• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Indra Lorenly Nainggolan

Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com

ABSTRAK

Peraturan perundang-undangan memiliki fungsi yang sangat penting dalam negara hukum. Fungsi dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk memerintah, memberikan kewenangan (authorizing), mengizinkan dan penderogasian. Pasal 3 ayat 3 Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah mengizinkan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara membakar hingga 5 hektar.

Pengaturan tersebut seharusnya sejalan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembentukan norma pelaksana dari norma yang yang lebih tinggi harus memiliki kesesuaian isi atau materi pengaturannya. Karena keberadaannya merupakan bentuk dari pendelegasian kewenangan membentuk aturan dari yang lebih tinggi ke lebih rendah. Sebagai konsekuensinya tidak boleh timbul perluasan makna dari ketentuan yang sudah diatur didalam aturan yang terdahulu.

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan tertulis merupakan aspek yang sangat penting dalam negara hukum yang menganut civil law. Peraturan tertulis atau norma hukum memiliki fungsi memerintah, memberikan kewenangan (authorizing), mengizinkan dan penderogasian.1 Keempat fungsi yang terdapat dalam peraturan tertulis ditujukan dan mengikat bagi setiap warga negara. Istilah peraturan tertulis atau norma hukum sering disebut dengan peraturan perundang-undangan.

Bagir manan memberikan pengertian peraturan perundang-undangan sebagai berikut:2 1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang

berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum.

2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan.

3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.

4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang- undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorschrift.

Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan berbunyi bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Uraian pengertian peraturan perundang-undangan tersebut telah menetapkan bentuk perundang-undangan merupakan norma yang berbentuk umum-abstrak. Bersifat umum artinya aturan tersebut ditujukan untuk khalayak masyarakat umum dalam wilayah tertentu tergantung jenis atau hierarki peraturan perundang-undangan. Sedangkan abstrak bahwa perundang-undangan itu tidak menunjuk peristiwa konkret. Masyarakat umumnya lebih banyak mengenal dan menyebut hukum yaitu dalam bentuk umum-abstrak, namun tidak mengenal hierarki ataupun jenis-jenis dari perundang-undangan yang ada.

1 B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, (Bandung: Alumni, 2013), halaman 1-2.

2 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007), halaman 10-11.

(3)

Selain itu unsur yang penting untuk dipahami bentuk dari peraturan perundang-undangan yaitu dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Domain pembentukan perundang-undangan berbeda-beda tergantung jenis atau hierarki peraturan perundang-undangan tersebut. Pasal 7 ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memiliki jenis diantaranya yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hierarki perundang-undangan tersebut maka lembaga berwenang yang membentuknya akan berbeda satu sama lain. Jika merujuk pada doktrin dari montesquie mengenai pembagian kekuasaan dalam cabang legislatif, eksekutif, dan yudisial, maka pada dasarnya perundang- undangan akan dibentuk oleh lembaga legislatif. Hal ini juga berlaku dalam pembentukan Undang- Undang yang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan oleh Presiden. Namun lembaga yang lain juga diberikan kewenangan membentuk peraturan yang berbentuk umum abstrak, dengan syarat adanya pendelegasian dari undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Misalnya saja dalam pembentukan Peraturan Pemerintah, peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebelumnya telah ada pendelegasian kewenangan untuk membentuknya.

Untuk peraturan daerah khususnya Peraturan Daerah Provinsi dibentuk berdasarkan asas otonomi daerah yang diberikan kebebasan mengatur daerahnya secara mandiri. Akan tetapi pembentukan Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan hierarki perundang- undangan bertingkat-tingkat.

Daerah setingkat Provinsi yang membentuk peraturan daerah yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dan Gubernur biasanya pengaturan materinya masih bersifat umum sehingga dalam pembentukannya masih mendelegasikan pengaturannya lebih lanjut dalam peraturan gubernur. Itu artinya walaupun dalam sistem hierarki perundang-undangan pada UU No.12 Tahun 2011 tidak ada menyebutkan peraturan gubernur sebagai bagian dari bentuk perundang-undangan, maka hal

(4)

tersebut bukan berarti peraturan gubernur tidak memiliki fungsi perundang-undangan.

Pendelegasian kewenangan kepada gubernur tidak dapat dihindarkan karena bagaimanapun juga lembaga pemerintah yang mengerti kebutuhan masyarakat lebih terperinci. Sebagaimana fungsi dari pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan selain melayani masyarakat, juga melakukan tindakan mengatur. Tindakan mengatur merupakan tindakan terlebih dahulu yang dilakukan oleh pemerintah sebelum melakukan pelayanan. Karena pada dasarnya bentuk peraturan daerah masih mengatur hal-hal yang sifatnya abstrak, sehingga seringkali pengaturan lebih lanjut biasanya diserahkan kepada peraturan gubernur. Dengan demikian keberadaan dari Peraturan Gubernur merupakan peraturan setingkat daarah provinsi untuk melaksanakan peraturan daerah.

Sifatnya sebagai peraturan pelaksana maka materinya pun tidak boleh melebihi pengaturan dalam peraturan daerah tersebut. Maksudnya adalah apabila didalam peraturan gubernur materi yang diatur melebihi pengaturan yang ada dalam Peraturan Gubernur, maka dengan sendirinya Gubernur telah melebihi atribusi kewenangan yang diberikan kepadanya dalam membentuk perundang- undangan tertentu. Konsekuensi demikian maka keberlakuan norma tersebut menjadi prroblematika dalam sistem perundang-undangan.

Salah satu perundang-undangan yang pengaturan normanya melebihi dari pengaturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Lahirnya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 tersebut merupakan perubahan atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Perubahan yang diinginkan pada Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 didasarkan pada UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan. Hal ini dapat terlihat pada bagian konsideran Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 tersebu.

Konsekuensi dasar hukum pembentukan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 yang berpijak UU No.32 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 adalah pengaturan norma-norma dalam batang tubuh Peraturan

(5)

Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 tidak boleh bertentangan pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010, bahkan dari UU No.32 Tahun 2009.

Mencermati isi dalam Pasal 3 Pergub No.15 Tahun 2010 yang berbunyi bahwa:

1. setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan perkarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang sebagaimana tercantum dalam pergub ini.

2. pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota.

3. kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:

a. camat, untuk luas lahan diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;

b. Lurah/Kepala Desa, untuk wilayah diatas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;

c. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 ha.

4.pemberian izin untuk pembakaran secara komulatif pada wilayah dan hari yang sama:

a. Tingkat Kecamatan maksimal 100 ha atau, b. Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha.

Berbeda dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan berbunyi bahwa:

1. Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.

2. Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.

3. Pembakaran lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering.

4. Kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika.

Hal yang sama juga terdapat perbedaan pengaturan dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf (h)

(6)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi bahwa “setiap orang dilarang: melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”.

Selanjutnya dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.

Penjelasan dalam ayat 2 diartikan definisi Kearifan lokal ini adalah "Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 dalam pengaturan normanya masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dimana dalam pembukaan lahan dengan cara membakar dengan luas lahan maksimal 2 hektar. Berbeda dengan Pergub No.15 Tahun 2010 dapat membuka lahan hingga 5 hektar. Norma yang ada dalam Pergub No.15 Tahun 2010 berbeda dengan norma dari perundang-undangan yang lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah

Sehingga problematikanya adalah apakah Norma dalam Pasal 3 Pergub No.15 Tahun 2010 sudah sesuai dengan perspektif peraturan perundang-undangan?

C. Literatur Review 1. Negara Hukum

Konsep negara hukum berawal dari Ajaran John Locke yang sangat penting adalah gagasan persamaan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Lahirnya pemikiran tersebut dikarenakan timbulnya kesewenang-weangan penguasa kepada rakyat. Selain itu, Ajaran yang mendukung lahirnya konsep negara hukum adalah ajaran yang dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan merupakan bentuk dari kontrol kekuasaan kepada kekuasaan pemerintahan. Baik Ajaran John Locke dan Montesquieu menjadi awal dari konsep negara hukum yang berkembang pada saat itu dikenal dengan negara hukum penjaga malam yang memiliki tugas yaitu untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Kekuasaan negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban ternyata membuat pemerintah tersbut bersifat pasif. Artinya rakyat dibiarkan berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan sosialnya tanpa adanya campur tangan pemerintah. Pemerintah akan ikut campur tangan apabila timbul

(7)

masalah dibidang keamanan dan ketertiban. Situasi demikian dalam perkembangannya membuat kekuasaan pemerintah kaku karena dalam memenuhi kehidupan sosialnya rakyat yang tidak berdaya kalah bersaing dengan pemilik modal. Sehingga lahirlah ajaran negara hukum formal yang dikemukakan oleh Julius Stahl, antara lain:3 Pertama, Perlindungan hak-hak asasi manusia; Kedua, Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; Ketiga, Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan Keempat, Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Ajaran negara hukum formal merupakan perkembangan dari ajaran negara hukum penjaga malam. Artinya bahwa perlindungan hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan merupakan aspek utama dalam suatu negara. Untuk mendukung kedua hal tersebut, Julius Stahl menambahkan suatu tindakan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam negara hukum ini, setelah adanya pemisahan kekuasaan atau setelah pembagian kewenangan lembaga negara berdasarkan bidangnya masing-masing. Maka kewenangan pemerintah bertindak dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak boleh melebihi kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan ini merupakan bentuk kontrol pada setiap kekuasaan bertindak pemerintah. Apabila terdapat tindakan pemerintah tidak berdasarkan kewenangannya maka tindakan tersebut dapat diuji di peradilan administrasi. Jika segala bentuk tindakan penyelenggaraan pemerintahan yang harus dipedomani suatu pengaturan dalam perundang- undangan terlebih dahulu, maka dapat dikatakan pemerintah akan kaku dan lamban dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Tindakan pelayanan Pemerintah yang lamban kepada masyarakat mendorong lahirnya konsep negara hukum kesejahteraan. Dalam konteks ini dikatakan bahwa konsep negara hukum kesejahteraan merupakan bentuk penyempurnaan negara hukum formal atau disebut dengan negara hukum materiil.4 Perbedaan negara hukum kesejahteraan dan negara hukum sebelumnya terletak pada kedudukannya yang berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, di satu pihak, pemerintah berkedudukan sebagai penguasa yang berwenang membuat aturan; Kedua, Pemerintah berkedudukan sebagai pelayan masyarakat (public servant) yang bertugas mengurus, menyelenggarakan, dan melayani segenap urusan dan kepentingan masyarakat.5

3 Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 3.

4 Ibid., hlm. 37.

5 Ibid., hlm. 42.

(8)

Baik negara hukum formal dan materiil memiliki persamaan, namun bentuk negara hukum materiil lebih luas. Dalam negara hukum materiil, Pemerintah berkedudukan sebagai penguasa harus diperhadapkan bertindak untuk mengatur masyarakat, baru kemudian melakukan tindakan untuk melayani segenap kepentingan masyarakat guna mencapai titik kesejahteraan masyarakat tersebut. Artinya baik negara hukum formal maupun negara hukum materiil bertitik tolak suatu tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu tindakan untuk mengatur masyarakat dengan membentuk aturan.

Umumnya dalam masyarakat mengetahui bahwa proses pembentukan aturan hanya dibentuk lembaga legislatif atau dibentuk lembaga legislatif dengan persetujuan Presiden (eksekutif). Dalam perkembangannya pemerintah dalam hal ini eksekutif dapat membentuk aturan. Tugas pembentukan aturan kepada lembaga eksekutif tersebut merupakan bentuk pendelegasian kewenangan dalam pembentukan aturan positif. Dasar pendelegasian yaitu dikarenakan pemerintah sebagai pelayan masyarakat, diasumsikan hanya pemerintah yang mengetahui kebutuhan masyarakat tersebut dan pemerintah yang langsung bertemu dengan masyarakat.

Tindakan melayani pemerintah kepada masyarakat harus didasarkan peraturan perundang- undangan terlebih dahulu, karena disamping itu dapat bertindak diluar peraturan perundang- undangan yang berlaku. Untuk itu disaat pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dirasa belum ada aturan yang mendasarinya, maka Pemerintah dapat membuat aturan perundang- undangan sebagai dasar bertindak. Akan tetapi perlu diperhatikan kewenangan apa yang didelegasikan kepada pemerintah yang dapat dibentuk secara otonom oleh pemerintah tersebut.

Karena kewenangan pembentukan perundang-undangan yang didelegasikan kepada pemerintah tersebut terbatas. Konsekuensinya adalah disaat pemerintah membentuk peraturan perundang- undangan secara otonom bagaimanapun juga tidak boleh menyimpang dari perundang-undangan yang telah dibentuk lembaga legislatif bersama dengan eksekutif. Untuk itu pemerintah harus memahami sistem tata urutan perundang-undangan yang berlaku agar timbul kesesuaian isi dan tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan kebutuhan masyarakat dalam negara hukum kesejahteraan.

2. Hierarkhi peraturan perundang-undangan

Membahas Hierarkhi peraturan perundang-undangan maka tidak akan pernah lepas dari

(9)

teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).6

Selanjutnya Hans Nawiasky mengembangkan teori Hans Kelsen yang dalam bukunya berjudul “Allgemeine Rechtslehre” bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu:

 Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

 Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara)

 Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang Formal)

 Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom)7

Setiap negara yang berdasarkan hukum dewasa ini turut serta dalam mengelompokkan norma-norma. Sama halnya dengan Indonesia yang menganut pengelompokan norma tersebut.

Pasal 7 ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi bahwa “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah;

Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Diperhadapkan pada teori yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky dengan UU No.12 Tahun 2011 maka hierarki perundang-undangan sebagai berikut:

Hans Nawiasky UU No.12 Tahun 2011 Kelompok I Staatsfundamentalnorm

(Norma fundamental Negara)

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara (Pasal 2) yang terdapat dalam

6 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007), halaman 41.

7 Ibid., halaman 44-45.

(10)

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Kelompok II Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara)

UUD 1945

Kelompok III Formell Gesetz (Undang- Undang Formal)

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang

Kelompok IV Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana &

Aturan Otonom)

1. Peraturan Pemerintah;

2. Peraturan Presiden;

3. Peraturan Daerah Provinsi;

dan

4. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pembagian tersebut dapat memperlihatkan bahwa dalam doktrin yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky bahwa peraturan gubernur berada dalam kelompok keempat. Sebagai kelompok IV, Peraturan Gubernur tidak diperbolehkan bertentangan dengan kelompok III yang terdapat undang- undang. Fungsi pengaturan yang didelegasikan kepada peraturan gubernur harus memuat kejelasan yang terperinci. Jangan sampai menimbulkan norma baru yang justru dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda dengan pengaturan diatasnya.

A. Hamid S. Attamimi menyebutkan bahwa dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pendelegasian peraturan perundang-undangan diantaranya:8

a. Asas delegasi yang tidak dibenarkan dan delegasi yang diharapkan: ada kalanya delegasi pengaturan dari undang-undang misalnya, kepada peraturan pemerintah dianggap tidak pada tempatnya. Hal-hal itu terutama mengenai pengaturan yang harus dilakukan oleh undang-undang sendiri, seperti perlindungan hak-hak dasar manusia dan warga negara, jaminan persamaan di depan hukum, penetapan pajak, dll.

b. Asas delegatus non potest delegari: penerima delegasi tidak berwenang mendelegasikan lagi tanpa persetujuan pemberi delegasi.

8 A. Hamid S. Attamimi, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana, Jakarta, 1990, halaman 348-351.

(11)

c. Asas menjalankan undang-undang: wewenang pembentukan peraturan yang didelegasikan oleh suatu atau beberapa undang-undang kepada suatu atau beberapa peraturan pemerintah adalah terbatas, yaitu hanya untuk maksud tertentu saja.

3. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan

Asas-asas dalam pembentukan perundang-undangan pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu yaitu asas-asas formal dan asas-asas material. Oleh A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya dijelaskan sebagai berikut:9

Dalam asas-asas formal terbagi dalam:

1. Asas tujuan yang jelas, dalam asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-unangan yang akan dibentuk tersebut.

2. Asas perlunya pengaturan, asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan.

3. Asas organ/lembaga yang tepat, memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang- undangan yang bersangkutan.

4. Asas materi muatan yang tepat.

Sedangkan untuk asas-asas material memiliki perincian sebagai berikut:

1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;

2. Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

3. Asas sesuai dengan prinsip-prinip negara berdasar atas hukum;

4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasr sistem konstitusi.

D. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum doktrinal (normatif), maka sumber datanya disebut bahan hukum. Bahan hukum adalah segala sesuatu yang dapat

9 Ibid., halaman 336.

(12)

dipakai atau diperlukan untuk tujuan menganalisis hukum yang berlaku.10 Baham hukum dimaksud bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data sekunder. Maka jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian antara lain yaitu a. bahan hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan, dan Pergub No.15 Tahun 2010; bahan hukum sekunder yaitu buku-buku referensi, hasil karya ilmiah para sarjana; serta bahan hukum tersiernya yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti misalnya kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

E. Pembahasan

Pergub Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 pada dasarnya dibentuk hanya untuk merubah ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masayarakat di Kalimantan Tengah.

Konsekuensinya bahwa keberadaan Pergub Kalimantan Tengah No.52 Tahun 2008 masih tetap berlaku selain ketentuan pengaturan pasal 3.

Dalam sistem ilmu perundang-undangan hal demikian tidak akan menjadi masalah, namun perlu diperhatikan materi pengaturannya jangan sampai menimbulkan prolematika hukum.

Perubahan yang terjadi dalam pasal 3 berbunyi bahwa:

1. setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan perkarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang sebagaimana tercantum dalam pergub ini.

2. pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota.

3. kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:

a. camat, untuk luas lahan diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;

b. Lurah/Kepala Desa, untuk wilayah diatas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;

c. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 ha.

4. pemberian izin untuk pembakaran secara komulatif pada wilayah dan hari yang sama:

10Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2013) halaman 16.

(13)

a. Tingkat Kecamatan maksimal 100 ha atau, b. Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha.

Pengaturan demikian berbeda dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan berbunyi bahwa:

1. Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.

2. Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.

3. Pembakaran lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering.

4. Kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika.

Secara substansi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan bahwa Masyarakat hukum adat akan diperbolehkan melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga, berbeda dengan Pergub Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 menambahkan hingga luas maksimum 5 hektar.

Pergub Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksana dari Perda Kalimantan Tengah No.5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Sebagai peraturan pelaksana maka keberadaannya merupakan bentuk dari pendelegasian kewenangan membentuk aturan dari yang lebih tinggi ke lebih rendah. Sebagai konsekuensinya tidak boleh timbul perluasan makna dari ketentuan yang sudah diatur sebelumnya dalam aturan yang terdahulu.

Penjelasan dalam ayat 2 UU No.32 Tahun 2009 dalam memberikan definisi Kearifan lokal memperbolehkan melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Adanya pembatasan hingga 2 hentar sebenarnya

(14)

untuk mengimbangi pelarangan pembukaan lahan dengan cara membakar agar tidak terjadi bencana asap sebagai akibat maraknya pembakaran hutan yang sering terjadi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi bahwa “setiap orang dilarang: melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Akan tetapi diberikan pengecualian bagi kearifan lokal untuk pembukaan lahan dengan cara membakar, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa

“ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.

Berdasarkan ketentuan materi pengaturan perundang-undangan sebagai pelaksana aturan dari atasnya, maka sudah ada pembatasan norma untuk diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana.

Oleh sebab itu hak untuk membakar diberikan sepanjang berpedoman pada kearifan lokal yang terjadi dalam satuan masyarakat di wilayah tertentu. Untuk tidak terdapat suatu asas materi muatan yang tepat oleh pembentuk Pergub tersebut.

F. Kasimpulan dan Saran 1. Kesimpulan

Uraian dan rangkaian yang penulis sudah paparkan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Bahwa Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah telah bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undanga diatasnya. Pembukaan lahan dengan cara membakar pada dasarnya dilarang namun diberikan pengecualian bagi kearifan lokal. Walaupun demikian dibatasi hingga 2 hektar. Akan tetapi didalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 memperluas pengaturannya yang memperbolehkan hingga 5 hektar.

b. Adanya perluasan pengaturan pembukaan lahan dengan cara membakar hingga 5 hektar tidak sesuai dengan asas formal dalam pembentukan perundang-undangan yang harus memperhatikan Asas materi muatan yang tepat. Maksudnya adalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus diseuaikan dengan kesesuaian hierarki perundang- undangannya yang tentunya berimplikasi terhadap materi yang akan diatur dalam bentuk

(15)

peraturan pelaksana.

2. Saran

a. Ketentuan dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah harus diubah dan disesuaikan materi muatannya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup agar sesuai dengan ketentuan pembentukan perundang-undangan.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Karya Ilmiah:

A. Hamid S. Attamimi, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana, Jakarta, 1990.

Farida Indrati S, Maria, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), (Yogyakarta:

Kanisius, 2007).

Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003).

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013)

Sidharta , B. Arief, Hukum dan Logika, (Bandung: Alumni, 2013).

Peraturan Perundang-Undangan:

UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.

Referensi

Dokumen terkait

-" Arteri radialis umumnya dikanulasi karena lokasinya yang superfiial dan aliran kolateral yang substansial !pada sebagian besar pasien arteri ulnar  adalah lebih

Seleksi, bakteri dan optimasi bakteri pada bioremediasi lahan tercemar minyak bumi sangat diperlukan agar bakteri yang bekerja pada proses bioremediasi mampu beradaptasi

Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 38 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 43 Tahun 2016 Tentang Penelusuran Kader Potensial (Talent

Dari hasil analisis yang telah dilakukan penulis, maka penulis dapat mengetahui kinerja efisiensi Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional dengan menggunakan Multi-

Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 70 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa

Bedasarkan beberapa pengertian di atas maka melalui anggaran negara tidak hanya dapat diketahui besarnya rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah untuk periode

Merupakan pengujian kekasaran permukaan dari 5 jenis material yang telah dibubut, hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai Ra(µm) ( kekasaran permukaan ) setiap 15 mm

Berdasarkan uji mann-Whitney dimana uji statistik ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan dari dua sampel yang independen serta uji mann-Whitney