,dan lain sebagainya. Selain itu ada juga penggambaran para dewata dan makhluk-makhluk kahyangan.

Budaya daerah yang dimiliki suku bangsa di Indonesia merupakan sumber konsep dan sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia dalam proses Indonesianisasi untuk membentuk kesatuan budaya nasional. Hal ini dibuktikan oleh keberadaan kata-kata ataupun

(12)

ungkapan-ungkapan yang bersumber pada bahasa daerah atau budaya daerah diangkat dan dijadikan falsafah bangsa. Dalam buku ini I Nyoman Suarka menyajikan hasil galian akademisnya terhadap sebuah karya sastra Jawa Kuna, yakni Kakawin Sutasoma yang merupakan sumber ideologi, falsafah, dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan judul .”Kakawin Sutasoma: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Sumber Pengetahuan Multikulturalisme”. Diungkapkan dalam tulisan ini bahwa bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan unsur utama bagi terbentuknya jatidiri bangsa Indonesia. Bahasa dan sastra Jawa Kuna menjadi sangat dekat dan lekat dengan kehidupan sehari-hari, kehidupan artistik, maupun kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Proses pewarisan nilai luhur budaya bangsa, moralitas, daya cipta, dan kesadaran sejarah masyarakat Indonesia salah satunya bersumber pada bahasa dan sastra Jawa Kuna. Hal ini dapat dibuktikan melalui terpilihnya istilah pancasila dan bhineka tunggal ika yang termuat dalam Kakawin Sutasoma telah diangkat serta dijadikan dasar negara dan motto bangsa Indonesia. Sebagai warisan budaya bangsa Indonesia Kakawin Sutasoma mengandung jiwa multikulturalisme yang mengedepankan nilai-nilai keberagaman dalam kebersamaan dan kesederajatan yang sangat dibutuhkan oleh seluruh warga Negara Indonesia karena keberadaan masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras, adat-istiadat, bahasa, kesenian, dan agama.

Penyebaran kebudayaan berjalan seiring dengan migrasi kelompok- kelompok manusia di muka bumi yang akhirnya juga diikuti oleh tersebarnya unsur-unsur kebudayaan melalui proses difusi. Memahami budaya Indonesia sekarang, tentu tidak terlepaskan dari adanya pengaruh-pengaruh budaya sebelumnya di tiap-tiap tradisi budaya setempat atau lokal yang dikenal sebagai local genius yang masih berlangsung dan berkembang seirama dengan dinamika masyarakat dan budaya nasional dan universal. Ida Ayu Wirasmini Sidemen dalam tulisannya memaparkan masuk dan berkembangnya agama Islam ke nusantara, lebih menonjol melalui perdagangan pelayaran dari

(13)

pada melalui penaklukan militer atau penyebaran oleh ulama dalam bentuk pesantren. Para pedagang Islam dari Gujarat melakukan penyebaran agama Islam, untuk mengisi waktu luangnya di bandar- bandar perdagangan seperti di Malaka, menunggu angin musim yang dapat mereka gunakan untuk kembali ke barat, sehingga proses Islamisasi memiliki karakter yang lebih lembut, penuh kedamaian dan toleransi. Corak karakter ini menjadi warna agama Islam nusantara yang berkembang didasari oleh budaya dan peradaban milik sendiri. Melalui penelusuran sejarah disajikan bahwa kalau Sriwijaya dengan Nalandanya pernah menjadi pusat studi agama Buddha, Wilatikta pernah menjadi pusat studi agama Hindu Siwa Sidhanta, seharusnya Nusantara juga dapat menjadi pusat studi Islam, karena berhasil tercipta sebagai Islam bentuk baru, sebagai perpaduan antara yang pendatang dengan yang didatangi.

Dalam perkembangannya, manusia dan kebudayaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kolonialisme. Bagaimana dinamika masyarakat dan budaya Indonesia pada masa lalu, terutama dalam kaitannya dengan episode-episode sejarah sebelumnya yaitu pada masa kolonial Belanda di Kepulauan Nusantara dipaparkan oleh I Ketut Ardhana. Dalam tulisannya terungkap bahwa pemahaman tentang masyarakat dan budaya Indonesia di masa kolonial Belanda, hendaknya dikaitkan dengan maksud dan tujuan kedatangan penjajahan Belanda di Indonesia yang pada masa lalu dikenal sebagai Nederlandsch Indies. Pada zaman kekuasaan kolonial Inggris dan Belanda peran budaya Indonesia tidak banyak dibahas mengingat kepentingan kekuasaan Inggris dan Belanda tampaknya tercurah pada masalah ekonomi, perdagangan dan politik. Perhatian mereka terhadap kebudayaan Nusantara masih sangat terbatas dan kebudayaan penduduk pribumi dibiarkan berlangsung dan berkembang, sepanjang tidak mengganggu, mengancam eksistensi kekuasaan mereka di tanah jajahan. Bagi mereka perkembangan kebudayaan masyarakat pribumi harus dibiarkan berkembang secara alami, sepanjang dalam pengembangan aspek-aspek sosial budaya itu tidak mengarah untuk

(14)

membangkitkan semangat atau ideologi politik. Walaupun demikian, Ardhana mengidentifikasi adanya pergeseran-pergeseran dari struktur budaya masyarakat yang dikuasai oleh birokrasi tradisional menuju ke birokrasi pemerintah kolonial. Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda tidaklah mampu menghapuskan ciri-ciri dari birokrasi tradisional yang berbasiskan ikatan-ikatan primordialisme bahkan terlihat ke arah untuk lebih memperkuatnya karena dengan adanya penguatan hubungan patron-client yang berbasis ikatan-ikatan primordialisme pada birokrasi tradisional akan dapat dimanfaatkan dalam memperkuat birokrasi kolonial Belanda.

Lebih lanjut I Ketut Ardhana dalam tulisan lain mengangkat “Kontak Budaya Nusantara dengan Budaya Eropa dan Munculnya Agama Katolik dan Protestan di Indonesia”. Digambarkan bahwa penyebaran agama Katholik dan Protestan di Indonesia erat kaitannya dengan datangnya kekuasaan kolonial Portugis dan Belanda pada abad ke-16, terutama setelah jatuhnya Malaka pada tahun 1511. Berbeda halnya dengan penyebaran agama Hindu dan Islam, yang kebanyakan terjadi di Indonesia Barat, terutama terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra, maka penyebaran agama Katolik dan Protestan kebanyakan terjadi di wilayah Indonesia bagian timur. Namun demikan, perlu dicatat, bahwa penyebaran dan berkembangnya agama Katolik dan Protestan ini tampaknya sama seperti agama yang terjadi sebelumnya yang dapat memadukan tradisi budaya yang ada sebelumnya. Oleh karena itu, penyebaran agama Katolik dan Protestan ini dilaksanakan secara damai di wilayah-wilayah perkembangannya di Kepulauan Nusantara.

Penyebaran agama Katolik dan Protestan ini memang tidak hanya dikaitkan dengan persoalan politik kolonial, baik yang dilakukan oleh penguasa kolonial Portugis dan Belanda, tetapi juga berdampak pada aspek-aspek sosial budaya, ekonomi dan agama masyarakat setempat. Kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya, tampak mengalami perubahan dari kepercayaan lokal menjadi menganut agama Katolik dan Protestan. Meskipun demikian, ini tidaklah berarti, bahwa

(15)

kepercayaan lokal yang ada itu, dihilangkan, melainkan dapat hidup bertahan dan berkembang hingga dewasa ini. Tampaknya kepercayaan- kepercayaan lokal memiliki nilai-nilai adi luhung sebagaimana halnya juga dengan nilai-nilai keagamaan yang disebarkan kemudian, dalam arti bahwa perlu untuk dilestarikan dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini.

Berbagai etnik yang ada di Indonesia mengalami proses pembudayaan berganda, yakni: pertama, pengindonesiaan atau Indonesiaisasi dan globalisasi. Proses ini dilakukan lewat berbagai agen pendidikan antara lain berbentuk penanaman kebudayaan nasional- Pancasila, bahasa Indonesia, hukum nasional, pembelajaran bahasa asing (Inggris) dll. Lebih dari pada itu kebudayaan nasional dan kebudayaan global secara intensif merembes ke dalam kebudayaan etnik lewat agen pendidikan antara lain televisi.

Bahasa Indonesia merupakan media Indonesianisasi berbagai etnik nusantara. Tulisan I Wayan Pastika mengangkat tema politik dan peran bahasa Indonesia di era Sumpah Pemuda dan kemerdekaan. Jati diri bangsa Indonesia terangkat ke permukaan menjadi sebuah bangsa yang penuh percaya diri, dalam memperjuangkan hak kebangsaan dan kenagaraan oleh keberadaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia kemudian menjadi alat pemersatu yang sangat kuat setelah Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928 oleh para pemuda pejuang dengan sumpah ketiganya: “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Namun demikian diyakini bahwa dewasa ini untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa yang kuat dan mampu mewahanai konsep, gagasan, dan pengetahuan yang maju, tidaklah cukup hanya dengan penguatan jati diri secara politik. Diperlukan kesadaran dan sikap positif dari setiap penuturnya untuk mengembangkan sistem kebahasaan dan aspek penggunaannya ke arah yang diharapkan.

Pasca-Sumpah Pemuda memasuki kemerdekaan bangsa Indonesia, tepatnya di era 1930-an, berbagai gagasan bermunculan mengenai bentuk ideal kebudayaan Indonesia, yakni bagaimana seharusnya

(16)

wujud bangsa dan kebudayaan baru Indonesia yang hendak dibangun ketika nanti Indonesia sudah merdeka dan harus membangun kebudayaannya. I Wayan Resen dalam tulisannya memaparkan debat intelektual tentang kebudayaan menjelang kemerdekaan Indonesia. Dikatakan bahwa berbagai kondisi yang melatarbelakangi lahirnya gagasan ideal tersebut termasuk pemikiran Indonesia masih berada di bawah penjajahan bangsa Belanda yang masih tercerai-berai berdasarkan banyak hal, khususnya menurut kesukuan, kebahasaan, batas wilayah yang dihuni masing-masing suku bangsa, adat-istiadat serta budaya setempat, dan juga agama atau kepercayaan. Kenyataan bahwa belum tumbuhnya kesadaran yang kuat dan merata di kalangan orang Indonesia sebagai satu bangsa mengakibatkan perlawanan- perlawanan lokal yang sering secara sporadis dilancarkan terhadap penjajah Belanda tidak kunjung membawa hasil. Pemicu yang lain adalah keterpaksaan penjajah Belanda melaksanakan politik etis atas tuntutan kewajiban moral menghormati kemanusiaan sebagai nilai universal mendasar bagi kehidupan manusia berakhlak menyebabkan pihak penjajah merasa wajib memajukan bangsa Indonesia melalui perluasan pendidikan kepada rakyat Indonesia sehingga selanjutnya mulai lahir dan semakin banyaknya kaum intelektual Indonesia mengenyam pendidikan Barat di samping pendidikan lokal yang masih bercorak traditional. Di samping itu semakin tersedianya fasiltas untuk pengungkapan pikiran kritis semakin membangun ketajaman berpikir dan keberanian berekspresi golongan intelektual Indonesia ternyata sangat berperan sebagai pelopor dalam menebarkan dan menggerakkan semangat kebangsaan Indonesia ke berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Polemik kebudayaan yang berlangsung pada era 1930-an, memang secara formal diangggap berlangsung dari 1935 sampai dengan 1939 namun setiap kali isu kebudayaan dibicarakan kembali selalu memunculkan perubahan/perbedaan persepsi yang menunjukkan sifat dinamika kebudayaan dari era ke era sesuai dengan kebutuhan/tuntutan era masing-masing.

(17)

tidak dapat dilepaskan dari pengaruh era global dan postmodern. I Nyoman Dhana dalam buku ini melukiskan manusia dan kebudayaan Indonesia pada era global dan postmodern dan menegaskan bahwa globalisasi merupakan proses ekonomi, proses politik, dan proses kultural. Globalisasi merupakan fenomena yang kompleks atau multidimensional. Adanya pengaruh budaya yang berkembang pada era global dan posmodern terhadap manusia dan kebudayaan Indonesia memungkinkan munculnya manusia Indonesia dengan watak, kepercayaan, dan perbuatan tertentu yang mencerminkan betapa kuatnya pengaruh budaya global dan posmodern. Hal ini penting untuk dicermati mengingat kebudayaan yang berkembang pada era global dan posmodern bisa berpengaruh negatif dan sering menunjukkan realita tentang manusia dan kebudayaan Indonesia umumnya yang tidak sesuai dengan citranya.

Berkembangnya pariwisata sebagai institusi modern merupakan bagian dari proses globalisasi yang merambah Indonesia. Ida Bagus Gde Pujaastawa dalam tulisannya melihat pariwisata sebagai representasi globalisasi dan budaya postmodern yang sejatinya merupakan fenomena yang bersifat universal sebagai implikasi dari adanya dorongan untuk mencari hiburan atau kesenangan yang dialami oleh setiap individu di berbagai belahan dunia. Meskipun banyak literatur yang menyatakan bahwa sejarah perkembangan pariwisata berawal dari Benua Eropa, namun bukti-bukti sejarah mengindikasikan adanya mobilitas spasial manusia yang dilakukan untuk tujuan mencari hiburan atau kesenangan antara lain terdapat dalam bentuk panel relief di Candi Borobudur yang dibangun pada abad VIII. Beberapa panel relief tersebut menggambarkan adanya tempat menyerupai rumah makan dan penginapan serta aktivitas orang-orang yang sedang minum-minum dan bersenang-senang. Meningkatnya kegiatan pariwisata dunia merupakan implikasi dari dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks yang ditandai dengan penggunaan energi, waktu, dan pikiran secara lebih intensif. Demikian pula dengan motivasi kegiatan berwisata pada masyarakat

(18)

posmodern tidaklah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan akan refreshing atau rekreasi, melainkan merupakan representasi dari gaya hidup yang didorong oleh hasrat untuk menunjukkan kemewahan, kehormatan, prestise, status, dan identitas diri.

Seiring dengan era globalisasi yang bercirikan keterbukaan akses terhadap informasi, rasa ingin tahu dunia luar akan Indonesia dengan segala aspek manusia dan kebudayaan bisa terpenuhi melalui media massa. Melalui berbagai bentuk media massa pengenalan dan apresiasi lintas budaya bisa dilakukan dalam bahasa asing yang tentu saja nantinya bisa menjadi sumbangan pada peradaban dunia. Dalam bagian akhir buku ini I Nyoman Darma Putra menulis tentang peran media massa dan berdasarkan banyaknya kajian-kajian tentang media massa mengidentikkan dengan arena politik karena media massa, baik cetak maupun elektronik, sering didominasi berita-berita politik yang banyak digunakan oleh politisi untuk pencitraan. Walupun pada kenyataannya media massa juga banyak memuat berita lain seperti berita ekonomi, keuangan, pendidikan, olah raga, dan budaya namun disinyalir kajian media massa sebagai arena menumbuhkan perkembangan seni budaya jarang sekali muncul.

Tulisan I Nyoman Darma Putra ini membahas peran media massa, khususnya media elektronik dalam merevitalisasi budaya daerah Indonesia dengan mencontohkan Bali dan Riau untuk melihat peran media elektronik dalam melestarikan seni budaya daerah setempat. Selain menggarisbawahi peran penting media elektronik dalam membangun kesadaran bagi warga lokal dalam mengenal dan mengembangkan kebudayaannya, simpulan yang diberikan mengindikasikan bahwa media elektronik seperti radio dan televisi yang sering dituduh sebagai saluran masuknya budaya global yang asing bagi budaya lokal tidak sepenuhnya benar. Diilustrasikan bahwa betapa tulusnya radio dan televisi di Riau dan di Bali memberikan ruang untuk pembinaan seni budaya daerah yang dapat mengimbangi sedikit berita-berita keras tentang politik, konflik regional, dan aneka tragedi lainnya. Dengan demikian tegasnya kemajuan teknologi

(19)

media atau media teknologi tidak serta-merta meninggalkan tradisi dan dengan memberikan contoh acara kidung interaktif di Bali dan Pantun Melayu di Riau yang ditayangkan secara interaktif di media elektronik di kedua daerah tersebut menunjukkan bahwa media massa elektronik dapat menjadi wahana efektif untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya daerah. Dan pada akhir tulisannya disarankan agar di era global ini semua pengampu kepentingan senantiasa mengefektifkan dan mengintensifkan penggunaan berbagai bentuk media massa dalam usaha pelestarian budaya daerah.

Editor,

Ida Bagus Putra Yadnya I Wayan Ardika

(20)

A Abdullah, T. 169, 176, 178, 182, 183, 188, 198, 201 Aceh 4, 66, 67, 70, 71, 72, 73, 165, 166, 168, 169, 170, 172, 174, 175 , 177, 179, 181, 182, 190, 191, 2 01, 205, 206 Adas, M. 285, 295 Adityawarman 134 Afrika 3, 4, 16, 17, 21, 23, 29, 32, 3 3, 68, 78, 80 Airlangga 95, 96, 97, 98, 107, 152 Albuqerque, A. 205 Alfian, A. 165, 166, 168, 169, 170, 17 2, 182, 183, 190, 201

Alfred Rusell Wallace 31

Amerika 22, 68, 75, 175, 251, 269, 2 74, 275

Antonio de Pigafetta 207 Appadurai, A. 283, 300, 313 arca Bodhissatwa Amoghapasa 118 Archidiskodon 21 Arupadhatu 121 Arupalaka 179 Asia 3, 4, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 31 , 34, 37, 62, 65, 73, 78, 79, 81, 82, 89, 90, 110, 165, 166, 167, 1 68, 171, 172, 173, 178, 182, 183 , 192, 201, 202, 205, 207, 214, 2 66, 305, 339, 349 Astinapura 98 Aswawarman 83 Atmadja, N.B. 286, 293, 295 Australia 3, 4, 18, 19, 31, 34, 35, 36 , 37, 63, 78, 349 Austronesia v, viii, 2, 3, 4, 36, 37, 39 , 40, 41, 42, 44, 45, 50, 61, 63, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74 , 75, 76, 77, 79, 80, 146 Awaloketeswara 114, 117, 118 Azra, A. 213, 222, 274, 275, 276, 278 B Bajau 73 Bakrie, A.R. 323 Balaputra Dewa 91, 92 Bali iv, 2, 4, 13, 14, 20, 40, 44, 50, 52, 53, 59, 61, 63, 66, 67, 69, 70 , 71, 72, 73, 95, 100, 101, 104, 10 5, 106, 107, 108, 109, 110, 117, 1 18, 127, 128, 131, 137, 140, 143, 147, 152, 163, 180, 181, 184, 190 , 195, 199, 202, 205, 208, 209, 23 2, 236, 293, 294, 295, 301, 304, 3 05, 306, 313, 314, 315, 318, 319, 320, 321, 324, 325, 326, 327, 328 , 329, 330, 332, 334, 338, 339, 34 7, 348, 350 Baliseering 199, 301 Banda 74, 165, 182 Bangka 87, 89, 90 Bangli 105, 127, 325 Banjarnegara 93 Barito 20 Barker, C. 281, 296 Barus 204 Batak 4, 45, 46, 61, 66, 67, 69, 70, 7 1, 72, 73, 195, 206, 219, 220, 33 1, 335 Batanghari 20 Batavia 187, 189, 196, 211, 217, 301 , 316. Bawomatolou 39, 42, 43, 44, 45 B.D. van Rietschoten 35 Belanda 5, 8, 9, 11, 81, 91, 166, 174, 179, 186, 187, 189, 190, 191, 192 , 193, 194, 195, 196, 197, 198, 19 9, 200, 201, 202, 204, 207, 211, 2 12, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 220, 221, 225, 245, 246, 247, 248 , 249, 250, 257, 259, 261, 267, 29 9, 300, 301, 316 Bellwood, P. 31, 32, 33, 34, 36, 42 Bengawan Solo 26, 27, 28, 29, 299 Bernd Nothofer 75

Bhineka Tunggal Ika viii, 2, 7, 136, 146 , 155, 162, 276 Bhismaprabawa 96 Bima 69, 70, 71, 73, 93, 119, 120, 121 , 176, 194, 208 Blahbatuh 104 Blitar 138 Blora 20, 27 Blust, R.A. 50, 52, 62, 63, 68, 71, 72, 75, 76, 78, 79

(21)

Bojonegoro 96 Borobudur 6, 12, 93, 94, 116, 118, 12 0, 121, 122, 128, 138, 142, 252, 2 59, 298 Brandstetter, R. 53, 63, 75, 80 Brian Fay 41 Brinton, C. 244, 247, 278 Buddha v, 5, 6, 8, 81, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 101, 102, 103, 104, 105, 111, 113, 114, 115, 116 , 117, 118, 120, 121, 123, 124, 12 5, 128, 129, 130, 131, 136, 141, 1

Dang Hyang Nirartha 181 Dawan 73 Dayak 45, 46, 61, 63, 73, 219 Demak 176, 177, 179, 180 Dempwolff 53, 72 Den Haag 211, 214 Dewapala Dewa 91 Dewa Simha 94 Dewi Parwati 133 Dharmawangsa 95, 96, 107 Dieng 6, 93, 115, 119, 120, 121, 142 Dietrich 215 42, 153, 154, 155, 156, 159, 160, 1 Dili 217 61, 181, 182 Budi Utomo 196, 197, 248 Bugis 4, 66, 67, 69, 71, 72, 73, 176 , 331 Buleleng 104, 105, 118 C Calon Arang 330 Campa 103 Campursari 332 candi Badut 94, 95 Candi Jago 128, 129, 130, 140 candi Mendut 93, 116, 121 Candi Muara Takus 130

candi Penataran 135, 136, 138, 139 Candi Polah 138 candi Prambanan 93, 94, 116, 120, 123, 128, 147 candi Surawana 140 Candi Surawana 140 Candi Tigawangi 140 Candrabhaga 85 Chamorro 73 China 29, 36, 37 Cia-cia 73 Cina 20, 21, 87, 89, 90, 91, 103, 165 , 166, 167, 168, 173, 178, 205, 2 08, 335 Cirebon 176, 177, 299 Clynes, A. 52, 63 cognate set 69 Corpuz 282, 296 Couteau, J. 306, 314 Crawfurd, J. 189 Curtis 26

Cut Nyak Dien 179 D

Daha 96, 97, 181

Dang Hyang Angsoka 181 Dang Hyang Astapaka 181

(22)

Diponogoro 179, 258 Dirk Fock 299 Dongson 45, 46 Dyah Lokapala 95 E Enggano 73 enkultura si 1 Ensink, J. 152, 163 Erokwanas 76 Eropa v, 9, 12, 17, 29, 33, 166, 172, 174, 175, 179, 187, 193, 194, 196 , 198, 199, 203, 204, 208, 210, 21 3, 214, 217, 251, 295, 297, 298, 301, 304 Ethiopia 32 Eugene Dubois 22, 25, 35 Eurasia 21, 31, 32 F Filipina 3, 31, 34, 35, 37, 39, 42, 73 Flores 2, 18, 31, 32, 36, 38, 69, 73, 7 9, 80, 194, 207, 208, 209, 210, 21 1, 212, 216, 220, 221, 222 Formosa 4, 39, 66, 67, 68, 73 Fransiskus Xaverius 211 G gajah Airawata 85 Gajah Mada 103, 104, 109, 170, 181 Gajayana 94 Gayo 70, 73, 206 George Coedes 87, 88 Gerakan Riau Merdeka 331

G.H.R. von Koenigswald 22, 25, 26, 27 Gianyar 104, 107, 108, 109, 127, 131 , 325, 326 Globalisasi vi, 12, 282, 284, 293, 295, 296, 297, 300, 316 Gorontalo 73 Gujarat 8, 165, 166, 167, 169, 171, 17

(23)

3, 175, 177, 182 Gunung Kawi 96, 97, 107, 108, 131 Gunung Lawu 22, 24, 141 Gunung Merapi 24 Gunung Semeru 103, 154 H Hang Tuah 172 Hangzhou Bay 42 Hassanuddin 179 Hawai 71, 74 Hayam Wuruk 102, 103, 104, 152, 157 , 158, 298 Hegel 262, 263, 268 Helong 73 Henley, D. 218, 222 Hindu v, 5, 6, 8, 9, 81, 82, 83, 86, 9 1, 92, 93, 94, 95, 101, 103, 105, 1 10, 111, 113, 114, 116, 120, 122, 123, 124, 128, 129, 130, 140, 141 , 142, 152, 167, 168, 171, 176, 17 8, 180, 181, 182, 203, 209, 210, 2 21, 261, 266, 315, 330, 348 hobbit 31, 32 Holle 82

Homo Erectus v, vii, 2, 15, 18, 22 Homo floresiensis 31, 32, 38 Homo Sapiens v, vii, 2, 15, 32 Howells 36 Huberman 41 Hujung Galuh 96 Hurgronje, S. 191, 202 I Imam Bonjol 179, 257, 258 India 5, 6, 81, 82, 83, 84, 86, 87, 89 , 91, 93, 103, 114, 115, 117, 119, 120, 126, 141, 142, 150, 163, 166 , 169, 173, 174, 175, 177, 203, 20 6, 207, 266, 348 Indragiri 20 Inggris 8, 10, 166, 174, 187, 188, 19 0, 204, 229, 233, 234, 235, 236, 237, 240, 244, 297, 298, 310, 34 9, 350 I Nyoman Suprapta 330 Irarutu 76 Iresim 76 Isidore Dyen 75 Islam 7, 8, 9, 104, 167, 168, 169, 170 , 171, 172, 173, 174, 175, 176, 17 7, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 1 91, 194, 197, 202, 203, 204, 205, 206, 208, 209, 210, 213, 214, 217

(24)

, 220, 221, 222, 261, 266 Islamisasi v, 8, 165, 169, 174, 176, 1 77, 178, 179, 180, 182, 183, 206 , 222 I-tsing 87, 90 J Jakarta 38, 62, 63, 78, 79, 85, 86, 109 , 110, 116, 125, 132, 143, 163, 16 4, 166, 167, 168, 169, 173, 176, 1 82, 183, 201, 202, 217, 222, 231, 233, 235, 237, 241, 242, 278, 279 , 295, 296, 301, 306, 314, 315, 31 6, 333, 349 Jambi 88, 89, 90, 101, 124, 126, 143 Jassin, H.B. 253, 279 Jawa 2, 4, 5, 6, 7, 9, 15, 18, 19, 20, 21, 22, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34 , 35, 36, 38, 50, 61, 66, 67, 69, 7 0, 71, 72, 73, 75, 82, 84, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96 , 97, 98, 99, 100, 101, 103, 107, 1 08, 109, 114, 115, 117, 118, 119, 120, 124, 125, 126, 127, 128, 129 , 130, 132, 135, 137, 138, 139, 14 0, 141, 142, 143, 146, 147, 148, 1 49, 150, 151, 152, 155, 157, 160, 164, 170, 173, 175, 176, 177, 179 , 187, 188, 189, 192, 195, 196, 20 5, 207, 208, 209, 213, 215, 217, 2 18, 221, 259, 261, 298, 299, 318, 331, 332, 348 Jawa Barat 5, 82, 84, 85, 86, 114 Jawa Kuna 7, 61, 140, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 155, 157, 160 , 164, 348 Jawa Tengah 6, 21, 22, 27, 28, 29, 91 , 92, 93, 94, 109, 115, 117, 118, 1 19, 120, 124, 125, 128, 129, 132, 135, 142, 143, 152, 213 Jawa Timur 26, 29, 34, 35, 38, 94, 96 , 97, 100, 107, 108, 109, 118, 120 , 124, 125, 126, 127, 128, 129, 13 0, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 1 42, 148, 152, 298 Jayabhaya 97, 98, 99, 100, 108 Jayakatwang 102, 109 Jayapangus 100, 106, 108 Jayasakti 100, 108 Jenggala 96, 97, 98, 99 Jerman 297, 349 Jombang 132 Jung 263

(25)

K Kahayan 20, 219 Kahuripan 94, 95, 96, 97 Kairo 173 Kakawin Sutasoma v, 7, 103, 145, 146, 149, 150, 152, 153, 155, 156, 157 , 158, 159, 160, 161, 162, 163 Kalasan 94, 117 Kali Biuk 21 Kali Cisaat 21 Kali Glagah 21 Kalimantan 5, 18, 19, 20, 42, 46, 75, 82, 83, 176, 195, 202, 208, 210, 2 12, 213, 219, 222 Kalimantan Timur 5, 82, 83 Kalingga 82, 161 Kamadhatu 121 Kamboja 103, 148 Kameswara 99, 100 Kanjuruhan 94 Karanganyar 22 Karl Marx 262, 263 Katolik v, 9, 199, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214 , 215, 216, 217, 220, 221, 222 Kebo Edan 127 Kedah 90 Kedang 73 Kediri 94, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 10 8, 109, 131, 137, 138, 140 Kedungbrubus 26 Kelantan 36 Ken Arok 100, 101, 102 Kendeng 24, 26

Kerajaan Mataram Hindu 91 Kern, H. 70, 75, 82, 98 Kertajaya 100, 108 kidung Sudamala 140 Ki Hajar Dewantara 253 Kili Suci 97 Kintamani 106, 127 Klaten 119, 122, 123 kolonialisme viii, 2, 8, 179, 246, 301 Konawe 73 Kota Kapur 87, 88 Kristen 204, 208, 210, 211, 213, 214, 215, 216, 217, 219, 220, 222 Kroeber 77

Krtarajasa 132. Lihat juga Raden Wijaya Kundungga 83 Kupang 66, 212, 214, 215, 217, 223 Kutai 5, 82, 83, 84, 113 L Lamaholot 73 Lamalera 71, 72 Laos 34, 148 Ligor 90 lingua franca 66, 223 Lio 69, 70, 71, 72, 73, 80 local genius 7, 185 Lubis, A.Y. 287, 288, 290, 296 Luzon 31 M Madagaskar 37, 39, 68, 69, 73 Madiun 26, 96, 299 Madura 66, 75, 195 Mahabharata 95, 137, 150 Mahabrata 112, 135 Mahatir Mohammad 331 Mahayana 88, 153, 156, 252, 275, 27 6, 279 Mahendradatta 95, 100 Majapahit 94, 102, 103, 104, 109, 128 , 132, 133, 134, 135, 136, 137, 13 8, 140, 141, 143, 152, 153, 157, 1 58, 160, 163, 168, 170, 171, 178, 179, 180, 181, 183, 210, 258, 298 Makuta Wangsa Wardhana 95

Malang 96, 100, 118, 143, 299 Malaysia 4, 35, 36, 37, 65, 66, 67, 7 5, 91, 103, 148, 225, 232, 331, 3 36, 339 Malayu 41, 50, 53, 54, 59, 90, 101. Lihat juga Jambi Malik al-Saleh 168, 169, 170 Maluku 46, 67, 74, 76, 166, 173, 175 , 176, 179, 181, 205, 207, 208, 20 9, 210, 211, 212, 259 Mandala 80, 121, 326 Mangaia 74 Manggarai 71, 72, 73, 194 manusia Indonesia 1, 12, 149, 281, 282, 291 Maori 74 Marawijaya Tunggawarman 91 Marco Polo 168 Marsden 188, 189, 202, 222 Max Havelaar 193 Mekah 173, 180 Meko Mbete v, 4, 52, 54, 63, 65, 348 Melanesia 3, 36, 39, 62, 66, 74 Melayu Ambon 66

(26)

Melayu Ampenan 66 Melayu Betawi 66 Melayu Kupang 66 Melayu Larantuka 66 Melayu Loloan 66 Melayu Manado 66 Melayu Papua 66 Meoswar 76 Merapu 48, 49 Merauke 65 Merkara 82 Milan 297 Miles 41 Minahasa 73, 207, 209, 215, 216, 218 Minang 66, 334 Minangkabau 61, 73, 174, 199, 206, 259, 331 Mojokerto 26, 27 Molengraaf 19 Mongoloid 3, 36, 37, 39, 40 Mpu Prapanca 102 Mpu Tantular 103, 152, 155, 159, 160 , 162, 163 Muhammad Yamin 88 Mulawarman 83, 84

Multatuli 193. Lihat juga Max Havelaar multietnik 1 multikultur 1 multilingual x, 1 Muna 70, 71, 73 Museum Nasional 86, 116, 125, 132 Myanmar 130, 148 N Nagarakertagama 102, 103 Nalanda 91 nasionalisme viii, 2, 197, 201, 248, 258 Neanderthal 34

Nederlandsch Indies 8, 186. Lihat juga Belanda

Negrito 36

New South Wales 34 Ngadha 73 Ngandong 20, 27, 28, 29, 30 Ngawi 20, 26, 29 Ngebung 22, 23, 24 Nias iv, 39, 42, 43, 45, 46, 63, 69, 7 2, 73, 219 Nieuwenhuys 299 NKRI x, 2

Nusantara v, vii, viii, 2, 3, 4, 8, 9, 1 5, 16, 18, 21, 45, 46, 61, 66, 68 , 73, 78, 79, 113, 143, 146, 147,

(27)

0, 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 186, 187, 189 , 191, 192, 193, 198, 199, 200, 20 3, 204, 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214, 216, 221, 223, 245, 24 7, 248, 275, 276, 298, 334 Nusa Tenggara 48, 176, 194, 201, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 215 , 216, 220, 222, 223, 349

Nusa Tenggara Timur 48, 194, 206, 207 , 209, 210, 211, 216, 223 O Oppenorth 27 Orde Baru 149, 272, 302, 303, 305, 31 9, 320, 331, 332, 334 P Pakpak 71 Pakubuwono X 298, 299, 313 Palawan 34 Palembang 87, 88, 89, 114, 173 Palu’é 73 Pancasila 7, 149, 155 Papua 4, 18, 19, 66, 67, 68, 74, 76, 7 7, 78, 80, 211, 213, 214, 215, 219 , 220, 233

Papua New Guinea 4, 66, 67, 76, 77 Parameswara 171, 172

Pararaton 103 parasparopasarpana 161 Paris 38, 297, 315 Pasuruan 96

Pasuwitran Dagang Gantal 328 Pattimura 257, 258 Pax Neerlandica 200 Pejeng 104, 105 Pekanbaru 331, 333, 334, 337, 339 Penjalu 96 Persia 165, 166, 167, 173, 175, 177 Peter Brown 31 Piliang, A.Y 282, 288, 290, 291, 292, 294, 296 Pires, Tome 169, 170, 171, 173, 175, 204, 205 Plaosan 93, 94 Poerbatjaraka 88, 148, 163, 253, 264 Polinesia 4, 41, 42, 50, 53, 54, 59, 66 , 67, 73, 75, 79 politik kebudayaan viii, 2 Portugis 9, 165, 174, 175, 177, 178, 179, 203, 204, 205, 206, 207, 208 , 209, 211, 212, 214, 215, 216, 2

(28)

Prancis 23, 87 prasasti abhayagiriwihara 92 prasasti Bawang 88 prasasti Blanjong 105 prasasti Canggal 91, 92 prasasti Dinoyo 94 Prasasti Hantang 97 prasasti Kahulunan 92 prasasti Karang Berahi 87, 90 prasasti Kayumwungan 92 prasasti Kedu 92

prasasti Kedukan Bukit 87, 88 prasasti Klurak 92

prasasti Kota Kapur 87, 88 Prasasti Manjusrigrha 123 Prasasti Nalanda 91 prasasti Palas Pasemah 88 prasasti Sarwadharma 99 prasasti Siwagraha 122 prasasti Sukabumi 146 prasasti Talang Tuwo 87, 88 prasasti Telaga Batu 87, 89 prasasti Wurare 98 Protestan v, 9, 203, 204, 211, 213, 21 4, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222 Pucangan 22, 23, 24, 25, 26, 30 Purnawarman 84, 85, 86 Pu Sindok 95 Q Quentin Atkinson 33 R Raden Wijaya 132, 133 Raffles, T.S. 187, 188, 189, 202, 222 Ragajaya 100, 108

Raja Megat Iskandar Syah 172. Lihat juga Parameswar Ramayana 112, 122, 135, 139, 143, 15 0, 151, 152 Rambu Solo 46 Rante Kalimbuang 48 Rapanui 74 Rarotonga 74 Ray 77 Reformasi 215, 322 Reid, A. 167, 183, 188, 202, 204, 205 , 206, 222 Rendra, W.S. 305 Riau 13, 14, 66, 75, 130, 174, 318, 3 19, 324, 330, 331, 332, 333, 334, 338, 339 Roma 204, 210, 297 S Sabang 65 Sahul 18, 19, 36, 38 Sakyakirti 90 Samoa 71, 72, 74 Sampit 20 Samudra Hindia 90 Samudra Pasai 165, 167, 168, 169, 170 , 171, 172, 174, 181, 183, 205 Sanggrama Wijaya 96, 97

Sang Hyang Kamahayanikan 95 Sangiran 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 Sangir Talaud 73, 207, 216, 219 Sanjaya 91, 92, 93 Santa Cruz 74 Sanusi Pane 198, 253, 262, 263, 264 Sarekat Dagang Islam 197

Sarekat Islam 197 Sasak 50, 52, 53, 62, 63, 66, 70, 71, 73, 147 Schmulling, P.E.C. 22 Selandia Baru 37, 39, 68 Selat Malaka 89, 90, 166, 167, 205, 207 Senoi 36 Seram 74, 208 Serawak 34, 35, 37 Sibarani, R. 273, 274, 276, 279 sikhara 93 Sikka 73, 209 Simbuang Batu 48 Singapura 65, 233, 331 Siwa Sidhanta 8, 181, 182 Sleman 94, 115 Sobei 76 Soekmono, R. 112, 119, 135, 143, 168 , 169, 171, 174, 183 Soeriadiredja 48 Spanyol 166, 174, 178, 203, 208, 209 Sragen 22, 28

Sri Gunapriya Dharmapatni

100, 106, 107. Lihat juga Mahendra- datta

Sri Isanatungga Wijaya 95

Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikrama Tunggadewa 96 Sriwijaya 8, 66, 87, 88, 89, 90, 91, 11

0, 114, 124, 168, 182, 183, 258 Sutan Takdir Alisjahbana (STA) 250, 251

, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 25 8, 259, 260, 262, 263, 265, 266, 2

(29)

Sugriwa 135, 152, 163, 328 Sulawesi 31, 42, 67, 73, 75, 173, 176, 1 79, 194, 195, 209, 213, 215, 218 Sumatra 9, 18, 19, 20, 35, 50, 63, 87, 115, 127, 167, 173, 174, 177, 179, 187, 188, 190, 195, 198, 201, 202, 204, 206, 209, 211, 213, 215, 220, 221, 222

Sumpah Pemuda vi, 10, 65, 66, 197, 22 3, 224, 226, 227, 231, 237, 239, 2 48, 249 Sunda 4, 18, 19, 21, 36, 38, 62, 66, 67 , 70, 71, 72, 73, 75, 90, 110, 147, 175, 179, 331 Sungai Brantas 96, 97 Sungai Cemoro 24 Sungai Citarum 84 Sungai Kampar 20 Sungai Kapuas 20, 219 Suparlan, P. 271, 272, 273, 276, 279 Surabaya 96, 107, 176, 296, 299, 301 Suryadi 318, 331, 332, 333, 334, 335, 3 36, 337, 339 Sutasoma v, 7, 103, 136, 145, 146, 149 , 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157 , 158, 159, 160, 161, 162, 163 Sutherland, H. 195, 202

Sutjiati Beratha, N.L. v, viii, 3, 39, 50, 52 , 53, 63, 347 Swiss 297 T Tagalog 62, 69, 70, 71, 72 Taiwan 37, 39, 42, 44, 45, 46, 68 Talinbu 74 taman Sriksetra 88 Tam Pa Ling 34 Tanahmerah 77 Tanimbar 46, 208 Tantra 125 Tarumanagara 5, 82, 83, 84, 85, 86, 88 Tarumanegara 109, 114. Lihat juga Taru-

managara Tasmania 35 Teeuw, A. 147, 164, 249, 251, 252, 279 Tegal 21, 117 Ter Haar 27 Ternate 176, 179, 195, 205, 211 Tetun 71, 73 Teuku Umar 179, 257, 258 Thomas Horsfield 188 Tidore 176, 179, 205 Timor Leste 80, 209, 212, 213 Timor Timur 216, 217. Lihat

juga Timor Leste

Tiongkok 42, 169, 173, 203, 207 T. Jacob 26 Tolaki 73 Tonga 71, 72, 74 Toraja 43, 44, 45, 46, 47, 48, 53, 64 , 73, 218 Trinil 20, 22, 26, 28, 29, 30 Trowulan 104, 138 Tuban 96, 177, 301 Tulungagung 34, 35 Turki 174, 177 U

Udayana iii, iv, v, vii, viii, ix, x, 80, 95, 100, 106, 107, 108, 127, 131 , 242, 278, 279, 315, 347, 348, 349, 350

Ukraina 34 V

Van der Tuuk, H. 75, 76, 110 van Leur, J.C. 177, 186

Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) 179, 186, 211, 215, 216 Vereeniging Toeristen Verkeer

300, 301, 316 Von Heine-Geldern 81 W Wajak 34, 35, 36, 37 Warmadewa 95, 105, 106, 107 Watu Renggong 180 Weber, Max 19 Wonosobo 6, 119, 142 Y Yogyakarta 63, 79, 94, 109, 110, 115 , 119, 122, 163, 164, 168, 169, 181, 183, 202, 295, 296, 314, 3 15, 348 Z Zhejiang 42 Zoetmulder, P.J. 146, 152, 153, 157, 164

(30)

I Wayan Ardika, lahir di Tabanan pada tanggal 18 Februari 1952. Sejak

tahun 1980 sebagai tenaga edukatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. I Wayan Ardika sebagai Guru Besar di Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana sejak 1998 hingga sekarang. Sebagai guru besar ilmu arkeologi, I Wayan Ardika tertarik untuk meneliti masa prasejarah Bali, sejarah Bali Kuno, dan pariwisata warisan budaya. Menulis beberapa buku antara lain: Stratifikasi Sosial pada masa Prasejarah di Bali (2017), Perajin pada Masa Bali Kuno (2015), Warisan Budaya Perspektif Masa Kin (2015), Sejarah Bali dari Masa Prasejarah sampai Modern (2012), Pusaka Budaya dan Pariwisata (2007). Mengikuti seminar dan menerbitkan sejumlah karya ilmiah di jurnal internasional.

Ni Luh Sutjiati Beratha, menyelesaikan pendidikan magister di Monash

University Melbourne, dan doktor di Australian National University di Canberra. Mampun menghasilkan sejumlah publikasi dari hasil penelitian baik di jurnal nasional dan internasional, dan menulis buku ajar untuk siswa Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Menaruh minat besar untuk penelitian yang terkait dengan pelestarian kebudayaan Bali. Marginalisasi

Bahasa Bali, Ekologi Bahasa Bali di Kawasan Pariwisata di Bali, Komodifikasi/ Hibridisasi Kerajinan Bali, Industri Budaya, dll. Saat ini sedang menjabat

sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Unud.

Aron Meko Mbete adalah Guru Besar di bidang linguistik serapan, mengajar

di Fakultas ilmu Budaya Universitas Udayana.

I Ketut Setiawan adalah staf pengajar di Jurusan Arkeologi sejak 1985.

Pada 1995 meraih gelar Master di Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikan S3 Kajian Budaya di Universitas Udayana dan memperoleh gelar Doktor pada 2011. Di samping sebagai dosen di Jurusan Arkeologi juga menjadi staf pengajar di Program Magister dan Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

I Wayan Redig mengajar di Jurusan Arkeogoli dan Program Magister

dan Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pendidikan terakhir S3 tahun 1993 di Punyab University Chandigarh,

(31)

I Nyoman Suarka dilahirkan di Tabanan, 12 Pebruari 1961. Dia adalah guru

besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dalam bidang ilmu Sastra Jawa Kuna. Dia menyelesaikan S3 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2007. Buku yang telah diterbitkan, antara lain Kidung Tantri

Pisacarana (Denpasar: Pustaka Larasan, 2007); Makna Hari Suci Agama Hindu Menurut Lontar Sundarigama (Denpasar: Cakra Press, 2008); Telaah Sastra Kakawin Sebuah Pengantar (Denpasar, Pustaka Larasan, 2009); Nilai Karakter Bangsa dalam Permainan Tradisional Anak-anak Bali (Denpasar:

Udayana University Press, 2011); Meniti Kehidupan Berguru dari Pengalaman

& Riwayat Leluhur Pande di Bali (Denpasar: Udayana University Press,

2015). Minat penelitiannya mencakup aksara, bahasa, sastra dan budaya Bali serta bahasa dan sastra Jawa Kuna (Kawi).

Ida Ayu Wirasmini Sidemen adalah staf pengajar di Jurusan Sejarah,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pendidikan terakhir S3 diselesaikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

I Ketut Ardhana adalah Guru Besar Sejarah Asia pada Program Studi

Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Ia menyelesaikan Program Master di Australian National University (ANU) Australia dan Program Doktor pada Ilmu-Ilmu Asia Tenggara pada Universitat Passau di Passau Jerman tahun 2000. Bukunya yang sudah terbit Penataan Nusa

Tenggara Pada Masa Kolonial (1915—1950), Jakarta: Raja Grafiti, 2005,

“History Education in Borderline Territory”, dalam Historia: International

Journal of History, Vol. XIV, No.1 (June, 2013), “Early Harbours in Eastern

Nusa Tenggara”, dalam John N. Miksic and Goh Geok Yien (eds). Ancient

Harbours in Southeast Asia: The Archaelogy of Early Harbours and Evidence of Inter-Regional Trade. Bangkok: SEAMEO SPAFA: Regional Center for

Archaelogy and Fine Arts, 2013. Minat penelitiannya mencakup penelitian sejarah, kota pusaka budaya, kajian budaya, dan studi perbatasan di Asia Tenggara. Email: phejepsdrlipi@yahoo.com

I Wayan Pastika adalah Guru Besar bahasa Indonesia dan linguistik di

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Pendidikan doktor dalam bidang linguistik umum diselesaikan di Department of Linguistics, Faculty

of Arts, The Australian National University di Canberra Australia tahun

2000. Disertasinya bertajuk Voice Selection in Narrative Balinese Discourse. Sejak 1 April 2017 sampai 1 April 2020 diberi izin oleh Rektor Universitas

(32)

Udayana untuk mengajar bahasa Indonesia dan linguistik di Graduate School

(33)

I Wayan Resen adalah staf pengajar di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Udayana.

I Nyoman Dhana adalah staf pengajar di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Udayana. Minat penelitiannya mencakup penelitian antropologi, masyarakat multikultural, dan kajian budaya.

Ida Bagus Gde Pujaastawa. lahir di Denpasar, 18 November 1962. Dosen

tetap Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Menyelesaikan studi doktoral di Program S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana tahun 2011. Di samping mengajar juga aktif meneliti, menulis artikel, buku, dan sebagai pembicara masalah-masalah sosial-budaya dan kepariwisataan di berbagai pertemuan ilmiah. E-mail : ibg_pujaastawa@ yahoo.co.id

I Nyoman Darma Putra adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya dan

Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Universitas Udayana. Menyelesaikan program doktor di School of Languages and Coparative Cultural Studies, University of Queensland, 2003, dan sejak 2013 menjadi honorary professor di almamaternya ini. Disertasinya terbit menjadi buku A

literary mirror; Balinese reflections on modernity and identity in the twentieth century (Leiden: KITLV Press, 2011). Menulis beberapa buku biografi

tokoh pariwisata Bali dan menyunting buku termasuk Pariwisata Berbasis

Masyarakat Model Bali (2015) dan bersama Siobhan Campbell mengedit

buku Recent Developments in Bali Tourism: Culture, Heritage, and Landscape in

an Open Fortress (2015). Ia kini ketua editor Jurnal Kajian Bali (terakreditasi)

dan Jumpa (Jurnal Master Pariwisata).

Ida Bagus Putra Yadnya adalah Guru Besar di bidang Linguistik /

Terjemahan, dosen di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya. Saat ini menduduki posisi sebagai Ketua Program Magister Linguistik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana dan sebagai Ketua Grup Riset Linguistik Terapan berfokus pada terjemahan, pembelajaran bahasa, perencanaan bahasa, dan linguistik kebudayaan.

(34)

B

uku ini membentangkan lanskap dinamika manusia dan kebudayaan Indonesia dari masa pra-sejarah sampai era global dewasa ini. Migrasi dan kontak dengan bangsa luar merupakan faktor penting dalam proses pembentukan lanskap budaya Indonesia dari

masa ke masa.

Diawali dengan uraian tentang masa pra-sejarah yang ditandai dengan kehadiran manusia pertama nusantara (Homo Erectus) dan disusul oleh manusia yang cerdas dan bijak (Homo Sapiens) puluhan

ribu tahun silam, buku ini kemudian menyajikan kajian tentang bahasa dan budaya Austronesia, kontak bangsa dan etnik Nusantara dengan bangsa luar, kehadiran dan dinamika agama-agama di Indonesia,

falsafah Bhinneka Tunggal lka, kolonialisme, nasionalisme, polemik dan politik kebudayaan, pariwisata, hingga peran media massa dalam proses formasi lanskap budaya Indonesia.

Artikel-artikel di dalam buku ini ditulis oleh dosen-dosen Fakultas llmu Budaya Universitas Udayana dengan latar belakang keahlian masing-

masing termasuk bidang arkeologi, linguistik, sejarah, antropologi,

sastra Jawa Kuno, sasra Indonesia, dan kajian budaya. Buku ini

dimaksudkan sebagai bahan pokok mata kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia.

ISBN 97�-b02-5�0J.-J.5-2

Referensi

Dokumen terkait

Keberhasilan dialog ini antara lain: mereka bisa saling mengenal, lebih mengetahui berbagai problem yang dihadapi, bersedia saling mendengarkan dan saling

Ancamannya adalah apabila gerakan massa tanah di Dusun Lucu Palongan mengalami longsor (keruntuhan lereng), maka masyarakat yang sedang berada dalam blok longsoran akan ikut

Jadi, dalam pengertian yang lain, media adalah alat atau sarana yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak.. Banyak ahli dan juga organisasi

Berdasarkan fig.14 dan penjabaran yang ada dalam tabel 2, dari empat ciri utama yang dimiliki oleh ekspresi takut, ada tiga yang memiliki kecocokan, yakni untuk

Nilai keluaran crisp yang dihasilkan dengan menggunakan Persamaan (2), dan proses selanjutnya yaitu menentukan indikator formalin seperti yang ditunjukkan pada Gambar

She smiled sarcastically and plans something to avenge Stefan’s betrayal. When the day of blessing comes, Maleficent also attend to the castle which makes

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan jumlah tapioka dan soda kue terhadap hasil jadi amplang ikan lele yang meliputi (warna, aroma, rasa, kerenyahan,

Dalam image compression , biasanya digunakan lossy compression karena untuk membuat ukuran yang kecil diperlukan untuk menghilangkan atau mengubah sebagian informasi