• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi pendapatan dan pengeluaran sekaligus dalam satu kerangka dasar yakni distribusi pendapatan dan pengeluaran faktor-faktor produksi, rumah tangga dan sektor produksi. Karena ketiganya memuat unsur pendapatan dan pengeluaran, atau dalam bahasa akuntansi dikatakan debet dan kredit, akhirnya ketiga distribusi pendapatan tersebut biasa disebut juga masing-masing neraca faktor produksi, neraca institusi dan neraca komoditi. Tiga neraca ini dalam kerangka dasar SNSE merupakan faktor endogen yang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang masuk dalam sistem. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya dikatakan sebagai faktor eksogen yang tersusun dalam neraca eksogen meliputi sisi penerimaan yakni subsidi, Pertambahan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan ekspor, serta sisi pengeluaran yakni margin perdagangan dan pengangkutan, tabungan, pajak dan impor.

Beranjak kepada bentuk kerangka dasar SNSE tersebut, berikut ini akan diuraikan dan dijelaskan struktur pendapatan dan pengeluaran masing-masing aktivitas neraca yang terbagi atas struktur nilai tambah, rumah tangga dan sektor- sektor produksi. Selain itu untuk melihat seberapa besar peranan dari sektor- sektor produksi dalam perekonomian Indonesia juga dipaparkan nilai-nilai multiplier atau angka pengganda dari setiap sektor produksi yang mencakup multiplier nilai tambah, multiplier rumah tangga, multiplier produksi dan multiplier total output.

(2)

6.1. Struktur Nilai Tambah

Dalam konteks makroekonomi, salah satu ultimate goal yang ingin dicapai dalam pembangunan ekonomi suatu negara adalah mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Oleh karena pertumbuhan ekonomi sangat dibutuhkan sebagai sumber peningkatan standar hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya terus meningkat. Para ahli ekonomi beranggapan bahwa apabila pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan pertumbuhan penduduk, maka tingkat kesejahteraan penduduk akan meningkat. Sebaliknya jika pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi, maka tingkat kesejahteraan penduduk akan terdistorsi menjadi lebih rendah dari tingkat semula.

Seandainya pertumbuhan ekonomi tersebut diukur berdasarkan pendekatan nilai tambah produksi, dimana secara agregat produksi tersebut dapat dibagi atas tiga kelompok sektor, akan dapat diketahui sektor-sektor mana yang paling berperan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, apakah sektor primer, sekunder atau tersier. Lazimnya di negara-negara yang sudah maju, pertumbuhan ekonominya lebih banyak dipacu oleh sektor-sektor sekunder dan tersier, sedangkan di negara-negara sedang berkembang yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi adalah sektor-sektor primer dan sekunder. Sebagai contoh di Indonesia yang termasuk dalam negara sedang berkembang, berdasarkan kajian Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2008 terlihat bahwa kontribusi sektor sekunder yakni sektor industri pengolahan terhadap penciptaan nilai tambah atau Produk Domestik Bruto (PDB) sangat menonjol mencapai 27.64 persen, yang kemudian disusul oleh sektor-sektor primer yaitu sektor pertanian dan pertambangan masing-masing sebanyak 14.94 persen dan 10.69 persen.

(3)

Dengan demikian, kedua kelompok sektor ini (sekunder dan primer) menguasai pangsa PDB Indonesia kurang lebih sekitar 53.27 persen, sisanya 46.73 persen diberikan oleh sektor-sektor tersier dimana yang paling besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu 13.97 persen, perhatikan Tabel 22.

Tabel 22. Struktur Ekonomi Indonesia Berdasarkan Kajian Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2008

Sektor Nilai %

Pertanian 711 830.20 14.94

Pertanian tanaman pangan 352 453.13 7.40

Pertanian tanaman lainnya 107 568.07 2.26

Peternakan dan hasil-hasilnya 84 505.97 1.77

Kehutanan dan perburuan 38 855.07 0.82

Perikanan 128 447.96 2.70

Pertambangan dan penggalian 509 227.04 10.69

Industri pengolahan 1 316 963.12 27.64

Industri makanan, minuman dan tembakau 342 719.92 7.19 Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 97 156.52 2.04

Industri kayu & barang dari kayu 62 355.01 1.31

Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen 62 508.87 1.31

Industri pupuk anorganik 77 666.05 1.63

Industri pupuk organik 690.02 0.01

Industri lainnya 673 866.73 14.14

Listrik, gas dan air bersih 49 076.55 1.03

Konstruksi 403 070.59 8.46

Konstruksi jalan dan jembatan 47 393.96 0.99

Konstruksi irigasi 22 015.87 0.46

Konstruksi lainnya 333 660.76 7.00

Perdagangan, restoran dan hotel 665 841.63 13.97

Angkutan, komunikasi, js penunjang angkt & pgudangn 302 644.16 6.35 Keuangan, real estate & js perusahaan 354 650.79 7.44

Jasa-jasa lain 451 648.15 9.48

Total PDB 4 764 952.23 100.00

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

Adapun yang menjadi motor penggerak pembangunan sektor industri selama ini adalah industri makanan, minuman dan tembakau yang mampu

(4)

memberi kontribusi paling besar terhadap PDB Indonesia dibandingkan sektor- sektor industri lainnya yakni sebesar 7.19 persen. Industri pupuk yang menjadi fokus pembahasan dalam studi kali ini hanya mampu memberi andil terhadap penciptaan PDB sebesar 1.64 persen, kalah jauh dibandingkan dengan industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit yang mencapai 2.04 persen dari total PDB.

Sementara untuk sektor pertanian yang paling besar adalah sektor tanaman pangan sebanyak 7.40 persen, menyusul sektor tanaman lainnya (perkebunan) sebesar 2.26 persen dan sektor perikanan sebesar 2.70 persen.

Dalam penyajian SNSE, nilai tambah atau PDB yang dihasilkan oleh suatu sektor produksi dapat didisagregasi menjadi tiga komponen besar meliputi pengeluaran upah tenaga kerja, modal dan pajak tak langsung. Melalui ketiga komponen tersebut dapat diamati aliran pendapatan yang dihasilkan oleh suatu sektor produksi terdistribusi kemana saja, apakah rumah tangga pemilik tenaga kerja, rumah tangga pemilik modal, atau pemerintah sebagai penerima pajak.

Dengan mengamati hal tersebut dapat ditelusuri distribusi pendapatan nilai tambah yang diciptakan oleh suatu sektor produksi.

Berdasarkan kajian distribusi pendapatan nilai tambah yang disajikan dalam Tabel 23, tergambarkan dengan jelas bahwa sebagian besar sektor pertanian memberikan nilai tambahnya kepada faktor tenaga kerja dengan rata-rata 57.16 persen per sektor dari total nilai tambah yang diciptakan, sisanya 40.42 persen mengalir ke faktor modal dan 2.42 persen ke faktor pajak tak langsung. Adapun sektor pertanian yang paling banyak mengalokasikan nilai tambah terhadap tenaga kerja adalah sektor tanaman pangan sebesar 57.27 persen dan pertanian lainnya (perkebunan) sebesar 60.27 persen dari total nilai tambah yang diciptakan.

(5)

Tabel 23. Distribusi Pendapatan Nilai Tambah Berdasarkan Kajian Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2008 (%)

Sektor Produksi

Tenaga Kerja

Modal Pajak

Tdk Langsg

Total Tenaga

kerja pert

Produksi Operator Alt Angk

Tata usaha, penjualan, jasa-jasa

Kepemim pprofesio na, teknisi

Pertanian tanaman pangan 57.27 0.20 0.21 0.27 40.99 1.06 100.00

Pertanian tanaman lainnya 60.27 1.11 1.07 0.74 35.28 1.52 100.00

Peternakan dan hasil-hasilnya 56.09 1.81 1.65 1.43 36.55 2.47 100.00

Kehutanan dan perburuan 37.82 3.29 2.90 2.49 48.86 4.63 100.00

Perikanan 40.12 0.87 0.95 0.70 55.91 1.44 100.00

Tambg batubara, bijih lg migas&pns bumi - 6.92 3.80 2.78 80.12 6.37 100.00 Pertambangan dan penggalian lainnya - 48.17 5.27 8.11 34.90 3.54 100.00 Industri makanan, minuman dan tembakau - 23.37 5.21 2.26 47.63 21.53 100.00 Industri pemintalan, tekstil, pakaian&kulit - 33.95 5.00 2.04 55.17 3.83 100.00 Industri kayu & barang dari kayu - 35.87 2.72 2.59 54.94 3.89 100.00 Industri kertas, perctk, alt angk & brg lgm - 23.55 5.88 2.82 63.64 4.11 100.00 Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen - 55.42 8.00 9.88 25.96 0.74 100.00

Industri pupuk anorganik - 18.79 8.06 7.81 55.49 9.86 100.00

Industri pupuk organik - 48.96 23.51 7.69 15.46 4.38 100.00

Listrik, gas dan air bersih - 14.37 8.54 5.54 65.31 6.24 100.00

Konstruksi jalan dan jembatan - 36.16 5.06 6.96 47.90 3.92 100.00

Konstruksi irigasi - 44.69 18.60 12.78 20.39 3.54 100.00

Konstruksi lainnya - 31.81 4.28 5.93 54.95 3.02 100.00

Perdagangan, restoran dan hotel - 2.69 51.72 2.89 39.06 3.64 100.00

Angkt, komnks, js pnjng angk& pergdg - 29.44 11.29 3.75 53.38 2.13 100.00

Bank dan asuransi - 0.87 26.56 6.39 64.76 1.43 100.00

Real estate dan jasa perusahaan - 2.75 15.31 6.86 70.64 4.45 100.00

Pemerinth&perthn, pendk, keseht, film dll - 4.07 27.43 48.60 15.88 4.03 100.00 Jasa perseorgn, rt & js lainnya - 15.30 24.67 8.24 47.22 4.58 100.00

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

Di kelompok industri, sektor yang mampu memberi nilai tambah paling besar terhadap tenaga kerja adalah industri kimia, hasil dari tanah liat, semen, serta industri pupuk organik, masing-masing sebesar 55.42 persen dan 48.96 persen dari total nilai tambah yang dihasilkan. Ini berarti kedua sektor industri tersebut terindikasi merupakan sektor-sektor yang padat karya. Sedangkan sektor- sektor industri lainnya merupakan padat modal seperti (1) industri makanan, minuman dan tembakau, (2) industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit,

(6)

(3) industri kayu dan barang dari kayu, (4) industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam, dan (5) industri pupuk anorganik. Kelima sektor industri ini rata-rata mengucurkan pendapatan untuk faktor modal sekitar 55.37 persen per sektor dari masing-masing total nilai tambah yang dihasilkan.

Jika diamati secara terpisah pada faktor modal saja, terlihat bahwa ada dua sektor yang paling dominan menghasilkan nilai tambah modal yakni sektor penambangan batubara, bijih logam, minyak, gas dan panas bumi, serta sektor real estate dan jasa perusahaan. Kedua sektor ini mengalokasikan untuk pendapatan modal dari total nilai tambah yang dihasilkan sebanyak 80.12 persen untuk sektor sektor penambangan batubara, bijih logam, minyak, gas dan panas bumi, dan sebesar 70.64 persen pada sektor real estate dan jasa perusahaan.

Hanya ada satu sektor produksi yang mampu membagikan nilai tambah pajak di atas 20 persen yakni sektor industri makanan, minuman dan tembakau (sebesar 21.53 persen). Sementara sektor-sektor lainnya mengalokasikan nilai tambah pajak tidak lebih dari 7 persen, dimana sektor produksi yang paling rendah mendistribusikan nilai tambah pajak dari total nilai tambahnya adalah sektor pertanian tanaman pangan sebesar 1.06 persen, dan sektor industri kimia, hasil dari tanah liat dan semen sebesar 0.74 persen.

Mengamati seluruh struktur dan alokasi nilai tambah yang diuraikan di atas maka dapat digeneralisasikan bahwa struktur perekonomian Indonesia berdasarkan kajian SNSE tahun 2008 lebih dominan pada sektor industri dengan kontribusinya kurang lebih 27.64 persen dari total nilai tambah dalam perekonomian (lihat Tabel 21). Sedangkan untuk pendistribusiannya, secara rata-

(7)

rata distribusi pendapatan nilai tambah lebih banyak kepada faktor modal mencapai 52.48 persen per sektor.

6.2. Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga

Perilaku rumah tangga dalam aktivitas ekonomi dapat diamati dari dua sisi yang berbeda. Pertama, rumah tangga sebagai pemilik tenaga kerja dan modal akan berperilaku sebagai produsen yang menawarkan jam kerja, modal dan lahan yang dimiliki kepada lembaga ekonomi yang bersifat profit atau nonprofit oriented dan public service. Rumah tangga akan memperoleh pendapatan yang berasal dari upah, tingkat bunga dan sewa berdasarkan jam kerja, modal dan lahan yang ditawarkan. Selain itu, sumber pendapatan lainnya yang diperoleh rumah tangga adalah transfer payment dimana untuk hal ini rumah tangga tidak berperilaku sebagai produsen namun sebagai penerima transfer saja. Sumber- sumber pendapatan transfer payment ini diantaranya transfer antar institusi dan luar negeri. Kedua, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya rumah tangga akan menjadi konsumen yang mengkonsumsi segala jenis barang dan jasa sesuai dengan tingkat kebutuhannya masing-masing, dimana untuk hal itu rumah tangga akan menyisihkan seluruh pendapatannya untuk membiayai pengeluaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Pengeluaran rumah tangga bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang lintas sektor, namun juga mencakup pengeluaran untuk tabungan, pajak dan transfer payment.

Secara riil tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat diukur dengan mengamati seberapa besar perbandingan antara pendapatan yang diterima dengan pengeluarannya. Andaikan rasio perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran lebih besar dari satu ini berarti rumah tangga memperoleh surplus

(8)

dan dikatakan tingkat kesejahteraannya tinggi. Sebaliknya jika rasio perbandingan lebih kecil dari satu berarti rumah tangga dalam keadaan defisit sehingga dikatakan tingkat kesejahteraannya rendah. Dalam terminologi SNSE, besarnya rasio perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga adalah satu, artinya jumlah pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran, sesuai dengan asas keseimbangan yang dianut dalam model SNSE.

Kelompok rumah tangga pada SNSE 2008 yang dianalisa dalam studi kali ini didisagregasi ke dalam 8 kelompok meliputi (1) buruh tani, (2) pengusaha tani lahan sempit, (3) pengusaha tani lahan sedang, (4) pengusaha tani lahan luas, (5) RT desa golongan rendah, (6) RT desa golongan atas, (7) RT kota golongan rendah, dan (8) RT kota golongan atas. Oleh karena itu, kajian mengenai struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga akan dibagi ke dalam 8 kelompok rumah tangga tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam ulasan berikut ini.

Pada Tabel 24, bila diperhatikan dari sumbernya, rata-rata rumah tangga memperoleh pendapatan yang lebih banyak berasal dari penawaran tenaga kerja nonpertanian, kurang lebih mencapai Rp. 192.628 juta per kelompok rumah tangga atau 40.49 persen dari total pendapatan yang diterima. Setelah tenaga kerja nonpertanian, sumber pendapatan rumah tangga lainnya yang dominan adalah kapital (kepemilikan modal) dengan rata-rata jumlah pendapatan sekitar Rp. 126.713 juta per kelompok rumah tangga atau 26.05 persen. Sesudah tenaga kerja nonpertanian dan kapital, pendapatan yang berasal dari tenaga kerja pertanian menjadi tumpuan rumah tangga berikutnya dengan rata-rata perolehan pendapatan berkisar Rp. 55.594 juta per kelompok rumah tangga atau 19.59 persen dari total pendapatan yang diterima rumah tangga. Pendapatan yang

(9)

berasal dari transfer antar rumah tangga tampaknya menjadi sumber pendapatan rumah tangga yang paling kecil. Dimana setiap kelompok rumah tangga rata-rata memperoleh pendapatan dari transfer antar rumah tangga hanya sekitar Rp. 4.726 juta atau sebesar 1.35 persen dari total pendapatan yang diterima.

Tabel 24. Struktur Pendapatan Rumah tangga Berdasarkan SNSE Tahun 2008

Sektor Prouksi

Faktor Produksi Transfer Pendapatan

Total Tenaga Kerja

Kapital RT

Lain Swasta Pemrth ROW Pertanian Non

Pertanian Nilai Pendapatan Rumah Tangga (dalam juta rupiah)

Buruh tani 69 626 65 989 6 202 6 107 4 649 57 495 1 015 211 081

Pengusaha tani lahan sempit 134 238 94 895 7 702 4 691 6 512 49 815 1 854 299 706 Pengusaha tani lahan sedang 50 361 74 053 34 220 2 904 5 196 9 102 6 028 181 864 Pengusaha tani lahan luas 41 110 45 944 72 624 2 614 7 446 3 952 5 953 179 643 RT desa golongan rendah 79 502 372 195 136 328 7 551 13 830 41 104 12 402 662 911 RT desa golongan atas 59 742 177 516 136 056 2 832 11 735 8 661 2 529 399 070 RT kota golongan rendah 5 123 508 451 214 578 8 248 21 494 31 970 16 703 806 566 RT kota golongan atas 5 048 201 981 405 992 2 859 23 465 8 649 2 439 650 434 Rata-rata 55 594 192 628 126 713 4 726 11 791 26 344 6 115 423 909 Proporsi Pendapatan Rumah Tangga (dalam %)

Buruh tani 32.99 31.26 2.94 2.89 2.20 27.24 0.48 100.00

Pengusaha tani lahan sempit 44.79 31.66 2.57 1.57 2.17 16.62 0.62 100.00 Pengusaha tani lahan sedang 27.69 40.72 18.82 1.60 2.86 5.00 3.31 100.00 Pengusaha tani lahan luas 22.88 25.57 40.43 1.46 4.15 2.20 3.31 100.00 RT desa golongan rendah 11.99 56.15 20.56 1.14 2.09 6.20 1.87 100.00

RT desa golongan atas 14.97 44.48 34.09 0.71 2.94 2.17 0.63 100.00

RT kota golongan rendah 0.64 63.04 26.60 1.02 2.66 3.96 2.07 100.00

RT kota golongan atas 0.78 31.05 62.42 0.44 3.61 1.33 0.37 100.00

Rata-rata 19.59 40.49 26.05 1.35 2.83 8.09 1.58 100.00

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

Seandainya pengamatan sekarang dialihkan ke masing-masing kelompok rumah tangga, tercermin dalam Tabel 24 bahwa ada perbedaan sumber pendapatan yang cukup mencolok diantara masing-masing rumah tangga.

Kelompok rumah tangga buruh tani dan pengusaha tani lahan sempit (petani gurem) lebih mengandalkan faktor tenaga kerja pertanian sebagai sumber

(10)

pendapatan rumah tangga, rata-rata proporsinya sekitar 38.89 persen dari total pendapatan yang diterima masing-masing rumah tangga tersebut. Sedangkan pada rumah tangga pengusaha tani lahan sedang, rumah tangga desa golongan rendah, rumah tangga desa golongan atas, dan rumah tangga kota golongan rendah, seluruhnya mengandalkan faktor tenaga kerja nonpertanian sebagai sumber pendapatan untuk menunjang kebutuhan hidup rumah tangga. Secara merata masing-masing kelompok rumah tangga yang tergolong menengah ke atas di desa dan kota ini memproporsikan pendapatan dari tenaga kerja nonpertanian sekitar 51.10 persen dari total pendapatan yang diterima rumah tangga. Terakhir untuk rumah tangga pengusaha tani lahan luas dan rumah tangga kota golongan atas menempatkan kapital (modal) sebagai sumber pendapatan utamanya, kurang lebih 51.42 persen untuk masing-masing kelompok rumah tangga tersebut.

Belum adanya jaminan pendapatan oleh pemerintah kepada masyarakat yang diatur dengan undang-undang menyebabkan transfer payment dari pemerintah sedikit dirasakan oleh rumah tangga. Berdasarkan kajian SNSE 2008 hanya ada dua kelompok rumah tangga yang mendapat cukup banyak transfer payment dari pemerintah yakni rumah tangga buruh tani dan petani gurem masing-masing sebesar Rp. 57.495 juta dan Rp. 49.815 juta, atau dari total pendapatan yang diterima rumah tangga masing-masing proporsinya sebesar 27.24 persen dan 16.62 persen. Sedangkan untuk rumah tangga lainnya, kontribusi dari transfer payment pemerintah terhadap total pendapatan rumah tangga tidak lebih dari 7 persen, berkisar diantara 1.33 persen - 6.20 persen.

Menurut hukum Bennett (Suyatno, 2009) bahwa “the ‘starchy staple ratio’ declines as houshold income increase as the consumer diversifies the food

(11)

consumption bundle to include higher-priced calories” (persentase bahan pangan pokok berpati dalam konsumsi pangan rumah tangga semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga dan cenderung beralih pada pangan yang berenergi mahal). Hukum Bannet ini sepertinya kurang begitu tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumsi yang dikaji secara agregat, bukan orang per orang. Sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 25, apabila pola konsumsi masyarakat diamati per kelompok rumah tangga terindikasi bahwa persentase pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga lebih banyak pada komoditi hasil sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Baik itu pada rumah tangga buruh tani, petani gurem, rumah tangga golongan rendah di desa dan kota maupun rumah tangga petani lahan luas, rumah tangga golongan atas di desa dan kota, proporsi pengeluaran untuk komoditi pangan yang berasal dari industri makanan, minuman dan tembakau selalu lebih tinggi dibandingkan komoditi pertanian (tanaman pangan, peternakan dan perikanan). Proporsi pengeluaran konsumsi pangan untuk komoditi yang dihasilkan oleh industri makanan, minuman dan tembakau pada setiap kelompok rumah tangga rata-rata mencapai 54.64 persen, sedangkan untuk komoditi pangan yang dihasilkan sektor pertanian sebesar 45.36 persen.

Fenomena di atas akan semakin jelas apabila dilihat pada visualisasi berikut ini yang memotret proporsi pengeluaran konsumsi dari setiap rumah tangga hanya pada kelompok pangan saja yang dibagi atas dua kelompok yakni kelompok pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian (tanaman pangan, peternakan dan perikanan) dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau.

(12)

Tabel 25. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan SNSE Tahun 2008 (%)

Sektor

Desa Kota

Buruh Tani

Pengusaha Tani

RT Gol Rendah

RT Gol Atas

RT Gol Rendah

RT Gol Atas Lahan

Sempit

Lahan Sedang

Lahan Luas Institusi

Rumah tangga Lainnya 1.53 1.25 1.69 1.77 1.06 1.24 0.92 0.80

Perusahaan 1.94 1.84 1.62 2.43 1.44 2.23 1.35 1.30

Pemerintah 2.75 2.49 2.21 2.57 2.48 3.79 3.24 3.58

Komoditi

Pertanian tanaman pangan 11.98 11.01 7.98 5.22 7.24 4.18 5.36 3.17

Pertanian tanaman lainnya 0.54 0.50 0.38 0.36 0.52 0.30 0.35 0.26

Peternakan dan hasil-hasilnya 4.97 4.67 3.27 2.48 4.38 3.10 3.63 2.53

Kehutanan dan perburuan 0.25 0.23 0.30 0.32 0.19 0.22 0.14 0.16

Perikanan 4.08 4.71 3.20 2.28 4.49 3.33 3.18 2.75

Pertambangan & penggalian 0.09 0.07 0.14 0.16 0.10 0.15 0.11 0.13

Industri makanan, minuman dan tembakau 25.95 24.36 14.76 11.56 16.97 13.14 15.99 12.58

Pupuk anorganik 0.25 0.44 1.19 1.71 1.37 2.88 1.97 3.02

Industri lain 10.83 11.67 13.59 10.56 14.27 13.18 15.51 15.00

Listrik, gas dan air bersih 0.36 0.64 0.83 0.73 0.90 0.86 0.86 1.06

Perdagangan, restoran dan hotel 4.97 6.65 13.38 17.22 13.58 14.96 17.28 14.31

Angkt, komnks, js pnjng angk & pergdg 8.40 7.75 7.26 5.51 6.82 4.29 5.54 3.98

Bank dan asuransi 0.56 1.25 1.29 1.77 1.25 1.66 1.11 1.60

Jasa-jasa lainnya 10.87 8.67 7.38 8.18 11.04 7.47 10.82 9.56

Tabungan 5.28 7.16 8.05 10.06 5.39 11.89 6.02 12.37

Luar negeri 4.40 4.63 11.48 15.10 6.52 11.14 6.60 11.83

Total persentase pengeluaran 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Total nilai pengeluaran (juta rupiah) 211 081.40 299 705.80 181 863.81 179 643.22 662 911.41 399 069.66 806 565.82 650 434.26 Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

(13)

Gambar 30. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga untuk Komoditi Pangan Hasil Pertanian dan Industri Dirinci Menurut Kelompok Rumah Tangga

Keterangan : I Buruh Tani

II Pengusaha Tani Lahan Sempit III Pengusaha Tani Lahan Sedang IV Pengusaha Tani Lahan Luas V RT Gol Rendah Di Desa VI RT Gol Atas Di Desa VII RT Gol Rendah Di Kota VIII RT Gol Atas Di Kota

Gambar 30 di atas semakin mempertegas temuan sebelumnya bahwa tidak ada perbedaan pola konsumsi pangan yang signifikan diantara kelompok rumah tangga. Seluruh rumah tangga terlihat menempatkan pengeluaran untuk konsumsi pangan yang dihasilkan oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau yang lebih banyak dibandingkan komoditi pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian. Mulai dari buruh tani hingga rumah tangga golongan atas di kota memporsikan pengeluaran konsumsi pangan untuk komoditi hasil industri lebih dari 50 persen, rata-rata sekitar 54.64 persen per rumah tangga. Sisanya 45.46 persen untuk pengeluaran konsumsi komoditi pangan hasil pertanian.

44,77 45,56 49,46 46,33 48,71

44,67 43,22 40,16

54,44 50,54 53,67 51,29 56,78

0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Tanaman pangan, perikanan dan peternakan Industri makanan, minuman dan tembakau

(14)

Beda halnya kalau pola konsumsi rumah tangga yang disajikan dalam SNSE 2008 ditelusuri dengan menggunakan Hukum Engel (Suyatno, 2009) yang menyebutkan : “the proportion of a family’s budget devoted to food declines as the familiy’s income increase” (persentase pengeluaran rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan).

Gambar 31. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga untuk Komoditi Pangan dan Nonpangan Dirinci Menurut Kelompok Rumah Tangga

Keterangan : I Buruh Tani

II Pengusaha Tani Lahan Sempit III Pengusaha Tani Lahan Sedang IV Pengusaha Tani Lahan Luas V RT Gol Rendah Di Desa VI RT Gol Atas Di Desa VII RT Gol Rendah Di Kota VIII RT Gol Atas Di Kota

Bila diperhatikan pada Gambar 31 di atas, terlihat jelas ada kesesuaian antara Hukum Engel dengan pola konsumsi rumah tangga yang dipotret oleh SNSE 2008. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi status rumah tangga

53,46 50,65

36,01

28,45

38,18

29,73 32,60

26,00

46,54 49,35 63,99 71,55 61,82 67,40

0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Pangan NonPangan

(15)

semakin tinggi juga proporsi pengeluaran konsumsi untuk komoditi nonpangan, sedangkan untuk komoditi pangan semakin rendah.

Dalam Gambar 31 tersebut, proporsi pengeluaran konsumsi pangan pada kelompok rumah tangga buruh tani dan petani gurem (pemilik lahan sempit) terlihat lebih tinggi dibandingkan untuk konsumsi nonpangan, yakni 53.46 persen untuk konsumsi pangan, sebesar 46.54 persen untuk nonpangan. Sedangkan pada rumah tangga petani gurem, proporsinya relatif sama yakni 50.65 persen untuk konsumsi pangan, dan 49.35 persen untuk konsumsi nonpangan. Selanjutnya, ketika diamati pada kelompok rumah tangga yang statusnya lebih tinggi satu tingkat dibandingkan buruh tani dan petani gurem, yaitu rumah tangga tani dengan luas lahan sedang, pola konsumsinya mulai keliatan berubah. Oleh karena untuk rumah tangga ini kebutuhan nonpangan menjadi lebih tinggi dibandingkan kebutuhan pangan dengan proporsi pengeluarannya masing-masing 36.01 persen untuk pangan dan 63.99 persen untuk nonpangan. Perubahannya semakin mencolok jika dilihat pada kelompok rumah tangga tani dengan lahan luas, dimana proporsi pengeluaran konsumsi untuk pangan hanya sebesar 28.45 persen, sedangkan untuk nonpangan mencapai 71.55 persen. Fenomena yang sama juga terlihat pada kelompok rumah tangga bukan petani di desa maupun di kota, dimana saat status rumah tangga naik satu tingkat, cenderung pola konsumsinya akan bertambah banyak untuk komoditi nonpangan dan mengurangi konsumsi pangan.

Berdasarkan pola konsumsi rumah tangga di atas, kemudian merujuk pada Hukum Engel, maka dapat dikatakan bahwa : (1) rumah tangga buruh tani dan petani gurem dapat dikelompokkan menjadi rumah tangga yang berpendapatan

(16)

rendah, oleh karena proporsi pengeluaran konsumsi untuk pangan lebih besar dibandingkan nonpangan, rata-rata sekitar 51.81 persen untuk pangan dan 48.19 persen untuk nonpangan, (2) rumah tangga petani dengan luas lahan sedang, rumah tangga bukan petani golongan rendah desa dan kota dapat dimasukkan sebagai rumah tangga yang berpendapatan sedang oleh karena proporsi pengeluaran untuk konsumsi nonpangan sudah terlihat lebih tinggi dibandingkan konsumsi pangan, namun persentasenya masih lebih kecil dibandingkan kelompok rumah tangga di atasnya satu tingkat. Pada rumah tangga berpendapatan sedang ini, proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan kurang lebih sebesar 35.22 persen, dan untuk nonpangan sebesar 64.78 persen, terakhir (3) rumah tangga petani dengan lahan luas, rumah tangga golongan atas di desa dan kota, dapat dikelompokkan sebagai rumah tangga yang berpendapatan tinggi, yang diindikatorkan dengan proporsi pengeluaran rumah tangganya untuk konsumsi pangan hanya sebesar 27.56 persen, dan untuk konsumsi nonpangan sebesar 72.44 persen. Gambaran yang lebih jelas mengenai pola konsumsi ketiga kelompok rumah tangga ini dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 32. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Nonpangan pada Rumah Tangga Berpendapatan Rendah, Sedang dan Tinggi

51,81 35,22 27,56

48,19 64,78 72,44

0 20 40 60 80 100

RT Pend Rendah RT Pend Sedang RT Pend Tinggi

Pangan NonPangan

(17)

6.3. Struktur Penerimaan dan Pengeluaran Produksi

Dalam akun SNSE tahun 2008, sektor produksi dibagi menjadi 24 sektor yang terdiri atas sektor pertanian sebanyak lima subsektor, sektor pertambangan dan penggalian sebanyak dua subsektor, sektor industri pengolahan sebanyak tujuh subsektor, dan sektor jasa-jasa sebanyak 10 subsektor, untuk lebih jelasnya lihat Tabel 26 berikut.

Tabel 26. Struktur Output Perekonomian Dirinci Menurut Sektor-Sektor Produksi Berdasarkan SNSE Tahun 2008

Sektor Produksi Nilai Persentase

Pertanian tanaman pangan 511 221.48 4.75

Pertanian tanaman lainnya 204 376.04 1.90

Peternakan dan hasil-hasilnya 261 438.74 2.43

Kehutanan dan perburuan 56 886.33 0.53

Perikanan 199 276.40 1.85

Tambg batubara, bijih lg migas & pns bumi 487 698.44 4.53

Pertambangan dan penggalian lainnya 156 783.27 1.46

Industri makanan, minuman dan tembakau 1 073 034.24 9.96 Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 303 796.04 2.82

Industri kayu & barang dari kayu 214 964.55 2.00

Industri kertas, perctk, alt angk & brg lgm 1 885 870.50 17.51 Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen 292 852.49 2.72

Industri pupuk anorganik 150 802.52 1.40

Industri pupuk organik 2 056.79 0.02

Listrik, gas dan air bersih 150 358.51 1.40

Konstruksi jalan dan jembatan 138 543.48 1.29

Konstruksi irigasi 51 193.83 0.48

Konstruksi lainnya 989 237.31 9.19

Perdagangan, restoran dan hotel 1 500 608.35 13.93

Angkt, komnks, js penunjang angk & pergudangn 690 084.83 6.41

Bank dan asuransi 266 310.40 2.47

Real estate dan jasa perusahaan 303 370.96 2.82

Pemerinth&perthn, pendk, keseht, film & lain 554 711.53 5.15 Jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya 324 643.64 3.01

Total Output 10 770 120.67 100.00

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

(18)

Apabila diamati pada total penerimaan output secara sektoral, tampak jelas sektor industri dan jasa mendominasi pangsa output. Kedua kelompok sektor ini kurang lebih menguasai 82.57 persen pangsa output dalam perekonomian nasional, dimana sektor industri mempunyai kontribusi sebanyak 36.42 persen, dan sektor jasa sebanyak 46.15 persen. Penyumbang terbesar dari sektor industri adalah industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam yaitu sebesar 17.51 persen dari total output penerimaan produksi, sedangkan sektor jasa yang paling besar adalah perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13.93 persen.

Sektor lain yang cukup besar kontribusinya terhadap total output perekonomian adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 9.96 persen dan sektor konstruksi lainnya sebesar 9.19 persen. Adapun sektor pupuk, sampai saat ini andilnya dalam menciptakan output perekonomian masih sangat rendah hanya 1.42 persen yang terbagi atas pupuk anorganik sebanyak 1.40 persen dan pupuk organik sebanyak 0.02 persen.

Asas keseimbangan yang digunakan dalam struktur SNSE menggambarkan bahwa pendapatan (output) sama dengan pengeluaran (input), oleh karenanya ketika membahas nilai output, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 25, itu berarti menjelaskan nilai input juga. Perbedaan diantara keduanya dapat dipotret pada masing-masing sumbernya. Jika mengamati sumber-sumber pendapatan produksi maka yang akan ditelusuri adalah pendapatan yang berasal dari institusi, antar produksi, Pertambahan Modal Tetap Bruto (PMTB), subsidi dan ekspor. Sementara itu jika mengkaji sumber-sumber pengeluaran produksi, ada enam hal yang perlu diamati yakni pengeluaran untuk tenaga kerja, modal, input antara, margin perdagangan dan pengangkutan, pembayaran pajak dan

(19)

impor bahan baku. Sumber-sumber pendapatan produksi dapat dilihat jelas pada Tabel 27, sedangkan struktur pengeluaran produksi disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27. Sumber Pendapatan Sektor Produksi Berdasarkan SNSE Tahun 2008 (%)

Sektor Produksi Institusi Produksi Margin PMTB Subsidi Ekspor Total

Pertanian tanaman pangan 41.23 60.29 0.00 -1.84 0.15 0.17 100.00

Pertanian tanaman lainnya 6.44 83.75 0.00 0.31 0.00 9.50 100.00

Peternakan dan hasil-hasilnya 46.66 56.41 0.00 -3.27 0.00 0.20 100.00

Kehutanan dan perburuan 11.64 82.25 0.00 5.09 0.00 1.02 100.00

Perikanan 59.82 40.70 0.00 -2.29 0.09 1.68 100.00

Tambg batubara, bijih lg migas & pns bumi 0.00 54.71 0.00 9.15 0.00 36.14 100.00 Pertambangan dan penggalian lainnya 2.53 96.14 0.00 -0.05 0.00 1.38 100.00 Industri makanan, minuman dan tembakau 51.36 34.88 0.00 -2.59 0.00 16.35 100.00 Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 28.11 32.72 0.00 3.76 0.00 35.41 100.00 Industri kayu & barang dari kayu 21.23 50.74 0.00 2.65 0.00 25.39 100.00 Industri kertas, perctk, alt angk & brg lgm 17.94 44.68 0.00 5.46 3.59 28.32 100.00 Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen 0.66 97.19 0.00 0.86 0.00 1.29 100.00

Industri pupuk anorganik 41.92 26.48 0.00 -18.39 9.90 40.10 100.00

Industri pupuk organik 0.00 87.85 0.00 0.00 12.15 0.00 100.00

Listrik, gas dan air bersih 19.12 51.29 0.00 0.00 29.58 0.00 100.00

Konstruksi jalan dan jembatan 2.89 32.17 0.00 64.94 0.00 0.00 100.00

Konstruksi irigasi 0.00 42.84 0.00 57.16 0.00 0.00 100.00

Konstruksi lainnya 0.53 15.69 0.00 83.78 0.00 0.00 100.00

Perdagangan, restoran dan hotel 31.18 30.97 25.43 2.08 0.00 10.34 100.00 Angkt, komnks, js pnjg angk & pergudg 28.55 42.28 16.66 1.22 0.16 11.14 100.00

Bank dan asuransi 16.80 81.92 0.00 0.00 0.00 1.28 100.00

Real estate dan jasa perusahaan 27.02 68.23 0.00 0.67 0.00 4.07 100.00 Pemerinth&perthn, pendk, keseht, film & lain 90.97 5.95 0.00 0.00 0.00 3.09 100.00 Jasa perseorangan, rumah tangga dan js lain 36.68 56.85 0.00 4.75 0.04 1.68 100.00

Rata-rata 24.30 53.21 1.75 8.89 2.32 9.52 100.00

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

Penerimaan atau pendapatan dari seluruh sektor produksi terlihat paling banyak berasal dari penjualan output antara, kurang lebih andilnya mencapai 53.21 persen per sektor (lihat Tabel 27 dan Gambar 33), dimana yang paling tinggi mengandalkan pendapatannya dari penjualan output antara adalah sektor kehutanan dan perburuan sebesar 82.25 persen dari total pendapatan yang

(20)

diperoleh, sektor pertambangan dan penggalian lainnya sebesar 96.14 persen, sektor industri kimia, hasil dari tanah liat, dan semen sebesar 97.19 persen, sektor industri pupuk organik sebesar 87.85 persen, dan sektor bank dan asuransi sebesar 81.92 persen. Dapat dikatakan bahwa kelima sektor produksi ini adalah sektor- sektor yang sangat domestic oriented dan penyangga keberlanjutan produksi pada sektor-sektor yang lain oleh karena hampir seluruh outputnya hanya untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan domestik.

Gambar 33. Sumber-Sumber Pendapatan Sektor Produksi Berdasarkan SNSE 2008

Keadaan yang berbeda pada sektor Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, serta sektor industri pupuk anorganik. Kedua sektor ini memprioritaskan penjualan output ke pasar ekspor daripada pasar domestik. Seperti yang disajikan dalam Tabel 27, kontribusi ekspor terhadap pendapatan produksi sektor Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sebesar 35.41 persen yang terlihat lebih tinggi 2.81 persen dibandingkan pendapatan dari pasar domestik (penjualan

(21)

output antara). Sedangkan untuk indutri pupuk anorganik, proporsi pendapatan ekspornya sekitar 40.10 persen yang jauh lebih tinggi 13.62 persen dibandingkan pendapatan yang berasal dari pasar domestik (penjualan output antara).

Sumber pendapatan berikutnya yang juga dominan dalam komposisi pendapatan sektor-sektor produksi adalah pendapatan yang diperoleh dari konsumsi institusi (rumah tangga, perusahaan dan pemerintah), di sini rata-rata kontribusi institusi dalam struktur pendapatan sektor produksi adalah 24.30 persen per sektor. Ada tiga sektor yang mengandalkan konsumsi dari institusi ini sebagai sumber pendapatan utamanya. Ketiga sektor yang dimaksud adalah sektor perikanan sebesar 59.82 persen dari total pendapatan, sektor industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 51.36 persen, serta sektor pemerintahan, pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya sebesar 90.97 persen.

Hanya ada dua sektor produksi yang memposisikan transfer pendapatan yang berasal dari subsidi paling besar dalam struktur pendapatannya dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sektor yang dimaksud adalah sektor industri pupuk organik yang memposisikan transfer pendapatan dari subsidi sebanyak 12.15 persen, dan sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 29.58 persen. Sedangkan untuk sektor- sektor lainnya, proporsi pendapatan dari subsidi tidak lebih dari 3.5 persen.

Sektor-sektor produksi seperti konstruksi irigasi dan konstruksi lainnya, serta sektor perdagangan, restoran dan hotel, ketiganya dapat dikatakan sebagai sektor yang sangat produktif, oleh karena pendapatannya lebih banyak ditunjang oleh investasi atau PMTB (Pertambahan Modal Tetap Bruto). Dalam komposisi pendapatan sektor konstruksi irigasi, proporsi pendapatan dari investasi mencapai

(22)

64.94 persen, sedangkan untuk sektor konstruksi lainnya sebanyak 57.16 persen, dan terakhir pada sektor perdagangan, restoran dan hotel sebanyak 83.78 persen.

Dilihat dari pemakaian input, sebagian besar sektor produksi lebih banyak mengeluarkan biaya untuk pemakaian input tenaga kerja dan modal, jika di jumlahkan keduanya rata-rata mencapai 47.39 persen dari total pengeluaran masing-masing sektor produksi, perhatikan Tabel 28 dan Gambar 34.

Tabel 28. Struktur Pengeluaran Input Produksi Secara Sektoral Berdasarkan SNSE Tahun 2008 (%)

Sektor Produksi Tenaga

Kerja Modal Input

Antara Margin Pajak Impor Total

Pertanian tanaman pangan 41.42 29.30 18.31 7.74 0.76 2.46 100.00

Pertanian tanaman lainnya 35.12 19.61 35.61 4.29 0.84 4.54 100.00

Peternakan dan hasil-hasilnya 21.11 12.65 52.51 6.14 0.86 6.73 100.00

Kehutanan dan perburuan 31.76 33.37 20.96 9.12 3.17 1.61 100.00

Perikanan 27.49 36.04 23.16 10.93 0.93 1.45 100.00

Tambg batubara, bijih lg migas & pns bumi 9.00 53.39 25.30 1.19 4.24 6.87 100.00 Pertambangan dan penggalian lainnya 52.70 29.88 7.77 6.42 3.03 0.19 100.00 Industri makanan, minuman dan tembakau 9.28 14.32 58.60 7.50 6.47 3.83 100.00 Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 13.11 17.64 50.53 7.32 1.23 10.17 100.00 Industri kayu & barang dari kayu 11.94 15.94 61.50 6.47 1.13 3.02 100.00 Industri kertas, perctk, alt angk & brg lgm 10.58 20.88 39.51 6.32 1.35 21.36 100.00 Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen 15.52 5.50 38.57 20.55 0.16 19.70 100.00

Industri pupuk anorganik 24.74 39.61 15.18 10.90 7.04 2.53 100.00

Industri pupuk organik 46.98 9.06 28.42 10.49 2.57 2.48 100.00

Listrik, gas dan air bersih 9.29 21.32 61.11 - 2.04 6.25 100.00

Konstruksi jalan dan jembatan 16.48 16.39 59.05 - 1.34 6.74 100.00

Konstruksi irigasi 32.72 8.77 50.29 - 1.52 6.71 100.00

Konstruksi lainnya 14.18 18.53 58.71 - 1.02 7.56 100.00

Perdagangan, restoran dan hotel 28.10 19.15 47.36 - 1.79 3.60 100.00

Angkt, komnks, js penunjang angk & pergudangn 19.51 23.41 45.81 - 0.94 10.33 100.00

Bank dan asuransi 20.36 39.01 36.68 - 0.86 3.09 100.00

Real estate dan jasa perusahaan 15.95 45.23 30.84 - 2.85 5.13 100.00

Pemerinth&perthn, pendk, keseht, film & lain 37.95 7.52 41.70 - 1.91 10.93 100.00 Jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya 28.04 27.47 30.57 0.11 2.66 11.15 100.00

Rata-rata 23.89 23.50 39.08 4.81 2.11 6.60 100.00

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

(23)

Gambar 34. Struktur Pengeluaran Sektor-Sektor Produksi Berdasarkan SNSE 2008

Sesudah faktor produksi tenaga kerja dan modal, komponen pengeluaran berikutnya yang besar dalam pembiayaan produksi adalah pembelian input antara (bahan baku). Proporsinya dalam total pengeluaran sektor produksi mencapai 39.08 persen per sektor. Selanjutnya untuk komponen impor, margin perdagangan dan pengangkutan, serta pajak, proporsinya masing-masing secara berurutan 6.60 persen, 4.81 persen dan 2.11 persen.

Jika diamati secara sektoral, terdapat 10 sektor yang paling banyak mengeluarkan biaya untuk penggunaan faktor tenaga kerja dan modal hingga lebih dari 50 persen dalam struktur pengeluaran produksinya yakni (1) sektor pertanian tanaman pangan sebesar 70.72 persen, (2) sektor pertanian tanaman lainnya sebesar 54.72 persen, (3) sektor kehutanan dan perburuan sebesar 65.64 persen, (4) sektor perikanan sebesar 63.53 persen, (5) sektor penambangan batu bara, bijih logam, minyak, gas dan panas bumi sebesar 62.40 persen, (6) sektor pertambangan dan penggalian lainnya sebesar 82.58 persen, (7) sektor industri pupuk anorganik sebesar 64.36 persen, (8) sektor industri pupuk organik sebesar

(24)

56.04 persen, (9) sektor bank dan asuransi sebesar sebesar 59.37 persen, (10) sektor real estate dan jasa perusahaan sebesar 61.18 persen dan (11) sektor jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya sebesar 55.51 persen. Dimana hampir semua sektor pertanian merupakan sektor-sektor produksi yang padat karya karena proporsi pengeluaran faktor tenaga kerja lebih besar dari modal, sektor tersebut adalah (1) pertanian tanaman pangan, (2) pertanian lainnya dan (3) peternakan. Sedangkan di sektor industri yang padat karya adalah (1) industri pupuk organik dan (2) industri kimia, hasil dari tanah liat dan semen. Pada sektor jasa adalah (1) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (2) sektor pemerintahan, pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya, serta (3) sektor jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya. Pada sektor-sektor yang padat karya ini, perbandingan antara pengeluaran tenaga kerja dengan modal adalah sekitar 1.5 : 1 juta rupiah.

Adapun untuk sektor-sektor produksi yang paling banyak mengeluarkan biayanya untuk pembelian input antara (bahan baku) adalah (1) sektor peternakan, (2) sektor industri makanan, minuman dan tembakau, (3) sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, (4) sektor industri kayu dan barang dari kayu, (5) sektor listrik, gas dan air bersih, (6) konstruksi jalan dan jembatan, (7) konstruksi irigasi, dan (8) konstruksi lainnya. Rata-rata proporsi pengeluaran untuk input antara pada setiap sektor tersebut mencapai 56.54 persen dari total pengeluarannya, dimana yang paling banyak pengeluarannya adalah sektor industri kayu dan barang dari kayu, serta sektor listrik, gas dan air bersih.

Dalam struktur impor secara sektoral, satu-satunya sektor produksi yang dipotret oleh SNSE 2008 paling boros mengeluarkan devisa adalah sektor industri

(25)

kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilainya sebesar Rp. 402.792.21 juta atau sekitar 41.84 persen dari total impor. Dimana dalam struktur pengeluarannya, komponen impor ini bisa mencapai 21.36 persen (lihat Tabel 5.7), jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk tenaga kerja dan modal. Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat diindikasikan lebih awal bahwa industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam merupakan sektor produksi yang sedikit memiliki local content sehingga sulit diharapkan untuk menjadi lokomotif perekonomian yang mampu menggerakkan sektor-sektor domestik.

Dari 5 komponen biaya produksi yang berhasil direkam oleh SNSE 2008, biaya untuk pajak tidak langsung adalah yang paling rendah. Kontribusinya dalam struktur pengeluaran produksi rata-rata hanya sebesar 2.11. Adapun sektor produksi yang paling banyak mengeluarkan biaya untuk pajak adalah industri makanan, minuman dan tembakau, kurang lebih Rp. 69.471.89 juta atau sekitar 30.43 persen dari total pajak yang dibayar oleh seluruh sektor produksi. Setelah itu yang cukup besar juga kontribusinya terhadap pembayaran pajak adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yakni sebesar 11.74 persen, dan yang terakhir adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam sebesar 11.14 persen. Sektor-sektor yang lain rata-rata mempunyai kontribusi di bawah 5 persen. Industri pupuk anorganik, meskipun pembayaran pajaknya lebih rendah dibandingkan industri makanan, minuman dan tembakau, namun dalam struktur pengeluarannya, proporsi biaya untuk pajak ini cukup tinggi yakni 7.04 persen dari total pengeluaran sektor tersebut. Persentase ini adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Artinya beban pajak dalam

(26)

struktur biaya industri pupuk anorganik menjadi paling tinggi dibandingkan beban pajak pada sektor-sektor produksi yang lain.

6.4. Analisis Angka Pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa dari kerangka dasar SNSE dapat diturunkan suatu model angka pengganda yaitu:

[

I A

]

X

Y = − 1 dimana Ma =

[

IA

]

1. Dalam hal ini Ma

Perekonomian Indonesia jika dikaji berdasarkan angka pengganda SNSE 2008 dapat dikatakan sangat tergantung kepada 11 sektor yang mempunyai angka pengganda total paling besar. Sektor-sektor ini mampu memberi dampak pengganda sebesar 6.5208 hingga 6.9475 atau jika dibulatkan rata-rata mempunyai angka pengganda sebesar 7. Dari ke-11 sektor tersebut tiga diantaranya yang paling tinggi mempunyai dampak pengganda dalam perekonomian Indonesia adalah (1) sektor perdagangan, restoran dan hotel, (2) sektor konstruksi irigasi, dan (2) sektor bank dan asuransi, dengan nilai

adalah angka pengganda, yang menunjukkan pengaruh perubahan dari neraca eksogen pada sebuah sektor terhadap sektor lainnya setelah melalui keseluruhan sistem.

Dampak perubahan tersebut dicerminkan oleh peningkatan produksi atau output sektor-sektor ekonomi yang dapat dilakukan melalui peningkatan investasi atau Pertambahan Modal Tetap Bruto (PMTB), peningkatan pengeluaran pemerintah melalui subsidi, atau peningkatan ekspor luar negeri. Dalam pembahasan kali ini akan dianalisis dampak pengganda secara sektoral terhadap beberapa indikator makroekonomi seperti nilai tambah, rumah tangga, total output produksi, dan sebagainya.

(27)

Tabel 29. Dampak Pengganda Sektoral Berdasarkan Multiplier SNSE 2008

Sektor Produksi T. Krj Modal RT Persh Pemrth Prod Total

Pertanian tanaman pangan 0.8778 0.7418 1.2255 0.5101 0.2360 3.0577 6.6489

Pertanian tanaman lainnya 0.8531 0.7077 1.1848 0.4868 0.2259 3.2770 6.7354

Peternakan dan hasil-hasilnya 0.7387 0.6323 1.0344 0.4343 0.2009 3.4836 6.5241

Kehutanan dan perburuan 0.7377 0.7593 1.0899 0.5183 0.2350 2.9415 6.2818

Perikanan 0.6973 0.7901 1.0626 0.5379 0.2414 2.9301 6.2595

Tambg batubara, bijih lg migas & pns bumi 0.4378 0.9482 0.8670 0.6364 0.2732 2.7065 5.8689

Pertambangan dan penggalian lainnya 0.9675 0.7418 1.3152 0.5106 0.2404 3.0428 6.8182

Industri makanan, minuman dan tembakau 0.6426 0.6585 0.9475 0.4493 0.2040 3.3038 6.2058

Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 0.5632 0.6316 0.8538 0.4293 0.1937 3.1831 5.8545

Industri kayu & barang dari kayu 0.6359 0.6951 0.9566 0.4731 0.2136 3.5465 6.5208

Industri kertas, perctk, alt angk & brg lgm 0.4449 0.5981 0.7184 0.4047 0.1796 2.7112 5.0569

Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen 0.4789 0.4444 0.6853 0.3039 0.1399 2.5932 4.6456

Industri pupuk anorganik 0.5875 0.7834 0.9457 0.5303 0.2355 2.6196 5.7021

Industri pupuk organik 0.9917 0.5811 1.2674 0.4044 0.1978 3.2896 6.7319

Listrik, gas dan air bersih 0.5325 0.7804 0.8885 0.5272 0.2324 3.3583 6.3192

Konstruksi jalan dan jembatan 0.7041 0.7157 1.0346 0.4877 0.2222 3.4589 6.6233

Konstruksi irigasi 0.9127 0.6460 1.2158 0.4458 0.2121 3.4391 6.8716

Konstruksi lainnya 0.6757 0.7399 1.0165 0.5032 0.2275 3.4429 6.6057

Perdagangan, restoran dan hotel 0.8010 0.7538 1.1503 0.5150 0.2372 3.4902 6.9475

Angkt, komnks, js penunjang angk & pergudangn 0.6540 0.7336 0.9913 0.4985 0.2251 3.2247 6.3273

Bank dan asuransi 0.6786 0.9196 1.0985 0.6223 0.2765 3.2292 6.8248

Real estate dan jasa perusahaan 0.5924 0.8973 1.0013 0.6057 0.2666 3.0211 6.3844

Pemerinth&perthn, pendk, keseht, film & lain 0.8750 0.5848 1.1493 0.4049 0.1958 3.3171 6.5269

Jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya 0.6886 0.7145 1.0179 0.4866 0.2218 2.9972 6.1267

Sumber : SNSE Tahun 2008 (data diolah)

Penggandanya masing-masing sebesar 6.9475, 6.8716 dan 6.8248. Angka pengganda sebesar 6.9475 pada sektor perdagangan, restoran dan hotel menunjukkan bahwa jika ada dana stimulus, misalkan subsidi sebesar 1 milyar rupiah pada sektor perdagangan, restoran dan hotel maka total pendapatan output dalam perekonomian Indonesia akan meningkat sebanyak 6.9775 milyar rupiah.

(28)

Dimana dampak tersebut akan dibagikan kepada peningkatan pendapatan tenaga kerja sebanyak 0.8010 milyar rupiah, pendapatan modal sebanyak 0.7538 milyar rupiah, pendapatan rumah tangga sebanyak 1.1503 milyar rupiah, pendapatan perusahaan sebanyak 0.5150 milyar rupiah, pendapatan pemerintah sebanyak 0.23752, dan pendapatan sektor-sektor produksi sebanyak 3.4902 milyar rupiah.

Dengan demikian dampak pengganda sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam perekonomian akan lebih banyak diterima oleh pendapatan produksi yang terjadi karena adanya keterkaitan penggunaan input antara oleh sektor tersebut dengan output produksi pada sektor-sektor lain. Setelah itu, dampak pengganda dari sektor perdagangan, hotel dan restoran juga banyak terdistribusi ke pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari hasil kepemilikan tenaga kerja dan modal yang digunakan dalam proses produksi sektor perdagangan, hotel dan restoran ini. Sedangkan untuk pendapatan perusahaan dan pemerintah, dampak yang diterima sangat kecil.

Pendistribusian dampak berganda seperti yang terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran di atas, juga terlihat sama kondisinya untuk sektor-sektor yang lain, dimana dampak pengganda dari suatu sektor akan lebih banyak diserap lebih dahulu oleh aktivitas produksi, kemudian ke rumah tangga melalui faktor-faktor produksi, dan terakhir yang paling kecil masuk ke pendapatan perusahaan dan pemerintah. Untuk lebih jelas melihat bagaimana pendistribusian dampak berganda dari sektor-sektor produksi tersebut berikut ini dipaparkan alokasi dari angka pengganda kepada masing-masing neraca aktivitas secara proporsional sebagaimana yang disajikan pada Tabel 30.

Gambar

Tabel 22. Struktur Ekonomi Indonesia Berdasarkan Kajian Sistem Neraca Sosial  Ekonomi Tahun 2008
Tabel 23. Distribusi Pendapatan Nilai Tambah Berdasarkan Kajian Sistem Neraca  Sosial Ekonomi Tahun 2008 (%)
Tabel 24. Struktur Pendapatan Rumah tangga Berdasarkan SNSE Tahun 2008
Tabel 25.  Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan SNSE Tahun 2008 (%)  Sektor  Desa  Kota  Buruh  Tani  Pengusaha Tani  RT Gol Rendah  RT Gol Atas  RT Gol Rendah  RT Gol Atas  Lahan  Sempit  Lahan  Sedang  Lahan Luas  Institusi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Para su uso en la actividad cooperativa los alumnos constru- yeron una cinta de Moebius con acetato transparente y una botella de Klein poliédrica (imagen 1) construida a partir

BAB IV HASIL PENELITIAN, PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian mesin pengering handuk sistem terbuka dengan variasi perasan menggunakan tangan dan perasan

Penolakan produk perikanan terbesar disebabkan oleh adanya kontaminasi bakteri pathogen serta filthyI. Hal ini menunjukan masih kurangbaiknya proses produksi

Meningkatnya kebutuhan manusia menyebabkan banyaknya hutan mangrove yang ditebang, diubah untuk berbagai kepentingan seperti pertambakan, pemukiman dan

Adapun solusi yang dilakukan dari refleksi pada siklus dua adalah dengan memperbanyak tugas mahasiswa baik di rumah atau saat pembelajaran dengan menggunakan media

yang dilakukan sebagai berikut, 1) Membimbing siswa agar dapat berperan secara aktif dalam proses melihat, mengamati, dan melakukan diskusi tentang masalah yang

Jika pencarian data dengan sistem lama petugas membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit, sedangkan pada sistem baru pengguna membutuhkan waktu pencarian kurang dari

Mengenai permasalahan terkait adanya penyelesaian incident yang tidak memenuhi SLA dapat terjadi karena ketika proses penanganan incident yang tidak bisa diselesaikan oleh tim