• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN TERHADAP RENCANA REVISI (MENYATUKAN) UNDANG-UNDANG PEMILU DALAM MENYONGSONG PEMILU SERENTAK 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMIKIRAN TERHADAP RENCANA REVISI (MENYATUKAN) UNDANG-UNDANG PEMILU DALAM MENYONGSONG PEMILU SERENTAK 2019"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN TERHADAP RENCANA REVISI

(MENYATUKAN) UNDANG-UNDANG PEMILU DALAM MENYONGSONG PEMILU SERENTAK 2019

(Sudut pandang Ilmu Hukum, Ilmu Perundang-Undangan dan Demokrasi Pancasila)

OLEH :

PROF. DR. MADE SUBAWA, S.H.,M.S.

GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

Disampaikan dalam Seminar ”Meninjau Dampak Revisi UU Pemilu Dalam Menyongsong Pemilu Serentak 2019.

Diselenggarakan oleh BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Denpasar, 10 Juli 2019

(2)

PEMIKIRAN TERHADAP RENCANA REVISI (MENYATUKAN) UNDANG-UNDANG PEMILU DALAM MENYONGSONG PEMILU SERENTAK 2019

(Sudut pandang Ilmu Hukum, Ilmu Perundang-Undangan dan Demokrasi Pancasila)*

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemikiran

Pertama, berbicara mengenai revisi (menyatukan) suatu Undang- undang itu artinya berbicara bagian dari suatu penguasaan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan pembentukan aturan hukum.

Penguasaan ilmu hukum meliputi bagian-bagian dari ilmu hukum yang disebut lapisan-lapisan ilmu hukum. Lapisan-lapisan ilmu hukum dalam penguasaan ilmu hukum yakni meliputi :

1). Filsafat hukum;

2). Teori hukum;

3). Dogmatika hukum (Hukum normative);

4). Praktek hukum, yang terdiri dari pembentukan aturan hukum dan pelaksanaan aturan hukum.

Di Indonesia seharusnya memiliki lapisan Ilmu hukum sebagai berikut : 1). Filsafat Hukum Pancasila;

2). Teori Hukum Pancasila;

3). Dogmatika Hukum (Hukum Normatif Pancasila); dan

4). Praktek Hukum Pancasila yang terdiri dari pembentukan aturan hukum Pancasila dan penerapan hukum Pancasila.

Disampaikan dalam seminar “Meninjau Dampak Revisi UU Pemilu dalam Menyongsong Pemilu serentak 2019, bertempat di Fakultas Hukum Unud, Senin 10 Juli 2017.

(3)

Kegiatan merevisi Undang-undang dipandang dari penguasaan ilmu hukum adalah menempati lapisan dogmatic hukum dan lapisan praktek hukum, namun tetap kegiatan yang dimaksud dilandasi oleh lapisan filsafat hukum dan lapisan teori hukum. Di samping itu Undang-Undang sebagai produk legislatif didalam penguasaan hukum adalah berposisi sebagai sumber dalam mempelajari hukum.

Itu artinya membentuk, merevisi suatu Undang-undang harus berdasarkan prinsip-prinsip ajaran ilmu hukum khususnya berdasarkan ilmu perundang- undangan, teori perundang-undangan dan teknik membentuk Undang- undang.

Kedua, memahami dan melaksanakan pemilu dasarnya adalah memahami dan melaksanakan spirit demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dalam kaitan hidup berbangsa dan bernegara hukum di Indonesia diletakkanlah “Pancasila sebagai Filosophisce Grongslag”

yakni Pancasila sebagai landasan filsafat di mana di atasnya dibangun bangsa dan Negara Indonesia. Prinsip ini belum dipahami dengan baik pada tataran konsep maupun dalam tataran peraktek. Dalam rangka pelaksanaan pemilu di Indonesia seharusnya prinsip konsep demokrasi dipahami dan dipraktekkan dengan benar. Pancasila sebagai dasar Negara melahirkan dua prinsip yang sangat mendasar di Indonesia. Kedua prinsip yang dimaksud adalah :

(4)

1). Prinsip Negara Hukum Pancasila; dan 2). Prinsip Demokrasi Pancasila.

Berdasarkan kedua prinsip tersebut yaitu prinsip Negara hukum Pancasila dan prinsip demokrasi Pancasila maka lahirlah identitas kepribadian bangsa Indonesia di dalam kehidupan bernegara, khusus dalam melaksanakan pemilu dan pemilukada.

Prinsip-prinsip tersebut di atas itulah yang seharusnya menjadi landasan pemikiran dalam rangka merevisi Undang-undang Pemilu di Indonesia. Baik yang dituangkan dalam Naskah Akademik maupun dalam perumusan norma hukum dalam Pasal-Pasalnya.

Mengikuti proses perkembangan pemikiran yang berkembang berkaitan dengan rencana menyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu serentak tahun 2019, maka dalam kesempatan ini dapat dikemukakan kutipan dinamikanya sebagai berikut:

Di dalam pembahsan-pembahsan yang telah dilakukan tercatat ada lima isu yang berkitan dengan usaha penyusunan rencana undang-Undang Pemilu serentak tahun 2019. Ke lima isu yang dimaksud meliputi : 1. Ambang batas pencalonan Presiden;

2. Ambang batas Parlemen;

3. Metode konversi suara ke kursi;

4. Alokasi kursi ke dapil; dan 5. Sistem Pemilu.

(5)

Dari sederet Isu Krusial RUU Pemilu tersebut yang Sudah Dibahas Pemerintah-DPR

Pemerintah dan DPR saat ini sedang menggelar rapat maraton untuk menyelesaikan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sederet isu sudah diambil keputusannya. Apa saja?

Pengambilan keputusan sejumlah isu dilakukan empat kali, yaitu pada 23 Mei, 24 Mei, 29 Mei, dan 30 Mei. Perwakilan pemerintah yang diundang adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Keuangan. Rapat digelar di gedung DPR, Jakarta Pusat.

Sudah ada 15 isu yang diambil keputusannya. Namun masih ada sejumlah isu yang ditunda diambil keputusannya, di antaranya jumlah kursi setiap dapil anggota DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta pembahasan dana saksi parpol di TPS.

Sementara itu, masih ada isu yang belum dibahas, yaitu parliamentary threshold (ambang batas parlemen), presidential threshold (batas

pencalonan presiden), metode konversi suara, dan sistem pemilu. Rapat pengambilan keputusan sejumlah isu untuk sementara ditunda.

"Rapat diskors sampai rapat berikutnya yang belum ditentukan jadwalnya.

Karena besok dan tiga hari ke depan ada rapat timsin (tim sinkronisasi),"

ujar ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy saat menutup rapat, Selasa (30/5).

Ini 15 isu RUU Pemilu yang sudah diambil keputusan DPR dan pemerintah:

1. Syarat Umur Pemilih

Rapat menyepakati syarat minimal pemilih, yaitu berusia minimal 17 tahun atau sudah/pernah kawin.

2. Sifat kelembagaan KPU/Bawaslu Kabupaten/Kota

Forum memutuskan sifat keanggotaan KPU dan Bawaslu pusat, provinsi, hingga kabupaten atau kota bersifat tetap. Namun, ada catatan dari F- PDIP, yaitu KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai tahun 2024 tetap dan KPU kabupaten/kota di atas tahun 2024 bersifat ad hoc.

3. Izin kepala daerah kepada presiden jika dicalonkan parpol atau

(6)

parpol gabungan sebagai capres atau cawapres

Rapat memutuskan kepala daerah yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres dari parpol atau gabungan parpol wajib meminta izin kepada presiden. Presiden memiliki waktu 15 hari untuk memproses. Jika belum memberikan izin, presiden dianggap sudah memberikan izin. Surat

permintaan izin kepala daerah disampaikan kepada KPU oleh parpol atau gabungan parpol sebagai dokumen persyaratan capres atau cawapres.

4. Perselisihan parpol peserta Pemilu

Keputusan tetap sesuai draf RUU yaitu: Dalam hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 3 belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon, calon anggota DPR, calon anggota DPRD provinsi, dan calon Anggota DPRD kabupaten/kota di KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota akan berakhir, kepengurusan partai politik yang menjadi peserta pemilu dan dapat mendaftarkan pasangan calon, calon anggota DPR, calon anggota DPRD provinsi, dan calon anggota DPRD kabupaten/kota adalah

kepengurusan partai politik yang tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

5. Jumlah kursi anggota DPR

Pemerintah dan DPR menyepakati penambahan anggota DPR menjadi 575 atau bertambah 15 kursi. Pemerintah mengusulkan 5 kursi

dialokasikan untuk Kalimantan Utara (3 kursi), Riau (1 kursi), dan Kepulauan Riau (1 kursi), dan 10 kursi lainnya diserahkan kepada DPR untuk mengalokasikan. Alokasi tambahan kursi untuk daerah mana saja belum disepakati.

6. Pasangan calon tunggal presiden dan wapres

Rapat menyetujui untuk mempersulit adanya calon tunggal presiden dan wapres. Jika akhirnya tetap ada pasangan tunggal, maka pemilu tetap berjalan.

7. Usulan tambahan DIM dari F-NasDem terkait metode kampanye Usulan dari F-NasDem disepakati untuk dihapus. Usulannya adalah penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf c dan d dilaksanakan oleh KPU.

8. Usulan tambahan DIM dari F-PD terkait metode kampanye Usulan yang berbunyi kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d. pemasangan alat peraga di tempat umum; huruf e. iklan media

(7)

massa cetak dan media massa elektronika; dan huruf g. debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon, difasilitasi KPU yang dapat dibiayai oleh APBN disepakati.

9. Usulan tambahan DIM dari F-PKS terkait iklan kampanye

Usulan dari F-PKS disepakati. Usulan tersebut berbunyi iklan kampanye Pemilu dengan mengutamakan lembaga penyiaran publik yang difasilitasi oleh penyelenggara pemilu yang dapat didanai oleh APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Dana kampanye

Forum menyepakati dana kampanye menjadi tanggung jawab pasangan calon dan dapat didanai oleh APBN.

11. Gambar parpol pada surat suara Pilpres

Forum menyepakati surat suara menggunakan tanda gambar partai politik.

12. Tambahan tujuan huruf penyelenggaraan Pemilu (huruf f) Rapat setuju untuk menghapus frasa 'menciptakan sistem kepartaian sederhana'.

13. Tambahan tujuan huruf penyelenggaraan Pemilu (huruf g) Rapat setuju untuk menghapus frasa 'menjaga dan meningkatkan proporsionalitas pemilu dengan derajat keterwakilan lebih tinggi'.

14. Verifikasi parpol peserta Pemilu

Rapat menyetujui parpol peserta pemilu sebelumnya tak perlu mengikuti verifikasi lagi. Sementara, parpol baru seperti PSI, Partai Idaman, hingga Perindo wajib mengikuti verifikasi jika ingin berlaga dalam Pemilu 2019.

15. Keterwakilan perempuan

Parpol peserta pemilu harus memenuhi kuota 30 persen perempuan di kepengurusan DPP. Sementara itu, penyelenggara Pemilu tingkat pusat seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak diwajibkan melibatkan 30 persen perempuan dalam kepengurusannya.

(dkp/imk)

Jika RUU Pemilu Gagal Disahkan, Pemilu 2019 Dijadwalkan 24 April Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini tengah melakukan finalisasi draf Peraturan KPU mengenai TahapanPemilu Presiden dan Pemilu Legislatif

(8)

2019, yang hasilnya akan dikonsultasikan dengan DPR rencananya usai Lebaran.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, apabila Rancangan Undang- Undang Pemilu (RUU Pemilu) berhasil disahkan, maka Pemilu 2019 bisa dilangsungkan pada 17 April 2019 secara serentak.

Namun, apabila gagal dan harus menggunakan undang-undang yang lama, maka pemilu serentak itu dilangsungkan pada 24 April 2019.

"Kalau berdasarkan kesepakatan pembahasan

RUU Pemilu, pemiluserentak kan 17 April. Untuk kami, kami rancang menurut undang-undang lama, yakni 24 April," kata Arief, ditemui usai rapat pleno di kantor pusat KPU, Jakarta, Selasa (20/6/2017).

Meski berbeda jadwal pelaksanaan pemungutan suara berdasarkan UU lama dan UU yang baru nanti, namun Arief menolak jika dikatakan penyelenggaraan Pemilu 2019 terancam mundur.

"Tidak. Itu menyesuaikan," kata Arief.

Arief mengatakan, apabila pemungutan suara dilangsungkan pada 24 April 2019 maka tahapan pemilu sudah bisa dimulai 24 Juni 2017.

"Nah kami kan mau ajukan (ke DPR). Besok kami masukkan. Sekarang kami sedang siapkan. Dalam rancangan kami siapkan 24 April

pemungutan suara," kata dia.

Komisioner KPU Ilham Saputra menambahkan, draf tahapan pemiluyang disusun berdasarkan UU Pemilu lama adalah untuk mengantisipasi apabila RUU Pemilu gagal disahkan.

"Sebenarnya kan kami optimistis UU yang baru ini bisa selesai maksimal Juni ini. Tetapi ternyata habis Lebaran (baru pengambilan

keputusan)," ucap Ilham.

"Ya kami antisipasi jika RUU ini gagal atau tidak berhasil di undang- undangkan. Kami punya contingency plan berdasarkan undang-undang yang berlaku sekarang," kata dia

DPR Dinilai Tak Adil Soal Verifikasi Parpol untuk Pemilu 2019

Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris mengkritik kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang tidak lagi mengharuskan 15 partai peserta Pemilu 2014 mengikuti verifikasi partai

(9)

peserta Pemilu 2019.

Kesepakatan itu dicapai DPR dan pemerintah dalam rapat panitia khusus Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu, Selasa (30/5).

Menurut mereka, verifikasi untuk parpol lama tak diperlukan karena syarat mengikuti Pemilu 2019 sama dengan pemilihan sebelumnya.

Partai lama itu adalah Partai NasDem, PKB, PKS, PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, PKPI, dan tiga partai lokal Aceh yakni Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai Aceh.

Sebaliknya, Syamsuddin menilai kesepakatan itu tak mencerminkan keadilan perlakuan antara 15 partai peserta Pemilu 2014 dengan sejumlah partai baru.

"Sangat disayangkan kalau sudah diputuskan demikian, sebab itu tidak adil dan tidak menjamin bahwa parpol lama pun layak ikut pemilu," kata Syamsuddin Haris di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu (31/5).

Dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu syarat parpol untuk menjadi peserta pemilihan diantaranya adalah memiliki status badan hukum, memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, punya kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kepengurusan di tingkat

kecamatan.

Parpol juga diminta mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu.

Menurut Haris, verifikasi harusnya dilakukan terhadap semua parpol calon peserta pemilu. Ia ragu beberapa parpol peserta pemilu sebelumnya masih memenuhi syarat kepemilikan kepengurusan sesuai yang diatur dalam undang-undang.

"Tidak ada jaminan bahwa parpol yang sudah ikut pemilu sebelumnya masih memiliki sekian kepengurusan di sekian provinsi, kabupaten, kecamatan. Ini poinnya suatu ketidakadilan sebetulnya," katanya.

(10)

Sementara itu, Komisioner KPU RI Hasyim Ashari berkata bahwa

lembaganya siap menjalankan kesepakatan pansus ihwal verifikasi parpol peserta pemilu. Jika tak ada halangan, kesepakatan pansus akan

disahkan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Hasyim menilai keputusan tidak memverifikasi 15 parpol lama dapat menghemat biaya penyelenggaraan pemilu 2019. Namun, ia tidak mengetahui berapa jumlah biaya yang kira-kira dapat dihemat atas ketiadaan verifikasi 15 parpol.

"Pasti benar (ada penghematan), baik bagi penyelenggara maupun parpol yang sudah mengikuti pemilu. Bagi penyelenggara pasti menghemat karena verifikasi faktual kan memeriksa jumlah anggota, itu kan butuh biaya juga," kata Hasyim

Pansus RUU Pemilu Putuskan Tambah 15 Kursi DPR, Apa Dampaknya?

Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat akan bertambah pada pemilihan umum 2019 mendatang, dari saat ini 560 menjadi 575 orang.

Penambahan 15 kursi anggota Dewan diputuskan dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu dengan Kementerian Dalam Negeri, Selasa, 30 Mei 2017. Nantinya, penambahan ini akan

dicantumkan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, yang targetnya disahkan DPR bulan depan.

Koalisi Masyarakat Sipil menolak keras penambahan jumlah wakil rakyat karena akan membebani anggaran. Untuk penambahan satu anggota Dewan saja, negara harus mengeluarkan Rp 12 miliar per tahun untuk gaji, tunjangan, fasilitas, dana reses, dan tenaga ahli. “Total Rp 180 miliar

(11)

per tahun terbuang untuk aspirasi rakyat yang belum tentu tertampung,”

kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Penambahan anggota Dewan, kata Feri, juga akan menambah ongkos politik pada pemilihan mendatang. Apalagi Pansus RUU Pemilu di DPR telah memutuskan iklan kampanye selama pemilihan umum dibiayai negara. “Uang negara, yang seharusnya dimanfaatkan untuk

pembangunan, dihabiskan untuk politik,” ujarnya.

Penambahan 15 kursi anggota Dewan diputuskan dalam rapat

Pansus RUU Pemilu dengan Kementerian Dalam Negeri, Selasa. Sejak awal pembahasan undang-undang, DPR mengusulkan penambahan 19 kursi dengan pertimbangan meningkatnya jumlah penduduk dan adanya daerah otonomi baru, yaitu Kalimantan Utara. Tak ingin membebani keuangan negara, pemerintah hanya setuju menambah lima kursi.

Namun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengubah pendapatnya dan sepakat menambah 15 kursi. Tjahjo beralasan penambahan jumlah

penduduk dan daerah otonomi baru perlu difasilitasi di Dewan demi kepentingan pemilih. “Anggaran bertambah tidak masalah. Ini masalah politik, enggak bisa diukur dengan uang,” katanya.

Penambahan itu adalah tiga wakil rakyat untuk Kalimantan Utara serta masing-masing satu kursi untuk Kalimantan Barat, Lampung, Jakarta, dan Jawa Barat. “Pembagian sisanya kami serahkan ke Pansus,” ucapnya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, mengatakan DPR seharusnya mengatasi persoalan

ketimpangan alokasi keterwakilan, bukan malah menambah jumlah

legislator. Saat ini, dari 560 anggota Dewan, 315 orang adalah perwakilan Jawa, Madura, dan Bali. Sedangkan 245 legislator sisanya adalah

perwakilan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. “Yang tingkat keterwakilannya berlebih seharusnya dibagi kepada daerah yang tingkat representasinya kurang,” tuturnya.

Beberapa daerah pemilihan memiliki jumlah alokasi kursi berlebih dibanding jumlah penduduknya. Salah satunya Sumatera Barat, yang berpenduduk 4,8 juta orang, tapi memiliki jatah 14 kursi anggota DPR dari seharusnya 11 kursi. Bandingkan dengan Riau, yang punya 5,8 juta penduduk, tapi hanya mendapat 11 kursi DPR dari semestinya 13 wakil rakyat.

(12)

Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menyatakan menyetujui

penambahan di daerah-daerah usulan pemerintah. Pembagian delapan kursi sisanya akan dibicarakan antar-anggota Pansus. “Nanti didiskusikan dan dilobi lagi,” katanya. “Kalau dibicarakan sekarang, tidak akan selesai pembahasan.”

Selain penambahan kursi, kemarin, Pansus RUU Pemilu memutuskan sejumlah isu lain. Partai peserta pemilu 2014, misalnya, tak perlu lagi mengikuti verifikasi untuk pemilihan 2019. Adapun kelembagaan KPU dan Bawaslu berbentuk tetap hingga tingkat kabupaten dan kota. Sebelumnya, lembaga penyelenggara dan pengawas pemilihan ini bersifat sementara di tingkat kabupaten dan kota

Kemendagri: Penambahan 19 Kursi DPR Bebani Keuangan Negara

Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Yuswandi A. Tumenggung menilai penambahan 19 kursi DPR, seperti kesepakatan rapat panitia khusus RUU Pemilu, akan memberatkan keuangan negara. Ia

mengatakan pemerintah masih akan menghitung keuangan negara terkait dengan usulan penambahan kursi tersebut.

"Itu masalah dong. Justru itu pemerintah mengusulkan hanya lima (penambahan kursi DPR)," ujar Yuswandi seusai rapat bersama Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu di

Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Mei 2017.

Meski begitu, Yuswandi belum memerinci perhitungan pemerintah terkait dengan anggaran yang dikeluarkan jika menambah 19 kursi DPR menjadi 579 kursi. "Yang pasti berpengaruh, misal naik 56, itu naik 10 persen,"

katanya.

Rapat pansus RUU Pemilu, Senin petang kemarin, menyepakati penambahan 19 kursi DPR tanpa redistribusi daerah pemilihan. Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy memberi waktu kepada pemerintah menginternalisasi dulu untuk memperhitungkan usulan tersebut.

Menurut Lukman, jika setelah internalisasi perhitungan pemerintah tidak menyetujui usulan tersebut, pansus membuka ruang perundingan kembali. "Kita rundingkan lagi," ujarnya.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Ahmad Riza Patria menjelaskan, penambahan kursi tersebut berdasarkan perhitungan jumlah penduduk dan luas wilayah. Penambahan dua kursi meliputi daerah Lampung, Riau, Papua, dan Kalimantan Barat. Sedangkan daerah Kalimantan Utara

(13)

ditambah tiga kursi.

Selain itu, penambahan satu kursi meliputi daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Jambi, dan Nusa Tenggara Barat. "Ini sementara dan akan dicek ulang lagi," kata Riza.

Meski berbeda pendapat, Yuswandi mengatakan pemerintah masih akan mendiskusikan usul penambahan 19 kursi DPR seperti kesepakatan pansus RUU Pemilu. Yuswandi mengatakan pemerintah tetap pada posisi mengusulkan penambahan lima kursi dewan. "Semuanya kita hitung dulu," katanya.

Menurut Yusril, Seharusnya Tak Ada "Presidential Threshold" di Pemilu 2019

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai, tidak tepat jika ketentuan ambang batas untuk pencalonan presiden ( presidential threshold) diterapkan pada Pemilu Serentak 2019.

Menurut dia, akan muncul problematika untuk menetapkan dasar perhitungannya.

"Bagaimana menghitung presidential threshold kalau pemilu diadakan serentak? Kan tidak mungkin," kata Yusril, seusai acara buka puasa bersama DPP Partai Bulan Bintang, di Jakarta, Rabu (21/6/2017).

Yusril juga menanggapi sikap pemerintah yang ngotot menginginkan ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen, yakni 20 persen kursi dan 25 persen suara nasional.

Menurut Yusril, angka tersebut tidak menjamin bahwa presiden yang terpilih nantinya akan mendapat dukungan parlemen.

"Apa sih angka 20-25 persen? Kalau dibilang Pak Tjahjo (Mendagri Tjahjo Kumolo) supaya Presiden memperoleh dukungan parlemen, kalau yang dukung 20 persen tapi 80 persen lainnya enggak dukung, ngapain juga.

Enggak ada gunanya juga kan," kata Yusril.

Ia juga mengkritik ancaman pemerintah akan menarik diri jika perdebatan ambang batas tak mencapai titik temu.

Yusril mengatakan, akan semakin rancu jika pemilu diadakan serentak, sementara peraturannya mengacu pada UU yang lama, yakni UU Nomor

(14)

8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

"Undang-undang yang ada sekarang itu bukan pemilu serentak," kata Yusril.

Oleh karena itu, seharusnya tidak ada ambang batas untuk pencalonan presiden jika pemilu 2019 dilaksanakan serentak.

Jika ambang batas tetap diberlakukan, maka Pemilu 2019 tidak dilakukan secara serentak. Akan tetapi, hal ini mengesampingkan putusan

Mahkamah Konstitusi.

"Putusan MK mengatakan bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan 2019," ujar pakar hukum tata negara tersebut

Tiga Partai Bersikukuh Ingin Presidential Threshold 20 Persen

Tiga partai politik, yakni PDIP, Golkar dan NasDem masih bersikukuh ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold berada di angka 20 Persen.

Mayoritas fraksi menginginkan ambang batas pencalonan presiden ditiadakan atau nol persen.

"Gerindra sendiri dukung nol persen, tetap nol persen dengan alasan itu sesuai konstitusi. Kalau tidak nol persen itu melanggar konstitusi," kata Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang

Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) Ahmad Riza Patria, Riza saat dihubungi, Jumat (2/6).

Riza berpendapat, ditiadakannya ambang batas pencalonan presiden merupakan bentuk penguatan partai politik lantaran memberi kesempatan untuk mengajukan calon masing-masing.

Jika Presidential Threshold dipaksakan 20 persen, maka hal itu menyalahi konstitusi. Karena dasar penggunaan angka tersebut telah dipakai pada Pilpres 2014.

"Sejauh ini yang tidak dukung PT (Presidential Threshold) Nol persen adalah PDIP, Golkar dan NasDem. Cuma itu saja," ujar dia.

Riza yakin peluang PT 20 persen kecil untuk disepakati. Meski pemerintah juga masih menginginkan PT 20 persen.

(15)

"Pemerintah enggak boleh keras dan nggak boleh menang sendiri.

Banyak pengamat juga mendorong nol persen," katanya.

Dia berharap, pemerintah jangan memaksakan kehendak tentang ambang batas pencalonan. "Justru dengan adanya 20 persen itu bagian dari

arogansi partai nggak kasih kesempatan partai lain," ujarnya.

Namun, kata Riza, hingga saat ini pansus belum menyentuh soal pembahasan presidential threshold.

Pansus RUU Pemilu dan Pemerintah masih fokus menyepakati 14 isu krusial. Diantaranya, penambahan kursi anggota dewan, verifikasi partai politik, syarat pemilih, keterwakilan perempuan dan status KPU-Bawaslu.

Pansus RUU Batalkan Dua Usulan PDIP soal Tujuan Pemilu

Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu menghapus pembahasan usulan PDIP soal tambahan tujuan atas penyelenggaraan pemilu.

Penghapusan usulan itu berdasarkan hasil kesepakatan dalam rapat pansus di mana sembilan fraksi menyatakan menolak.

Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, dua usulan yang sepakat dibatalkan untuk dibahas yakni menciptakan sistem kepartaian sederhana, serta usulan tentang menjaga dan meningkatkan

proporsionalitas pemilu dengan derajat keterwakilan lebih tinggi.

"Jadi setuju didrop ya?" ujar Lukman sambil mengetuk palu sidang di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5).

Anggota Komisi II Fraksi Hanura Rufinus Hutauruk menilai, usulan

tambahan tujuan pemilu yang diajukan oleh PDIP tidak jelas. Ia menduga, usulan itu berkaitan dengan kepentingan PDIP terhadap sejumlah isu krusial, seperti presidential threshold dan parliamentary threshold.

"Saya tidak paham maksudnya apa," ujar Rufinus.

Anggota Komisi II Fraksi Nasdem Teuku Taufiqulhadi menilai, usulan yang diajukan oleh PDIP kental dengan kepentingan. Padahal, dua usulan yang diajukan oleh PDIP secara implisit telah terdapat di dalam draft RUU

(16)

tersebut.

"Itu implisit sudah ada. Kalau itu dieksplisitkan mudah sekali ditebak fraksi lain ada maksud tertentu," ujar Teuku.

Menanggapi pernyataan itu, anggota Komisi II Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan, usulan sistem kepartaian sederhana bukan murni usulan PDIP. Usulan itu merupakan ketentuan yang ada di dalam naskah akademik yang diajukan oleh pemerintah.

Diah mengatakan, kepartaian sederhana bukan berarti mengurangi jumlah partai. Akan tetapi, penyederhanaan partai yang ada di dalam draf itu nantinya akan mempengaruhi desain pemilu ke depan.

"Sistem ini jangan disederhanakan. Ini didesain karena ada tujuan strategis," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah yang diwakili oleh Sekjen Kemdagri Yuswandi A. Tumenggung mengatakan, secara implisit dua usulan itu telah ada di dalam pasal 4 huruf a dan b draft RUU Pemilu. Pemerintah khawatir, tujuan pemilu akan tumpang tindih jika usulan tersebut tetap dimasukkan.

"Menurut hemat kami dua unsur itu sudah ada di dalam struktur norma- norma yang dirumuskan di RUU ini," ujar Yuswandi.

Rapat pansus ditunda dengan agenda pembahasan soal penambahan kursi. Masing pihak bersikeras dengan posisi politiknya, yakni DPR sepakat menambah 19 kursi. Sementara pemerintah meminta penambahan sebanyak tiga atau lima kursi sesuai kebutuhan.

Glosarium: presidential threshold adalah?

Politik presidential threshold : Ambang batas perolehan suara sah nasional untuk bisa memajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden

Pemilu presidential threshold : Sebuah istilah tak resmi untuk syarat mengajukan calon presiden dalam Pemilihan Presiden. Syaratnya adalah partai atau gabungan partai memiliki 25 persen kursi atau 20 persen suara sah Pemilu untuk mencalonkan presiden.

Demokrat: Presidential Threshold 20% Itu Logika Sesat

(17)

Partai Demokrat menilai terlalu dipaksakan jika syarat ambang batas calon presiden atau presidential threshold 20 persen diterapkan pada Pemilu 2019. Apalagi Pemilu 2019 dilakukan secara serentak.

"Itu logika sesat. Bagaimana mungkin bisa menentukan presidential threshold (PT) 20 persen, sementara belum ada hasil pemilu legislatif.

Sungguh sulit dimengerti kalau ada partai-partai yang

memaksakan presidential threshold tersebut dalam Pilpres 2019," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (20/6/2017).

Menurut Didi, jika tetap dipaksakan presidential threshold 20 persen, akan banyak kecurigaan bahwa ini hanya akal-akalan untuk menjegal calon presiden dari partai kecil.

"Maka jangan salahkan banyak pihak kemudian curiga, sehingga polemik pun berkembang, jangan-jangan ini untuk menjegal para calon presiden partai-partai kecil, mengebiri capres partai-partai pesaing," ujar Didi.

"Atau jangan-jangan incumbent presiden takut bertarung manakala muncul calon-calon penantang baru dari berbagai partai kelak. Padahal para pendukungnya selalu klaim presiden sukses dalam membangun negeri, tentu ironis jika lalu terkesan takut dengan hadirnya capres-capres baru yang kelak jadi pesaingnya," tutur dia.

Menurut Didi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan, pada Pemilu 2019, pilpres dan pileg dilaksanakan serentak.

Jadi secara otomatis ambang batas pencalonan presiden hilang atau 0%.

Didi menegaskan, jika presidential threshold tetap dipaksakan 20 persen, tentu hal tersebut melanggar putusan MK. Padahal, sebagai warga negara yang taat hukum, sudah semestinya putusan MK tersebut dipatuhi.

Apabila angka presidential threshold menggunakan hasil Pemilu 2014, kata Didi, itu sudah tidak relevan. Perolehan suara partai dalam Pemilu 2014 tak bisa digunakan untuk kedua kalinya dalam Pemilu 2019 karena sudah pasti peta kekuatan politik sudah berubah.

"Oleh karenanya, proses demokrasi tidak boleh mundur selangkah pun.

Sekali lagi, ingat 2019 jelas-jelas pemilu serentak, bukan saja logika yang bisa rusak, hukum pun telah dilanggar dengan tetap paksakan PT 20 persen! Maka adanya presidential threshold jelas-jelas melanggar dan bertentangan dengan keputusan MK soal pilkada serentak," tutur Didi.

(18)

RUU Pemilu Tersandera "Presidential Threshold"...

Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu sedianya selesai pada akhir April 2017.

Nyatanya, RUU yang mengatur hajat hidup parpol di Indonesia itu molor dan diperpanjang hingga 20 Juli 2017.

Hingga rapat terakhir pada Senin (19/6/2017), pembahasan antara pemerintah dan DPR masih tersandera di isu syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Pemerintah bersikeras agar presidential threshold tak berubah, yakni 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Suara fraksi di DPR pun terbelah.

Begitu pula parpol-parpol pendukung pemerintah. PDI-P bersama Golkar dan Nasdem kompak mendukung pemerintah dengan

besaran presidential threshold yang sama.

Namun, parpol pendukung pemerintah lain seperti PPP, PAN, PKB, dan Hanura menginginkan agar besaran presidential threshold diturunkan berkisar di angka 10-15 persen.

Sikap mereka juga didukung oleh dua parpol oposisi, PKS dan Gerindra.

Sementara itu, Demokrat bergeming agar presidential thresholddihapus atau nol persen. Dengan demikian, Demokrat bisa mengusung capres- cawapres tanpa perlu koalisi.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai wajar alotnya pembahasan presidential threshol dalam pembahasan RUU Pemilu.

Menurut dia, besaran presidential threshold sangat memengaruhi konstelasi politik dalam pemilu 2019.

"Iya, ini (presidential threshold) sangat memengaruhi konstelasi politik ke depan, karena ada beberapa partai yang hendak mencalonkan kadernya menjadi capres," ujar Qodari saat dihubungi, Selasa (20/6/2017).

Sebab, beberapa partai memiliki figur yang hendak diusung sebagai capres atau cawapres.

(19)

Demokrat, misalnya. Hasil rapat kerja nasional di Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengharuskan mereka mengusung capres atau cawapres dari internal mereka.

Meski belum ada kebulatan suara mengusung kader tertentu, muncul usulan mencalonkan putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurto Yudhoyono, sebagai capres.

Demikian pula dengan Gerindra. Sejak awal pencalonan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta, pencapresan kembali Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menguat.

Prabowo justru menjawab pencapresannya bisa terwujud jika Anies - Sandi menang di Jakarta.

Demikian pula dengan Presiden Joko Widodo. Meski Jokowi belum mendeklarasikan maju kembali dalam Pilpres 2019, beberapa partai pendukung koalisi pemerintahan seperti Golkar dan Nasdem sudah mengumumkan bakal mengusung Jokowi.

Karena itu, Golkar dan Nasdem juga ngotot agar presidential threshol berada di angka 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional.

Qodari menilai, upaya yang dilakukan Golkar dan Nasdem merupakan suatu hal yang realistis agar pemilu berpotensi berlangsung satu putaran.

Dengan presidential threshold saat ini, dipercaya bakal memudahkan Jokowi untuk menang Pilpres 2019.

Sebab, hingga kini elektabilitas Jokowi masih lebih tinggi dibandingkan bakal calon lainnya.

Survei Harian Kompas pada 29 Mei 2017, menunjukan elektabilitas Jokowi berada di posisi pertama dengan angka 41,6 persen, diikuti Prabowo di posisi kedua sebesar 22,1 persen.

Elektabilitas yang tinggi serta dukungan Golkar dan Nasdem, tentu menjadikan Jokowi di atas angin.

Golkar dengan perolehan kursi di DPR sebesar 16,25 persen dan Nasdem dengan 6,25 persen saja sudah bisa membuat Jokowi melenggang sebagai capres dalam Pilpres 2019.

(20)

Jumlah itu belum termasuk Hanura yang juga sudah mendeklarasikan dukungan ke Jokowi di pemilu 2019 dan PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi di Pemilu 2014.

Sedangkan bagi parpol lain, syarat itu cukup memberatkan karena beberapa partai telah menyatakan sikapnya untuk kembali mengusung Jokowi.

Kendati demikian, Qodari mengingatkan agar pemerintah dan partai pendukung presidential threshold di angka 20 atau 25 persen,

mewaspadai kemungkinan digugatnya usulan tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Biar bagaimanapun, MK telah memutuskan pemilu 2019 berlangsung serentak. Karena itu saya sudah tak melihat lagi perdebatan di antara parpol-parpol di DPR soal usulan presidential threshold, tetapi justru kemungkinannya digugat di MK," lanjut Qodari.

Sebagaimana yang pernah disampaikan mantan Ketua MK, Mahfud MD, meski presidential threshold dalam RUU Pemilu merupakan open legal policy, namun akan lebih aman bila tak ada presidential threshold

Hal lain yang sangat penting diperhatikan adalah Asas-asas Pembentukan Undang-undang yang berkaitan dengan rencana Penyusunan rancangan Undang-Undang Pemilu serentak tahun 2019 : Kodifikasi lima undang-undang pemilu (uu No 42/2008, uu No 15/2011, uu No 8/2012, uu No 1/2015 juncto uu No 8/2015) menjadi satu naskah undang-undang pemilu sebetulnya merupakan pembentukan satu undang-undang pemilu. Oleh karena itu dalam mengkodifikasi undang-undang pemilu berlaku juga asas-asas hukum pembentukan undang- undang. Asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak bisa dimengerti tanpa asas-asas hukum tersebut. Asas-asas hukum pembentukan undang-undang merupakan pedoman pembentukan undangundang, yang menyangkut: isi peraturan, bentuk dan susunan peraturan, metode pembentukan peraturan, dan proses dan prosedur pembentukan peraturan.

mengutip IC van der Vlies, Attamimi (2007) menyebut, asas-asas hukum pembentukan undang-undang terdiri atas asas-asas formal dan asas-asas material. Asas-asas formal meliputi: tujuan yang jelas, organ/lembaga yang tepat, perlunya pengaturan, dapat

(21)

dilaksanakan, dan konsensus. Sedangkan asas-asas material meliputi: terminologi dan sistematika yang benar, dapat dikenali, perlakuan yang sama dalam hukum, kepastian hukum, dan pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Attamimi sendiri mengemukakan, bahwa asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi: tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ/lembaga yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali.

Sedangkan asas-asas material pembentukan peraturan perundang- undangan meliputi: sesuai dengan cita hukum indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum, dan sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.

Asas cita hukum indonesia dan norma fundamental negara tidak lain adalah Pancasila yang memiliki lima sila: Ketuhanan Yang maha esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat indonesia. Sedangkan asas negara berdasarkan atas hukum berarti menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang berada dalam keutamaan hukum. lalu asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi berarti menempatkan uuD 1945 sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.

uu No 12/2011 yang mengatur pembentukan peraturan perundang- undangan juga menyebut adanya asas-asas formal dan material yang menjadi dasar pembentukan undang-undang. Pasal 5 uu No 12/2011 menyebut tujuh asas formal pembentukan undang-undang, yaitu:

kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Pertama, asas kejelasan tujuan, berarti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kedua, asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, berarti setiap jenis peraturan perundang-

(22)

undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Ketiga, asas kesesuaian atara jenis, hierarki, dan materi muatan, berarti dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Keempat, asas dapat dilaksanakan, berarti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Kelima, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, berarti setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keenam, asas kejelasan rumusan, berarti setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Ketujuh, asas keterbukaan, berarti dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 6 ayat (1) uu No 12/2011 menyebut sepuluh asas material pembentukan undang-undang: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(23)

Pertama, asas pengayoman, berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Kedua, asas kemanusiaan, berarti setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk indonesia secara proporsional. Ketiga, asas kebangsaan, berarti setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik indonesia. Keempat, asas kekeluargaan, berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Kelima, asas kenusantaraan, berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah indonesia dan materi muatan peraturan perundang- undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan uuD 1945. Keenam asas bhinneka tunggal ika, berarti materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketujuh, asas keadilan, berarti setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Kedelapan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Kesembilan, asas ketertiban dan kepastian hukum, berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Kesepuluh, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

(24)

Asas Penyelenggaraan Pemilu: Pasal 22e Ayat (1) uuD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Ketentuan itu menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu memiliki enam asas yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, atau biasa disingkat dengan luber dan jurdil. Namun asas luber tersebut sesungguhnya bukan asas pelaksanaan pemilu, tetapi secara lebih khusus adalah asas pemberian suara atau pemungutan suara, sedangkan asas jurdil secara lebih khusus penghitungan suara.

Pertama, asas langsung, berarti rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Kedua, asas umum, berarti semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang- undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

Ketiga, asas bebas, berarti setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Keempat, asas rahasia, berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

Kelima, asas jujur, berarti dalam penyelenggaraan pemilu, setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu,pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keenam asas adil, berarti dalam

penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Pemungutan dan penghitungan suara sesungguhnya merupakan inti dari pelaksanaan pemilu, sedangkan pelaksanaan pemilu merupakan bagian pokok dari penyelenggaraan pemilu. Penyelenggaraan pemilu merupakan seluruh kegiatan pemilu yang meliputi: penyusunan

(25)

peraturan, perencanaan dan penganggaran, persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penegakan hukum, serta pelaporan dan evaluasi.

Sedangkan pelaksanaan pemilu terdiri dari pembentukan daerah pemilihan, pendaftaran partai politik peserta pemilu, pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan.

Jika asas luber dan jurdil secara khusus berlaku untuk pemungutan dan penghitungan suara, maka untuk pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilu berlaku asas-asas berikut ini: kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Sementara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, penyelenggara pemilu berpegang pada asas mandiri, jujur, adil, proporsional, dan profesional. Demikianlah, karena penyelenggaraan pemilu meliputi banyak kegiatan, maka dalam mengatur masing-masing kegiatan perlu ditegaskan asas-asas yang mendasarinya.

Membanca isu dan memahami dinamika pemikiran dalam rangka

menyusun Rancangan Undang-Undang Pemilu serentak tahun 2019 seperti tersebut di atas, maka menurut hemat penulis landasan utamanya dipahami dengan baik. Landasan utama yang dimaksud yaitu meliputi aspek

pemahaman Ilmu Hukum, Ilmu Perundang-Undangan dan demokrasi Pancasila.

II. PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Latar belakang pemikiran, tujuan dan manfaat menyusun RUU Pemilu serentak tahun 2019 harus jelas konsep hukum yang mengedepankan

(26)

keadilan yang bersumber dari Pancasila sebagai dasar Negara dan sumber dari sebagala sumber hukum.

b. Perancangan RUU pemilu serentak tahun 2019 seharusnya dilandasi pemikiran Ilmu Hukum, Ilmu Perundang-undangan dan spirit Demokrasi Pancasila.

c. Menempatkan konsep Ilmu hukum Pancasila, Ilmu Perundang- undangan dan konsep Demokrasi pancasila sebagai landasan penyusunan RUU Pemilu serentak tahun 2019 maka akan memberikan dampak yang baik yakni yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu serentak 2019.

d. Apabila dasar penyusunan RUU serentak 2019 di dasari oleh

“kepentingan sesaat”, “kekuasaan belaka”, dan kepentingan lain- lain….., sepertinya dampaknya dalam pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 kurang baik, kemungkinan akan ada proses pengujian secara materiil tentang kualitas norma hukum Undang-Undang Pemilu serentak tahun 2019 di meja Mahkamah Konstitusi.

2. Rekomendasi

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI tahun 1945 :”Kedaulatan berada di tangan dan dilaksanakan menurut Undang- Undang dasar”, itu artinya kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat Indonesia. Kaitannya dengan perancangan RUU Pemilu serentak tahun 2019 rakyat harus memahami, mengerti isi Naskah Akademik dan RUU Pemilu srentak tahun 2019 tersebut. Oleh karena itu Naskah

(27)

Akademik dan RUU Pemilu serentak tahun 2019 harus disosialisasikan kepada rakyat supaya rakyat mengerti dan memberikan masukan,kritik dan saran baik lisan dan tertulis (Lihat UU No.`2 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Seharusnya bangsa Indonesia sudah memiliki “Kepribadian hukum yang bersumber pada Pancasila” (“Sui Generisnya” dari Hukum yang bersumber pada Pancasila).

c. Pemahaman, pengembangan dan peraktek demokrasi di Indonesia seharus digali dan bersumber dari spirit “Demokrasi Pancasila”.

(28)

Bahan Bacaan :

1. Undang-Undang dasar Negara RI Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tetang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

3. Undang-Undang Pemilu yang akan direvisi.

4. Rangkuman bahan-bahan perdebatan di DPR RI dengan Pemerintah 2017.

5. Konsep Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6. Konsep Ilmu hukum Pancasila.

7. Konsep Ilmu Perundang-Undangan.

8. Konsep Pancasila sumber dari segala sumber hukum.

9. Konsep Demokrasi Pancasila.

Referensi

Dokumen terkait

Inti dari back propagation adalah untuk mencari error suatu node. Dari hasil forward phase akan dihasilkan suatu output, dari output tersebut, pastilah tidak sesuai target

Jenis kamar yang tersedia untuk dua orang penghuni dengan kondisi, berisi satu tempat tidur double (double bed) atau dua tempat tidur dan fasilitas yang tersedia di

Berdasarkan hasil dari penelitian, dapat diketahui bahwa bahwa peraturan daerah nomor 20 tahun 2002 dalam penanganan anak jalanan sudah berjalan baik, namun belum maksimal

Dari hasil Penelitian yang telah diakukan dapat diketahui tingkat kesesuaian lahan di daerah penelitian termasuk dalam kategori S3 dan N1 dan juga mengetahui daerah

Di AstorGame, kami berencana untuk memanfaatkan teknologi baru ini untuk melakukan peningkatan kualitas dan menghasilkan nilai tambah bagi klien kami, membangun

Dalam penyelesaian beberapa kasus seperti penentuan wali nikah, penghitungan dan penetapan masa iddah,dan perkawinan perempuan hamil terdapat perbedaan rujukan

Sistem informasi point of sales berbasis web untuk UD.Naga Santosa ini merupakan sistem yang mudah dijalankan dalam penggunaannya karena sistem yang dibangun

Tetapi berbeda dengan beban pencemaran dari sektor pertanian, dimana ada salah satu parameter, yaitu BOD, yang masih dapat memenuhi beban pencemaran Sungai Cisangkuy karena