• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PETANI TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI KECAMATAN PONTANG, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN IDHA FARIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI PETANI TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI KECAMATAN PONTANG, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN IDHA FARIDA"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

IDHA FARIDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tesis saya

Bogor, Januari 2012

Idha Farida NIM I351080041

(3)

Serang District has approximately 60 % of the population as small-holder farmers. This condition has a great potential for agricultural development. Up to now, farmers in some areas find limited access to extension services. This is due to lack number of extension workers and quality of agricultural extension workers that are needed by the farmers. The Act No. 16/2006 about System of Extension in Agriculture, Fishery, and Forestry states that the competency of extension workers is important

The objectives of the research were: (i) to describe the farmer’s perception on the extension worker competence, and (ii) to describe the relationship between the personal and farming characteristics and quality of extension activities with their perception about the competence of extension worker. This research was conducted with the survey methods and observations in the two Pontang subdistrict, including Pulokencana dan Sukanegara. The 60 farmer samples were randomly selected as respondents. The data were analyzed through Spearman rank correlation test.

.

The result showed a correlation between participation in training were significantly correlated with the perception of the competence of extension worker. There was also a significant correlation between the perception of extension activity quality (intensity, materials, and methods) with the farmer’s perceptions of the competence of extension worker

Keywords: small-holders farmers, perception of the farmers, the role of extension workers, extension services

(4)

RINGKASAN

IDHA FARIDA. 2011. “Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten”. Di bawah bimbingan SITI AMANAH DAN PRABOWO TJITROPRANOTO.

Salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang usaha sektor pertaniannya berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Serang.

Kabupaten Serang dengan sekitar 60 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian.

Sayangnya, jumlah penyuluh pertanian (PPL) masih jauh dari ideal. Jumlah desa di Kabupaten ini ada 314 desa, jumlah PPL PNS ada 68 orang dan penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 103 orang, sehingga totalnya berjumlah 171 orang. Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Peningkatan kompetensi penyuluh saat ini juga dirasakan belum efektif berjalan. Kegiatan penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan, bukan mendidik petani agar mampu mengambil keputusan sendiri.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani, (2) menganalisis persepsi petani tentang kualitas penyuluhan pertanian, (3) menganalisis persepsi petani tentang kompetensi PPL, dan (4) menganalisis hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan dengan persepsi petani tentang kompetensi PPL.

Penelitian dilaksanakan dengan metode survei di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Kegiatan lapang dilaksanakan mulai Maret 2011 sampai dengan Juni 2011. Populasi penelitian adalah seluruh petani anggota kelompok tani di Wilayah Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang (729 orang). Sebesar 80 persen dari populasi tersebut merupakan petani-peternak kecil (583 orang). Dari sejumlah petani-peternak kecil tersebut diambil sekitar 10 persen sebagai responden sampel (60 orang, terdiri atas 30 petani di Desa Pulo Kencana dan 30 petani-peternak di Desa Sukanegara).

Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk melihat hubungan beberapa faktor yakni karakteristik pribadi petani, karakteristik usahatani, dan kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pribadi responden yakni umur tergolong dewasa (umur 35-47) sebesar 50 persen, memiliki tingkat pendidikan formal yang tidak tamat dan tamat SD sebesar 68,3 persen, dan tidak mengikuti kegiatan pelatihan usahatani dalam dua tahun terakhir sebesar 65 persen. Karakteristik usahatani responden yakni pengalaman usahatani termasuk kategori sedang yakni sebesar 50 persen, sebesar 68,3 persen memiliki luas lahan

2

(5)

dan aksesibilitas yang rendah terhadap pasar sebesar 100 persen. Persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan yang diberikan oleh PPL sebagian besar masih rendah yakni sebesar 51,7 persen untuk intensitas penyuluhan, sebesar 50 persen untuk materi penyuluhan, dan sebesar 60 persen untuk metode penyuluhan.

Persepsi responden terhadap kompetensi PPL termasuk ke dalam kategori sedang, yakni masing-masing kompetensi kepribadian PPL sebesar 50 persen, kompetensi andragogik PPL sebesar 61,7 persen, kompetensi profesional PPL sebesar 58,3 persen, dan kompetensi sosial PPL sebesar 56,7 persen, sehingga keempat kompetensi ini perlu dioptimalkan oleh PPL lebih baik lagi.

Karakteristik pribadi responden yakni kesertaan dalam pelatihan usahatani menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Semakin tinggi kesertaannya dalam pelatihan usahatani, semakin baik persepsinya terhadap kompetensi PPL.

Secara umum pada kedua desa, karakteristik usahatani responden tidak menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Namun, petani dengan status lahan pemilik-penyewa memiliki persepsi yang baik terhadap kompetensi profesional dan sosial PPL. Begitu pula dengan petani yang memiliki akses yang tinggi terhadap lembaga keuangan memiliki persepsi yang baik terhadap kompetensi PPL.

Persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan baik intensitas, materi, maupun metode penyuluhan menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL.

Semakin baik persepsi responden terhadap intensitas, materi, maupun metode penyuluhan, semakin baik persepsinya terhadap kompetensi PPL.

Kata kunci: persepsi petani, kompetensi penyuluh, penyuluh pertanian lapangan

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

(a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

(7)

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

IDHA FARIDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

(8)

Provinsi Banten Nama : Idha Farida

NIM : I351080041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc

Ketua Anggota

Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

Tanggal Ujian: 4 November 2011 Tanggal Lulus:

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten” yang dilaksanakan sejak Maret sampai dengan Juni 2011 ini berhasil diselesaikan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

dan Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas arahan dan wawasan yang diberikan, serta Prof. Dr. Pang S. Asngari, M.Ed. atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Lukman Hakim dari Balai Penyuluhan Pertanian Pontang, Kabupaten Serang beserta stafnya, dan seluruh anggota kelompok tani di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara yang bersedia untuk diwawancarai dan memberikan informasi yang diperlukan.

Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf, yang telah memberikan kesempatan studi, serta telah memberikan beasiswa, seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Penyuluhan Pembangunan angkatan 2008 dan 2009 serta rekan-rekan FMIPA Universitas Terbuka atas bantuan dan motivasinya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak H.Umardani dan Ibu Hj.Nasroh, kepada suami tercinta, Achmad, S.Si.T. dan

anak-anakku tersayang, Fawwaz Ghifari A., Haura Syaima A., dan Nabil Qeis A.

atas pengertian, dukungan dan doanya yang begitu besar diberikan selama penulis menjalankan studi hingga menyelesaikan tugas belajar pada Program Pascasarjana IPB.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amiin.

Bogor, Januari 2012

Idha Farida I351080041

(10)

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 7 Oktober 1981 dari Bapak H. Umardani dan Ibu Hj. Nasroh. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Kejaksaan Agung Ciputat, pendidikan SLTP di SMPN Cirendeu, dan pendidikan SLTA di SMU Dharma Karya UT, lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis masuk ke Perguruan Tinggi di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh tahun 2008. Beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS melalui IPB.

Pada saat ini penulis bekerja sebagai tenaga edukatif pada Program Studi Agribisnis Bidang Minat Penyuluhan Pertanian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DARTAR LAMPIRAN ... xviii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Pengertian Penyuluhan Pertanian ... 7

Peran Penyuluh Pertanian ... 8

Konsep Persepsi ... 14

Kompetensi Penyuluh Pertanian ... 17

KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS... 23

Kerangka Berfikir ... 23

Hipotesis Penelitian ... 25

METODE PENELITIAN ... 26

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

Populasi dan Sampel ... 26

Rancangan Penelitian ... 26

Data dan Instrumentasi ... 27

Validitas dan Realibilitas Instrumen ... 28

Pengumpulan Data ... 29

Analisis Data ... 30

Definisi Operasional ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 36

Kondisi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang ... 43

Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Kecamatan Pontang ... 45

Pemberdayaan Petani melalui Kegiatan Pertanian di Kecamatan Pontang ... 46

Karakteristik Kelompok Tani di Kecamatan Pontang ... 50

Karakteristik Pribadi Responden ... 54

Karakteristik Usahatani Responden ... 59

Persepsi Responden terhadap Kualitas Penyuluhan ... 68

Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL ... 75

(12)

terhadap Kompetensi PPL ... 86

Hubungan Karakteristik Usahatani Responden dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL ... 89

Hubungan Kualitas Penyuluhan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL ... 94

KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

Kesimpulan ... 100

Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102

LAMPIRAN ... 107

(13)

Halaman

1 Hasil uji coba kesahihan dan keterandalan instrumen (n=20) ... 29

2 Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik pribadi petani ... 31

3 Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik usahatani petani ... 32

4 Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran kualitas penyuluhan ... 33

5 Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran persepsi petani terhadap kompetensi PPL ... 34

6 Nama desa, jumlah RT/RW, jumlah kelompok tani, dan nama gapoktan di Kecamatan Pontang ... 37

7 Pola penggunaan lahan di Kecamatan Pontang... 38

8 Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 39

9 Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ... 39

10 Sebaran jumlah alat dan mesin pertanian... 40

11 Kelembagaan penunjang kelembagaan pertanian ... 41

12 Segmen pasar di Kecamatan Pontang ... 42

13 Nama, tingkat pendidikan/tahun lulus, mulai bekerja, status dan jabatan PLL di Kecamatan Pontang ... 43

14 Program kegiatan penyuluhan pertanian di UPT BPP Kecamatan Pontang tahun 2011 ... 46

15 Nama kelompok tani, ketua dan jumlah anggota di Desa Pulokencana .... 51

16 Nama kelompok tani, kontak tani dan jumlah anggota di Desa Sukanegara ... 54

17 Sebaran responden berdasarkan umur ... 55

(14)

21 Sebaran responden berdasarkan luas lahan ... 61

22 Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan ... 62

23 Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas lembaga keuangan ... 63

24 Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas saprodi ... 66

25 Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas pasar ... 67

26 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap intensitas penyuluhan ... 69

27 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap materi penyuluhan ... 71

28 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap metode penyuluhan ... 73

29 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi kepribadian PPL ... 76

30 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi andragogik PPL ... 78

31 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi profesional PPL ... 80

32 Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi sosial PPL ... 82

33 Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik pribadi petani ... 83

34 Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik usahatani ... 84

35 Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kualitas penyuluhan ... 85

36 Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kompetensi PPL ... 85

37 Hubungan karakteristik pribadi responden (X1) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa... 86

38 Hubungan karakteristik pribadi responden (X1) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa ... 87

(15)

40 Hubungan karakteristik usahatani responden (X2) dengan persepsi

responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa ... 90 41 Hubungan kualitas penyuluhan (X3) dengan persepsi responden terhadap

kompetensi PPL (Y) per desa ... 94 42 Hubungan kualitas penyuluhan (X3) dengan persepsi responden terhadap

kompetensi PPL (Y) dari dua desa ... 95

(16)

Halaman 1 Kerangka Berpikir Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh

Pertanian Lapangan ... 25 2 Hubungan Tingkat Adopsi dengan Pendekatan dan Penggunaan Metoda

Penyuluhan Pertanian ... 98

(17)

Halaman 1 Peta Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang ... 107 2 Kuesioner Penelitian ... 108 3 Dokumentasi Penelitian ... 115

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agenda revitalisasi pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005 merupakan salah satu langkah mewujudkan tujuan pembangunan yaitu mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, yang difokuskan pada penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian, peningkatan kelembagaan dan kepemimpinan petani, peningkatan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan pengembangan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis. Program ini berupaya memperbaiki sistem dan kinerja penyuluhan pertanian yang semenjak akhir 1990-an sangat menurun kondisinya.

Salah satu tonggak untuk pelaksanaan revitalisasi ini adalah telah keluarnya Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) No. 16 Tahun 2006 tanggal 18 Oktober 2006. Dalam Undang- undang (UU) ini disebutkan bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu ikut berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. UU ini merupakan satu titik awal dalam pemberdayaan para petani melalui peningkatan sumberdaya manusia dan kelembagaan para penyuluh pertanian PNS, swasta, dan penyuluh pertanian swadaya.

Berdasarkan Hubeis et al. (1998) dikatakan secara empiris penyuluhan pertanian melalui aktivitas penyuluh pertanian, merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan pertanian. Penyuluhan pertanian selama ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Latihan dan Kunjungan (LAKU). Sejak diberlakukannya SKB Mendagri-Mentan Nomor 65 Tahun 1991- 539/Kpts/KP.430/9/91 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian

(19)

menyebabkan penyuluhan pertanian menjadi mandeg atau bahkan mundur. Ruang lingkup tugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) mengalami pergeseran dari konsep penyuluh polivalen menjadi penyuluh yang secara spesifik hanya menangani satu aspek (subsektor). Demikian pula dengan penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), terspesialisasi berdasarkan sektoral, yaitu: tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Menurut Mardikanto (2010b), di dalam perjalanan sejarah, sistem kerja LAKU tersebut tidak berlangsung seperti awal-awal kegiatan, terlebih setelah terjadi perubahan administrasi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat sejak awal 1990-an, yang diikuti dengan “lepasnya” administrasi pemberdayaan masyarakat di tingkat bawah (kabupaten, kecamatan, dan desa) dari keterkaitannya dengan tugas-tugas dinas-dinas lingkup Pertanian. Lemahnya pemberdayaan masyarakat seperti itu, diperparah lagi dengan semakin lebarnya kesenjangan pemberdayaan masyarakat dengan sumber informasi/inovasi yang lain, terutama yang dilakukan melalui media massa dan kegiatan perguruan tinggi, sehingga yang terjadi, tidak sekedar ketertinggalan penyuluh/fasilitator di bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga semakin menurunnya penghargaan masyarakat terhadap kinerja penyuluh/fasilitator dan program-program pemberdayaan masayarakat.

Dijelaskan Taryoto et al. (2001) dengan dikeluarkannya SKB Mendagri- Mentan Nomor 65 Tahun 1991 tersebut terjadi perubahan yang sangat mendasar dari segi kedudukan, tugas pokok dan fungsinya dalam penyuluhan pertanian.

Perubahan ini tidak diantisipasi dalam hal kesiapan daerah (terutama Pemda Tk.II) terutama dalam penyediaan dana untuk operasional dan juga kurang jelasnya petunjuk pelaksanaan bagi pihak-pihak terkait.

Hubeis et al. (1998) menjelaskan kelemahan-kelemahan pengaturan penyelenggaraan penyuluhan pertanian telah dicoba diperbaiki melalui SKB Mendagri-Mentan Nomor 54 Tahun 1996-30/Kpts/LP.120/4/96 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Petunjuk Pelaksanaannya. Pola baru ini juga mencoba mengangkat kembali peran BPP di dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Namun sampai saat ini, upaya-upaya tersebut masih belum menunjukkan hasilnya. Di tingkat masyarakat petani, kelembagaan petani pada penyuluhan pertanian yang dikelompokkan tidak selalu sesuai untuk menunjang

(20)

pengembangan program penyuluhan pertanian. Di samping itu, proses pembentukan kelompok tani yang umumnya dibentuk dari atas banyak terbukti menyebabkan kelompok menjadi kurang berfungsi.

Namun, sehubungan dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004 maka terdapat peluang yang baik bagi sistem penyuluhan pertanian untuk berkembang. Era otonomi daerah saat ini merupakan era yang kondusif dalam perkembangan penyuluhan pertanian di masa depan, sehingga penyuluhan pertanian dapat lebih efisien dan dapat lebih demokratis. Terkait dengan pembangunan pertanian di Indonesia, otonomi daerah menurut Sumardjo (2000) akan membawa dampak desentralisasi dalam banyak hal, termasuk dalam penyuluhan pertanian. Adanya potensi-potensi di daerah yang bisa menjalankan fungsi penyuluhan pertanian harus diperhitungkan dan dimanfaatkan perguruan tinggi, LSM, organisasi bisnis, industri, media masa, dan lain-lain.

Menurut Slamet (2003a), program penyuluhan pembangunan yang efektif dan efisien dapat dikembangkan oleh tenaga-tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Hal ini hanya memungkinkan apabila program penyuluhan diwadahi oleh sistem kelembagaan penyuluhan yang jelas dan pelaksanaannya didukung oleh tenaga-tenaga yang kompeten di bidang penyuluhan. Peningkatan kompetensi penyuluhan dalam pembangunan pertanian, bisa dikondisikan melalui berbagai upaya seperti: (1) meningkatkan efektivitas pelatihan bagi penyuluh, (2) meningkatkan pengembangan diri penyuluh melalui peningkatan kemandirian belajar dan pengembangan karir penyuluh, (3) meningkatkan dukungan terhadap penyelenggaraan penyuluhan seperti dukungan kebijakan pemerintah daerah terhadap pendanaan penyuluh, dukungan peran kelembagaan, dukungan teknologi dan sarana penyuluhan, pola kepemimpinan yang berpihak petani dan (4) memotivasi pribadi penyuluh untuk selalu meningkatkan prestasi kerja (kinerja penyuluh) dan mengikuti perubahan lingkungan strategis yang ada.

Program peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program pemerintah saat ini yang dicanangkan dalam rangka untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Peningkatan beras nasional merupakan

(21)

wujud dari upaya pencapaian program revitalisasi penyuluhan pertanian, dengan mentargetkan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebesar 2 juta ton beras. Revitalisasi penyuluhan pertanian ini didukung oleh UU Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi baru di Indonesia memiliki potensi pertanian yang sangat besar untuk dikembangkan. Menurut data BPS Banten (2011), produksi padi Banten tahun 2010 mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu naik 10,76 persen dibandingkan tahun 2009. Peningkatan produksi padi ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan luas panen padi yang signifikan baik untuk padi sawah maupun padi ladang. Luas panen padi sawah tahun 2010 meningkat 35,23 ribu hektar (dari 332.776 hektar pada tahun 2009 dan 368.009 hektar pada tahun 2010) atau naik 10,59 persen, sedangkan luas panen padi ladang meningkat 5,04 ribu hektar (dari 33.362 hektar pada tahun 2009 dan 38.402 hektar pada tahun 2010) atau naik 15,11 persen dibandingkan luas panen tahun 2009.

Pemerintah juga terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani.

Para petani di Banten secara kontinyu dan bergantian terus dilatih cara bertanam yang baik melalui Sekolah Lapang Pengelola Tanaman Terpadu (SL-PTT) pada tahun 2010 sudah dilatih sekitar 2.500 kelompok tani. Tahun 2011, direncanakan dilatih petani lain dengan mengandalkan 1.025 petugas penyuluh lapangan (PPL), pengamatan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (PPOPT), pengamat benih tanaman (PBT) dan peneliti (Kompasiana, 2011).

Masalah Penelitian

Salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang usaha sektor pertaniannya berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Serang.

Kabupaten ini merupakan salah satu dari empat kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki posisi yang sangat strategis karena berada di jalur utama penghubung lintas Jawa-Sumatera. Menurut data BPS Serang (2009), wilayah Kabupaten Serang didominasi oleh lahan pertanian yang luasnya mencakup sekitar 74,51 persen dari luas total lahan.

(22)

Berdasarkan data Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) Serang (2008) yang saat ini menjadi Balai Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Serang, pembangunan pertanian di Kabupaten Serang merupakan salah satu sektor andalan di samping industri, perdagangan dan jasa. Sektor pertanian menyerap 36 persen tenaga kerja dari jumlah tenaga kerja di Kabupaten Serang. Dari luas wilayah 170.166 ha, lahan sawah memiliki luas 53.148 ha (sawah irigasi 34. 728 ha dan tadah hujan 18.420 ha) dan lahan kering 73.524 ha (pangan 25.605 ha, perkebunan 38.070 ha, hutan 5.035 ha dan lainnya 4.814 ha). Berdasarkan hasil analisis, komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Serang adalah padi, dengan produktivitas 4,98 ton/ha.

Kabupaten Serang dengan sekitar 60 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian. Potensi lahannya pun ada. Sayangnya, jumlah penyuluh pertanian masih jauh dari ideal. Jumlah desa di Kabupaten ini ada 314 desa, jumlah PPL PNS ada 68 orang dan Penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 103 orang, sehingga totalnya ada 171 orang. Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Oleh karena itu, jumlah penyuluh di Kabupaten Serang memang masih sangat kurang. Peningkatan kompetensi penyuluh saat ini juga dirasakan belum efektif berjalan. Menurut Putra (2005), permasalahan penyuluhan saat ini adalah kegiatan penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan bukan mendidik petani agar mampu mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu, tantangan penyuluhan saat ini semakin besar.

Penyelenggara program penyuluhan di Kabupaten Serang adalah BPKP Serang melalui instansi BPP di setiap kecamatan serta bekerja sama dengan penyuluh teknis dari BPTP Banten. Dengan tingginya potensi pertanian yang dimiliki oleh Kabupaten Serang dan terkenal sebagai lumbung padi di Provinsi Banten tersebut, maka akan sangat menarik melihat tingkat persepsi petani terhadap kompetensi PPL khususnya di tingkat kecamatan atau BPP.

Perumusan masalah yang ditelaah pada penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani?

(2) Bagaimana kualitas penyuluhan pertanian?

(23)

(3) Bagaimana persepsi petani tentang kompetensi PPL?

(4) Sejauhmana hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan pertanian dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL?

Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mendeskripsikan karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani.

(2) Menganalisis persepsi petani tentang kualitas penyuluhan pertanian.

(3) Menganalisis persepsi petani tentang kompetensi PPL.

(4) Menganalisis hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan, dan para praktisi yang berhubungan dengan pengembangan kelompok tani sebagai media pemberdayaan petani. Adapun manfaat khusus yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Bagi Perguruan Tinggi diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengembangan kelompok tani dan juga dapat mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

(2) Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan kepada pemerintah dan pihak terkait seperti Kementrian Pertanian, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya dalam merumuskan perencanaan pembuatan program-program pemberdayaan pertanian selanjutnya.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Penyuluhan Pertanian

Istilah penyuluhan telah dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang bekerja di dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan, tetapi tidak demikian halnya bagi masyarakat luas. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) istilah penyuluhan dalam bahasa Belanda digunakan kata voorlichting yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya. Istilah ini digunakan pada masa kolonial bagi negara-negara jajahan Belanda, walaupun sebenarnya penyuluhan diperlukan oleh kedua belah pihak. Namun, Jahi (Mardikanto, 1993) menyebutkan istilah penyuluhan pada dasarnya diturunkan dari kata “Extension” yang dipakai secara meluas di banyak kalangan. Extension itu sendiri, dalam bahasa aslinya dapat diartikan sebagai perluasan atau penyebarluasan. Proses penyebarluasan yang dimaksud adalah proses peyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusahatani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan perbaikan kesejahteraan keluarga atau masyarakat yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian.

Leagens (Lestari et al., 2000) mengkonseptualkan pendidikan penyuluhan sebagai ilmu terapan yang isinya berasal dari penelitian, pengalaman yang dikomulasikan, dan prinsip-prinsip yang sesuai yang diangkat dari ilmu yang berhubungan dengan perilaku dan disintesakan dengan teknologi dalam bentuk filosogi, prinsip, isi, dan metode yang difokuskan pada masalah pendidikan luar sekolah baik bagi dewasa maupun anak-anak.

Pengertian penyuluhan yang tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2006 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(25)

Tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan pertanian adalah terjadinya pe- rubahan perilaku sasarannya. Sejalan dengan hal ini Syahyuti et al. (1999) menyebutkan tujuan yang ingin dicapai penyuluhan pertanian adalah mengembangkan kemampuan petani secara bertahap agar memiliki tingkat pengetahuan yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang memadai dan kemampuan mengaplikasikan teknologi yang dibutuhkan sehingga akhirnya mampu memecahkan masalah serta mengambil keputusan yang terbaik untuk usahataninya. Jadi, penyuluhan pertanian bukan sekedar menyampaikan informasi kepada petani lalu berhenti, tetapi berlanjut sampai pada dampaknya yang ada efek perbaikan langsung yang menguntungkan.

Fungsi sistem penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006 adalah:

(1) Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;

(2) Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;

(3) Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha;

(4) Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan;

(5) Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha;

(6) Menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi dan lingkungan; dan

(7) Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan khutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.

Peran Penyuluh Pertanian

Menurut Departemen Pertanian (2005), penyuluh pertanian adalah perorangan yang melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Pengertian penyuluh pertanian berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006 adalah: (1) Penyuluh pegawai

(26)

negeri sipil yang disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan; (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; dan (3) Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.

Petani mempunyai harapan dari cara penyuluh membantunya, tetapi atasan dari agen penyuluhan itu juga mengharapkan peranannya. Dengan demikian, posisi agen penyuluhan berada di tengah-tengah dan akan mengalami kesulitan jika terjadi pertentangan antara kedua kelompok ini (van den Ban dan Hawkins, 1999).

Menurut Rogers (1995), terdapat tujuh peran agen pembaruan dalam proses pengenalan inovasi kepada klien yaitu:

(1) Membangkitkan kebutuhan terhadap adanya perubahan. Tugas awal seorang agen pembaruan adalah untuk membantu klien menyadari kebutuhan akan adanya perubahan, terutama untuk mesyarakat yang masih terbelakang.

Rendahnya wawasan tentang perencanaan, aspirasi, motivasi untuk berprestasi, dan juga sikap mereka yang terlalu pasrah pada keadaan merupakan gambaran masyarakat terbelakang. Agen pembaruan dalam menghadapi kondisi seperti ini harus berperan sebagai katalisator (pembuka kran) untuk menyadarkan klien tentang kebutuhannya. Agen pembaruan dapat menjalankan perannya dengan menyampaikan alternatif-alternatif solusi yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, mendramatisasi, dan juga mampu meyakinkan klien bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalannya. Agen pembaruan melakukan upaya-upaya ini dengan cara persuasif dan membuka diri untuk melakukan konsultasi kepada kliennya. Kondisi klien yang kurang mempunyai wawasan seringkali kurang menyadari persoalan yang terjadi sehingga mereka juga tidak mempunyai solusi tepat untuk menyelesaikannya. Untuk itu maka agen

(27)

pembaruan dituntut untuk membantu kliennya dengan menyediakan informasi yang tepat dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi klien.

(2) Menciptakan suatu hubungan yang memungkinkan adanya pertukaran informasi. Dalam melakukan kegiatan penyuluhan, agen pembaruan harus menciptakan hubungan yang akrab dengan klien. Keakraban dapat diciptakan agen pembaruan dengan menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya, jujur, memiliki empati yang tinggi terhadap klien, serta saling bertukar informasi dan pengalaman dengan klien. Untuk dapat melakukan penyuluhan dengan baik maka seorang agen pembaruan harus dapat diterima secara fisik dan sosial oleh klien sebelum dia menyampaikan inovasi.

(3) Mendiagnosis permasalahan. Dengan keakraban yang sudah terjalin maka seorang agen pembaruan diharapkan dapat mendiagnosis permasalahan yang ada. Dalam mendiagnosis permasalahan yang ada, agen pembaruan harus melihatnya dari sudut pandang klien sehingga permasalahan yang dapat ditangkap oleh agen pembaruan benar-benar permasalahan yang dihadapi masyarakat. Untuk itu maka diperlukan empati yang tinggi dari seorang agen pembaruan.

(4) Menumbuhkan motivasi untuk berubah pada diri klien. Setelah permasalahan dapat digali maka agen pembaruan harus berusaha untuk membangkitkan motivasi klien untuk melakukan perubahan dan mendorong klien untuk menaruh perhatian pada inovasi yang dibawa agen pembaruan.

(5) Merencanakan aksi pembaruan. Agen pembaruan selanjutnya berusaha untuk mempengaruhi perilaku klien sesuai dengan rekomendasinya berdasarkan kebutuhan klien. Diharapkan klien tidak hanya menaruh minat tetapi juga merencanakan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Agen pembaruan dapat memanfaatkan berbagai cara untuk membantu klien dalam mencapai tujuannya, yaitu dengan cara: memberikan nasehat secara tepat waktu untuk menyadarkan klien tentang permasalahan yang ada, memberikan alternatif solusi, memberikan informasi mengenai konsekuensi dari setiap alternatif yang diberikan, membantu klien memutuskan tujuan yang paling penting, membantu klien dalam mengambil keputusan secara sistematis baik

(28)

perorangan maupun kelompok, membantu klien belajar dari pengalaman dan uji coba, dan mendorong klien untuk saling bertukar informasi.

(6) Menjaga keberlangsungan proses adopsi dan menghindakan adanya penghentian proses adopsi. Selanjutnya agen pembaruan harus mampu mendorong klien untuk menerima inovasi tersebut dan menjaga agar klien semakin yakin dengan penerapan inovasi tersebut dapat membantunya memecahkan persoalan hidupnya. Pada tahap ini agen pembaruan harus terus memberikan informasi yang dapat lebih meyakinkan klien. Informasi yang diberikan juga harus dapat mencegah klien membatalkan keinginannya menerapkan inovasi yang dibawa agen pembaruan.

(7) Mencapai hubungan terminal. Tujuan akhir seorang agen pembaruan adalah adanya perilaku ”mempengaruhi diri sendiri” pada diri klien. Agen pembaruan berusaha untuk menjadikan klien mampu menjadikan dirinya sebagai agen pembaruan paling tidak untuk dirinya sendiri sehingga klien dapat mengenali kebutuhannya dan mampu memilih inovasi-inovasi yang paling tepat dengan kebutuhannya tersebut. Pada tahap ini agen pembaruan memutuskan hubungannya dengan klien, maksudnya adalah agen pembaruan menyudahi tugasnya untuk menyampaikan suatu inovasi kepada klien hingga klien mampu mandiri. Agen pembaruan dapat melanjutkan tugasnya di tempat lain dengan inovasi yang sama atau tetap di tempat yang sama dengan membawa inovasi lainnya.

Hubeis et al. (1998) mengungkapkan bahwa peran penyuluhan di dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan pertanian dapat optimal apabila didukung oleh kelembagaan penyuluhan yang holistik, independen, dan otonom.

Kelembagaan penyuluhan harus memberi kebebasan kepada penyuluh pertanian untuk tidak hanya melaksanakan tugas karena status kepegawaiannya sebagai penyuluh. Penyuluh pertanian memerlukan kelembagaan yang tidak mengharuskan mereka untuk mengembangkan penyuluhan dan membina petani pada arah tujuan tertentu.

Lebih lanjut Hubeis (Hubeis et al., 1992) menjelaskan figur-figur penyuluhan dalam tiap subsistem sosial dapat memilih satu dari empat kemungkinan peran penyuluh pembangunan yakni:

(29)

(1) Katalis, penyuluh pembangunan (agen perubahan) sangat diperlukan untuk mengatasi kebekuan dengan cara mendorong timbulnya perasaan ketidakpuasan di masyarakat mengenai hasil pembangunan yang sudah ada.

Ketidakpuasan ini akan membantu mereka untuk melihat sesuatu permasalahan dalam pembangunan dengan lebih serius;

(2) Penemu solusi, peranan penyuluh pembangunan dalam menyebarluaskan gagasan pembangunan merupakan hal yang mendominasi kelancaran operasional pembangunan sebelum diterapka n di masyarakat;

(3) Pendamping, seorang penyuluh pembangunan dapat memainkan fungsinya sebagai seorang pendamping khalayak sasaran pembangunan dalam mensolusi masalah dengan cara sebagai berikut:

(a) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mengenali dan mendefinisikan keperluan mereka,

(b) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mendiagnosa masalah dan menetapkan tujuan perubahan yang ingin dicapainya,

(c) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memperoleh sumber-sumber informasi, sarana, dan prasarana pembangunan yang diperlukan,

(d) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memilih dan mengkreasi suatu solusi permasalahan yang disesuaikan dengan kondisi khalayak yang bersangkutan, dan

(e) Membantu khalayak sasaran pembangunan dalam memodifikasi dan menempatkan solusi-solusi, serta

(f) Membantu khalayak sasaran pembangunan dalam mengevaluasi kemanfaatan suatu solusi dalam memenuhi kebutuhan mereka dan mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul di masa yang akan datang.

(4) Perantara, peran khusus dari penyuluh pembangunan sebagai perantara antara pembuat kebijakan dan khalayak sasaran pembangunan adalah mempersatukan dua kepentingan tersebut dengan membuat keputusan terbaik dalam menggunakan sumber daya yang tersedia di dalam dan di luar sistem kehidupan khalayak sasaran pembangunan.

(30)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep: 29/MEN/III/2010 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Pertanian Bidang Penyuluhan Pertanian, dirumuskan fungsi dan peran penyuluh pertanian dalam sistem penyuluhan pertanian, yaitu:

(1) memfasilitasi proses pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha; (2) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (3) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (4) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik dan berkelanjutan; (5) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (6) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan (7) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama dan pelaku usaha secara berkelanjutan. Untuk melaksanakan fungsi dan peran tersebut, menuntut adanya peningkatan kompetensi penyuluh pertanian untuk mewujudkan penyuluh pertanian yang profesional.

Menurut UU No. 16 Tahun 2006, penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau penyuluh swadaya. Pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS disesuaikan dengan kebutuhan dan formasi yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keberadaan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.

Jika melihat beberapa peran di atas, maka penyuluh dituntut untuk mempunyai kemampuan membantu petani yaitu tidak hanya menyebarluaskan materi penyuluhan tetapi juga dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi petani.

(31)

Konsep Persepsi

Menurut Leavit (1978), persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.

Persepsi terkait erat dengan masalah sikap, karena persepsi merupakan komponen kognitif sikap. Dalam psikologi sosial, sikap diartikan sebagai derajat atau tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian seseorang terhadap objek tertentu.

Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini dinyatakan dalam skala yang menunjukkan sangat setuju atau sangat tidak setuju terhadap objek sikap (Mar’at, 1981).

Menurut Asngari (1984), persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta, atau tindakan. Terdapat tiga mekanisme pembentukan persepsi, yaitu: selectivity, closure, interpretation. Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi.

Menurut De Vito (1997), persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita. van den Ban (1999) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atas rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Menurut Thoha (1999), persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Menurut Rakhmat (2000), persepsi juga dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada rangsangan inderawi. Menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi (perhatian), ekspektasi (harapan), motivasi,

(32)

dan memori. Persepsi, seperti juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan situasional.

Tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama berikut (Sobur, 2003):

(1) Seleksi adalah proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

(2) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.

(3) Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.

Jadi, proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai.

Proses persepsi seseorang dikemukakan oleh Pareek (Sobur, 2003) adalah:

(1) Proses menerima rangsangan. Proses pertama dalam persepsi ialah menerima rangsangan atau data dari berbagai sumber. Kebanyakan data diterima melalui pancaindra yakni melihat sesuatu, mendengar, mencium, merasakan, atau menyentuhnya, sehingga dapat mempelajari segi-segi lain dari hal itu.

(2) Proses menyeleksi rangsangan. Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi. Tidaklah mungkin untuk memperhatikan semua rangsangan yang telah diterima. Terdapat dua faktor yang menentukan seleksi rangsangan, yakni:

(1) Faktor-faktor intern yang mempengaruhi seleksi persepsi. Dalam menyeleksi berbagai gejala untuk persepsi, faktor-faktor intern berkaitan dengan diri sendiri, faktor-faktor tersebut adalah: (a) kebutuhan psikologis. Kebutuhan psikologis seseorang mempengaruhi persepsinya.

Kadang-kadang ada hal yang kelihatan (yang sebenarnya tidak ada)

(33)

karena kebutuhan psikologis; (b) latar belakang. Orang-orang dengan latar belakang tertentu mencari orang-orang dengan latar belakang yang

sama. Mereka mengikuti dunia yang serupa dengan mereka;

(c) pengalaman. Pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari orang-orang, hal-hal, dan gejala-gejala yang mungkin serupa dengan pengalaman pribadinya. Seseorang yang mempunyai pengalaman buruk dalam bekerja dengan jenis orang tertentu, mungkin akan menyeleksi orang-orang ini untuk jenis persepsi tertentu; (d) kepribadian. Seseorang yang introvert mungkin akan tertarik kepada orang-orang yang serupa atau sama sekali berbeda. Berbagai faktor dalam kepribadian mempengaruhi seleksi dan persepsi; (e) sikap dan kepercayaan umum.

Orang-orang yang mempunyai sikap tertentu terhadap kelompok tertentu, besar kemungkinan akan melihat berbagai hal kecil yang tidak diperhatikan oleh orang lain; (f) penerimaan diri. Orang-orang yang ikhlas menerima kenyataan diri akan lebih tepat menyerap sesuatu daripada mereka yang kurang ikhlas menerima realitas dirinya.

(2) Faktor-faktor ekstern yang mempengaruhi seleksi persepsi. Beberapa faktor yang dianggap penting pengaruhnya terhadap seleksi rangsangan ialah: (a) intensitas. Pada umumnya, rangsangan yang lebih intensif, mendapatkan lebih banyak tanggapan daripada rangsangan yang kurang intens; (b) ukuran. Pada umumnya, benda-benda yang lebih besar lebih menarik perhatian. Barang yang lebih besar lebih cepat dilihat; (c) kontras. Hal-hal lain dari yang biasa kita lihat akan cepat menarik perhatian; (d) gerakan. Hal-hal yang bergerak lebih menarik perhatian daripada hal-hal yang diam; (e) ulangan. Biasanya hal-hal yang berulang dapat menarik perhatian. Akan tetapi, ulangan yang terlalu sering dapat menghasilkan kejenuhan semantik dan dapat kehilangan arti perspektif.

Oleh karena itu, ulangan mempunyai nilai yang menarik perhatian selama digunakan dengan hati-hati; (f) keakraban. Hal-hal yang akrab atau dikenal lebih menarik perhatian; dan (g) sesuatu yang baru. Hal-hal baru juga dapat menarik perhatian. Jika orang sudah terbiasa dengan sesuatu yang sudah dikenal, maka sesuatu yang baru dapat menarik perhatian.

(34)

Tingkah laku manusia merupakan fungsi dari cara mereka memandang.

Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya, dalam proses ini ada tiga komponen utama, yaitu: (1) seleksi, merupakan proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar;

(2) interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi mereka; dan (3) interpretasi dan persepsi diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (van den Ban dan Hawkins, 1999).

Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), karakteristik seseorang akan ikut mempengaruhi persepsi dan selanjutnya akan mempengaruhi tindakan atau perilaku. De Vito (1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan persepsi adalah umur, kecerdasan, kompleksitas, kognitif, popularitas, ciri-ciri pribadi, dan kesan latihan atau hasil belajar.

Dengan melihat pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi dalam penelitian ini adalah pandangan seseorang terhadap informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.

Kompetensi Penyuluh Pertanian

Menurut Lucia dan Lepsinger (Prihadi, 2004), kata kompetensi merupakan terjemahan dari kata “competency” yakni: a competency is build on the foundation of inherent talents and incorporating the types of skills and knowledge that can and acquitted through learning, effort, and experience. The all innate and acquired abilities manifests in a specific set of behaviors.

Maknanya yakni kompetensi dibangun di atas dasar bakat yang melekat dan menggabungkan jenis keterampilan dan pengetahuan yang dapat dan dibebaskan melalui pembelajaran, usaha, dan pengalaman. Semua bawaan dan kemampuan yang diperoleh terwujud dalam satu set perilaku yang spesifik.

Spencer dan Spencer (1993) menyebutkan kompetensi sebagai segala bentuk motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Terdapat lima tipe kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, konsep diri, sikap, dan motif. Kompetensi

(35)

pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dibandingkan dengan konsep diri, sikap, dan motif yang relatif lebih tersembunyi dan merupakan pusat bagi kepribadian seseorang.

Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memperediksi suatu pekerjaan, Spencer dan Spencer (1993) membedakan kompetensi menjadi dua kategori, yaitu: (1) threshold dan (2) differentiating. Threshold competencies merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar yang terkait dengan bidang kompetensinya. Differentiating competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah.

Pengertian kompetensi penyuluhan pertanian menurut Gilley dan Eggland (Puspadi, 2003) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Menurut Rusmono (2008), kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas penyuluhan pertanian. Sedangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi Profesi Penyuluh Pertanian (2010) dijelaskan pengertian kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional.

Berlo (Mardikanto 1993) mengemukakan empat kualifikasi yang harus dimiliki setiap penyuluh mencakup: (1) kemampuan berkomunikasi, hal ini tidak hanya terbatas pada kemampuan: memilih inovasi, memilih dan menggunakan saluran komunikasi yang efektif, memilih dan menerapkan metoda penyuluhan yang efektif dan efisien, memilih dan menggunakan alat bantu dan alat peraga yang efektif dan murah, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan dan ketrampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya; (2) sikap penyuluh yang: (a) menghayati dan bangga terhadap profesinya, serta merasakan kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat sasaran, (b) meyakini bahwa inovasi yang disampaikan telah teruji kemanfaatannya, (c) menyukai dan mencintai masyarakat sasaran; (3) kemampuan pengetahuan penyuluh tentang: (a) isi, fungsi, manfaat, dan nilai-nilai yang

(36)

terkandung dalam inovasi yang disampaikan, (b) latar belakang dan keadaan masyarakat sasaran, (c) segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat suka atau tidak menghendaki perubahan; (4) karakteristik sosial-budaya penyuluh mencakup latar belakang bahasa, agama, dan kebiasaan-kebiasaan.

Rusmono (2008) menjelaskan bahwa terdapat elemen-elemen kompetensi penyuluh pertanian, yakni pemahaman terhadap karakteristik sasaran, yakni:

(1) Penguasaan sumber bahan ajar (disciplinary content) atau bidang keahlian;

(2) Kemampuan penyelenggaraan penyuluhan (menyiapkan, melaksanakan,

mengembangkan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan penyuluhan;

(3) Kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan profesionalisme dan kepribadian secara berkelanjutan; dan (4) Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosial.

Kompetensi (keahlian) yang harus dimiliki penyuluh dalam melaksanakan tugasnya menurut Dubey dan De (1990, Lestari et al., 2001) adalah:

(1) Keahlian teknis, adalah kemampuan penyuluh memberikan, memahami dan menerapkan informasi teknis yang diperlukan audiens. Hal itu termasuk kemampuan penyuluh menangani dengan tepat bahan-bahan dan perlengkapan-perlengkapan teknis.

(2) Keahlian ekonomi, adalah kemampuan penyuluh untuk memahami kekuatan pasar, menyarankan dan membimbing sistem si klien untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hal itu termasuk kemampuan penyuluh dalam mengatur aktifitas ekonomi dengan sistem yang ada seperti formasi komite penerima waris, masyarakat yang kooperatif, dan membangun bank perkreditan.

(3) Keahlian keilmuan, adalah kemampuan penyuluh dalam memahami hubungan sebab akibat dan pendekatan yang logis dalam memecahkan masalah, penyuluh harus meyakini kemampuan ilmu bisa merubah manusia.

(4) Keahlian jabatan, berhubungan dengan kehendak dan keahlian penyuluh dalam menampilkan serangkaian kerja fisik dalam pelaksanaan kegiatan khusus termasuk kemampuan penyuluh untuk mencoba dan memperagakan praktek-praktek untuk situasi yang dihadapi klien dan menginterpretasikan hasil-hasilnya.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir  Penelitian  Persepsi Petani terhadap Kompetensi  Penyuluh Pertanian Lapangan
Gambar  2. Hubungan Tingkat  Adopsi dengan Pendekatan dan Penggunaan  Metoda Penyuluhan Pertanian
Gambar 2. Kegiatan penyuluhan FEATI di Desa Pulokencana

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan persepsi persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian tanaman pangan pangan di Kabupaten Aceh Utara yang meliputi; penyusunan program dan programa,

Secara keseluruhan persepsi persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian tanaman pangan pangan di Kabupaten Aceh Utara yang meliputi; penyusunan program dan programa,

Hipotesis dalam penelitian ini adalah (1) diduga terdapat hubungan yang nyata antara variabel independen (umur, lama pendidikan, pengetahuan petani, lama

petani, karakteristik sistem sosial dan kompetensi penyuluh pertanian berpengaruh secara nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani."

(2016) karena lingkungan sosial merupakan fakto yang mempengaruhi petani untuk bisa menerima inovasi baru atau informasi baru yang mampu menambah pengetahuan dan

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan hubungan kinerja penyuluh pertanian dengan kompetensi petani kakao di Kabupaten Luwu Utara.Metode yang digunakan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui kinerja PPL, mengetahui tingkat kepuasan petani padi terhadap kinerja PPL, menganalisis faktor-faktor yang berhubungan

Hasil Penilaian Responden Indicator Penyebarluasan Informasi Teknologi Kategori Skor Responden Penilaian Jumlah Petani Atasan Penyuluh Secara Merata dan Sesuai Kebutuhan