• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENGKETA HARTA BERSAMA YANG SUDAH DIJUAL SECARA. SEPIHAK (Studi Putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SENGKETA HARTA BERSAMA YANG SUDAH DIJUAL SECARA. SEPIHAK (Studi Putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SENGKETA HARTA BERSAMA YANG SUDAH DIJUAL SECARA SEPIHAK (Studi Putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No.

6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No. 664K/Ag/2019)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Arini Salwa Khairi

11170440000108

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1443 H/2021 M

(2)

ii

SENGKETA HARTA BERSAMA YANG SUDAH DIJUAL SECARA SEPIHAK

(Studi Putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No. 664K/AG/2019)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Arini Salwa Khairi

11170440000108

Pembimbing

Dr. Mu’min Roup, M.A.

NIP. 197004161997031004

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1443 H/2021 M

(3)

iii

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Agustus 2021 M 21 Muharram 1443 H

Arini Salwa Khairi 11170440000108

(5)

v ABSTRAK

Arini Salwa Khairi, NIM 11170440000108, Sengketa Harta Bersama yang Sudah Dijual Secara Sepihak (Studi Putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No.

6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No. 664K/Ag/2019), Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H/2021 M. X + 72 halaman.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbandingan pertimbangan Hakim serta dasar hukum Hakim Pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi dalam memutuskan perkara sengketa harta bersama yang sudah dijual secara sepihak. Untuk mengetahui argumen hukum Hakim yang menyebabkan perbedaan amar putusan di masing-masing tingkat pengadilan serta kepastian hukum pada perkara sengketa harta bersama pada putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No. 664K/AG/2019.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber data yang di dapat dalam penelitian ini berupa data primer, yaitu putusan No. 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan No. 664K/AG/2019. Sumber data sekunder berupa Undang-Undang tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, website, jurnal, skripsi dan buku bacaan mengenai harta bersama atau perkawinan. Teknik yang digunakan pada penelitian ini yaitu teknik studi kepustakaan. Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis data yaitu metode analisis deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: Pertama, dasar pertimbangan Hakim tingkat pertama dapat dibenarkan karena jika harta sudah dijualbelikan secara sepihak, maka berdasarkan ketentuan Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, intinya salah satu pihak tidak dapat memperjualbelikan objek harta bersama tanpa adanya persetujuan dari salah satu pihak. Hakim tingkat banding menyatakan gugatan kurang pihak dan harus menarik pihak pembeli sebagai tergugat. Hakim tingkat kasasi menguatkan putusan pertama dan membatalkan putusan banding. Kedua, argumen Hakim tingkat pertama dan kasasi ia senada bahwa karena suami telah menjual harta bersama, maka suami berkewajiban menyerahkan ½ dari penjualan harta bersama kepada istri yang menjadi haknya. Hakim tingkat banding berbeda, ia menolak putusan tingkat pertama. Ketiga, berdasarkan teori kepastian hukum, bahwa Hakim tingkat pertama dan kasasi sudah tepat dalam memutuskan perkara berdasarkan ketentuan hukum yang ada di Indonesia dan sudah sesuai dengan teori kepastian hukum.

Kata Kunci: Harta Bersama, Pertimbangan Hakim, Kepastian Hukum Pembimbing: Dr. Mu’min Roup, M.A

Tahun: 1981-2018

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT penulis panjatkan karena berkat rahmat dan ridhonya Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini.

Selawat dan salam tak lupa pula selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

yang telah membawa kita pada terangnya ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Penulis sangat bersyukur dan ucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dan selalu memberikan support baik materi maupun non materi terutama do’a demi kelancaran penulisan skripsi ini. Terlalu banyak pihak yang telah membantu, oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, Lc., MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.H., selaku Dekan Faultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

4. Bapak Qosim Arsyadani, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik 5. Bapak Dr. Mu’min Roup, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang

selalu siap memberikan arahan serta waktunya dalam penulisan skripsi ini 6. Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, staff karyawan dan seluruh civitas akademik yang telah banyak memberikan ilmu serta tenaganya dalam membantu penulis.

7. Kedua Orang tua penulis tentunya, yaitu Bapak Kholid Khoir dan Ibu Chaerunnisa yang selalu menaruh harapan dan do’a dalam setiap langkah penulis. Karena beliaulah yang membuat penulis semangat menuntaskan pendidikan Strata 1 ini dengan kesungguhan. Tak lupa pula adik-adik penulis yaitu Hadani dan Ulwan yang selalu mendukung penulis.

(7)

vii

8. Dan tentunya teman-teman penulis yang selalu ada dan siap membantu kapan pun menemani dari semester 1 sampai sekarang yaitu Tedy, Faza, Wilda, Hani, Pau, Feny, Alya, Nisut, Amah, Ara, Ica, Kiky, Utami, Dhiya, Rendra, Hafiz, Kurnia, Dede, Hisyam, Diyaul dan yang lainnya.

9. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2017, terkhusus untuk HK-C 2017 terima kasih atas semangat, canda, tawa yang penuh kesan selama perkuliahan. Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan sukses di masa depan.

10. Teman-teman Aliyah penulis terutama Al-Mundzir yang sampai saat ini masih menjalin komunikasi yang baik dan memberikan support terutama:

Qonita, Bolang, Azmi, Sofa, Tasya, Della dll. Penulis sangat berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi para pembaca terutama mahasiswa/i Hukum Keluarga kedepannya yang ingin menulis skripsi.

Jakarta, 13 Agustus 2021

Arini Salwa Khairi

(8)

viii DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Manfaat Penelitian ... 7

F. Kajian Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian... 11

1. Jenis Penelitian ... 11

2. Pendekatan Penelitian ... 12

3. Sumber Data ... 12

4. Teknik Pengumpulan Data ... 13

5. Metode Analisis Data ... 13

6. Teknik Penulisan ... 13

H. Sistematika Penulisan... 13

BAB II PEMBAHASAN ... 15

(9)

ix

A. Kedudukan Harta dalam Perkawinan ... 15

1. Pengertian Harta dalam Perkawinan ... 16

2. Macam-Macam Harta dalam Perkawinan ... 17

B. Pengertian, Dasar Hukum, dan Terbentuknya Harta Bersama ... 18

1. Pengertian Harta Bersama ... 18

2. Dasar Hukum Harta Bersama... 24

3. Terbentuknya Harta Bersama ... 26

C. Pembagian Harta Bersama dan Penyelesaiannya ... 27

1. Tata Cara Pembagian Harta Bersama ... 27

2. Penyelesaian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan... 28

D. Teori Kepastian Hukum ... 30

1. Pengertian Kepastian Hukum ... 30

2. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia ... 33

BAB III KRONOLOGI HUKUM PUTUSAN NOMOR 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, NOMOR 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, DAN NOMOR 664K/Ag/2019 TENTANG SENGKETA HARTA BERSAMA ... 35

A. Deskripsi Putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo ... 35

1. Posisi Kasus ... 35

2. Duduk Perkara ... 35

3. Amar Putusan ... 40

B. Deskripsi Putusan Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo ... 41

1. Posisi Kasus ... 41

2. Duduk Perkara ... 42

3. Amar Putusan ... 43

C. Deskripsi Putusan Nomor 664K/Ag/2019 ... 44

1. Posisi Kasus ... 44

2. Duduk Perkara ... 44

3. Amar Putusan ... 45

(10)

x

BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, NOMOR

6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, DAN NOMOR 664K/Ag/2019 ... 47

A. Dasar Perbandingan Pertimbangan Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Harta Bersama pada Putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan Nomor 664K/Ag/2019 ... 47

1. Putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo ... 47

2. Putusan Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo ... 51

3. Putusan Nomor 664K/Ag/2019 ... 51

B. Analisis Perbandingan Pertimbangan Argumen Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Pada Putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, Dan Nomor 664K/Ag/2019 ... 52

1. Putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo ... 54

2. Putusan Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo ... 57

3. Putusan Nomor 664K/Ag/2019 ... 58

C. Perbedaan Putusan Hakim Perspektif Teori Kepastian Hukum ... 60

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah suatu tindakan hukum yang menyebabkan akibat hukum, yaitu ada hak dan kewajiban antara para pihak yang sudah menikah.

Dengan kata lain, pernikahan menyebabkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Konsekuensi hukum pernikahan itu sangat penting, tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam bidang harta kekayaan.1

Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dalam perkawinan merupakan masalah yang menarik untuk dibahas dan ditinjau secara mendalam, mengingat harta yang dibawa sendiri oleh masing-masing pihak merupakan harta bawaan, sedangkan harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah termasuk harta bersama (harta gono gini). Sebagaimana diatur didalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama Perkawinan.2 Sedangkan yang dimaksud dengan harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.3

Menurut ketentuan Pasal 35, terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar. Dengan demikian harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan sampai saat perkawinan bubar baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia (cerai mati) atau oleh karena perceraian, maka

1 Astriani Van Bone, “Penyelesaian Harta Bersama Berstatus Agunan dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Negeri”, Lex Administratum, Vol. V, No.5, (Juli, 2017), h. 80.

2 Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

3 Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

(12)

seluruh harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya secara yuridis menjadi harta bersama.4 Termasuk hasil-hasil yang diperoleh dari harta bawaan selama dalam perkawinan.

Pembagian harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila pasca bercerai.5 Bagi kebanyakan orang yang melangsungkan perkawinan, mereka umumnya tidak memikirkan tentang akibat perkawinan terhadap harta kekayaannya, karena mereka hanya melihat dan lebih menitikberatkan pada kehidupan rumah tangga setelahnya. Oleh karena itulah dalam menjamin hubungan hukum keluarga dan hukum benda perkawinan antara suami dan istri tidak dapat dipisahkan, tetapi hanya dapat dibedakan.6

Pada prinsipnya seorang pria dan wanita yang mengikat lahir dan batin dalam suatu perkawinan sebagai suami istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan tersebut dengan cara perceraian berdasarkan hukum perceraian yang berlaku. Suami dan istri yang akan melakukan percaraian harus mempunyai alasan-alasan hukum tertentu dan perceraian itu harus didepan sidang pengadilan. Pihak pengadilan memberikan kesempatan kepada suami istri untuk bermediasi dengan harapan perceraian itu bisa dicegah. Putusan pengadilan tentang perceraian diambil setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 1974.7 Karena orang menikah tidak hanya bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia tetapi lebih dari itu

4 Astriani Van Bone, “Penyelesaian Harta Bersama Berstatus Agunan dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Negeri”, Lex Administratum, Vol. V, No.5, (Juli, 2017), h. 81.

5 Evi Djuniarti, “Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang dan KUH Perdata”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 17, No. 4, (2017), h. 1.

6 Astriani Van Bone, “Penyelesaian Harta Bersama Berstatus Agunan dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Negeri”, Lex Administratum, Vol. V, No.5, (Juli, 2017), h. 80.

7 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

(13)

3

adalah untuk menjaga agar kehidupan kekeluargaan tetap dapat berlangsung terus sehingga dibutuhkan adanya harta benda dalam perkawinan.8

Harta bawaan adalah harta perkawinan yang diperoleh masing-masing suami istri sebelum dilangsungkan perkawinan. Selama berlangsungnya perkawinan harta tersebut berada dibawah penguasaan masing-masing suami istri (kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan). Selain itu, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bawaannya masing-masing.9 Sebagai contoh, seorang wanita yang pada saat akan melangsungkan perkawinan telah bekerja di perusahaan selama dua tahun, dan dari hasil kerjanya itu ia mampu membeli motor. Ketika terjadi perkawinan, motor tersebut merupakan harta bawaan istri. Ketentuan ini dijelaskan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.10 Adapun harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.11

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga.

Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya.

Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan

8 Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013), h. 6.

9 Legal Akses, https://www.legalakses.com/harta-bawaan/, diakses pada 18 Januari 2021 pukul 12.27

10 Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

11 Pasal 36 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

(14)

menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri, mempunyai pertanggungjawaban untuk menjaga harta bersama.12

Persoalan harta bersama (gono gini) memang selalu menjadi pembahasan yang menarik ketika seorang suami dan istri resmi berpisah.

Adakalanya harta tersebut dibagi berdasarkan kesepakatan bersama, tetapi terkadang dikuasai oleh salah satu pihak atau bahkan menjual harta bersama tersebut tanpa sepengetahuan mantan istri/suaminya sehingga berujung pada pengajuan gugatan harta bersama (gono gini). Terdapat sebuah putusan yang sekiranya menarik untuk dikaji yang berkaitan dengan harta bersama (gono gini) karena tiga putusan tersebut (pertama, banding, dan kasasi) amar yang diadili oleh Hakim berbeda (dissenting opinion).

Pada putusan nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo (tingkat pertama) disebutkan bahwa telah diperoleh harta bersama oleh mantan suami dan istri yang dahulu menikah, namun harta tersebut tidak terlebih dahulu dibagikan oleh mantan suaminya melainkan menjual tanpa sepengetahuan mantan istrinya. Mengetahui hal ini, mantan istri menggugat mantan suaminya ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan keadilan atas perbuatan mantan suaminya. Pada persidangan terdapat fakta-fakta hukum yang menunjukkan bahwa mantan suaminya mengakui telah menjual harta bersama berupa kapal penangkap ikan dan mobil merk Honda type Freed kepada orang lain tanpa sepengetahuan mantan istrinya. Sehingga berdasarkan bukti-bukti dan berbagai fakta hukum yang ada, maka Hakim memutuskan bahwa mantan suami tersebut memiliki kewajiban untuk membagi hasil penjualan objek harta tersebut kepada mantan istrinya berdasarkan ketentuan pembagian harta bersama didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

12 Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2009), h. 179.

(15)

5

Pihak mantan suami selaku tergugat merasa keberatan dengan keputusan pengadilan tingkat pertama sehingga tergugat mengajukan banding.

Pembanding/Tergugat dalam hal ini membuat memori banding yang pada intinya mengatakan bahwa gugatan Penggugat/Terbanding kurang pihak/plurium litis consortium sehingga dalam hal ini gugatannya tersebut seharusnya tidak dapat diterima atau NO (Niet Ontvankelijke Verklaard).

Hakim tingkat banding berpendapat gugatan Terbanding/Penggugat kurang pihak sehingga didalam putusannya menyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

Terbanding/Penggugat dalam hal ini merasa keberatan dengan putusan tingkat banding, hal ini dikarenakan penarikan pihak ketiga selaku pembeli atas harta yang dijual oleh Tergugat/Pembanding merupakan hal yang tidak perlu dimasukan didalam gugatan Penggugat/Terbanding.

Majelis Hakim tingkat kasasi memandang lain dalam melihat fakta- fakta hukum yang ada dan lebih sependapat dengan majelis Hakim tingkat pertama. Adapun pertimbangannya “Bahwa oleh karena dua objek harta bersama telah dijual oleh tergugat tanpa sepersetujuan Penggugat, maka tergugat berkewajiban menyerahkan ½ dari hasil uang penjualan kedua objek harta Bersama tersebut kepada Penggugat yang menjadi haknya”, sehingga berdasarkan pertimbangan ini, majelis Hakim tingkat kasasi mengabulkan permohonan kasasi pemohon/Terbanding dan membatalkan putusan tingkat banding.

Oleh karena itu, berdasarkan kasus ini majelis Hakim tingkat banding tidak menerima putusan tingkat pertama dikarenakan penggugat kurang pihak, yang seharusnya melibatkan pembeli menjadi turut tergugat. Berbeda dengan majelis Hakim tingkat kasasi, ia lebih sependapat dengan putusan tingkat pertama, yaitu tergugat berhak menyerahkan ½ dari harta bersama. Majelis Hakim tingkat kasasi mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan tingkat banding.

(16)

Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “SENGKETA HARTA BERSAMA YANG SUDAH DIJUAL SECARA SEPIHAK (STUDI PUTUSAN NO.

0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, NO. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo dan NO.

664K/Ag/2019)”

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi yaitu:

1. Asas keadilan tentang pembagian harta bersama antara suami dan istri di dalam undang-undang yaitu seperdua bagian untuk masing- masingnya.

2. Harta bersama yang harusnya dibagikan terlebih dahulu setelah perceraian tetapi salah satu pihak menjualnya dengan cara sepihak (tanpa persetujuan yang lain).

3. Asas kepastian hukum tentang pembagian harta bersama yang sudah dijual kepada pihak ketiga.

4. Amar dari tiga tingkat putusan Hakim tentang sengketa harta bersama berbeda dalam pertimbangannya yaitu pada putusan No.

0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan No.

664K/Ag/2019.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan dilingkungan Peradilan Agama, maka disini penulis hanya membatasi pada putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan putusan Nomor 664K/Ag/2019.

(17)

7

D. Perumusan Masalah

Agar penulisan ini berjalan secara sistematis, maka perlu di buat perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan Hakim tingkat pertama, banding, dan kasasi dalam memutus perkara harta bersama dalam putusan No.

0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, No.

664K/Ag/2019?

2. Argumen hukum apa yang menyebabkan perbedaan putusan di masing-masing tingkat pengadilan?

3. Bagaimana perbedaan putusan Hakim tersebut dilihat dari teori asas kepastian hukum?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok penelitian diatas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim tingkat pertama, banding dan kasasi dalam memutus perkara harta bersama dalam putusan No.

0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, No. 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, No.

664K/Ag/2019.

b. Untuk mengetahui argumen hukum yang menyebabkan perbedaan putusan di masing-masing tingkat pengadilan.

c. Untuk mengetahui perbedaan putusan Hakim tersebut jika dilihat dari asas kepastian hukum

2. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi positif dan manfaat dalam segi akademik dan praktik, yaitu:

a. Secara Akademis

(18)

Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hukum keluarga, serta agar penelitian ini dapat menjadi bahan pendukung kepada seluruh kalangan akademisi, mahasiswa, maupun dosen.

b. Secara Praktis

Memberikan informasi yang berharga dalam menambah pengetahuan tentang hukum pembagian harta bersama yang sudah dijual oleh suami tanpa sepengetahuan istri setelah perceraian.

F. Kajian Pustaka

Sebagai fokus pada penelitian ini, maka peneliti melakukan review terdahulu yakni pada penelitian yang dilakukan.

M. Sapuan (2009), menganalisis tentang penelitian lapangan di Pengadilan Agama Yogyakarta untuk mengetahui secara langsung bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan Hakim dalam membuat putusan di Pengadilan Agama Yogyakarta.13 Alasan-alasan dan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta dalam membuat putusan harus berdasarkan pada perundang-undangan dan nash. Alasan-alasan yang tidak berdasarkan ketentuan ini dianggap tidak kuat pertimbangan dan dapat dibatalkan.

Perbedaannya: Peneliti lebih membahas harta bersama ditinjau dari hukum Islam.

Sefrianes M Dumbela (2017), menganalisis tentang penetapan Hakim atas 1/3 bagian untuk suami dan 2/3 bagian untuk istri dari harta bersama dalam putusan Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, tinjauan hukum positif dan tinjauan

13 M. Sapuan, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa Harta Bersama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 160/Pdt.G/20005/PA.Yk)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009).

(19)

9

terhadap putusan tersebut.14 Skripsi ini membuktikan bahwa istri mendapatkan bagian harta bersama lebih besar dari pada suami karena harta bersama tersebut adalah hasil jerih payah dari istri, sedang suami hanya mengurusi anak dan memberi izin istri untuk berkerja. Hal ini telah sesuai dan tidak berbenturan dengan hukum positif dan tinjauan fikih. Perbedaannya: Peneliti lebih membahas penetapan pembagian harta bersama dalam putusan No.

126/Pdt.G/2013/PTA.JK.

Ivan (2017), menganalisis tentang ketetapan Hakim mengenai pembagian harta bersama antara suami dan istri dalam putusan Nomor 42/Pdt.G/2015/PTA.Jk, dalam tinjauan hukum positif, dan tinjauan fiqih mengenai putusan tersebut.15 Pertimbangan Hakim dalam membagi harta bersama adalah berlandaskan dari rasa keadilan, juga tidak berbenturan dengan hukum positif di Indonesia, baik dengan KUHPer, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan lainnya, juga telah sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum Islam atau fikih. Perbedaannya: Peneliti lebih membahas pembagan harta bersama dalam putusan No.

42/Pdt.G/2015/PTA.JK.

Wardhatul Jannah (2014), menganalisis tentang ketentuan yang berhubungan dengan putusan Hakim dalam mengabulkan gugatan harta bersama diluar gugatan perceraian.16 Bahwa permohonan sita marital dapat diajukan di luar gugatan perceraian. Majelis Hakim berpendapat untuk mengabulkan permohonan sita marital itu berdasarkan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam, yaitu apabila salah satu pihak dapat melakukan perbuatan yang

14 Sefrianes M Dumbela, “Penyelesaian Harta Bersama dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No. 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

15 Ivan, “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No. 42/Pdt.G/2015/PTA.JK)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

16 Wardhatul Jannah, “Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).

(20)

merugikan atau membahayakan harta bersama. Perbedaannya: Peneliti lebih membahas putusan Hakim dalam mengabulkan gugatan bersama diluar gugatan perceraian.

Besse Sugiswati (2014), menganalisis tentang konsep yang mengulas harta bersama dari perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Hukum Adat. Ketika terjadi perceraian Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa harta bersama akan dibagi dua setengah untuk suami dan setengah untuk istri, sedangkan menurut Hukum Adat pembagian harta bersama diatur secara berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya.17 Perbedaannya: Peneliti lebih membahas konsep harta bersama yang ditinjau dari KHI, KUH Perdata dan hukum adat.

Ridha Maulana (2017), menganalisis tentang tahapan persidangan perkara kumulasi gugatan perceraian dan harta bersama di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, apa saja problematika yang dihadapi Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam penyelesaian perkara kumulasi ini, dan alternatif penyelesaian perkara kumulasi gugatan perceraian dan harta bersama di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam hukum Islam.18 Perbedaannya:

Peneliti lebih membahas tahapan persidangan perkara kumulasi di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

Berdasarkan pemaparan diatas, skripsi yang akan penulis bahas berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu, skripsi sebelumnya hanya berisikan tentang gugatan harta bersama yang bersamaan dengan gugatan perceraian, membahas tinjauan hukum Islam dalam pertimbangan Hakim, membahas tinjauan hukum positif dan hukum fiqih mengenai pembagian harta bersama, dan juga membahas tentang pembagian harta bersama menurut hukum adat.

17 Besse Sugiswati, “Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat”, Jurnal Perspektif, Vol. XIX No. 3 (September, 2014).

18 Ridha Maulana, “Problematika Penyelesaian Perkara Kumulasi Gugatan Perceraian Dan Harta Bersama (Studi Kasus Di Mahkamah Syariah Banda Aceh)”. (Skripsi S-1 Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2017).

(21)

11

Sedangkan skripsi penulis fokus pada perkara harta bersama berupa benda bergerak yang sudah dijual oleh suami tanpa sepengetahuan istri, pertimbangan Hakim dalam memutus pembagian harta bersama antara mantan suami dan mantan istri dalam putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan putusan Nomor 664K/Ag/2019.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang merupakan pengetahuan tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan yang mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kiritis, dan akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya.19

Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang akan dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan, antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori, dengan menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu melakukan telaah terhadap putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan putusan Nomor 664K/Ag/2019 kemudian mengkajinya secara mendalam dengan mengambil referensi dari berbagai buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986, cet. Ke-3. Ed.

Revisi), hal. 3.

(22)

2. Pendekatan Penelitian

Dalam mengembangkan tulisannya penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (cose approach). Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan perundang- undangan merupakan upaya demi menemukan atau menggali aturan hukum serta prinsip hukum dan doktrin-doktrin hukum. Sedangkan pendekatan kasus bertujuan untuk mencari tahu persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan telah berupa putusan pengadilan dimana untuk mengetahui pertimbangan pengadilan memutuskan ataupun menetapkan perkara tersebut.20

3. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ilmiah ini, penulis menyusun berdasarkan sumber data yang terbagi ke dalam dua kriteria yaitu sumber data utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) adalah:

a. Sumber Data Primer

Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan harta bersama yaitu putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan putusan Nomor 664K/Ag/2019.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, serta tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini,21 yaitu Undang-Undang tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, website, jurnal, skripsi dan buku bacaan mengenai harta bersama atau perkawinan. Oleh karena itu, umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan

20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008, Cet. 2), h. 133-134.

21 Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, cet. 3), h. 43.

(23)

13

dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.22

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data adalah proses diperolehnya data dari sumber data, adapun sumber data adalah subjek dari penelitian yang dimaksud.

Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (library research), yaitu untuk memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya dengan judul yang sedang dibahas oleh penulis, dimana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, artikel, maupun jurnal.

5. Metode Analisis Data

Analisa data merupakan bagian penting dalam metode ilmiah. Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta- fakta hukum yang dimaksud.23

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h.

11.

23 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 18.

(24)

Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

Bab Kedua, mengulas gambaran umum tentang harta bersama dan kepastian hukum.

Bab Ketiga, memaparkan kronologi hukum putusan putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan putusan Nomor 664K/Ag/2019 dalam penetapan harta bersama.

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini. Yaitu analisis putusan Nomor 0064/Pdt.G/2018/PA.Tdo, Nomor 6/Pdt.G/2019/PTA.Mdo, dan putusan Nomor 664K/Ag/2019 tentang harta bersama pada perceraian yang mencakup pertimbangan Hakim, analisa putusan, dan analisis penulis.

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

(25)

15 BAB II PEMBAHASAN A. Kedudukan Harta dalam Perkawinan

Dalam pernikahan, harta sangat bernilai untuk dimengerti oleh tiap pasangan suami istri. Baik itu yang hendak melakukan pernikahan maupun yang telah menempuh pernikahan. Suami ataupun istri wajib mengenali serta paham bagaimana hukum ataupun peran harta dalam rumah tangga ataupun dalam keluarga. Dalam pernikahan peran harta benda disamping untuk fasilitas kebutuhan tersebut, juga berperan selaku pengikat pernikahan. Namun banyak pula ditemui keluarga yang mempunyai banyak harta benda dalam pernikahan menjadi sumber permasalahan serta penyebab terbentuknya perselisihan serta perceraian suami istri. Oleh karena itu, perlu ditinjau dari berbagai segi supaya perihal yang tidak baik bisa dihindari.24

Kedudukan harta dalam perkawinan sebagai modal kekayaan untuk mengurus kehidupan rumah tangga, dibagi dalam empat bagian sebagai berikut:25

a. Harta yang didapat dari usaha sendiri sebelum mereka kawin atau harta pribadi. Secara hukum, adanya harta pribadi dalam perkawinan tetap diakui dan masing-masing pihak suami atau istri tetap memiliki kekuasaan penuh terhadap harta pribadi mereka masing-masing.

b. Harta yang didapat ketika upacara perkawinan atau disebut hadiah pernikahan. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang bisa ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersama antara suami istri. Jika terjadi pemberian hadiah berupa uang atau barang oleh suami kepada istri ketika pernikahan dalam hal ini merupakan “pemberian perkawinan suami”, maka kedudukannya ini sama dengan “mas kawin”

24 Rosdinar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Depok:

Raja Grafindo Persada, 2016), h. 83.

25 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, Undang-undang no. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 296.

(26)

yang menjadi milik istri itu sendiri. Suami dilarang menggunakan barang- barang tersebut tanpa adanya persetujuan dari istri.

c. Harta hibah dan warisan yang didapat oleh salah seorang suami atau istri.

Ketika pembubaran perkawinan karena perceraian, harta benda itu tetap mengikuti suami atau istri selaku pemiliknya.26

d. Harta yang didapat selama perkawinan atau harta bersama suami istri.

Dijelaskan ketentuan bahwa harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama suami istri, sehingga harta kekayaan (bagian dari harta keluarga) yang bila perlu (khususnya dalam hal putusnya perkawinan) suami dan istri bisa menuntut hak atasnya (masing-masing untuk sebagian).

Menurut J. Satrio, “Hukum harta perkawinan ialah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan”.27 Dapat dipahami, bahwa harta kekayaan dalam perkawinan merupakan harta yang diperoleh oleh masing-masing suami istri atau harta yang diperoleh bersama setelah perkawinan. Harta kekayaan tersebut menjadi harta bersama, setelah terjadinya persetujuan suami istri untuk mengelola harta tersebut bersama demi kepentingan anak-anak dan masa depan perkawinan.

1. Pengertian Harta dalam Perkawinan

Harta menurut bahasa ialah suatu yang bisa diperoleh serta dikumpulkan oleh manusia dengan suatu tindakan baik berwujud materi ataupun manfaat yang menjadi kekayaan, ataupun segala sesuatu yang bermanfaat semacam kendaraan, baju serta tempat tinggal.28 Segala yang ada dalam harta benda

26 Imam Sudiyat, Hukum Adat, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1981), h. 144.

27 Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h 27.

28 Pengacara Muslim, http://pengacaramuslim.com/kedudukan-harta-dalam-perkawinan/

diakses pada hari Senin, 31 Mei 2021 pukul 10.30

(27)

17

perkawinan adalah semua harta yang dikuasai oleh suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta saudara yang dikuasai, ataupun harta perorangan yang berasal dari harta peninggalan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami istri serta beberapa barang hadiah.29 Sedangkan harta menurut istilah adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang sah bagi menurut hukum syara’ semacam jual beli, pinjam meminjam, hibah atau pemberian yang berguna untuk seluruh manusia.30

2. Macam-Macam Harta dalam Perkawinan a. Harta Bawaan

Harta bawaan ialah harta yang diperoleh masing-masing pihak, baik suami maupun istri sebelum adanya perkawinan, dimana harta tersebut didapat dari hadiah atau hibah maupun warisan yang dibawa ke dalam ikatan perkawinan.31 Terhadap harta bawaan, masing-masing pihak baik suami maupun istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum tanpa ada adanya persetujuan kedua belah pihak sepanjang tidak ada kesepakatan lain antara keduanya.32

Dalam hal ini baik KUH Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sama-sama berlaku bagi siapa saja. (dengan kata lain, tunduk pada kedua hukum tersebut).

b. Harta Bersama

Harta bersama ialah harta yang diperoleh selama masa perkawinan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Harta bersama ini

29 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Aditya Bakti, 1999, Cet. IV), h.

156.

30 Yusuf Qardhawi, Norma dan etika Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,1997), h. 34.

31 Rendra Topan, https://rendratopan.com/2020/02/11/kedudukan-harta-benda-dalam- perkawinan/ diakses pada hari Senin, 31 Mei pukul 10.35

32 Legal Akses, https://www.legalakses.com/harta-bawaan/, diakses pada hari Senin, 31 Mei 2021 pukul 10.40.

(28)

biasa disebut dengan istilah harta gono-gini.33 Terhadap harta bersama, suami atau istri bisa melakukan perbuatan hukum atas persetujuan kedua belah pihak. Tetapi apabila terjadi perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.

Ketentuan ini dijelaskan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.34

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas bahwa dalam suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk. Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan salah satu usaha menciptakan sebuah keluarga yang sejahtera lahir dan batin.35

B. Pengertian, Dasar Hukum, dan Terbentuknya Harta Bersama 1. Pengertian Harta Bersama

Harta bersama yaitu “Harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”.36 Istilah harta bersama lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan harta gono-gini.37 Pada masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Sedangkan masyarakat Melayu dikenal dengan nama “Harta serikat”. Dan pada masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-

33 Rendra Topan, https://rendratopan.com/2020/02/11/kedudukan-harta-benda-dalam- perkawinan/ diakses pada hari senin, 31 Mei pukul 10.42

34 Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

35 Rosdinar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Depok:

Raja Grafindo Persada, 2016), h. 86.

36 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).

37 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), h. 2.

(29)

19

gini”. Sampai sekarang penggunaan kata-kata tersebut masih meragami praktek peradilan.38

Penggunaan kata gono-gini lebih popular di Indonesia dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa Hukum Konvensional.39 Ditegaskan oleh Sayuti Thalib, harta bersama yaitu harta kekayaan yang didapat oleh pasangan suami istri selama perkawinan diluar bagian dari warisan atau hibah. Maksudnya ialah harta yang didapat atas usaha mereka atau masing-masing selama dalam masa ikatan perkawinan.40

Dalam hukum Islam, konsep harta bersama pada dasarnya adalah harta kekayaan dalam perkawinan, karena memang konsep harta bersama tidak dibahas secara khusus dalam kitab fiqih.41 Akan tetapi dalam Al-Qur’an dan Hadits ditemukan secara umum mengenai pembagian harta benda, diantaranya terdapat dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 32 yang berbunyi:

ۗ ا ْﻮُﺒَﺴَﺘْﻛا ﺎﱠﻤِّﻣ ٌﺐْﯿ ِﺼَﻧ ِلﺎَﺟ ِّﺮﻠِﻟ ۗ ٍﺾ ْﻌَﺑ ﻰٰﻠَﻋ ْﻢُﻜَﻀْﻌَﺑ ٖﮫِﺑ ُ ﱣ َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَﻣ ا ْﻮﱠﻨَﻤَﺘَﺗ َﻻ َو ﺎًﻤْﯿِﻠ َﻋ ٍءْﻲَﺷ ِّﻞُﻜِﺑ َنﺎَﻛ َ ﱣ ﱠنِا ۗ ٖﮫِﻠْﻀَﻓ ْﻦِﻣ َ ﱣ اﻮُﻠـْﺳ َوۗ َﻦْﺒَﺴَﺘْﻛا ﺎﱠﻤِّﻣ ٌﺐ ْﯿ ِﺼَﻧ ِءۤﺎَﺴِّﻨﻠِﻟ َو

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

38 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 272.

39 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), h. 2.

40 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017, Cet. 2), h. 121.

41 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5), h. 80-81.

(30)

Ada pun maksud dari ayat diatas bersifat umum, dan tidak ditujukan kepada suami atau istri saja, melainkan semua laki-laki dan perempuan. Jika seseorang berusaha dalam kehidupannya sehari-hari maka hasil usahanya itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing- masing.42

Kajian tentang harta bersama di dalam Hukum Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang konsep syirkah dalam perkawinan. Banyak Ulama yang berpendapat bahwa harta bersama termasuk dalam konsep syirkah. Mengingat konsep tentang harta bersama tidak ditemukan dalam rujukan teks Al-Quran dan Hadis, Penyebutan istilah harta bersama dalam keluarga atau gono-gini secara implisit memang tidak dijumpai dalam al-Qur’an atau Hadits, karena istilah ini berasal dari hukum adat (‘urf) pada masyarakat yang mengenal pencampuran harta kekayaan dalam keluarga salah satunya adalah masyarakat Indonesia. Untuk menggali hukumnya, maka harta bersama dianalogikan kepada syirkah, seperti yang telah di uraikan sebelumnya bahwa harta bersama adalah harta kekayaan yang di hasilkan bersama oleh pasangan suami istri selama mereka terikat dengan tali perkawinan. Atau dengan kata lain harta yang dihasilkan oleh perkongsian (syirkah) antara suami dan istri. Kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqih yang sudah ada, yaitu tentang syirkah itu sendiri.43

Ismail Muhammad Syah dalam kutipannya yang diambil dari Yahya Harahap menyinggung masalah harta bersama, dia berpendapat harta bersama termasuk dalam rubu’ul mu’amalah. Walaupun dalam adat arab tidak mengenal harta bersama antara suami dan istri, akan tetapi dibicarakan beberapa masalah tentang perkongsian yang dalam bahasa arab disebut

42 Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal Ahkam, Vol. XII No.1 (Januari, 2012), h. 62.

43 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008), Cet. 1, h. 59.

(31)

21

syirkah. Karena masalah harta bersama antara suami istri ada kaitannya dengan masalah perkongsian, maka menurut Ismail Muhammad Syah, harta bersama termasuk dalam pembahasan syirkah yang dikategorikan pada syirkah ‘abdan atau syirkah mufawwadah (perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas).44

Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendapat di kalangan Ulama dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia dapat disimpulkan bahwa harta bersama (gono-gini) termasuk dalam syirkah

‘abdan, dikatakan syirkah ‘abdan karena dalam kenyataannya sebagian besar suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari atau apabila memang hanya suami yang bekerja sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga tetap istri memiliki peranan besar dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga seperti mengurusi urusan rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak, bahkan berbelanja menyediakan makan dan minum ketika suami bekerja maka dengan hal ini suami telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari- hari yang secara tidak langsung mempengaruhi juga pada jumlah harta yang diperoleh.45

Harta bersama diangkat menjadi Hukum Islam dalam KHI berdasarkan dalil ‘urf serta sejalan dengan kaidah al-‘adhatu al-muhakkamah, yaitu bahwa ketentuan adat bisa dijadikan sebagai hukum yang berlaku dalam hal ini adalah harta bersama, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:46

a. Harta bersama tidak bertentangan dengan nash yang ada.

44 Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal Ahkam, Vol. XII No.1 (Januari, 2012), h. 64.

45 Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia, (Bogor: Fakultas Agama Islam UIKA Bogor, 2013), h. 10.

46 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan Syaefullah Ma’sum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 417.

(32)

b. Harta bersama harus senantiasa berlaku.

c. Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.

Dalam kitab-kitab fikih ditemui pembahasan tentang perabotan rumah tangga (mataa’ul bayt). Di dalamnya fukaha menjelaskan apabila terjadi perselihan antara suami dan istri tentang kepemilikan alat rumah tangga, baik suami dan istri belum atau sudah bercerai maka pembagiannya menurut Imam al-Syafi’i harus bersumpah. Jika dari salah satunya tidak mau bersumpah maka alat rumah tangga tersebut menjadi milik orang yang mau bersumpah. Jika keduanya mau bersumpah berarti harta tersebut dibagikan berdasarkan kegunaannya.47

Dalam hukum adat, harta bersama merupakan salah satu bagian dari harta perkawinan. Menurut Ter Haar, harta perkawinan terbagi menjadi 4 bagian yaitu:48

a. Harta yang diperoleh suami atau istri dalam bentuk warisan atau hibah dari orang lain.

b. Harta yang diperoleh suami atau istri dari diri sendiri atas jasa mereka masing-masing sebelum atau masa perkawinan.

c. Harta yang diperoleh suami atau istri dari hasil usaha bersama dalam masa perkawinan.

d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri pada waktu perkawinan.

Secara umum, hukum adat tentang harta gono-gini hampir sama diseluruh daerah. Yang dianggap sama adalah tentang terbatasnya harta kekayaan yang menjadi harta bersama, sedangkan mengenai hal lain

47 Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal Ahkam, Vol. XII No.1 (Januari, 2012), h. 62.

48 Etty Rochaeti, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono-gini) dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 (Februari, 2013), h. 654.

(33)

23

kenyataannya memang berbeda masing-masing daerah. Misalnya di Jawa, pembagian harta kekayaan kepada harta bawaan dan harta gono-gini setelah terjadinya perceraian akan bermakna penting sekali. Sedangkan di Lombok hukum adat cenderung tidak memberlakukan konsep harta gono-gini, menurut adat Lombok perempuan yang bercerai pulang kerumah orangtuanya dengan hanya membawa anak dan barang seadanya, tanpa mendapat hak gono-gini.49

Menurut KUH Perdata Pasal 119 tentang harta bersama, harta bersama itu diperoleh sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum yang terjadi harta bersama menyeluruh antara suami dan istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.50 Persatuan harta kekayaan itu selama perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri apa pun. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139 sampai 154 KUH Perdata.

Semua harta yang didapat suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut didapat secara tersendiri maupun didapat bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung ialah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah istri atau suami mengetahui ketika pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.51

49 Rosdinar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Depok:

Raja Grafindo Persada, 2016), h. 93.

50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab VI Pasal 119.

51 Rosdinar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Depok:

Raja Grafindo Persada, 2016), h. 95.

(34)

Adapun mengenai konsep harta bersama menurut hukum Islam, hukum adat, dan hukum positif menjelaskan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama masa perkawinan.

2. Dasar Hukum Harta Bersama

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia, dan kemudian konsep ini didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.52

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang- Undang dan Peraturan berikut:

a. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan harta bersama terdapat dalam 3 pasal, yaitu dalam Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (1) menjelaskan kewenangan hak kepemilikan harta bersama, yang mana suami atau istri dapat bertindak dalam harta bersama atas persetujuan para pihak. Dan pada Pasal 37 yang menyatakan bahwa bila perkawinannya putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Artinya bahwa harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan bukanlah harta bersama, melainkan harta bawaan yang berasal dari hibah atau warisan.53

b. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab VI Pasal 119-138 pada khususnya, dan salah satunya yaitu pada Pasal 119 disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut

52 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta:

Visimedia, 2003), h.8.

53 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007, Ed. 1, Cet.

2), h.184.

(35)

25

hukum terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.

Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”.54

c. Dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dari Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Beberapa diantara pasalnya ialah sebagai berikut:

Dalam Pasal 85 disebutkan, “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami atau istri.” Di pasal ini Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan, meskipun hartanya sudah bersatu, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan, baik suami maupun istri.

Dalam pasal 97 dijelaskan permasalahan mengenai pembagian harta bersama yaitu disebutkan, “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

d. Di dalam hukum Islam tidak ada yang membahas secara khusus mengenai konsep harta bersama, akan tetapi sejauh ini hanya ditemukan beberapa ayat-ayat dan salah satu nya yaitu Surat An-Nisa (4) ayat 32 dimana dijelaskan masalah harta benda secara umum.55

e. Dalam hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika hubungan perkawinan terputus akibat kematian atau perceraian, memang tidak ada keseragaman dalam hukum adat mengenai pembagian harta bersama. Namun yang menjadi utama ialah bahwa pembagian harta bersama secara umum yang diterima oleh masyarakat

54 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab VI pasal 119.

55 Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal Ahkam, Vol. XII No.1 (Januari, 2012), h. 62.

(36)

ialah masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta bersama.56

3. Terbentuknya Harta Bersama

Harta bersama terbentuk bersamaan dengan terjadinya perkawinan kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian kawin berupa pemisahan harta. Hal ini tercantum dalam Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.57

Menurut Sayuti Thalib, terjadinya harta bersama sama dengan saat terjadinya syirkah. Adapun terjadinya harta bersama dapat melalui cara-cara berikut:58

a. Dengan cara mengadakan perjanjian syirkah secara tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya akad nikah.

b. Dengan ditentukan oleh Undang-Undang atau Peraturan Perundang- undangan lain bahwa harta yang dimaksud adalah harta bersama suami istri.

c. Berjalan dengan sendirinya, artinya syirkah terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari suami dan istri.

Pengaturan tentang terbentuknya kekayaan bersama juga dijelaskan dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam:59

a. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

56 Muhammad Isna Wahyudi, “Majalah Hukum Varia Peradilan”, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 (Juli, 2015), h. 121.

57 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 299.

58 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2009), h. 84.

59 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2013), h.

164.

(37)

27

b. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga.

c. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

d. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Menurut M. Yahya Harahap jika ditinjau historis terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum adat terhadap harta bersama didasarkan pada syarat istri ikut serta secara aktif dalam membantu pekerjaaan suami. Jika istri tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan.60

C. Pembagian Harta Bersama dan Penyelesaiannya 1. Tata Cara Pembagian Harta Bersama

Pembahasan mengenai tata cara pembagian harta bersama, sudah dijelaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan yang mana bahwa diatur menurut hukumnya masing-masing.61 Maksudnya jika suami istri beragama Islam, maka pembagian harta bersamanya berdasarkan Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan jika suami istri beragama non muslim, maka pembagian harta bersamanya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat.62

60 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107.

61 Muhammad Isna Wahyudi, “Majalah Hukum Varia Peradilan”, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 (Juli, 2015), h. 121.

62 M. Beni Kurniawan, “Pembagian Harta Bersama Ditinjau dari Besaran Kontribusi Suami Istri dalam Perkawinan”, Jurnal Yudisial, Vol. 11 No. 1 (April, 2018), h. 45.

(38)

Ketentuan pembagian harta bersama sangat penting, agar suami istri mengetahui bagaimana pembagian harta dalam perkawinan jika nanti adanya perceraian atau salah satu dari mereka meninggal dunia.63

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 yaitu “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama” dan terdapat juga dalam Pasal 97 “Janda atau duda cerai hidup masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”64 Maksud dari Pasal tersebut lebih melihat pembagian yang adil bagi suami istri dengan membagi dua sama besar, terlepas dari siapa yang mengusahakan harta bersama tersebut dan menghindari perselisihan diantara mereka.65

Jika diamati dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak ditentukan berapa bagian masing-masing harta bersama antara suami istri ketika terjadi perceraian, namun hanya mengindikasikan ketika terjadi perceraian maka suami istri berhak untuk memperoleh harta bersama sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing.66

2. Penyelesaian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan

Ketika akibat putusnya perkawinan, maka muncul berbagai permasalahan salah satu permasalahannya adalah perebutan harta bersama antara suami istri. Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagikan apabila hubungan perkawinan mereka telah berakhir atau putus. Hubungan perkawinan dapat terputus karena akibat kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.67

63 Siah Khosyi’ah, “Keadilan Distributif Atas Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Bagi Keluarga Muslim di Indonesia”, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XI No. 1 (Juni, 2017), h. 41.

64 Intruksi Presiden, No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97.

65 Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal Ahkam, Vol. XII No. 1 (Januari, 2012), h. 60.

66 Muhammad Isna Wahyudi, “Majalah Hukum Varia Peradilan”, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 (Juli, 2015), h. 121.

67 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004, Cet. 3), h. 36.

Referensi

Dokumen terkait

Teori koherensi menyatakan bahwa suatu kalimat bernilai benar jika pernyataan yang termuat dalam kalimat tersebut bersifat koheren, konsisten atau tidak bertentangan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan (p = 0,000) tentang higiene menstruasi pada siswi di SMP Negeri 1

Hasil penelitian menunjukkan bentuk reduplikasi dalam buku pelajaran kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA) ada empat berdasarkan kelas kata yaitu (a) pengulangan

Berdasarkan gambar 4.11 diatas dapat diketahui bahwa denyut nadi nelayan yang tidur malam tidak tepat waktu turun saat bekerja, namun. beberapa saat kemudian

masyarakat/penghasil sampah yaitu masing-masing sebesar 50%. Untuk 10 tahun kedua lebih dibebankan kepada masyarakat/penghasil sampah sesuai dengan prinsip cost

Presenta se = 76% Pengaruh tergolong sedang Besarnya pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar Fiqih Peserta didik

secara khusus. 3) Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar sarana fasilitas tersebut antara lain

bahwa Perubahan Rencana Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu