• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified

Fragment Length Polymorphism (AFLP)

Dini Damayanti1), Teuku Tajuddin2), Devit Purwoko3), Imam Civi Cartealy4), Siti Zulaeha5), Suharsono6) 1)

Program Studi Bioteknologi Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, Jawa Barat.

2)

Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT, Gedung 630, Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten.

3)

Staf Pengajar Program Studi Bioteknologi IPB, Bogor, Jawa Barat. E-mail:vito@biotek.bppt.go.id

Abstract

Curcuma xanthorrhiza Roxb, which is well-known as Java turmeric, has been extensively used in pharmaceutical industries in Indonesia. In spite of this commercial value, the identity of this species is commonly mistaken from other similar orange rhizomes Curcuma. Correct identity of these species is vital in pharmaceutical industries. The objective of the study was to determine genetic diversity of 32 accession Curcuma xanthorrhiza Roxb. Genomic DNA was extracted from leaf using Sodium Dodesyl Sulphate (SDS) modification. Amplified fragment length polymorphism (AFLP) was carried out according to the protocol of AFLPTM plant mapping kit and the final polymerase chain reaction (PCR) products were separated using The Agilent 2100 Bioanalyzer. The number of fragment produced by 12 pairs primer combination of AFLP ranged from 42 to 60 with an average of 52. Data obtained was analyzed by the NTSys program. From the AFLP amplification on 32 DNA samples, it was proven that the accession of Curcuma xanthorrhiza Roxb. had a high degree of diversity. Based on analysis of AFLP and unweighted pair group with arithme average (UPGMA) it was shown that the accession of Curcuma xanthorrhiza Roxb. could be grouped into two cluster at relative ecludian distance of 0.10 (10%). Cluster I for accession from Palembang, Pacitan and Ciamis 2. Cluster II for accession from Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsesl, Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok.

Kata Kunci: aksesi Lokal, AFLP, Curcuma xanthorrhiza Roxb., marker molekuler, variasi genetik

1. PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang dikenal sebagai

Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia Tenggara untuk makanan dan obat. Temulawak memiliki aroma khusus dan sedikit rasa pahit. Rimpang temulawak ini yang digunakan sebagai bahan baku utama obat-obatan karena mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan kalsium klorida. Tanaman ini termasuk dalam famili Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan. Disamping memiliki prospek pasar regional maupun internasional, tanaman ini juga menempati urutan pertama sebagai tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai

bahan baku industri obat tradisional, fitofarmaka, bahan makanan, minuman penyegar dan lain sebagainya.

Penelitian temulawak telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara lain, mulai dari kandungan senyawa aktif hingga khasiatnya yang telah terbukti secara empiris dan medis. Manfaat temulawak diantaranya sebagai sistem imunitas atau pertahanan tubuh (Hargono 1996), sebagai komponen pengatur haid (Nurendah et al. 1996), mengatasi keputihan, dan sebagai bahan kosmetika (Dzulkarnain & Wahjoedi 1996).

(2)

demetoksikurkumin dan xanthorrhizol) yang berbeda pula (Tajuddin et al. 2008). Temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi sulit dibedakan. Menurut Istafid (2006), temulawak sulit dibedakan secara fenotipik, sehingga karakterisasi dilakukan secara molekuler. Metode biologi molekuler dapat digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu memiliki urutan DNA yang berbeda (polimorfisme). Informasi urutan DNA dapat digunakan untuk mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara individu dan jenis organisme (Weising et al.

2005).

Informasi keragaman genetik temulawak ini diperlukan untuk mendukung kegiatan konservasi temulawak Indonesia (Poerba & Yuzammi 2008) dan salah satu cara untuk melindungi plasma nutfah Indonesia khususnya tanaman obat temulawak. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, temulawak telah ditentukan sebagai salah satu dari Sembilan tanaman unggulan Indonesia (Sembiring et al.

2006).

Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism). Teknik AFLP merupakan suatu teknik untuk membuat sidik jariDNA genom. Menurut Mueller dan Wolfenbarger (1999), AFLP dapat mendeteksi variasi dan keragaman genetika pada mahluk hidup pada tingkat antar individu, spesies, dan populasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan pola pita. Prinsip dasar teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen hasil pemotongan dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari perbedaan letak situs pemotongan dua enzim restriksi (EcoRI dan

MseI) dan komposisi basa pada primer selektif (Invitrogen 2003).

Teknik AFLP sangat efisien untuk identifikasi polimorfisme DNA karena banyak fragmen restriksi yang dapat terdeteksi (Vos et al. 1995). Hasil AFLP berupa fragmen yang terseleksi, kurang lebih 50-100 fragmen per reaksi. Fragmen tersebut dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi yang diikuti ligasi adaptor dan amplifikasi. Teknik AFLP telah banyak dipergunakan untuk

keperluan identifikasi keragaman genetik berbagai tanaman seperti pisang (Nadiya AA et. al. 2010), temulawak (

ELIŠKA ZÁVESKÁ

et. al. 2011), walnut (Zheng Xu et. al. 2012).

Keunggulan teknik AFLP adalah dapat mendeteksi polimorfisme pada tanaman tanpa memerlukan informasi urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki tingkat reproducible

yang tinggi berdasarkan amplifikasi selektif fragmen hasil digesti genom, yaitu bila diulang cenderung menghasilkan hasil yang sama (Mueller & Wolfenbarger 1999). Teknik AFLP mampu menganalisis genom secara menyeluruh sehingga dihasilkan informasi yang memadai untuk menganalisis polimorfisme tanaman (Mba & Tohme 2005). Penanda AFLP terdiri atas susunan basa-basa situs pengenalan enzim, primer selektif yang tersebar luas pada seluruh bagian genom. Hasil pita polimorfis yang didapatkan relatif banyak. Sedangkan kelemahan dari teknik AFLP adalah pita yang didapatkan tidak dapat diinterpretasikan dalam alel atau lokus tertentu.

Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik temulawak telah dilakukan. Penelitian Santiana (2010) menunjukkan bahwa berdasarkan sekuen daerah matK dan intergenic spacer (IGS) trnS-trnfM sampel temulawak dari beberapa daerah di Indonesia mempunyai keragaman genetik. Penelitian mengenai eksplorasi genetik temulawak dengan metode AFLP juga telah dilakukan oleh Tajuddin et al.

(2011) pada 13 aksesi dari berbagai daerah. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Tajuddin et al (2011) yang bertujuan untuk melihat keragaman genetik terhadap 32 aksesi temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia menggunakan marka AFLP.

2. BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai Februari 2012 di Laboratorium Teknologi Gen, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Serpong.

(3)

Tabel 1. Aksesi temulawak yang digunakan Karang Anyar, Jawa Barat Jogjakarta

Bahan yang digunakan Sodium Dodesil Sulfat (SDS), Poly Vinyl Poly Pirolidon (PVPP), hexadecyltrimethylammonium bromide (CTAB), EDTA, Tris HCl, NaCl, β Merkaptoetanol, RNAse, Isopropanol, Klorofrom, EcoR I, MSe I, Taq DNA polymerase dan T4 DNA ligase.

Alat-alat. Alat-alat yang digunakan adalah pipet (eppendorf)1- 1000 µl, sentrifuse (Beckman J2-HS, KUBOTA, dan Tommy), mesin PCR (Takara) dan mesin elektroforesis (The Agilent 2100 Bioanalyzer.

2.1 Isolasi DNA

Isolasi DNA genom temulawak dilakukan dengan metode Sodium Dodesil Sulfat (SDS) (Angeles et al. 2005) yang dimodifikasi. Sampel daun temulawak dicuci dengan ddH2O. Setelah itu, 0.2

(4)

falcon 15 ml diinkubasi pada suhu 65 oC selama 1 jam. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3500 g [Beckman J2-HS, KUBOTA & Campuran larutan tersebut dikocok dan kemudian diinkubasi selama 15 menit dalam freezer pada suhu -20 oC. Langkah berikutnya, tabung sentrifugasi 15 ml yang mengandung sampel disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 5800 g (Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy), lalu ditambahkan isopropanol sebanyak 2/3 volume sampel. Setelah itu, tabung diinkubasi pada suhu -20oC selama 14 jam. Sampel dalam tabung disentrifugasi kembali dengan kecepatan 5800 g [Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 15 menit. Cairan dibuang endapannya, dan ditambah dengan 500 µl Triethanol Dapar (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA).

Kontaminan RNA dalam sampel dihilangkan dengan penambahan enzim RNAse sebanyak 1/100 volume sampel dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Larutan kloroform isoamilalkohol (24:1) ditambahkan pada sampel tersebut sebanyak volume sampel. Larutan dihomogenkan secara perlahan, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11,000 g [Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 10 menit. Cairan yang berada di lapisan atas dipindahkan ke tabung Eppendorf 1,5 ml yang baru. Sampel ditambahkan isopropanol sebanyak volume sampel dan selanjutnya diinkubasi selama 1 jam pada suhu -20 oC. Setelah itu, sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11,000 g [Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 10 menit. Endapan kemudian dikeringkan, lalu ditambahkan dengan 25 µl Triethanol Dapar (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA). Hasil isolasi DNA disimpan pada suhu -20 oC dan digunakan sebagai bahan untuk tahap selanjutnya.

2.2 Analisis AFLP

Genom DNA sebanyak 50 ng dipotong dengan sepasang enzim restriksi (EcoR I dan Mse I). Adaptor EcoR I, MSe I dan 1 unit T4 DNA ligase kemudian ditambahkan ke dalam reaksi pada suhu 37 oC selama 2 jam dan dilanjutkan dengan suhu 65 oC selama 20 menit. Hasil ligasi diencerkan 1:10, kemudian dipakai sebagai cetakan untuk Amplifikasi. Reaksi Pre-Amplifikasi terdiri dari 3 µl DNA hasil ligasi, 2.5 µl Taq dapar, 1 U Taq DNA pol, 25 mM MgCl2, 25

mM dNTPs, 10 pmol primer Mse-C, 10 pmol primer Eco-A dan H2O steril. Amplifikasi dilakukan

menggunakan thermocycle dengan tahapan program sebagai berikut: 72 oC selama 2 menit, 94 oC selama 30 detik, 56 oC selama 30 detik, 72

o

C selama 2 menit, kembali dari tahap 94 oC selama 29 kali, dan 60 oC selama 10 menit.

Setelah diamplifikasi, hasil diencerkan 1:10, dan diamplifikasi selektif menggunakan 12 kombinasi primer (Tabel 2).

Tabel 2. Kombinasi primer yang digunakan Kombinasi primer Kode

EcoRI+AAC –

5 µl hasil preamplifikasi dicampur dengan 2,5 µl Taq dapar , 0.04 U Ampli Taq gold, 25mM MgCl2, primer terpilih 10 pmol Mse I dan 10 pmol

EcoRI, dan H2O steril sampai volume 25 µl.

Campuran kemudian dicampur secara perlahan dan disentrifugasi singkat untuk menurunkan seluruh cairan di dalam tabung. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan PCR. Program yang digunakan adalah sebagai berikut: satu siklus 94 oC selama 2 menit, 94 oC selama 30 detik, 65 oC selama 30 detik dan 72 oC selama 2 menit. Tahap berikutnya adalah suhu annealing

(5)

2.3 Analisis Data AFLP

Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita dan 1 untuk munculnya pita DNA pada satu posisi yang sama dari aksesi yang dibandingkan. Kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan similarity for qualitative data

(SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan sub program SAHN dengan metode

Unweigth Pair Group Method with Arithmatic

(UPGMA) program NTSYS-pc 2.02 (Rohlf 1998).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Profil pita AFLP

DNA genom dari 32 aksesi temulawak yang berkualitas tinggi sangat dibutuhkan untuk analisis AFLP (Vos et al. 1995), karena DNA yang utuh dan murni dapat memudahkan enzim endonuklease restriksi bekerja memotong DNA sesuai dengan situs pengenalannya (Nathans & Smith 1975). Hal ini sangat penting karena salah satu kriteria analisis menggunakan penanda AFLP ialah persamaan dan perbedaan situs pengenalan enzim endonuklease restriksi yang dapat menghasilkan ukuran fragmen DNA yang berbeda antara 50-100 pita DNA (Vos et al. 1995). Amplifikasi DNA 32 aksesi temulawak dengan 12 kombinasi primer menghasilkan jumlah pita seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah pita hasil amplifikasi pada setiap kombinasi primer AFLP

Kombinasi primer Jumlah rata-rata pita hasil amplifikasi EAAC-MCTG 55 EAAC-MCAA 53 EAAC-MCTA 51

EAAC-MCTC 53 EAAC-MCAG 55 EAAC-MCAC 60 EACA-MCTG 51 EACA-MCAA 50 EACA-MCTA 42 EACA-MCTC 50 EACA-MCAG 47 EACA-MCAC

Jumlah

54 621 Rata-rata 52

(6)

Gambar 1. Profil DNA dari 32 aksesi temulawak, hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer EAAC-MCTC, M=Ladder 1kb, A-AF= aksesi temulawak

Gambar 2. Profil DNA dari 32 aksesi temulawak, hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer EAAC-MCAA, M=Ladder 1kb, A-AF= aksesi temulawak

Gambar 3. Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan penanda AFLP menggunakan 12 kombinasi prim

(bp) 1500 1000 700

500

400

300

200

150

100

50 15

M A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z AAAB ACADAE AF

(bp) 1500 1000 700

500

400

300

200

150

100

50 15

(7)

3.2 Analisis Kemiripan Genetik

Berdasarkan profil pita DNA setelah diinterpretasi dan diterjemahkan ke dalam data biner, dilakukan analisis klaster. Analisis klaster terhadap 32 aksesi temulawak yang didasarkan pada AFLP dengan menggunakan 12 kombinasi primer disajikan pada Gambar 3.

Ke 32 aksesi mempunyai kemiripan yang relatif rendah yaitu antara 7-57%. Hal ini menunjukkan bahwa ke 32 aksesi temulawak memiliki keragaman genetik yang tinggi. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam satu populasi alami tanaman yang berbiak secara vegetatif sering ditemukan individu yang berbeda secara genetik. Autosegregasi, mutasi somatik, dan instabilitas genetik diduga berperan sebagai sumber variasi individu dalam populasi alami.

Pengelompokkan 32 aksesi temulawak pada tingkat kemiripan 0.10 (10%) membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 5 akesi, yaitu temulawak asal Palembang, Pacitan, Kalisanta, Argomulyo dan Ciamis2. Kelompok I terbagi lagi menjadi dua sub kelompok. Kelompok II terdiri dari 27 aksesi, yaitu temulawak asal Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel, Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok. Kelompok II yang beranggotan 27 aksesi, terbagi menjadi dua sub kelompok pada koefisien 0.16. Hasil penelitian sebelumnya (Tajuddin et. al. 2011) dari 13 aksesi diperoleh pengelompokkan menjadi 3 kelompok dengan aksesi ambon beada di luar kelompok bersama temu putih sebagai control.

Fenomena yang menarik dari hasil pengelompokkan tersebut adalah mengelompoknya individu dari lokasi yang berlainan ke dalam satu kelompok. Seperti halnya yang terlihat pada Kelompok I, kelompok ini memiliki anggota temulawak yang berasal dari Palembang, Pacitan, Kalisanta, Argomulyo dan Ciamis. Hal ini kemungkinan terjadi karena temulawak yang ada di Palembang berasal dari Pulau Jawa. Selain itu, menurut Karuniawan et al.

(2008), bahwa populasi dari habitat yang sama belum tentu memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, terdapat juga genotip-genotip yang berbeda asalnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau adanya interaksi antara genotip dengan lingkungan.

Rendahnya nilai kemiripan genetik berdasarkan data AFLP, menunjukkan bahwa pada penelitian ini terdapat variasi genetik yang tinggi diantara aksesi temulawak yang diamati. Keragaman genetik suatu populasi disebabkan

karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lainnya karena persilangan seksual pada temulawak ini sangat jarang terjadi maka keragaman yang terdapat diantara 32 aksesi disebabkan oleh mutasi. Keragaman genetik yang disebabkan oleh mutasi dapat tejadi meliputi substitusi, inversi, translokasi dan delesi. Perubahan pada tingkat DNA tersebut dapat terdeteksi secara molekuler, sehingga menimbulkan keragaman pada tingkat DNA (Transkley et. al.1995). Variasi yang tinggi di atas juga dapat disebabkan karena metoda AFLP sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan-perubahan kecil pada genom.

4. KESIMPULAN

Keragaman genetik dari 32 aksesi temulawak adalah tinggi. Keragaman genetik yang tinggi berguna bagi program pemuliaan tanaman. Pada kemiripan genetik 10% ke 32 aksesi temulawak terbagi ke dalam dua kelompok. Variasi yang tinggi disebabkan karena metode AFLP sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan-perubahan kecil pada genom. Sedangkan variasi secara fenotip pada aksesi temulawak terlihat rendah.

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Saady N, Al-Lawati AH, Al-Subhi AM and Akhtar J. K. 2010. Evaluation of Genetic Diversity in Omani Banana Cultivars (Musa

cvs.) using AFLP Markers. Journal of Plant Sciences. Volume: 5; Issue: 4; Page No.:

402-413

Angeles JGC, Laurena AC, Tecson-Mendoza EM. 2005. Extraction of genomic DNA from the lipid, polysaccharide, and polyphenol-free sugarcane DNA. Plant Mol Biol Rep 17: 1-8.

Bonin AF, Pompanon F, Taberlet P. 2005. Use of Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) markers in surveys of vertebrata diversity. Methods Enzimol 395:145-161.

Dzulkarnain B, Wahjoedi B. 1996. Informasi ilmiah kegunaan kosmetika tradisional. Cermin Dunia Kedokteran 108: 21-26.

Hargono D. 1996. Sekelumit mengenai obat nabati dan sistem imunitas. Cermin Dunia Kedokteran 108: 6-10.

(8)

Istafid W. 2006. Visibility studi minuman instan ekstrak temulawak dan ekstrak mengkudu sebagai minuman kesehatan [skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.

Karuniawan A, Sahala B, Ismail A. 2008. Keanekaragaman genetic Mucuna

berdasarkan karakter morgfologi dan komponen hasil. J Zuriat 19(1):41-59.

Mba C, Tohme J. 2005. Use of AFLP markers in surveys of plant diversity. Methods enzymol

395: 177-201.

Mueller UG, Wolfenbarger LL. 1999. AFLP genotyping and fingerprinting. Els Sci 14:389-394.

Myburg AA, Remington DL, O’Malley DM, Sederoff RR, Whetten RW. 2001. High-troughput AFLP analysis using infrared dye-labeled primers and an automated DNA sequencer. BioTechniques 30:348-357.

Nathans D, Smith HO. 1975. Restriction endonucleases in the analysis and restructuring of DNA molecules. Ann. Rev. of Biochem 44:273-293.

Nurendah PS, Praswanto, Dzulkarnain B, Sundari D. 1996. Informasi penelitian komponen jamur pengatur haid. Cermin Dunia Kedokteran

108:11-17.

Poerba YS, Yuzammi. 2008. Pendugaan keragaman genetic Amorphophallus titanium Becc. Berdasarkan marka Random Amplified DNA. Biodiversitas 9(2):103-107

Rohlf FJ. 1998. NTSYSpc: Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.02.

User Guide. Exerter Software Applied Biostatistic In. New York.

Santiana R. 2010. Identifikasi polimorfisme dan konstruksi filogenetik temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) berdasarkan sekuen daerah matK dan Intergenic spacer trnS-trnfM

dan kloroplas [skripsi]. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Sembiring BB, Ma’mun, Ginting EI. 2006. Pengaruh kehalusan bahan dan ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhizo Roxb.) Buletin Balitro. 17(2):53-58.

Tajuddin T, Purbowasito W, Ardiyani M, Rosmalawati S, Yunianto P. 2008. Laporan akhir tahun Menristek. Serpong, Bioteknologi-BPPT.

Tajuddin T, Cartealy I C, Saffarida A, Purwoko D, Zulaeha S, Ardiyani M. 2011. Indentification on Indonesian Accessions of Curcuma Xanthorrhiza Roxb. Using AFLP Markers. ICBB2011 Proceeding , Vol. 1 No. 1 October 2011 .

Transkley SD, Ganal MW, Martin GB. 1995. Chromosome landing: a paradigm for map-based gene cloning in plants with large genomes. Trends Genet 11(2):63-68.

Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, Theo van de L, Hornes M, Freijters A, Pot J, Peleman J, Kuiper M, Zabeau M. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Res 23:4407-4414.

Weising K, Nybom H, Wolf K, Kahl G. 2005. DNA Fingerprinting in Plants: principles, methods, and applications. Second edition. London: CRC Press.

Gambar

Tabel 1. Aksesi temulawak yang digunakan
Tabel 2. Kombinasi primer yang digunakan
Tabel 3. Jumlah pita hasil amplifikasi pada setiap kombinasi primer AFLP
Gambar 1. Profil DNA dari 32 aksesi temulawak, hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer  EAAC-MCTC, M=Ladder 1kb, A-AF= aksesi temulawak

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubernur Nomor 044 Tahun 2015 tentang Unit Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan

Agar E-Government bisa berjalan dengan baik dan akhirnya diadopsi dengan baik pula oleh penggunanya, maka diperlukan : (1) kapal yang baik, yang berupa sumber daya dari

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Perubahan Hutan Produksi Terbatas dengan karakter hutan monokultur menjadi Kebun Raya sebagai kawasan konservasi tumbuhan secara ex-situ berarti merubah

Penghitungan sumberdaya alam ada yang dimaksudkan sebagai dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang dimiliki oleh suatu negara; sedangkan ada pula

Berdasarkan hasil penelitian tes kesegaran jasmani untuk siswa usia 6-9 tahun Sekolah Dasar Negeri Mangunrekso 01 dari 88 siswa tingkat kesegaran jasmani klasifikasi kurang ada

Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang pasar Klewer, dengan sampel penelitian adalah 100 orang yang tinggal disekitar pasar Klewer dan mendengarkan siaran

 Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai cara perancangan dan penentuan visi misi organisasi baik perusahaan profit maupun non profit, tujuan dan pentingnya berbagai