1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Ketidaksetaraan akses kesehatan telah menjadi agenda kebijakan di banyak negara di seluruh dunia (Johar, 2009). Salah satu hambatan akses ke pelayanan kesehatan untuk masyarakat marginal di banyak negara adalah kendala keuangan (Acharya et al., 2012). Masyarakat di negara miskin cenderung kurang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih berkembang dan maju, meskipun dalam negara-negara tersebut masyarakat miskin tetap masih kurang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan (Peter et al., 2008). Diperkirakan 1,3 miliar masyarakat miskin di dunia tidak memiliki akses ke layanan kesehatan hanya karena mereka tidak mampu membayar ketika mereka membutuhkan (Preker et al., 2002) dan banyak dari mereka yang setelah menggunakan layanan kesehatan mengalami kesulitan keuangan atau mengalami pemiskinan karena keharusan mereka untuk membayar (WHO, 2010). Akses pada pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi yang aman dan efektif menurut kesepakatan International Conference Population and Development (ICPD) di Kairo Mesir adalah sebagai hak asasi manusia (UNFPA and Rights, 2013) dan perlindungan terhadap hak asasi setiap warga menjadi kewajiban setiap negara.
Secara historis, status sosial ekonomi secara kuat dan konsisten telah diasosiasikan dengan penggunaan alat kontrasepsi dalam studi demografi di negara- negara berkembang (Schoemaker, 2005). Dari supply-side penggunaan kontrasepsi yang lebih rendah pada populasi yang berpenghasilan kecil disebabkan oleh kendala keuangan dan keadaan geografis yang terisolasi (Ravenholt and Chao, 1974). Dari sisi demand-side dijelaskan jika kecenderungan negatif penggunaan alat kontrasepsi pada perempuan miskin disebabkan oleh faktor sosial budaya dan faktor sikap, seperti pertimbangan anak-anak untuk menjadi aset ekonomi potensial dan nilai yang tinggi untuk keluarga yang besar (Feyisetan and Casterline, 2000).
Tren pemakaian kontrasepsi di Indonesia mengalami penurunan dari 61,9%
(SDKI 2012) menjadi 61,1% (PMA2020) di tahun 2015. Penurunan pemakaian kontrasepsi ini diikuti dengan kenaikan angka unmet need dari 11% (SDKI 2012) menjadi 14,4% (PMA2020) di tahun 2015. Angka unmet need ini masih jauh dari target (Rencana jangka panjang dan menengah nasional) RPJMN tahap III yang berada pada angka 10,1% di tahun 2018 (KPPN and BPPN, 2014). Data SDKI 2012 menunjukkan angka unmet need tertinggi terjadi pada wanita di kuintil kekayaan terbawah dengan angka unmet need mencapai angka 13,5% dibandingkan dengan wanita yang berada pada kuantil kekayaan yang lainnya. Data yang berbeda ditunjukkan pada hasil PMA2020 di tahun 2015 dimana angka unmet need tertinggi terjadi pada wanita dengan kuintil kekayaan teratas dengan angka 17,1%.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan angka unmet need, antara lain peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB serta jaminan ketersediaan kontrasepsi terutama bagi keluarga miskin dan rentan lainnya, pasangan usia subur muda dan paritas rendah (pusmupar), masyarakat daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan (galciltas); serta daerah dengan angka unmet need KB dan angka kematian ibu (AKI) tinggi (Pujihasvuty and Winarni, 2011).
Kebijakan untuk mengatasi permasalahan pembiayaan KB telah dimulai pada masa krisis moneter, dimana pemerintah mencanangkan program jaring pengaman sosial bidang KB (JPS-KB) sebagai salah satu cara untuk mengatasi turunnya pembiayaan KB dari pemerintah pada saat harga kontrasepsi meningkat sangat tajam (Schoemaker, 2005). Pada 2006 pemerintah mengeluarkan kebijakan menanggung biaya pelayanan kesehatan, termasuk KB bagi masyarakat miskin melalui program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) atau yang dikenal dengan Asuransi Keluarga Miskin (Askeskin).
Tahun 2014 adalah tahun diluncurkannya jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia (BKKBN, 2014) sebagai perwujudan implementasi UHC yang digagas World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan termasuk sebagai usaha untuk mengurangi hambatan finansial (WHO, 2010). Tantangan yang akan dihadapi dalam penerapan UHC ialah pemberian pelayanan dan kemudahan
akses pada kualitas pelayanan serta perlindungan dari risiko pembiayaan setiap orang yang membutuhkan pelayanan tersebut (Wilopo, 2014). Di Indonesia, pembayaran pelayanan kesehatan sebagian besar masih out-of-pocket (OOP) pada saat pembelian atau penyediaan jasa (Johar, 2009). Berdasarkan kepemilikan asuransi, didapatkan data jika hanya 49,5% penduduk Indonesia yang memiliki asuransi kesehatan (Kemenkes, 2013). Dari pelayanan kontrasepsi, data SDKI 2012 menunjukkan jika sumber pelayanan swasta adalah sumber pelayanan kontrasepsi yang paling banyak diakses oleh akseptor dengan persentase sebesar 72,7%, dimana 89% dari keseluruhan akseptor membayar untuk metode kontrasepsi yang mereka gunakan (BPS, 2013).
Tingginya angka pelayanan di sektor swasta dan pembayaran yang dikeluarkan oleh akseptor untuk mendapatkan metode kontrasepsi dan jasa, menunjukkan tingginya angka kemandirian pemakaian kontrasepsi di Indonesia.
Kemandirian dalam ber-KB mengandung arti adanya sikap mental untuk tidak tergantung kepada orang lain, sikap mental untuk mandiri dalam berkontribusi, serta adanya partisipasi pihak swasta dalam menunjang usaha-usaha kemandirian dalam KB (BKKBN, 2012a). Sikap mental yang demikian tidak lagi dapat diterapkan pada era UHC, sebab peserta KB tidak lagi membayar pelayanan secara langsung tetapi melalui pembayaran premi asuransi, biaya pelayanan KB akan dibayar secara non kapitasi - Indonesia case base group (INA-CBG), penyediaan kontrasepsi dasar tidak hanya terbatas pada masyarakat miskin tetapi semua peserta UHC (Wilopo, 2014).
Penerapan sistem asuransi untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan pola pembiayaan kesehatan termasuk KB.
Kepemilikan asuransi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kontrasepsi. Analisis penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dampak kepemilikan asuransi terhadap pembiayaan alat kontrasepsi WUS di Indonesia.
Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengembangan manfaat kepemilikan asuransi kesehatan terhadap pembiayaan alat kontrasepsi pada WUS di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Akses pelayanan KB kepada masyarakat menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi pelaksana program KB saat ini. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka unmet need khususnya pada wanita dengan kuintil kekayaan terbawah. Kebijakan pembiayaan KB dengan keluarga miskin sebagai sasaran utama telah beberapa kali dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui jika hal ini berdampak positif kepada keluarga kecil.
Menurunnya angka unmet need pada keluarga miskin ketika keluarga miskin ini mendapatkan bantuan pembiayaan KB menjadi salah satu buktinya.
Pembiayaan program KB telah mengalami perubahan seiring dengan implementasi UHC melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang mulai dilaksanakan di awal tahun 2014. Pola pembiayaan KB akan mengikuti pola pembiayaan asuransi, dimana masyarakat akan menerima pelayanan berdasarkan paket yang telah disediakan. Perbedaan pelayanan bagi masyarakat yang telah memiliki asuransi tidak ada lagi. Perbedaan hanya ada pada sumber pembayaran premi asuransi, dimana bagi masyarakat tidak mampu, iuran yang harus dibayar akan dibantu oleh negara melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Pemberian pelayanan, kemudahan akses pada kualitas pelayanan serta perlindungan dari risiko pembiayaan yang dilakukan melalui asuransi merupakan tantangan yang akan dihadapi oleh pelaksana program KB. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan penelitian ini dirumuskan “apakah terdapat pengaruh kepemilikan asuransi kesehatan terhadap pembiayaan alat kontrasepsi WUS di Indonesia?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Mengkaji pengaruh kepemilikan asuransi kesehatan dengan pola pembiayaan alat kontrasepsi WUS di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik WUS yang memiliki asuransi kesehatan.
b. Mengetahui pola pembiayaan alat kontrasepsi WUS di Indonesia.
c. Mengetahui hubungan antara faktor individu dan kontekstual dengan kepemilikan asuransi dan pembiayaan alat kontrasepsi WUS di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dalam pengembangan pembiayaan alat kontrasepsi wanita usia subur melalui asuransi sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan KB secara merata di Indonesia.
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi mengenai ketepatan pembiayaan alat kontrasepsi melalui asuransi untuk merancang intervensi yang lebih efektif bagi masyarakat dan pemerintah, dalam upaya meningkatkan penggunaan KB di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran literatur didapatkan beberapa hasil penelitian sejenis yang menjadi acuan dari penelitian ini:
1. Baroya (2010) pada penelitian yang berjudul “Dampak Positif Perubahan Kebijakan Pembiayaan Keluarga Berencana Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Kontrasepsi Keluarga Miskin”. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan kebijakan pembiayaan KB yang tepat sasaran pada keluarga miskin, dapat menurunkan peluang terjadinya unmet need KB pada keluarga miskin disertai dengan upaya peningkatan pengetahuan KB pada individu dan komunitas.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel pembiayaan KB dimana jika dalam penelitian sebelumnya pembiayaan KB dianalisis dalam konteks kebijakan dan berfungsi sebagai variabel bebas, maka dalam penelitian ini, pembiayaan KB dianalisis dalam konteks pola pembiayaan pada level individu
dan menjadi variabel terikat. Persamaan dengan penelitian ini, terdapat pada penggunaan data sekunder sebagai sumber data yang digunakan.
2. Johar (2009) pada penelitian yang berjudul “The Impact of the Indonesian Health Card Program: A Matching Estimator Approach”. Hasilnya menemukan bahwa secara umum program kartu sehat hanya memiliki dampak terbatas pada konsumsi pelayanan kesehatan primer oleh penerimanya. Temuan ini menunjukkan adanya faktor lain yang menangkal insentif permintaan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilaksanakan ada pada penggunaan data sekunder dan variabel bebas. Pada penelitian Johar (2009) ini variabel bebas yang digunakan hanya health card program (Askes) sedangkan dalam penelitian ini variabel bebas yang digunakan adalah kepemilikan asuransi kesehatan secara keseluruhan.
3. Pujihasvuty and Winarni (2011) dalam judul penelitian “Pola Pembiayaan Pelayanan Kontrasepsi di 6 (enam) Provinsi di Indonesia dalam Rangka Evaluasi Kebijakan Alat dan Obat Kontrasepsi Gratis” dengan hasil analisis menunjukkan bahwa pola pembiayaan pelayanan KB dengan membayar alat/cara KB masih cukup tinggi di 6 (enam) provinsi, dengan persentase paling tinggi yaitu Provinsi Maluku Utara kemudian Nusa Tenggara Barat, Maluku, Aceh, Papua Barat, dan terendah Nusa Tenggara Timur. Sebagaian provinsi menunjukkan pola hubungan positif antara tingkat pendidikan atau tahapan keluarga sejahtera dengan pembiayaan alat/cara KB. Sementara sebagian provinsi lainnya menunjukkan pola hubungan yang tidak beraturan. Perbedaan mendasar dari penelitian ini dengan penelitian yang dilaksanakan adalah sumber data dan analisis data yang digunakan. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder dengan analisis deskriptif, sedangkan penelitian yang dilaksanakan hanya menggunakan data sekunder dengan analisis univariabel, bivariabel dan multivariabel.
4. Aji et al. (2013) dalam judul penelitian “The Impact of Health Insurance Programs on Out-of-Pocket Expenditures in Indonesia: An Increase or Decrease?” dengan hasil menunjukkan bahwa Askeskin dan Askes sebagai dua program asuransi kesehatan terbesar di Indonesia secara efektif mengurangi
pengeluaran saku rumah tangga. Penelitian ini menyebutkan jika kemampuan dua program ini dalam menawarkan perlindungan keuangan melalui pengurangan pengeluaran rumah tangga cenderung memberikan manfaat langsung dalam paket manfaat dan kebijakan urun biaya. Perbedaan penelitian terdapat pada variabel terikat, dalam penelitian ini variabel terikat yang digunakan adalah pengurangan biaya out of pocket sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan variabel terikat yang digunakan adalah pola pembiayaan alat kontrasepsi pada WUS di Indonesia. Jika asuransi kesehatan yang menjadi variabel bebas utama di penelitian yang dilaksanakan, maka pada penelitian Aji et al. (2013) asuransi kesehatan hanya menjadi satu bagian dari beberapa variabel bebas yang digunakan. Persamaan penelitian ada pada sumber data yang menggunakan data sekunder.
5. Bearak et al. (2015) dalam penelitian “Changes in Out-of-Pocket Cost for Hormonal IUDs after Implementation of the Affordable Care Act: An Analysis of Insurance Benefit Inquiries”. Hasil penelitian ini menunjukkan jika di Januari 2012, 58% perempuan harus mengeluarkan biaya out of pocket untuk mendapatkan IUD dan mengalami penurunan menjadi 13% di Maret 2015.
Penurunan ini diperkirakan sebagai akibat dari diberlakukannya the affordable care act (ACA) di Agustus 2012. ACA ini juga diperkirakan dapat menurunkan inequality diantara perempuan yang memiliki asuransi, dengan mempertimbangkan perbedaan usia dan wilayah. Persamaan dengan penelitian ini ada pada analisis penggunaan asuransi kesehatan yang menjadi variabel bebas. Perbedaannya terdapat pada variabel terikat, jika penelitian ini menggunakan biaya pemasangan IUD maka penelitian dilakukan dengan menggunakan pola pembiayaan alat kontrasepsi pada wanita usia subur yang ada di Indonesia. Jika Bearak et al. (2015) menggunaan data primer, maka pada penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan data sekunder.