• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tubuh manusia membutuhkan suhu tubuh inti (core body temperature) yang relatif stabil untuk berfungsi secara efektif. Untuk menjaga kestabilan suhu tubuh, maka tubuh manusia akan secara kontinyu mengatur jumlah panas yang dihasilkan agar dapat seimbang dengan panas yang dikeluarkan oleh tubuh. Menurut The Australian Institute of Occupational Hygienist (AIOH) dalam Hunt (2011) terdapat beberapa faktor mempengaruhi kapasitas dari perpindahan panas agar sesuai dengan jumlah panas yang dibutuhkan adalah faktor lingkungan (temperatur udara, kelembapan, kecepatan angin, dan radiant heat), intensitas kerja (metabolic cost of work) dan pakaian kerja (Hunt, 2011). Secara keseluruhan, faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap jumlah beban panas yang diterima oleh manusia (heat stress).

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pekerjaan yang rawan akan paparan panas, salah satunya adalah pekerja tambang. Pekerja yang terus menerus bekerja pada lingkungan panas akan beresiko terkena heat stress yang berlebih.

Respon tubuh terhadap heat stress yang berlebih disebut dengan heat strain (Eisenberg dan Methner, 2014). Heat strain adalah efek kronis baik secara fisik ataupun mental yang dialami oleh seseorang akibat terkena paparan panas (OSHA, 2014). Sementara itu, The International Union of Pshysiological Science (IUPS) (2001) mendefinisikan heat strain ke dalam dua definisi. Pertama adalah sebagai penyimpangan yang terjadi pada temperatur tubuh yang diakibatkan oleh thermal stress yang terus menerus dan tidak dapat sepenuhnya diatasi oleh proses pengaturan suhu. Kedua adalah sebagai respon terhadap terhadap heat stress berupa aktivasi thermo effector yang kemudian berdampak pada bagian lain seperti non thermal dan sistem regulasi. Dampak dari heat strain yang dapat dialami oleh seseorang diantaranya heat stroke, heat exhaustion, heat rush, dan heat cramp.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi heat strain yang ditimbulkan dari lingkungan termal adalah penggunaan protective clothing (OSHA,

(2)

2014). Protective clothing adalah pakaian yang terbuat dari material khusus yang digunakan oleh pekerja untuk mengurangi resiko atau dampak akibat bekerja pada lingkungan yang berbahaya seperti lingkungan panas (Smith, 1999). Protective clothing akan mengurangi tingkat panas yang ada di kulit manusia agar pemakai memiliki waktu untuk bereaksi dan menghindari atau meminimalkan resiko kulit terbakar (Song, 2002). Namun, penggunaan dari protective clothing dapat menimbulkan permasalahan ketika digunakan dalam melakukan aktivitas kerja fisik di lingkungan panas karena dapat berdampak pada terganggunya pertukaran panas yang ditimbulkan oleh metabolic heat production ketika melakukan aktivitas fisik ke lingkungan sehingga juga berkontribusi terhadap heat strain karena mengganggu keluarnya panas dari tubuh (Elson dan Eckles, 2015).

Terdapat beberapa cara untuk mengurangi heat strain yang dialami oleh pemakai protective clothing. Dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menyebutkan bahwa teknik cooling mampu mengurangi resiko heat strain.

Terdapat dua jenis teknik cooling yaitu teknik cooling sebelum melakukan aktivitas (pre-cooling) dan sesudah melakukan aktivitas (post-activity cooling). Marsh et al.

(1999) meneliti tentang pengaruh dari teknik pre-cooling dalam menurunkan core body temperature dan meningkatkan performansi. Selain itu, penelitian Smolander et al. (2004) juga menunjukkan bahwa teknik pre-cooling mampu menurunkan respon fisiologis dan subjektif tubuh terhadap panas pada pemadam kebakaran yang menggunakan protective clothing. Akan tetapi, menurut Marino (2002) dalam reviewnya mengenai metode, keuntungan dan limitasi dari body cooling untuk kinerja olahraga menyebutkan bahwa teknik pre-cooling hanya bermanfaat untuk latihan daya tahan pada rentan waktu 30-40 menit dan tidak berpengaruh signifikan terhadap olahraga berselang (intermittent exercise) ataupun olahraga dengan durasi yang pendek (short duration exercise). Oleh karena itu, terdapat post-activity cooling sebagai alternaif teknik cooling untuk aktivitas yang lebih dari 30-40 menit.

Pada penerapannya, teknik cooling dapat dilakukan menggunakan beberapa cooling device diantaranya adalah fluid cooling garment (FCG), evaporative device dan phase change material (PCM) (Yang et al, 2012). Untuk saat ini, sedang dikembangkan cooling device PCM yang dipasangkan pada protective clothing.

(3)

PCM memiliki kemampuan untuk mengubah keadaan mereka pada kisaran suhu tertentu. Material PCM akan menyerap energi selama proses pemanasan sebagai perubahan fase dari padat ke cair (Mondal, 2008). Material PCM sendiri dapat berasal dari material organik maupun anorganik. Material organik yang dapat digunakan diantaranya paraffin, asam lemak dan gula alkohol (Kosny et al, 2013).

Sedangkan material anorganik yang dapat digunakan adalah garam-garam hidrasi.

Selain material-material tersebut, terdapat material organik yang dapat digunakan sebagai PCM yaitu asam lemak dari hewan dan minyak-minyak tumbuhan.

Kelebihan dari material ini adalah aman digunakan, tidak beracun, harga terjangkau, dan mudah didapatkan (Mondal, 2008).

Salah satu jenis material organik yang mudah didapatkan adalah minyak sawit. Minyak sawit merupakan minyak nabati yang dihasilkan oleh tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis jacquin) yang berasal dari Afrika Selatan. Indonesia sendiri berdasarkan Index Mundi (2016) pada tahun 2015 memiliki total produksi minyak sawit sebanyak 33 juta Mega Ton. Menurut Indonesia Investment (2016), Indonesia bersama Malaysia merupakan dua negara penghasil minyak sawit terbanyak dengan presentase 80-90% dari total produksi minyak sawit dunia.

Melihat potensi minyak sawit yang melimpah di Indonesia dan minimnya kajian tentang minyak sawit sebagai bio-based PCM serta adanya limitasi dari metode pre- cooling, maka penelitian ini akan mengangkat judul “Perbandingan Antara Teknik Pre-Cooling Dan Post-Activity Cooling Pada Penggunaan Phase Change Material Berbahan Minyak Sawit”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka perlu dilakukan kajian tentang bagaimana efektivitas penggunaan teknik pre-cooling dan post-activity cooling dengan menggunakan PCM berbahan minyak sawit dalam menurunkan heat strain yang dialami ketika melakukan aktivitas fisik di lingkungan panas dilihat dari respon fisiologis dan subjektif yang dihasilkan.

(4)

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai ialah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh penggunaan PCM berbahan dasar minyak sawit pada metode pre-cooling dan post-activity cooling terhadap respon fisiologis dan subjektif ketika melakukan aktifitas fisik di lingkungan panas.

2. Membandingkan pengaruh antara metode pre-cooling dengan metode post-activity cooling menggunakan PCM berbahan minyak sawit terhadap respon fisiologis dan subjektif ketika melakukan aktifitas fisik di lingkungan panas.

3. Menentukan teknik body cooling (pre-cooling dan post-activity cooling) yang paling berpengaruh signifikan terhadap respon fisiologis dan subjektif ketika melakukan aktifitas fisik di lingkungan panas.

1.4 Asumsi dan Batasan Masalah

Berikut merupakan asumsi dan batasan yang digunakan dalam penelitian ini agar masalah yang diteliti lebih jelas dan terarah:

1. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ergonomika dengan kondisi suhu

>33°C dan kelembaban ±80% RH.

2. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh responden adalah berjalan cepat di atas treadmill dengan beban 65% HRmax.

3. Protective clothing yang digunakan oleh responden adalah protective clothing yang biasa dikenakan oleh pekerja offshore merk nomex.

4. Teknik body cooling yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah teknik precooling dan post-activity cooling.

5. Material yang digunakan untuk teknik precooling dan post-activity cooling adalah PCM berbahan minyak sawit.

6. Fokus penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan PCM untuk teknik precooling dan postcooling terhadap respon fisiologis dan subjektif

(5)

ketika beraktivitas di lingkungan panas, bukan analisis komponen kimia dari PCM yang digunakan.

7. Material PCM minyak sawit dibungkus dalam plastik klip dengan ketebalan 0,5 mm dan terbuat dari polyetilene.

1.5 Manfaat Penelitian

Berikut merupakan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:

a. Bagi Industri

1. Memberikan informasi mengenai bio-based PCM yang murah dan mudah diperoleh untuk mengurangi resiko fatigue pekerja ketika bekerja di lingkungan panas.

2. Memberikan informasi mengenai teknik body cooling yang paling efektif ketika menggunakan minyak sawit sebagai PCM untuk mengurangi resiko fatigue pekerja ketika bekerja di lingkungan panas.

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

1. Memberikan informasi mengenai potensi minyak sawit sebagai bio- based PCM untuk teknik body cooling.

2. Mengetahui teknik body cooling yang paling efektif dalam mengurangi heat strain ketika menggunakan minyak sawit sebagai PCM.

c. Bagi Peneliti

1. Memberikan ilmu pengetahuan baru tentang pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan untuk teknik body cooling.

2. Menambah ilmu pengetahuan terkait teknik pre-cooling dan post- cooling activity.

Referensi

Dokumen terkait

In terms of faculty driven by different motivations be- fore and after receiving tenure, our results indicate that, for pretenured faculty, research productivity is dominated by

Data tentang sikap mahasiswa dalam mengikuti p€mb€lajaran bahasa Inggris dengan media audio visual. diperoleh melalui lembar observasi. Adapun deskripsi tentang sikap

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan manajemen strategi untuk mengetahui lingkungan perusahaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Emisi surat utang korporasi di pasar domestik selama Januari 2018 mencapai Rp7,67 triliun atau naik 2,84 kali dibandingkan dengan Januari 2018, berdasarkan data oleh

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Hasil penelitian yang menunjukan nilai ekonomi air total resapan hutan lindung Gunung Sinabung dan hutan lindung TWA Deleng Lancuk di Desa Kuta Gugung dan Desa Sigarang