• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

Oleh :

Prof. Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.Hum.

Bagian Hukum Administrasi Fakultas Hukum Univ. Udayana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça, oleh karena atas

tuntunan-Nyalah maka penelitian terkait “MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN

BERWAWASAN LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN

ASLI DAERAH” ini dapat terselesaikan. Penelitian ini disusun dalam rangka

melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ditugaskan pimpinan Fakultas Hukum

Universitas Udayana berdasarkan surat tugas No. 2056A/UN-14.1.11.II/TU.00.00/2015

tertanggal 3 Desember 2015. Penelitian ini akan mengkaji dampak UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam penyelenggaraan

otonomi daerah yang diatur pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peneliti sangat menyadari bahwa penelitian mandiri ini dapat terselesaikan atas

bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang

terhormat ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada semua pihak yang telah membantu untuk kelancaran riset ini. Semoga bantuan,

pengorbanan, dan petunjuk yang telah diberikan kepada peneliti mendapat pahala dari Ida

Sang Hyang Widhi Waça. Akhirnya peneliti tetap berharap semoga hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Terima kasih.

Denpasar, 2 Oktober 2015 Peneliti,

(3)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era reformasi banyak hal positif maupun negatif yang terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Posisi tawar menawar masyarakat saat ini semakin

menguat, apalagi dengan didengungkannya otonomi daerah. Walaupun demikian apabila

arus reformasi ini tidak terkendali dapat menjadi bumerang bagi bangsa dan negara. Oleh

karena diperlukan pemikiran yang arif, sehingga hal-hal baik di masa lalu masih tetap

dapat digunakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan manusia seutuhnya

yang selama ini dicita-citakan.

Kebijakan Nasional yang tertuang dalam Pasal 9 sampai 20 UU No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peluang sekaligus tantangan bagi

daerah untuk menyelenggarakan kewenangan bidang pengelolaan lingkungan hidup

secara terdesentralisasi dengan paradigma demokratisasi. Di pihak lain, kebijakan

tersebut juga telah menunjukkan tekad dari Pemerintah Pusat untuk memberdayakan

pemerintah daerah dalam mengurus urusan di bidang lingkungan hidup serta mendorong

berkembangnya kreatifitas maupun inovasi masyarakat dalam pelaksanaan

program-program pembangunan di daerah yang ramah lingkungan. Dalam kaitan ini, yang

menjadi persoalan adalah bagaimana menjalankan proses desentralisasi di bidang

pengelolaan lingkungan hidup melalui cara-cara yang demokratis dan adil serta mampu

meningkatkan pendapatan asli daerah untuk mendukung kemandirian daerah

bersangkutan.

Pengalaman menunjukkan proses otonomi daerah tampak berjalan terseok-seok.

Banyak muncul persoalan sebagai akibat perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan

daerah.1 Konflik kepentingan selalu terjadi dimanapun, satu sisi keinginan untuk

melaksanakan otonomi sesuai dengan kewenangannya, tetapi dilain pihak dihadapkan

kemampuan daerah untuk membiayainya. Setiap daerah berusaha untuk mampu

meningkatkan pendapatan asli daerah, akan tetapi keinginan tersebut tidak dapat menjadi

sebab negara kita tidak sebagai negara hukum lagi serta semakin jauhnya cita-cita

1Hari Sabarno (Mendagri), Otonomi Belum Berbuah Manis, Kompas, Minggu, 27 Januari 2002,

(4)

mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Secara lebih sederhana, paling tidak ada 2

(dua) persoalan mendasar yang relatif sulit diselesaikan berkenaan dengan

penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup, yakni :

Pertama, menguatnya “Ego Sektoral“ yang bertalian dengan kewenangannya mengelola

lingkungan hidupnya telah membawa serta adanya eksploitasi terhadap sumber

daya lingkungan hidup tanpa dilandasi pemikiran yang rasional, holistik dan

berkelanjutan. Hal ini disebabkan begitu kuatnya kepentingan Pemerintah

Daerah untuk membiayai urusan-urusan pemerintahannya;

Kedua, dengan “Euforia Otonomi Daerah” seluas-luasnya memandang wewenang

pengelolaan lingkungan hidup secara distorsif. Lingkungan hidup bukan

dipandang sebagai barang mewah, namun lebih dipandang sebagai sumber

pendapatan yang dapat dieksploitasi tanpa memikirkan keterbatasannya.

Menyimak kondisi seperti di atas, menjadi suatu kepentingan yang cukup

mendesak dan sangat bermanfaat bagi masyarakat maupun pemerintah bilamana

dilakukan suatu pengkajian yang mendalam terhadap persoalan pengelolaan lingkungan

hidup yang mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah dengan tetap menjaga

kelestarian lingkungan hidup itu sendiri beserta fungsinya.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, jika otonomi dikaitkan dengan

pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan maka ada satu pertanyaan mendasar

yang memerlukan sorotan kritis secara normatif yakni, bagaimanakah Hukum

Lingkungan mengendalikan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup agar berkelanjutan

dengan tetap dapat mendukung peningkatan pendapatan asli daerah ?

1.3. Metode Penelitian

Penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian hukum normatif yang difokuskan

pada bahan-bahan hukum terkait. Mengenai pendekatan yang akan diterapkan dalam

penelitian ini dilakukan melalui pendekatan konseptual (conceptual approach) dan

pendekatan undang-undang (statuta approach). Pendekatan konseptual diterapkan untuk

(5)

Selanjutnya pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk mendapat ketentuan

hukum yang melandasi penelitian yang dilakukan.

Sebagai bahan hukum primer dari penelitian ini berasal dari penelitian terhadap

berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Peraturan perundang-undangan yang

dimaksudkan, seperti UU No. 32 Tahun 2009 serta UU No. 23 Tahun 2014. Bahan

hukum sekunder yang digunakan antara lain diperoleh dari bahan pustaka di bidang

Hukum Administrasi Negara, Hukum Pemerintahan Daerah, Hukum Lingkungan yang

berkaitan dengan teknis dan substansi penelitian. Sementara itu, tehnik yang diterapkan

dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penyusunan naskah akademik

ini adalah melalui tehnik telaahan kepustakaan (study document). Telaahan kepustakaan

dilakukan dengan dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi

yang diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penerapan tehnik telaahan

kepustakaan itu didukung pula oleh tehnik bola salju dengan menemukan bahan hukum

sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikit sehingga bahan hukum yang

diperoleh dapat selengkap dan seobyektif mungkin untuk selanjutnya dilakukan

(6)

II. PEMBAHASAN

2.1. Konsepsi Otonomi Daerah

Konsep atau pemahaman tentang otonomi dalam pelbagai konteks mengandung

pokok pengertian yang sama yaitu “hak dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah

tangga/diri sendiri”. Akan tetapi dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dengan

asas dan sistemnya, terdapat perkembangan pemberian makna yang berbeda luas

cakupannya. Rondinelli dan Cheema misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai :

The transfer planning, decision making, or administrative authority form the central governmentt to its field organizations, local administrative units,

semiautonomous and parastatal organizations, local government, or

nongovermental organizations.2

Keberadaan pemerintah lokal yang berotonomi ini merupakan perwujudan dari asas

penyelenggaraan pemerintahan desentralistik berdampingan dengan asas dekonsentrasi.3

Kedua asas itu dapat diterapkan baik dalam Negara Kesatuan maupun dalam Serikat

(Federal) yang membagikan tugas, kekuasaan dan wewenangnya secara territorial.

Memperhatikan realita masyarakat Indonesia yang pluralistik, maka pola

penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi merupakan pilihan yang tidak dapat

dihindarkan. Menurut Osborne dan Gebleer4 ada berbagai keuntungan yang dapat

diperoleh Negara dengan pemerintahan yang terdesentralisasi dibandingkan dengan yang

tersentralisasi. Pertama, lembaga terdesentralisasi lebih flkeksibel, dalam artian dapat memberikan respons dengan cepat terhadap kebutuhan rakyat yang berubah. Kedua, lembaga terdesentralisasi lebih inovatif. Ketiga, lembaga yang terdesentralisasi lebih efektif. Keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya. Dengan kata lain,

pemberian otonomi kepada daerah dapat mencegah penumpukan kekuasaan pada satu

lapisan atau pihak pusat saja. Sistem pemerintahan terdesentralisasi memberikan

2Rondinelli, and Cheema, “Decentralization and Development: Policy Implementation in DevelopingCountries”, Sage Publication, Beverly Hills, 1983, hlm. 18.

3 Ryaas Rasyid, “Presiden Harus Tangani Langsung Otonomi Daerah”, Kompas, Minggu , 27

Januari 2002, hlm. 30.

(7)

pengakuan terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil

rakyat di daerah-daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Dari

sisi lain berotonomi itu juga dimaksudkan untuk menyalurkan secara tertib, terarah, dan

teratur semangat kebebasan secara bertanggungjawab, mendidik dan melatih diri

menetapkan dan melaksanakan kegiatan politik lokal yang sejalan dengan kegiatan

politik nasional atau politik dalam negeri. Dengan itu semua tercakup tujuan dan manfaat

untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang telah memberikan kepercayaan

kepada para wakilnya dalam lembaga resmi, yaitu DPRD. Sebagai perwujudan

penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi, maka konsep “good governance”

dalam pelaksanaan otonomi hendaklah dapat diinterpretasi menurut 3 (tiga) domainnya,

yaitu good public governance, dan good corporate/privat governance serta good citizen

organization/community society. Dengan demikian, otonomi daerah dipahamkan sebagai

pemberian kewenangan kepada rakyat, masyarakat, dan Pemerintah Daerah.5

2. Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebagaimana diketahui, UU No. 22 Tahun 1999 yang muncul pasca reformasi

(saat ini telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014) telah menggariskan paradigma

baru sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem otonomi nyata dan

bertanggung jawab menjadi sistem otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan

otonomi luas, pada dasarnya semua urusan pemerintahan menjadi urusan rumah tangga

daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Prinsip residual atau

pola reduksionis menjadi dasar pembagian kewenangan pemerintahan secara vertikal

antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.6 Dalam hubungan ini, urusan

pemerintahan daerah menjadi sulit dikenali, segala aspek kehidupan bermasyarakat yang

berkaitan dengan pelayanan dan kepentingan umum menjadi wewenang Pemerintah

5Darmakusuma dan Masana Sembiring, Kajian Evaluasi Pelaksanaan UU No. 22 Dan 25 Tahun 1999, Makalah, Bandung, 2001, hlm. 3.

6Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum

(8)

Daerah. Bagir Manan memandang hal ini sebagai ciri negara modern yang mementingkan

kesejahteraan masyarakat.7

Pembagian wewenang pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah

Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota lebih ditekankan kepada sifat,

kualitas serta ruang berlakunya kewenangan. Kewenangan inti dari Pemerintah Pusat

meliputi wewenang pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta bidang agama. Mengenai wewenang

pokok yang “didelegasikan”8 Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi sebagai

daerah otonom sifatnya terbatas, antara lain kewenangan pemerintahan yang bersifat

lintas Kabupaten/Kota, seperti kewenangan di bidang perhubungan, kehutanan,

perkebunan, dan wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kedudukannya sebagai

daerah administratif, Pemerintah Propinsi dapat diberikan wewenang tambahan atas dasar

pelimpahan dari Pemerintah Pusat (asas dekonsentrasi). Pemerintah Propinsi di dalam

menyelenggarakan wewenang pemerintahannya, baik atas dasar penyerahan maupun

pelimpahan diberikan kewenangan untuk mengelolanya mulai dari pembiayaan,

perizinan, perencanaan, pelaksanaan beserta pengawasannya.

Penguatan perhatian terhadap lingkungan hidup ini sejalan dengan tujuan

mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi tuntutan masyarakat dunia,9

nasional maupun daerah, dan pertumbuhan kesadaran manusia di dalam menghormati

serta melindungi lingkungan hidup dengan mengakui “hak atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.10 UU No. 25 Tahun 2000 tentang

Program Pembangunan Nasional pada bagian Pengelolaan Lingkungan Hidup

7Bagir Manan, Menyongsong Fajar……, Op. cit., hlm. 38.

8Hakikat desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

yang lebih rendah, Lihat B.C. Smith, Decentralization, The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, London, 1985, hlm. 1 yang menyatakan “Decentralization involves the delegation of power to lower levels in a territorial hierarchy, whether the hierarchy is one of governments within a state or office within a large-scale organization”. (Desentralisasi berkaitan dengan pendelegasian kewenangan ke tingkatan yang lebih rendah dalam suatu wilayah hirarki, apakah hirarki merupakan bagian pemerintahan dari suatu negara atau kepada jabatan dalam suatu organisasi yang lebih besar).

9Kazi F. Jalan dan JoAnne DiSano, Final Report, Conclusions and Recommendations of the Regional Consultative Meeting” dalam “Sustainable Development Asian and Pacific Perspectives”, Asian Development Bank, Manila, 1999, hlm. 1

10Prinsip 1 Deklarasi Stockholm tentang Lingkungan Hidup jis. Prinsip 1 Deklarasi Rio de Janeiro

(9)

menetapkan bahwa di dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan maka hubungan

antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan lingkungan

hidup tidak lagi berdasarkan hierarkhi, tetapi berdasarkan sinergi antara kalangan

pemerintah dengan dunia swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat, dan

masyarakat luas. Hal ini berarti, pelaksanaan otonomi daerah dalam pengelolaan

lingkungan hidup diharapkan dapat menumbuhkan komitmen baru seluruh pihak untuk

mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik (environmental good governance),

di mana Pemerintah Daerah, dunia swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi

masyarakat, dan masyarakat luas dapat membentuk suatu aliansi strategis dalam upaya

mewujudkan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya.

Pemerintah Daerah diberikan tanggung jawab penuh dalam perencanaan,

pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pengelolaan lingkungan hidup secara

proporsional sesuai dengan prioritas masalah setempat. Sebaliknya rakyat daerah

diberikan peluang yang cukup besar untuk menjaga dan melindungi kelestarian

lingkungan hidup beserta fungsinya dengan membantu serta mengontrol pemerintah baik

pusat maupun daerah agar pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara rasional,

holistik, serta berkelanjutan. Sinergis antara Pemerintah (termasuk Pemerintah Daerah)

dan/atau masyarakat secara perorangan maupun berkelompok untuk mewujudkan

kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya itu akan berpengaruh terhadap

kelangsungan suatu kegiatan/usaha pembangunan disatu pihak dan peningkatan

pendapatan asli daerah di lain pihak. Kegiatan/usaha pembangunan yang berwawasan

lingkungan akan dijamin stabilitasnya dalam mengelola lingkungan hidup, sebaliknya

keberlanjutan potensi lingkungan hidup yang mendukung keberlanjutan suatu kegiatan/

usaha akan merupakan sumber pendapatan asli daerah11. Sebagai ilustrasi, kelestarian

lingkungan hidup Bali beserta fungsinya akan mendukung kelangsungan pariwisata.

Kelangsungan pariwisata tentunya akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dari

sektor pajak hotel dan restoran (PB I), Pajak Pemanfaatan air bawah tanah dan air

11Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan sumber pendapatan asli daerah berasal dari 4

(10)

permukaan, pajak hiburan, pajak reklame, retribusi parkir, retribusi tempat rekreasi dan

olah raga, retribusi tempat penjualan minuman beralkohol.

3. Instrumen Hukum untuk Melindungi Kelestarian Lingkungan Hidup beserta Fungsinya

Dua hal yang sangat dihindari atau diupayakan tidak terjadi terhadap lingkungan

hidup adalah pencemaran dan perusakan terhadapnya. Pencemaran diartikan dengan

“masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain

kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke

tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukkannya” Dengan demikian, terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi untuk

dapat dinyatakan telah terjadinya pencemaran lingkungan hidup, yakni :

a. masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke

dalam lingkungan hidup;

b. disebabkan oleh kegiatan manusia;

c. turunnya kualitas lingkungan hidup sampai ke tingkat tertentu;

d. adanya akibat lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.

Selanjutnya perusakan lingkungan hidup diartikan dengan “tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau

hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang

pembangunan berkelanjutan”. Terdapat tiga unsur yang perlu dipenuhi untuk terjadinya

perusakan lingkungan hidup, yakni :

a. adanya suatu tindakan manusia;

b. terjadinya perubahan baik langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik

dan/atau hayati lingkungan hidup;

c. timbulnya akibat berupa tidak berfungsinya lingkungan hidup dalam menunjang

pembangunan berkelanjutan.

Unsur-unsur pada pengertian pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup

menjadi syarat konstitutif atau wajib agar dapat timbulnya pertanggungjawaban hukum

kepada pihak pencemar atau perusak lingkungan hidup. Demikian pula terhadap obyek

(11)

dapat terjadi pada semua sumber daya dari lingkungan hidup. Pemanasan global, hujan

asam, pelubangan ozon, abrasi pantai, intrusi air laut merupakan beberapa contoh akibat

laten (tersembunyi yang sewaktu-waktu dapat muncul) yang ditimbulkan oleh

pencemaran dan/atau perusakan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya.

Mengenai instrumen Hukum Lingkungan yang dapat dipergunakan untuk

mencegah atau mengendalikan perusakan dan/atau pencemaran terhadap lingkungan

hidup dapat dibedakan atas instrumen yang bersifat preventif dan represif. Adapun kedua

pembidangan instrumen tersebut dapat disimak uraian berikut ini.

3.1. Instrumen Preventif

Mengingat akan akibat yang dapat terjadi dalam perusakan dan/atau pencemaran

lingkungan hidup, maka berbagai upaya yang bersifat preventif dapat dikembangkan oleh

pihak Pemerintah, masyarakat maupun pengusaha. Upaya preventif yang dimaksudkan

antara lain berupa kegiatan penaatan (compliance) berupa pembinaan, pemberian insentif,

disinsentif, pemberian penghargaan, penetapan baku mutu lingkungan, persyaratan

AMDAL, perizinan dan penerapan sanksi hukum administrasi ringan bagi rencana

kegiatan yang diduga menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.

a. Pembinaan dilakukan terhadap pengusaha, masyarakat luas maupun aparat penegak

hukum untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukumnya di bidang

lingkungan hidup;

b. Insentif dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penetapan produk hukum yang

mengatur tentang subsidi, pinjaman dengan bunga khusus, penyaluran kredit

berwawasan lingkungan, keringanan atau pembebasan pajak serta retribusi terhadap

alat-alat pencegah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;

c. Disinsentif dapat dilakukan melalui penetapan produk hukum yang menentukan

pungutan pencemaran atau biaya pemulihan lingkungan hidup terhadap sejumlah zat

pencemar yang dibuangnya;

d. Penghargaan sebagai perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat

lingkungan terbaik, ataupun sebagai pembina lingkungan diberikan kepada setiap

orang yang sangat berjasa dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup12;

12Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara,

(12)

e. Penetapan produk hukum tentang baku mutu lingkungan oleh Pemerintah di tingkat

Daerah untuk masing-masing sumber daya lingkungan hidup, sebagai dasar hukum

didalam melakukan penilaian suatu dugaan sumber daya tertentu tercemar dan/atau

dirusakkan. Untuk wilayah ekologis Bali, ketentuan tentang Baku Mutu Lingkungan

Propinsi Bali dapat dijumpai pada Keputusan Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000.

f. Persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi setiap rencana

kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap kelestarian fungsi

lingkungan hidup. AMDAL sebagai instrumen prediksi secara ilmiah yang terdiri atas

4 dokumen yakni Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA ANDAL),

ANDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan

Lingkungan (RPL);

g. Persyaratan perizinan bagi suatu kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan

lingkungan hidup. Melalui lembaga perizinan, Pemerintah dapat mengawasi,

mengarahkan atau mengendalikan suatu kegiatan agar ramah lingkungan atau tetap

mengupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Didalam izin bersangkutan dapat

dirumuskan secara jelas mengenai kewajiban pemegang izin untuk mengolah limbah,

syarat mutu limbah yang dapat dibuang ke media lingkungan, dan lain sebagainya;

h. Penerapan sanksi hukum administratif yang ringan berupa peringatan baik lisan

maupun tertulis kepada pihak-pihak yang diduga kegiatannya akan menimbulkan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

3.2. Instrumen Represif

Mengenai upaya represif yang dapat ditempuh terhadap dugaan pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah melalui penindakan atau penegakan hukum

(dalam arti sempit), yang pada hakikatnya dapat menyangkut aspek hukum administrasi,

hukum perdata maupun hukum pidana. Dalam bidang Hukum Administrasi, instrumen

represif yang dapat diterapkan adalah berupa pengenaan sanksi paksaan pemerintahan,

uang paksa, penutupan tempat usaha, penangguhan berlakunya izin sampai pencabutan

izin oleh Pemerintah. Sanksi ini melekat pada kewenangan Pemerintah, sehingga

(13)

Pada bidang Hukum Perdata, instrumen hukum yang dapat diterapkan adalah berupa

gugatan ganti kerugian atas dasar Pasal 1365 KUH Perdata terhadap pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum termasuk

juga oleh pihak Pemerintah. Untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum

(onrechtmatighdaad) di bidang lingkungan hidup maka suatu tindakan perlu memenuhi

unsur-unsur :

a. perbuatan harus bersifat melanggar Hukum Lingkungan;

b. pelaku harus bersalah;

c. ada kerugian yang dapat diukur atas penurunan kualitas atau kemampuan lingkungan

hidup dalam mendukung kelangsungan perikehidupan manusia/mahluk hidup lainnya;

d. ada hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan yang dilakukan dengan

kerugian yang terjadi.

Sehubungan dengan Hukum Pidana, instrumen hukum yang dapat diterapkan

dalam melestarikan fungsi Lingkungan Hidup adalah melalui tuntutan pidana berupa

pidana pokok dengan atau tanpa disertai pidana tambahan. Pidana pokok berupa sanksi

pidana penjara dan pidana denda yang bersifat kumulatif. Khusus dalam hal tindak pidana

lingkungan dilakukan oleh Badan Hukum, Perseroan, perserikatan, yayasan atau

organisasi lain, maka disamping sanksi pidana pokok yang diperberat dengan sepertiga

dari batasan maksimal sanksi pidana di atas juga dapat dikenakan sanksi pidana tambahan

yang bersifat komplementer berupa tindakan tata tertib dalam bentuk :

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f. menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) bulan.

Berkaitan dengan penegakan Peraturan Daerah di bidang Lingkungan Hidup, tuntutan

pidana yang diajukan kepada pihak yang diduga mencemarkan atau merusakkan

Lingkungan Hidup cukup berat sebaiknya diarahkan kepada tuntutan pidana kurungan.

(14)

Mengenai pertanggungjawaban hukum kepada pihak pencemar dan/atau perusak

Lingkungan Hidup dalam konsep Hukum Lingkungan tidak semata-mata hak dari pihak

yang merasa dirugikan secara langsung. Pemerintah maupun masyarakat yang tidak

merasakan secara langsung terhadap akibat kerusakan dan/atau pencemaran Lingkungan

Hidup secara proaktif dapat juga mengajukan gugatan/meminta pertanggungjawaban

hukum kepada pihak yang diduga mencemarkan dan/atau merusak Lingkungan Hidup.

Hal ini sebagai konsekuensi dari fungsi Lingkungan Hidup yang sangat vital bagi

kehidupan manusia maupun mahluk hidup lainnya pada saat ini dan di masa mendatang.

III. PENUTUP

Berdasarkan pandangan, konsepsi pemikiran dan uraian di atas, maka jelas bahwa

otonomi di bidang pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya pemberdayaan

Pemerintah Daerah dalam mengurus urusan di bidang lingkungan hidup serta mendorong

berkembangnya kreatifitas maupun inovasi masyarakat dalam pelaksanaan

program-program pembangunan di daerah yang ramah lingkungan. Hal ini diharapkan dapat

menumbuhkan komitmen baru seluruh pihak untuk mewujudkan pengelolaan lingkungan

hidup yang baik (environmental good governance), di mana seluruh pihak yang terkait

(stakeholder) membentuk suatu aliansi strategis dalam upaya mewujudkan kelestarian

lingkungan hidup beserta fungsinya. Adanya sinergis atau aliansi strategis itu, lebih lanjut

akan berpengaruh terhadap kelangsungan suatu kegiatan/usaha pembangunan disatu

pihak dan peningkatan pendapatan asli daerah di lain pihak.

Musuh lingkungan hidup berserta fungsinya adalah pencemaran dan perusakan

terhadapnya, oleh karena kegiatan manusia yang demikian akan dapat membawa akibat

lingkungan hidup dan/atau fungsinya menurun sampai ketingkat tertentu yang tidak lagi

mampu mendukung usaha/kegiatan pembangunan. Dalam rangka hal ini, adanya

penerapan instrumen hukum yang bersifat preventif maupun represif sangat perlu

dikembangkan Pemerintah maupun masyarakat. Instrumen preventifnya berupa kegiatan

penaatan melalui pembinaan, pemberian insentif, disinsentif, pemberian penghargaan,

penetapan baku mutu lingkungan, persyaratan AMDAL, perizinan dan penerapan sanksi

(15)

sanksi Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan/atau Hukum Pidana kepada sumber

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, Cetakan I, Agustus, 2001.

Darmakusuma dan Masana Sembiring, Kajian Evaluasi Pelaksanaan UU No. 22 Dan 25

Tahun 1999, Makalah, Bandung, 2001.

Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1993.

Hamzah, A., Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995.

Hari Sabarno (Mendagri), Otonomi Belum Berbuah Manis, Kompas, Minggu, 27 Januari 2002.

Kazi F. Jalan dan JoAnne DiSano, Final Report, Conclusions and Recommendations of the Regional Consultative Meeting” dalam “Sustainable Development Asian and Pacific Perspectives”, Asian Development Bank, Manila, 1999.

Osborne dan Gebller, “Mewirtausahakan Birokrasi : Reinventing Government :

Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik”. Pustaka

Binaman Pressindo, Jakarta, 1992.

Paul Gormely,W., Human Rights and Environment : The Need for International Co-operation, A.W. Sijthoff International Publishing Company, Leyden-Netherland, 1976.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata Perijinan Pada Era Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Sistem Kesehatan Wilayah dan Best Practise in Public Health, Surabaya, 2001.

Rondinelli, and Cheema, “Decentralization and Development: Policy Implementation in DevelopingCountries”, Sage Publication, Beverly Hills, 1983.

Ryaas Rasyid, “Presiden Harus Tangani Langsung Otonomi Daerah”, Kompas, Minggu, 27 Januari 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun perancangan telah dibuat, masih dimungkinkan terdapat perubahan dengan rancangan sistem. Semua rancangan diagram atau model yang dibuat tidak diharuskan telah sempurna

Dalam penelitian ini, hasil yang diperoleh sebagai berikut: pertama motif perempuan sebagai jurnalis foto adalah adanya motif kewajiban yang berupa tuntutan

Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan prestasi kerja seperti yang dikatakan oleh Afrianto (2011 : 27) bahwa: pengembangan karier juga dimaksudkan agar

Memiliki visi kedepan dapat memberikan kita gambaran mengenai hari esok. Yakinlah bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini. Berhenti menyalahkan orang lain.. 6 Tidak jarang

P enyelenggaraan pendidikan kesetaraan yang dilakukan dengan baik dapat menjadi rujukan bagi lembaga lain yang me- nyelenggarakan program sama.. Hal tersebut yang menjadi

Melalui Modul Praktik Klinik Ilmu Penyakit Paru dan Pernapasan yang dijalani pada semester 8-10 selama 4 minggu dengan beban 2 sks, mahasiswa memiliki kompetensi seperti yang

Komitmen dari Jepang yang termuat dalam Fukuda Doctrine ini menjadi penting dalam melihat Politik Luar Negeri Jepang karena bahkan setelah PM Fukuda tidak lagi

reference to himself or herself as an object. 11 Definisi ini dengan tegas mengatakan bahwa konsep diri menggambarkan bagaimana sikap orang tersebut terhadap dirinya.