MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
Oleh :
Prof. Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.Hum.
Bagian Hukum Administrasi Fakultas Hukum Univ. Udayana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça, oleh karena atas
tuntunan-Nyalah maka penelitian terkait “MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN
ASLI DAERAH” ini dapat terselesaikan. Penelitian ini disusun dalam rangka
melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ditugaskan pimpinan Fakultas Hukum
Universitas Udayana berdasarkan surat tugas No. 2056A/UN-14.1.11.II/TU.00.00/2015
tertanggal 3 Desember 2015. Penelitian ini akan mengkaji dampak UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam penyelenggaraan
otonomi daerah yang diatur pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Peneliti sangat menyadari bahwa penelitian mandiri ini dapat terselesaikan atas
bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang
terhormat ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada semua pihak yang telah membantu untuk kelancaran riset ini. Semoga bantuan,
pengorbanan, dan petunjuk yang telah diberikan kepada peneliti mendapat pahala dari Ida
Sang Hyang Widhi Waça. Akhirnya peneliti tetap berharap semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Terima kasih.
Denpasar, 2 Oktober 2015 Peneliti,
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Era reformasi banyak hal positif maupun negatif yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Posisi tawar menawar masyarakat saat ini semakin
menguat, apalagi dengan didengungkannya otonomi daerah. Walaupun demikian apabila
arus reformasi ini tidak terkendali dapat menjadi bumerang bagi bangsa dan negara. Oleh
karena diperlukan pemikiran yang arif, sehingga hal-hal baik di masa lalu masih tetap
dapat digunakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan manusia seutuhnya
yang selama ini dicita-citakan.
Kebijakan Nasional yang tertuang dalam Pasal 9 sampai 20 UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peluang sekaligus tantangan bagi
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan bidang pengelolaan lingkungan hidup
secara terdesentralisasi dengan paradigma demokratisasi. Di pihak lain, kebijakan
tersebut juga telah menunjukkan tekad dari Pemerintah Pusat untuk memberdayakan
pemerintah daerah dalam mengurus urusan di bidang lingkungan hidup serta mendorong
berkembangnya kreatifitas maupun inovasi masyarakat dalam pelaksanaan
program-program pembangunan di daerah yang ramah lingkungan. Dalam kaitan ini, yang
menjadi persoalan adalah bagaimana menjalankan proses desentralisasi di bidang
pengelolaan lingkungan hidup melalui cara-cara yang demokratis dan adil serta mampu
meningkatkan pendapatan asli daerah untuk mendukung kemandirian daerah
bersangkutan.
Pengalaman menunjukkan proses otonomi daerah tampak berjalan terseok-seok.
Banyak muncul persoalan sebagai akibat perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan
daerah.1 Konflik kepentingan selalu terjadi dimanapun, satu sisi keinginan untuk
melaksanakan otonomi sesuai dengan kewenangannya, tetapi dilain pihak dihadapkan
kemampuan daerah untuk membiayainya. Setiap daerah berusaha untuk mampu
meningkatkan pendapatan asli daerah, akan tetapi keinginan tersebut tidak dapat menjadi
sebab negara kita tidak sebagai negara hukum lagi serta semakin jauhnya cita-cita
1Hari Sabarno (Mendagri), Otonomi Belum Berbuah Manis, Kompas, Minggu, 27 Januari 2002,
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Secara lebih sederhana, paling tidak ada 2
(dua) persoalan mendasar yang relatif sulit diselesaikan berkenaan dengan
penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup, yakni :
Pertama, menguatnya “Ego Sektoral“ yang bertalian dengan kewenangannya mengelola
lingkungan hidupnya telah membawa serta adanya eksploitasi terhadap sumber
daya lingkungan hidup tanpa dilandasi pemikiran yang rasional, holistik dan
berkelanjutan. Hal ini disebabkan begitu kuatnya kepentingan Pemerintah
Daerah untuk membiayai urusan-urusan pemerintahannya;
Kedua, dengan “Euforia Otonomi Daerah” seluas-luasnya memandang wewenang
pengelolaan lingkungan hidup secara distorsif. Lingkungan hidup bukan
dipandang sebagai barang mewah, namun lebih dipandang sebagai sumber
pendapatan yang dapat dieksploitasi tanpa memikirkan keterbatasannya.
Menyimak kondisi seperti di atas, menjadi suatu kepentingan yang cukup
mendesak dan sangat bermanfaat bagi masyarakat maupun pemerintah bilamana
dilakukan suatu pengkajian yang mendalam terhadap persoalan pengelolaan lingkungan
hidup yang mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan hidup itu sendiri beserta fungsinya.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, jika otonomi dikaitkan dengan
pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan maka ada satu pertanyaan mendasar
yang memerlukan sorotan kritis secara normatif yakni, bagaimanakah Hukum
Lingkungan mengendalikan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup agar berkelanjutan
dengan tetap dapat mendukung peningkatan pendapatan asli daerah ?
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian hukum normatif yang difokuskan
pada bahan-bahan hukum terkait. Mengenai pendekatan yang akan diterapkan dalam
penelitian ini dilakukan melalui pendekatan konseptual (conceptual approach) dan
pendekatan undang-undang (statuta approach). Pendekatan konseptual diterapkan untuk
Selanjutnya pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk mendapat ketentuan
hukum yang melandasi penelitian yang dilakukan.
Sebagai bahan hukum primer dari penelitian ini berasal dari penelitian terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Peraturan perundang-undangan yang
dimaksudkan, seperti UU No. 32 Tahun 2009 serta UU No. 23 Tahun 2014. Bahan
hukum sekunder yang digunakan antara lain diperoleh dari bahan pustaka di bidang
Hukum Administrasi Negara, Hukum Pemerintahan Daerah, Hukum Lingkungan yang
berkaitan dengan teknis dan substansi penelitian. Sementara itu, tehnik yang diterapkan
dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penyusunan naskah akademik
ini adalah melalui tehnik telaahan kepustakaan (study document). Telaahan kepustakaan
dilakukan dengan dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi
yang diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penerapan tehnik telaahan
kepustakaan itu didukung pula oleh tehnik bola salju dengan menemukan bahan hukum
sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikit sehingga bahan hukum yang
diperoleh dapat selengkap dan seobyektif mungkin untuk selanjutnya dilakukan
II. PEMBAHASAN
2.1. Konsepsi Otonomi Daerah
Konsep atau pemahaman tentang otonomi dalam pelbagai konteks mengandung
pokok pengertian yang sama yaitu “hak dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangga/diri sendiri”. Akan tetapi dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dengan
asas dan sistemnya, terdapat perkembangan pemberian makna yang berbeda luas
cakupannya. Rondinelli dan Cheema misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai :
The transfer planning, decision making, or administrative authority form the central governmentt to its field organizations, local administrative units,
semiautonomous and parastatal organizations, local government, or
nongovermental organizations.2
Keberadaan pemerintah lokal yang berotonomi ini merupakan perwujudan dari asas
penyelenggaraan pemerintahan desentralistik berdampingan dengan asas dekonsentrasi.3
Kedua asas itu dapat diterapkan baik dalam Negara Kesatuan maupun dalam Serikat
(Federal) yang membagikan tugas, kekuasaan dan wewenangnya secara territorial.
Memperhatikan realita masyarakat Indonesia yang pluralistik, maka pola
penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi merupakan pilihan yang tidak dapat
dihindarkan. Menurut Osborne dan Gebleer4 ada berbagai keuntungan yang dapat
diperoleh Negara dengan pemerintahan yang terdesentralisasi dibandingkan dengan yang
tersentralisasi. Pertama, lembaga terdesentralisasi lebih flkeksibel, dalam artian dapat memberikan respons dengan cepat terhadap kebutuhan rakyat yang berubah. Kedua, lembaga terdesentralisasi lebih inovatif. Ketiga, lembaga yang terdesentralisasi lebih efektif. Keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya. Dengan kata lain,
pemberian otonomi kepada daerah dapat mencegah penumpukan kekuasaan pada satu
lapisan atau pihak pusat saja. Sistem pemerintahan terdesentralisasi memberikan
2Rondinelli, and Cheema, “Decentralization and Development: Policy Implementation in DevelopingCountries”, Sage Publication, Beverly Hills, 1983, hlm. 18.
3 Ryaas Rasyid, “Presiden Harus Tangani Langsung Otonomi Daerah”, Kompas, Minggu , 27
Januari 2002, hlm. 30.
pengakuan terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil
rakyat di daerah-daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Dari
sisi lain berotonomi itu juga dimaksudkan untuk menyalurkan secara tertib, terarah, dan
teratur semangat kebebasan secara bertanggungjawab, mendidik dan melatih diri
menetapkan dan melaksanakan kegiatan politik lokal yang sejalan dengan kegiatan
politik nasional atau politik dalam negeri. Dengan itu semua tercakup tujuan dan manfaat
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang telah memberikan kepercayaan
kepada para wakilnya dalam lembaga resmi, yaitu DPRD. Sebagai perwujudan
penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi, maka konsep “good governance”
dalam pelaksanaan otonomi hendaklah dapat diinterpretasi menurut 3 (tiga) domainnya,
yaitu good public governance, dan good corporate/privat governance serta good citizen
organization/community society. Dengan demikian, otonomi daerah dipahamkan sebagai
pemberian kewenangan kepada rakyat, masyarakat, dan Pemerintah Daerah.5
2. Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sebagaimana diketahui, UU No. 22 Tahun 1999 yang muncul pasca reformasi
(saat ini telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014) telah menggariskan paradigma
baru sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem otonomi nyata dan
bertanggung jawab menjadi sistem otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan
otonomi luas, pada dasarnya semua urusan pemerintahan menjadi urusan rumah tangga
daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Prinsip residual atau
pola reduksionis menjadi dasar pembagian kewenangan pemerintahan secara vertikal
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.6 Dalam hubungan ini, urusan
pemerintahan daerah menjadi sulit dikenali, segala aspek kehidupan bermasyarakat yang
berkaitan dengan pelayanan dan kepentingan umum menjadi wewenang Pemerintah
5Darmakusuma dan Masana Sembiring, Kajian Evaluasi Pelaksanaan UU No. 22 Dan 25 Tahun 1999, Makalah, Bandung, 2001, hlm. 3.
6Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum
Daerah. Bagir Manan memandang hal ini sebagai ciri negara modern yang mementingkan
kesejahteraan masyarakat.7
Pembagian wewenang pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota lebih ditekankan kepada sifat,
kualitas serta ruang berlakunya kewenangan. Kewenangan inti dari Pemerintah Pusat
meliputi wewenang pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta bidang agama. Mengenai wewenang
pokok yang “didelegasikan”8 Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi sebagai
daerah otonom sifatnya terbatas, antara lain kewenangan pemerintahan yang bersifat
lintas Kabupaten/Kota, seperti kewenangan di bidang perhubungan, kehutanan,
perkebunan, dan wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kedudukannya sebagai
daerah administratif, Pemerintah Propinsi dapat diberikan wewenang tambahan atas dasar
pelimpahan dari Pemerintah Pusat (asas dekonsentrasi). Pemerintah Propinsi di dalam
menyelenggarakan wewenang pemerintahannya, baik atas dasar penyerahan maupun
pelimpahan diberikan kewenangan untuk mengelolanya mulai dari pembiayaan,
perizinan, perencanaan, pelaksanaan beserta pengawasannya.
Penguatan perhatian terhadap lingkungan hidup ini sejalan dengan tujuan
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi tuntutan masyarakat dunia,9
nasional maupun daerah, dan pertumbuhan kesadaran manusia di dalam menghormati
serta melindungi lingkungan hidup dengan mengakui “hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.10 UU No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional pada bagian Pengelolaan Lingkungan Hidup
7Bagir Manan, Menyongsong Fajar……, Op. cit., hlm. 38.
8Hakikat desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
yang lebih rendah, Lihat B.C. Smith, Decentralization, The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, London, 1985, hlm. 1 yang menyatakan “Decentralization involves the delegation of power to lower levels in a territorial hierarchy, whether the hierarchy is one of governments within a state or office within a large-scale organization”. (Desentralisasi berkaitan dengan pendelegasian kewenangan ke tingkatan yang lebih rendah dalam suatu wilayah hirarki, apakah hirarki merupakan bagian pemerintahan dari suatu negara atau kepada jabatan dalam suatu organisasi yang lebih besar).
9Kazi F. Jalan dan JoAnne DiSano, Final Report, Conclusions and Recommendations of the Regional Consultative Meeting” dalam “Sustainable Development Asian and Pacific Perspectives”, Asian Development Bank, Manila, 1999, hlm. 1
10Prinsip 1 Deklarasi Stockholm tentang Lingkungan Hidup jis. Prinsip 1 Deklarasi Rio de Janeiro
menetapkan bahwa di dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan maka hubungan
antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan lingkungan
hidup tidak lagi berdasarkan hierarkhi, tetapi berdasarkan sinergi antara kalangan
pemerintah dengan dunia swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat, dan
masyarakat luas. Hal ini berarti, pelaksanaan otonomi daerah dalam pengelolaan
lingkungan hidup diharapkan dapat menumbuhkan komitmen baru seluruh pihak untuk
mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik (environmental good governance),
di mana Pemerintah Daerah, dunia swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi
masyarakat, dan masyarakat luas dapat membentuk suatu aliansi strategis dalam upaya
mewujudkan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya.
Pemerintah Daerah diberikan tanggung jawab penuh dalam perencanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pengelolaan lingkungan hidup secara
proporsional sesuai dengan prioritas masalah setempat. Sebaliknya rakyat daerah
diberikan peluang yang cukup besar untuk menjaga dan melindungi kelestarian
lingkungan hidup beserta fungsinya dengan membantu serta mengontrol pemerintah baik
pusat maupun daerah agar pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara rasional,
holistik, serta berkelanjutan. Sinergis antara Pemerintah (termasuk Pemerintah Daerah)
dan/atau masyarakat secara perorangan maupun berkelompok untuk mewujudkan
kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya itu akan berpengaruh terhadap
kelangsungan suatu kegiatan/usaha pembangunan disatu pihak dan peningkatan
pendapatan asli daerah di lain pihak. Kegiatan/usaha pembangunan yang berwawasan
lingkungan akan dijamin stabilitasnya dalam mengelola lingkungan hidup, sebaliknya
keberlanjutan potensi lingkungan hidup yang mendukung keberlanjutan suatu kegiatan/
usaha akan merupakan sumber pendapatan asli daerah11. Sebagai ilustrasi, kelestarian
lingkungan hidup Bali beserta fungsinya akan mendukung kelangsungan pariwisata.
Kelangsungan pariwisata tentunya akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dari
sektor pajak hotel dan restoran (PB I), Pajak Pemanfaatan air bawah tanah dan air
11Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan sumber pendapatan asli daerah berasal dari 4
permukaan, pajak hiburan, pajak reklame, retribusi parkir, retribusi tempat rekreasi dan
olah raga, retribusi tempat penjualan minuman beralkohol.
3. Instrumen Hukum untuk Melindungi Kelestarian Lingkungan Hidup beserta Fungsinya
Dua hal yang sangat dihindari atau diupayakan tidak terjadi terhadap lingkungan
hidup adalah pencemaran dan perusakan terhadapnya. Pencemaran diartikan dengan
“masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain
kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukkannya” Dengan demikian, terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi untuk
dapat dinyatakan telah terjadinya pencemaran lingkungan hidup, yakni :
a. masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup;
b. disebabkan oleh kegiatan manusia;
c. turunnya kualitas lingkungan hidup sampai ke tingkat tertentu;
d. adanya akibat lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Selanjutnya perusakan lingkungan hidup diartikan dengan “tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan”. Terdapat tiga unsur yang perlu dipenuhi untuk terjadinya
perusakan lingkungan hidup, yakni :
a. adanya suatu tindakan manusia;
b. terjadinya perubahan baik langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik
dan/atau hayati lingkungan hidup;
c. timbulnya akibat berupa tidak berfungsinya lingkungan hidup dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan.
Unsur-unsur pada pengertian pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup
menjadi syarat konstitutif atau wajib agar dapat timbulnya pertanggungjawaban hukum
kepada pihak pencemar atau perusak lingkungan hidup. Demikian pula terhadap obyek
dapat terjadi pada semua sumber daya dari lingkungan hidup. Pemanasan global, hujan
asam, pelubangan ozon, abrasi pantai, intrusi air laut merupakan beberapa contoh akibat
laten (tersembunyi yang sewaktu-waktu dapat muncul) yang ditimbulkan oleh
pencemaran dan/atau perusakan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya.
Mengenai instrumen Hukum Lingkungan yang dapat dipergunakan untuk
mencegah atau mengendalikan perusakan dan/atau pencemaran terhadap lingkungan
hidup dapat dibedakan atas instrumen yang bersifat preventif dan represif. Adapun kedua
pembidangan instrumen tersebut dapat disimak uraian berikut ini.
3.1. Instrumen Preventif
Mengingat akan akibat yang dapat terjadi dalam perusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup, maka berbagai upaya yang bersifat preventif dapat dikembangkan oleh
pihak Pemerintah, masyarakat maupun pengusaha. Upaya preventif yang dimaksudkan
antara lain berupa kegiatan penaatan (compliance) berupa pembinaan, pemberian insentif,
disinsentif, pemberian penghargaan, penetapan baku mutu lingkungan, persyaratan
AMDAL, perizinan dan penerapan sanksi hukum administrasi ringan bagi rencana
kegiatan yang diduga menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.
a. Pembinaan dilakukan terhadap pengusaha, masyarakat luas maupun aparat penegak
hukum untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukumnya di bidang
lingkungan hidup;
b. Insentif dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penetapan produk hukum yang
mengatur tentang subsidi, pinjaman dengan bunga khusus, penyaluran kredit
berwawasan lingkungan, keringanan atau pembebasan pajak serta retribusi terhadap
alat-alat pencegah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
c. Disinsentif dapat dilakukan melalui penetapan produk hukum yang menentukan
pungutan pencemaran atau biaya pemulihan lingkungan hidup terhadap sejumlah zat
pencemar yang dibuangnya;
d. Penghargaan sebagai perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat
lingkungan terbaik, ataupun sebagai pembina lingkungan diberikan kepada setiap
orang yang sangat berjasa dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup12;
12Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara,
e. Penetapan produk hukum tentang baku mutu lingkungan oleh Pemerintah di tingkat
Daerah untuk masing-masing sumber daya lingkungan hidup, sebagai dasar hukum
didalam melakukan penilaian suatu dugaan sumber daya tertentu tercemar dan/atau
dirusakkan. Untuk wilayah ekologis Bali, ketentuan tentang Baku Mutu Lingkungan
Propinsi Bali dapat dijumpai pada Keputusan Gubernur Bali No. 515 Tahun 2000.
f. Persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi setiap rencana
kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap kelestarian fungsi
lingkungan hidup. AMDAL sebagai instrumen prediksi secara ilmiah yang terdiri atas
4 dokumen yakni Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA ANDAL),
ANDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL);
g. Persyaratan perizinan bagi suatu kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup. Melalui lembaga perizinan, Pemerintah dapat mengawasi,
mengarahkan atau mengendalikan suatu kegiatan agar ramah lingkungan atau tetap
mengupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Didalam izin bersangkutan dapat
dirumuskan secara jelas mengenai kewajiban pemegang izin untuk mengolah limbah,
syarat mutu limbah yang dapat dibuang ke media lingkungan, dan lain sebagainya;
h. Penerapan sanksi hukum administratif yang ringan berupa peringatan baik lisan
maupun tertulis kepada pihak-pihak yang diduga kegiatannya akan menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
3.2. Instrumen Represif
Mengenai upaya represif yang dapat ditempuh terhadap dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah melalui penindakan atau penegakan hukum
(dalam arti sempit), yang pada hakikatnya dapat menyangkut aspek hukum administrasi,
hukum perdata maupun hukum pidana. Dalam bidang Hukum Administrasi, instrumen
represif yang dapat diterapkan adalah berupa pengenaan sanksi paksaan pemerintahan,
uang paksa, penutupan tempat usaha, penangguhan berlakunya izin sampai pencabutan
izin oleh Pemerintah. Sanksi ini melekat pada kewenangan Pemerintah, sehingga
Pada bidang Hukum Perdata, instrumen hukum yang dapat diterapkan adalah berupa
gugatan ganti kerugian atas dasar Pasal 1365 KUH Perdata terhadap pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum termasuk
juga oleh pihak Pemerintah. Untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum
(onrechtmatighdaad) di bidang lingkungan hidup maka suatu tindakan perlu memenuhi
unsur-unsur :
a. perbuatan harus bersifat melanggar Hukum Lingkungan;
b. pelaku harus bersalah;
c. ada kerugian yang dapat diukur atas penurunan kualitas atau kemampuan lingkungan
hidup dalam mendukung kelangsungan perikehidupan manusia/mahluk hidup lainnya;
d. ada hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan yang dilakukan dengan
kerugian yang terjadi.
Sehubungan dengan Hukum Pidana, instrumen hukum yang dapat diterapkan
dalam melestarikan fungsi Lingkungan Hidup adalah melalui tuntutan pidana berupa
pidana pokok dengan atau tanpa disertai pidana tambahan. Pidana pokok berupa sanksi
pidana penjara dan pidana denda yang bersifat kumulatif. Khusus dalam hal tindak pidana
lingkungan dilakukan oleh Badan Hukum, Perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, maka disamping sanksi pidana pokok yang diperberat dengan sepertiga
dari batasan maksimal sanksi pidana di atas juga dapat dikenakan sanksi pidana tambahan
yang bersifat komplementer berupa tindakan tata tertib dalam bentuk :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) bulan.
Berkaitan dengan penegakan Peraturan Daerah di bidang Lingkungan Hidup, tuntutan
pidana yang diajukan kepada pihak yang diduga mencemarkan atau merusakkan
Lingkungan Hidup cukup berat sebaiknya diarahkan kepada tuntutan pidana kurungan.
Mengenai pertanggungjawaban hukum kepada pihak pencemar dan/atau perusak
Lingkungan Hidup dalam konsep Hukum Lingkungan tidak semata-mata hak dari pihak
yang merasa dirugikan secara langsung. Pemerintah maupun masyarakat yang tidak
merasakan secara langsung terhadap akibat kerusakan dan/atau pencemaran Lingkungan
Hidup secara proaktif dapat juga mengajukan gugatan/meminta pertanggungjawaban
hukum kepada pihak yang diduga mencemarkan dan/atau merusak Lingkungan Hidup.
Hal ini sebagai konsekuensi dari fungsi Lingkungan Hidup yang sangat vital bagi
kehidupan manusia maupun mahluk hidup lainnya pada saat ini dan di masa mendatang.
III. PENUTUP
Berdasarkan pandangan, konsepsi pemikiran dan uraian di atas, maka jelas bahwa
otonomi di bidang pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya pemberdayaan
Pemerintah Daerah dalam mengurus urusan di bidang lingkungan hidup serta mendorong
berkembangnya kreatifitas maupun inovasi masyarakat dalam pelaksanaan
program-program pembangunan di daerah yang ramah lingkungan. Hal ini diharapkan dapat
menumbuhkan komitmen baru seluruh pihak untuk mewujudkan pengelolaan lingkungan
hidup yang baik (environmental good governance), di mana seluruh pihak yang terkait
(stakeholder) membentuk suatu aliansi strategis dalam upaya mewujudkan kelestarian
lingkungan hidup beserta fungsinya. Adanya sinergis atau aliansi strategis itu, lebih lanjut
akan berpengaruh terhadap kelangsungan suatu kegiatan/usaha pembangunan disatu
pihak dan peningkatan pendapatan asli daerah di lain pihak.
Musuh lingkungan hidup berserta fungsinya adalah pencemaran dan perusakan
terhadapnya, oleh karena kegiatan manusia yang demikian akan dapat membawa akibat
lingkungan hidup dan/atau fungsinya menurun sampai ketingkat tertentu yang tidak lagi
mampu mendukung usaha/kegiatan pembangunan. Dalam rangka hal ini, adanya
penerapan instrumen hukum yang bersifat preventif maupun represif sangat perlu
dikembangkan Pemerintah maupun masyarakat. Instrumen preventifnya berupa kegiatan
penaatan melalui pembinaan, pemberian insentif, disinsentif, pemberian penghargaan,
penetapan baku mutu lingkungan, persyaratan AMDAL, perizinan dan penerapan sanksi
sanksi Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan/atau Hukum Pidana kepada sumber
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, Cetakan I, Agustus, 2001.
Darmakusuma dan Masana Sembiring, Kajian Evaluasi Pelaksanaan UU No. 22 Dan 25
Tahun 1999, Makalah, Bandung, 2001.
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1993.
Hamzah, A., Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995.
Hari Sabarno (Mendagri), Otonomi Belum Berbuah Manis, Kompas, Minggu, 27 Januari 2002.
Kazi F. Jalan dan JoAnne DiSano, Final Report, Conclusions and Recommendations of the Regional Consultative Meeting” dalam “Sustainable Development Asian and Pacific Perspectives”, Asian Development Bank, Manila, 1999.
Osborne dan Gebller, “Mewirtausahakan Birokrasi : Reinventing Government :
Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik”. Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta, 1992.
Paul Gormely,W., Human Rights and Environment : The Need for International Co-operation, A.W. Sijthoff International Publishing Company, Leyden-Netherland, 1976.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata Perijinan Pada Era Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Sistem Kesehatan Wilayah dan Best Practise in Public Health, Surabaya, 2001.
Rondinelli, and Cheema, “Decentralization and Development: Policy Implementation in DevelopingCountries”, Sage Publication, Beverly Hills, 1983.
Ryaas Rasyid, “Presiden Harus Tangani Langsung Otonomi Daerah”, Kompas, Minggu, 27 Januari 2002.