• Tidak ada hasil yang ditemukan

Investigasi Kajian Kinetik Pengeringan Jahe dalam Pembuatan Simplisia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Investigasi Kajian Kinetik Pengeringan Jahe dalam Pembuatan Simplisia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Investigasi Kajian Kinetik Pengeringan Jahe dalam Pembuatan Simplisia

Ernaning Widiaswanti1*, Rika Yunitarini2, Trisita Novianti3, Ajeng Kartiningsih4

1,3,4Program Studi Teknik Industri, Universitas Trunojoyo Madura Indonesia

2Program Studi Teknik Informatika, Universitas Trunojoyo Madura Indonesia

*Koresponden email: [email protected]

Diterima: 17 November 2022 Disetujui: 23 November 2022

Abstract

Ginger is one of the agricultural commodities that have good prospects to be developed in Indonesia.

Agricultural product handling techniques are very important things to do, this is because of the nature of agricultural products that have a high level of damage. Making ginger simplicia through the drying method is one way to improve product quality with lower water content. This research was conducted using an electrical oven with drying temperatures of 45oC, 55oC, and 65oC. This research was conducted to examine the kinetic model that is suitable for the drying characteristics of ginger. The results showed that the higher the drying temperature, the faster it reached the equilibrium moisture content. The results showed that the best condition for drying ginger was at a drying temperature of 65oC. There are three kinetic models used to investigate the behavior of the Moisture Ratio (MR) for drying ginger namely Newton, Handerson and Pabis, and Page. The page model produces an R2 value of 0.9986 at a drying temperature of 65oC, where the value is close to 1. This indicates that the page model is found to be the most suitable for describing the drying kinetics of ginger in three levels of drying temperature using an electrical oven compared to other models tested.

Keywords: ginger, simplicia, drying, electrical oven, kinetic model

Abstrak

Jahe merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Teknik penanganan produk pertanian merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, hal ini karena sifat dari produk pertanian yang memiliki tingkat kerusakan tinggi. Pembuatan simplisia jahe melalui metode pengeringan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas produk dengan kandungan kadar air yang lebih rendah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan electrical oven dengan suhu pengeringan 45oC, 55oC, dan 65oC. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji model kinetik yang cocok untuk karakteristik pengeringan jahe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin cepat mencapai kadar air setimbang. Kondisi terbaik untuk pengeringan jahe adalah pada suhu pengeringan 65oC.

Terdapat tiga model kinetik yang digunakan untuk menginvestigasi perilaku MR untuk pengeringan jahe yaitu Newton, Handerson dan Pabis, serta Page. Model Page menghasilkan nilai R2 sebesar 0,9986 pada suhu pengeringan 65oC, dimana nilainya mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa model Page ditemukan paling cocok untuk menggambarkan kinetika pengeringan jahe dalam tiga tingkatan suhu pengering dengan menggunakan electrical oven dibandingkan model lainnya yang diuji.

Kata kunci: jahe, simplisia, pengeringan, electrical oven, model kinetik

1. Pendahuluan

Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman rimpang yang tumbuh di bawah tanah. Jahe dipercaya sebagai tanaman asli Asia Tenggara yang telah digunakan oleh banyak orang di dunia. Jahe merupakan salah satu tanaman obat dan rempah-rempah dunia yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri makanan, dan produk obat karena sifat antioksidannya yang tinggi [1]. Jahe memiliki komposisi antara lain 3 sampai 6%

minyak lemak, 9% protein, 60 sampai 70% pati, 3 sampai 8% serat, 8% abu, 12% air, dan 2-3% minyak atsiri [2]. Jahe terbukti secara ilmiah mengandung banyak khasiat farmakologi diantaranya anti inflamasi, antioksidan, imunomodulator, efek antimikroba, dan lain sebagainya [3]. Manfaat kesehatan dari sifat-sifat tersebut karena adanya gingerol, minyak atsiri, shogaol, dan senyawa antioksidan yang tinggi [4]. Kandungan alami jahe digunakan untuk mengobati banyak penyakit, seperti radang sendi, kram, rematik, keseleo, sakit tenggorokan, nyeri otot, nyeri, sembelit, muntah, hipertensi, gangguan pencernaan, demensia, demam, dan penyakit menular. Jahe dipasarkan dalam bentuk tiga produk utama: jahe segar (yaitu dalam keadaan hijau), diawetkan, dan simplisia, minyak atsiri serta oleoresinnya juga digunakan dalam banyak bahan makanan, serta

(2)

Gambar 1 menunjukkan contoh produk jahe. Prospek pengembangan jahe di Indonesia cukup baik, hal ini terlihat dari permintaan pasar dalam negeri untuk kebutuhan berbagai industri yang belum terpenuhi, sehingga Indonesia masih mengimpor jahe dari luar negeri yaitu China. Permintaan pasar ekspor jahe dari Indonesia cukup besar, misalnya Belanda membutuhkan 40 ton jahe setiap bulannya [6].

Gambar 1. Produk jahe Sumber : Data peneliti (2022)

Pada masa pasca panen diperlukan penanganan khusus terhadap komoditas tanaman jahe dengan tujuan agar komoditas jahe yang telah dipanen dalam kondisi baik dan layak untuk dijual dan dikonsumsi oleh masyarakat. Jahe segar mengandung jumlah air yang tinggi (80-95%) pada saat panen dan selama penyimpanan pascapanen dan ini mendorong kerusakan mikroba yang mengakibatkan pengurangan umur simpan dan kerugian pascapanen yang besar. Salah satu teknik pengawetan jahe yang paling umum adalah pengeringan. Teknik ini telah ditetapkan untuk memperpanjang umur simpan melalui pengurangan kadar air ke tingkat aktivitas minimum untuk mencegah degradasi mikroorganisme [7].

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami maupun modern. Pengeringan alami dengan sinar matahari adalah metode konvensional yang paling luas untuk pengawetan makanan dan tanaman pertanian yang dipraktikkan di banyak daerah perkotaan dan pedesaan di negara berkembang. Waktu pengeringan yang lama dari teknik ini adalah antara 15 hari dan lebih, menyebabkan penurunan pada warna dan kualitas nutrisi dari produk pertanian. Produk pertanian yang dikeringkan dengan teknik ini memiliki masalah higienis produk.

Produk mudah terkontaminasi oleh hewan pengerat, serangga, debu, dan burung akibat lama terpapar dengan lingkungan luar.

Selanjutnya, tanaman pertanian yang dikeringkan dengan teknik ini cenderung untuk menyerap kembali kelembaban di malam hari sehingga meningkatkan kerusakan produk kering [8]. Keuntungan dari metode pengeringan alami adalah sumber energi matahari yang terdapat bebas di alam, berlimpah, bersih lingkungan, dan karena itu diakui sebagai salah satu energi alternatif yang menjanjikan. Penggunaan metode pengeringan yang berbeda akan berdampak pada mutu simplisia yang dihasilkan. Gambar 2 menunjukkan contoh produk simplisia jahe. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional dan belum mengalami pengolahan apapun [9]. Standar mutu simplisia jahe dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2. Produk simplisia jahe Sumber : Data peneliti (2022)

(3)

Tabel 1. Standar mutu simplisia jahe menurut Materia Med Indonesia

Karakteristik Nilai

Kadar air Kadar minyak atsiri

Kadar abu Patogen Benda asing

Max 12%

Max 1,5%

Max 8,0%

Tidak ada Max 2,0%

Sumber : [9]

Beberapa penelitian tentang pengeringan jahe menggunakan sinar matahari telah dilakukan. Penelitian [10] mengemukakan bahwa suhu dan kelembaban udara sangat mempengaruhi kualitas jahe kering dengan menggunakan metode solar drying. Suhu pengeringan yang baik untuk metode solar drying adalah 38oC.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh [11] yang menyimpulkan bahwa selain suhu dan kelembaban udara, pengaruh berat jahe juga mempengaruhi hasil dari jahe kering dengan metode solar drying. Semakin tebal irisan jahe maka kadar airnya akan semakin tinggi walaupun dilakukan pada suhu pengeringan yang sama.

Suhu pengeringan yang digunakan berkisar antara 36oC dengan waktu pengeringan selama 8 jam. Pada penelitian kali ini pengeringan jahe tidak menggunakan metode konvensional, tetapi menggunakan metode pengeringan modern dengan menggunakan electrical oven.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui suhu pengeringan terbaik pada jahe dalam pembuatan simplisia jahe. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui model kinetik terbaik pengeringan jahe dengan menggunakan electrical oven. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penelitian berbasis tanaman lokal khususnya jahe, dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dengan mengolah jahe menjadi simplisia, sehingga dapat memperpanjang umur simpan jahe dan mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi.

2. Metode Penelitian 2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian kali ini adalah parutan, timbangan analitik, loyang, gelas ukur, desikator, moisture meter, electrical oven, plastik klip, serta aluminium foil. Timbangan analitik (Kern) digunakan untuk menimbang jahe basah serta simplisia jahe. Moisture meter digunakan untuk mengukur kadar air simplisia jahe. Desikator berfungsi untuk menghilangkan kadar air dalam suatu sampel uji.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rimpang dari jahe, yang diperoleh dari pasar Kamal, Bangkalan, Madura. Pelaksanaan penelitian ini dengan cara rimpang jahe dibersihkan dengan cara dicuci sebanyak tiga kali menggunakan air mengalir. Setelah dicuci, kemudian ditiriskan dengan cara diangin- anginkan. Proses pencucian terhadap rimpang jahe digunakan untuk menghilangkan dari tanah dan kotoran yang ada. Rimpang dipotong kecil-kecil menggunakan parutan dengan ukuran 0,3 mm. Proses pengirisan ini digunakan untuk membantu rimpang jahe agar kering dengan baik.

2.2. Persiapan Sampel Jahe

Sampel rimpang jahe yang telah disiapkan sebelumnya, ditimbang sebanyak 20 gram. Kadar air awal rata-rata rimpang jahe adalah 81,55 ± 1,25% (basis basah). Proses pengeringan jahe dilakukan dengan menggunakan electrical oven. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 45oC, 55oC, dan 65oC.

Pengaturan suhu pengeringan menggunakan termostat yang terdapat pada electrical oven. Irisan jahe seberat 20 gram dikeringkan selama 480 menit. Irisan jahe yang telah menjadi simplisia jahe, kemudian dimasukkan ke dalam plastik kedap udara serta dilapisi dengan menggunakan aluminium foil, untuk selanjutnya diuji kadar airnya.

2.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua tahap penelitian. Tahap yang pertama adalah percobaan eksperimen.

Percobaan eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui suhu pengeringan terbaik, maka rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana terdiri atas tiga perlakuan suhu pengeringan yaitu 45oC, 55oC, dan 65oC. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali, sehingga terdapat 15 unit eksperimen.

Selanjutnya dilakukan uji Analisis of Varians (ANOVA) untuk menguji pengaruh suhu atau temperatur pengeringan terhadap kadar airnya. Dari hasil analisis ANOVA, jika diketahui hasilnya adalah terdapat pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar airnya, maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui suhu pengeringan terbaik.

Tahap kedua adalah menentukan model kinetik yang sesuai untuk pengeringan jahe dalam pembuatan simplisia. Untuk mengetahui model kinetik digunakan tiga jenis model pengeringan yaitu model Newton,

(4)

model Henderson & Pabis dan model Page, dalam mendeteksi perilaku moisture ratio. Penentuan model kinetik terbaik adalah dengan mengamati nilai koefisien determinasi (R2) terbesarnya.

2.4. Pengujian Kadar Air Simplisia Jahe

Sampel simplisia jahe ditimbang sebanyak 2 gr dengan menggunakan timbangan analitik. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC dalam kurun waktu kurang lebih 4 jam. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus [12]:

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑤2− 𝑤3

𝑤2− 𝑤1𝑥100% ... (1) Keterangan: W1 : berat cawan kosong (gr)

W2 : berat cawan + berat sampel sebelum dikeringkan (gr) W3 : berat cawan + berat sampel setelah dikeringkan (gr) 2.5. Pemodelan Pengeringan

Prosedur pengeringan lapisan tipis umumnya dipraktikkan untuk mengkarakterisasi parameter pengeringan. Proses pengeringan memiliki model berdasarkan persamaan matematika yang biasanya menggambarkan kinetika pengeringan bahan makanan. Penggunaan model matematis ini sangat penting untuk memprediksi kinerja sistem pengeringan [13]. Beberapa model di bawah ini merupakan model matematika yang sering digunakan, yaitu: model Newton, model Henderson & Pabis dan model Page. Dari persamaan matematis model Newton, model Henderson & Pabis dan model Page kemudian diubah ke dalam bentuk linier [14]. Berikut ini bentuk linear model matematika pada Tabel 2.

Tabel 2. Daftar model pengeringan lapisan tipis yang diuji Model Pengeringan Bentuk Eksponensial Bentuk Linear Newton

Henderson & Pabis Page

MR = 𝑒𝑥𝑝(−𝑘. 𝑡) MR = 𝑎. 𝑒𝑥𝑝(−𝑘. 𝑡)

MR = 𝑒𝑥𝑝(−𝑘. 𝑡𝑛)

ln MR = -kt ln MR = ln a – kt ln (-ln MR) = ln k + (n) ln (t) Sumber : [15]

Parameter a, k, dan n dihitung dengan analisis regresi non linier menggunakan program MS Excel Solver.

Bentuk linier dari masing-masing model dapat digambarkan ke dalam program Microsoft Excel untuk mendapatkan nilai Moisture Ratio (MR). Moisture Ratio (MR) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut [16]:

MR = 𝑀𝑡−𝑀𝑒

𝑀𝑜−𝑀𝑒 ... (2) Keterangan: Mo : kadar awal air (%)

Mt : kadar air pada saat (t)

Me : kadar air kesetimbangan (%) setelah konstan

Kesesuaian model terbaik ditentukan dengan kriteria statistik yaitu koefisien determinasi (R2), chi- square (𝜒2), dan Root Mean Square Error (RMSE), dengan rumus sebagai berikut:

𝑅2= (𝑀𝑅𝑝𝑟𝑒,𝑖−𝑀𝑅̅̅̅̅̅̅̅̅̅)𝑝𝑟𝑒

𝑁 2 𝑖=1

𝑁𝑖=1(𝑀𝑅𝑒𝑥𝑝,𝑖−𝑀𝑅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅)𝑒𝑥𝑝 2………. ... (3)

𝑥2= (𝑀𝑅𝑒𝑥𝑝,𝑖−𝑀𝑅𝑝𝑟𝑒,𝑖)

𝑁 2 𝑖=1

𝑁−𝑛 ……… ... (4)

𝑅𝑀𝑆𝐸 = 1

𝑁[ (𝑀𝑅𝑒𝑥𝑝,𝑖−𝑀𝑅𝑝𝑟𝑒,𝑖)

𝑁 2 𝑖=1

𝑁 ]

1 2

……… .. (5)

dimana MRexp,i, dan MRpre,i, masing-masing adalah rasio kelembaban eksperimental dan prediksi untuk pengukuran yang sama. N menunjukkan banyaknya pengamatan dan n menunjukkan banyaknya konstanta pada model pengeringan. Model kinetik terbaik dipilih dengan koefisien determinasi (R2) yang memiliki nilai paling tinggi, serta nilai chi-square (𝜒2), dan Root Mean Square Error (RMSE) yang kecil.

(5)

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Pengaruh suhu pengeringan yang berbeda terhadap kadar air

Hasil Analysis of Variance (ANOVA) pada suhu pengeringan yang berbeda yaitu pada suhu 45oC, 55oC, dan 65oC terhadap kadar air, ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analysis of Variance (ANOVA)

SK DB JK KT Fhit Ftab

Perlakuan 2 16.55385 8.276927 52.98816** 3.885 6.927 Error 12 1.87444 0.156203

Total 14 18.42829

Sumber : Data diolah (2022)

Hasil pada Tabel 3 menyimpulkan bahwa suhu pengeringan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kadar air. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian [17] yang melaporkan penurunan kadar air dengan meningkatnya suhu berpengaruh secara signifikan untuk kualitas jahe kering. Setelah mengetahui adanya pengaruh yang sangat signifikan antara suhu pengeringan pada kadar air, maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan metode Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui suhu pengeringan terbaik dalam pembuatan simplisia jahe. Hasil dari uji LSD disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 3.

Tabel 4. Perbedaan mutu simplisia Jahe dengan Least Significant Difference (LSD) Perlakuan suhu pengeringan Persentase Kadar Air

45oC 6.218a

55oC 4.768b

65oC 3.652c

Sumber : Data diolah (2022)

Gambar 3. Nilai kadar air simplisia Jahe Sumber : Data diolah (2022)

Hasil dari uji LSD menunjukkan adanya perbedaan antara suhu 45oC, 55oC, dan 65oC. Suhu pengeringan terbaik adalah pada suhu 65oC, hal ini terlihat dari kadar airnya yaitu sebesar 3.652%. Hasil eksperimen yang dilakukan hasilnya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan yaitu kadar air yang dapat diterima untuk simplisia jahe maksimum adalah sebesar 10% dan untuk suhu pengeringan 65 oC kadar airnya dibawah 10%.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka akan semakin mendekati nilai kadar air yang setimbang, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Hal ini berarti semakin tinggi suhu pengeringannya, maka semakin lemah dalam proses mengikat airnya.

Penelitian [18] menunjukkan bahwa kadar air merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap keawetan bahan olahan. Semakin rendah kadar air, maka semakin lambat pertumbuhan organisme sehingga olahan makanan menjadi semakin awet. Demikian sebaliknya semakin tinggi kadar air maka menyebabkan olahan makanan menjadi cepat membusuk, karena organisme semakin cepat pertumbuhannya.

Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan keefektifan dari pengaruh suhu terhadap kadar air, antara lain adalah [19]. Hasil penelitiannya menunjukkan kadar air yang tinggi, akan mengakibatkan reaksi enzimatik, dimana mengakibatkan perubahan kimia yang disebabkan oleh mikroba. Perubahan kimia yang terjadi akan menurunkan mutu dari produk dihasilkan. Kandungan air yang tinggi memudahkan mikro

0 1 2 3 4 5 6 7

45oC 55oC 65oC

Kadar air (%)

Suhu Pengeringan (oC)

(6)

menjadi hilang. Penelitian lain juga dilakukan oleh [20], penelitiannya menunjukkan kandungan air pada bahan olahan makanan akan menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap bahan olahan tersebut. Kandungan air pada bahan olahan pangan yang banyak menyebabkan penurunan kualitas, karena bahan olahan pangan tersebut menjadi lebih cepat mengalami proses pembusukan.

3.2. Pengaruh suhu pengeringan yang berbeda pada kinetika pengeringan Jahe

Gambar 4 menggambarkan grafik kinetika pengeringan (MR terhadap waktu pengeringan) irisan jahe yang dikeringkan pada kondisi suhu yang berbeda yaitu 45oC, 55oC, dan 65oC. Kadar air awal irisan jahe adalah 81,55%. Selama proses pengeringan, penilaian kadar air dilakukan pada interval 30 menit sampai mencapai titik konstan. Periode pengeringan dengan menggunakan electrical oven ditetapkan selama 480 menit. Grafik pada Gambar 4 menunjukkan kinetika pengeringan sampel pada temperatur yang berbeda. Pada awal periode, laju pengeringan lebih rendah dibandingkan suhu lainnya. Hal ini dikarenakan sampel dikeringkan pada suhu yang lebih rendah. Laju pengeringan yang semakin menurun mengindikasikan bahwa air yang terkandung dalam jahe kering masih memiliki potensi menguap. Hal ini terjadi karena selama proses pengeringan terdapat banyak air di udara yang sulit untuk keluar dan naik ke permukaan bahan. Tingkat penguapan air menurun seiring waktu [21].

Gambar 4. Grafik Moisture Ratio (MR) Sumber : Data diolah (2022)

Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa pola penurunan Moisture Ratio (MR) pada jahe terjadi pada suhu 65oC, sampel irisan jahe mencapai titik konstan antara 420 – 480 menit. Hasil tersebut sesuai dengan uji Least Significant Difference (LSD) yang dilakukan sebelumnya. Uji LSD menunjukkan bahwa suhu terbaik dalam pembuatan simplisia jahe adalah 65oC. Hal ini mengindikasikan semakin lama waktu pengeringan maka akan membuat kadar airnya semakin rendah. Selain itu juga semakin tinggi suhu pengeringan akan dihasilkan Moisture Ratio (MR) yang rendah. Fenomena ini dikarenakan tingkat laju pengeringan akan meningkat seiring meningkatnya suhu pengeringan. Adanya peningkatan difusitas air pada suhu tinggi menyebabkan meningkatnya laju pengeringan. Proses pengeringan menyebabkan kadar air pada permukaan bahan berkurang sehingga memungkinkan udara masuk dan mengeringkan bahan. Semakin besar temperatur udara, semakin banyak energi panas yang dibawa oleh udara, sehingga lebih banyak cairan yang menguap dari permukaan bahan yang dikeringkan [22].

Perlakuan dengan temperatur pengeringan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap karakteristik fisik. Pengeringan menyebabkan adanya perubahan warna, tekstur, serta aroma pada produk [23]. Ada dua jenis faktor yang mempengaruhi pengeringan: faktor yang terkait dengan udara serta terkait dengan sifat bahan yang akan dikeringkan. Faktor yang termasuk dalam kelompok pertama yaitu temperatur, kecepatan, serta kelembaban. Faktor dalam kelompok kedua yaitu ukuran bahannya, kadar air, serta tekanan parsial yang terkandung dalam bahan [24].

3.3. Model Pengeringan

Penelitian ini menilai seberapa akurat prediksi laju pengeringan untuk persamaan model kinetik yang berbeda. Laju pengeringan yang diprediksi untuk model ini didasarkan pada konstanta kinetik yang ditentukan untuk masing-masing model. Model Newton, model Henderson & Pabis dan model Page merupakan tiga model yang dipilih dan digunakan untuk pemodelan kinetika pengeringan irisan jahe yang dikeringkan dengan metode electrical oven (Tabel 5).

Untuk menilai model terbaik untuk hasil eksperimen, maka dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2), chi-square (𝜒2), dan Root Mean Square Error (RMSE). Pada berbagai persamaan model kinetik

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 100 200 300 400 500 600

Moisture Ratio (%)

Waktu Pengeringan (menit)

MR45C MR55C MR65C

(7)

berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa hasil estimasi laju pengeringan jahe menurut model Newton, model Henderson & Pabis dan model Page semuanya dapat diterima oleh karena nilai prediksinya hampir mendekati data sebenarnya.

Tabel 5. Pemodelan kinetik pengeringan Jahe

Suhu Model R2 X2 x 10-5 RMSE

45oC Newton 0,9738 22,3 0,01483

Henderson & Pabis 0,9847 27,0024 0,0027

Page 0,9973 25,0977 0,00251

55oC Newton 0,9819 1,56 0,003938

Henderson & Pabis 0,9857 9,48 0,00963

Page 0,9984 13,8632 0,00263

65oC Newton 0,9885 2,89 0,00532

Henderson & Pabis 0,9968 32,8405 0,00361

Page 0,9986 0,092 0,00061

Sumber : Data diolah (2022)

Terlihat pada Tabel 5 model kinetika yang paling baik, dimana hasil estimasinya paling dekat dengan data sebenarnya adalah model Page dengan nilai R2 sebesar 0.9986, serta suhu terbaik untuk pengeringan Jahe adalah pada suhu 65oC. Nilai hasil peramalan yang mendekati data sebenarnya dengan tingkat kepercayaan 99%. Berdasar perbandingan ketiga model kinetic tersebut, model persamaan yang paling baik untuk pendugaan laju pengeringan jahe adalah model Page dengan nilai R2 tertinggi dan nilai 𝜒2 dan RMSE rendah yang nilainya masing-masing 0.092 dan 0,00061. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, bahwa model Page telah ditetapkan sebagai model yang paling tepat untuk meningkatkan kinetika pengeringan berbagai tanaman pertanian termasuk lada [25], jamur [26], murbei putih [27], dan jahe [28].

4. Kesimpulan

Pengaruh tiga suhu pengeringan yang berbeda yaitu 45oC, 55oC, dan 65oC dengan metode electrical oven dievaluasi pada penelitian ini. Waktu pengeringan yang diperlukan untuk mengeringkan jahe hingga kadar air berada pada kondisi konstan adalah antara 420 hingga 480 menit. Analisis yang digunakan untuk mengetahui suhu pengeringan terbaik dalam pembuatan simplisia jahe adalah dengan metode Analisis of Varians (ANOVA). Hasil dari metode Analisis of Varians (ANOVA) menunjukkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar airnya. Setelah itu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui suhu pengeringan terbaik dengan metode Least Significant Difference (LSD). Hasil dari metode Least Significant Difference (LSD) menunjukkan suhu pengeringan terbaik adalah sebesar 65oC.

Data pengeringan eksperimental dipasang ke dalam tiga model kinetik yang berbeda dan dibandingkan dengan menggunakan kriteria statistik. Pada penelitian ini menunjukkan model page memiliki nilai koefisien determinasi (R2) terbesar, yaitu sebesar 0.9986, dimana nilai tersebut mendekati data aktual. Model page juga menunjukkan nilai 𝜒2 dan RMSE yang rendah dimana nilainya masing-masing 0.092 dan 0,00061. Model page ditemukan paling cocok untuk menggambarkan kinetika pengeringan jahe di antara model lain yang diuji (Newton dan Henderson & Pabis), dimana model ini menghasilkan Moisture Ratio (MR) permodelan yang cocok dengan Moisture Ratio (MR) percobaan.

5. Referensi

[1] R. Osae, C. Zhou, B. Xu, W. Tchabo, E. Bonah, E. Alenyorege, and H. Ma, “Nonthermal Pretreatments Enhances Drying Kinetics and Quality Properties of Dried Ginger (Zingiber Officinale Roscoe) Slices,”

Journal of Food Process Engineering, vol. 42, no. 3, pp. 1–11, Aug. 2019.

[2] R. Kiyama, “Nutritional Implications of Ginger: Chemistry, Biological Activities and Signaling Pathways,” Journal of Nutritional Biochemistry, vol. 86, pp. 1–15, 2020.

[3] K. Srinivasan, “Ginger Rhizomes (Zingiber Officinale): A Spice with Multiple Health Beneficial Potentials,” PharmaNutrition, vol. 5, no. 1, pp. 18–28, Mar. 2017.

[4] A. Jelled, A. Fernandes, L. Barros, H. Chahdoura, L. Achour, I. C. F. R. Ferreira, and H. B. Cheikh,

“Chemical and Antioxidant Parameters of Dried Forms of Ginger Rhizomes,” Industrial Crops and Products, vol. 77, pp. 30–35, Dec. 2015.

[5] O. Olaoye and J. Ogunleye, “(PDF) Experimental Study of Drying Parameters of Ginger at Different Temperature and Moisture Content,” European Journal of Engineering Research and Science, vol. 3,

(8)

[6] Y. Prasetyo, A. Zainudin, and M. Muhidin, “The Early Growth and Development of 10 Genotypes Gajah Ginger as Intercrops System in Jatropha Curcas Plantation,” Journal of Tropical Crop Science and Technology, vol. 2, no. 1, Art. no. 1, Oct. 2020.

[7] R. Osae, C. Zhou, R. N. Alolga, B. Xu, W. Tchabo, E. Bonah, E. Alenyorege, and H. Ma, “Effects of Various Nonthermal Pretreatments on the Physicochemical Properties of Dried Ginger (Zingiber officinale Roscoe) Slices from Two Geographical Locations,” J Food Sci, vol. 84, no. 10, pp. 2847–

2858, Oct. 2019.

[8] X. Yin, S. Wang, R. N. Alolga, E. Mais, P. Li, P. Yang, S. Komatsu, and L. Qi, “Label-Free Proteomic Analysis to Characterize Ginger from China and Ghana,” Food Chemistry, vol. 249, pp. 1–7, May 2018.

[9] D. Herawati and L. N. Sumarto, Cara Produksi Simplisia yang Baik. Institut Pertanian Bogor: Seafast Center, 2012. Accessed: Nov. 14, 2022. [Online].

[10] A. W. Deshmukh, M. N. Varma, C. K. Yoo, and K. L. Wasewar, “Investigation of Solar Drying of Ginger (Zingiber officinale): Emprical Modelling, Drying Characteristics, and Quality Study,” Chinese Journal of Engineering, pp. 1–7, 2014.

[11] B. Haryanto, M. Yunita, R. Tambun, M. Sarah, and A. T. R. F. Sinuhaji, “Research Activities From Home During Coronavirus Disease (Covid) 19: Drying Kinetic Study Of Ginger (Zingiber Officinale Rosc.) Naturally (Natural Drying),” Journal of Positive School Psychology, vol. 6, no. 6, pp. 8277–8286, Jul. 2022.

[12] A. N. Jibril and A. A. Ishaq, “Effect of Selected Oven Drying Temperatures on the Quality of Tiger Nut (cyperus Esculentus) and Ginger Nut (zingiber Officinale),” Algerian Journal of Engineering and Technology, vol. 6, pp. 37–42, 2022.

[13] I. B. Alit, I. G. B. Susana, and I. M. Mara, “Utilization of Rice Husk Biomass in the Conventional Corn Dryer Based on the Heat Exchanger Pipes Diameter,” Case Studies in Thermal Engineering, vol. 22, p.

100764, Dec. 2020.

[14] R. H. Wafa, T. W. Agustini, and A. S. Fahmi, “Drying Kinetics and Study of Physical Characteristic Using Image Analysis of Dried Salted Striped Catfish (Pangasius hypophthalmus),” IOP Conf. Ser.:

Earth Environ. Sci., vol. 750, no. 1, May 2021.

[15] E. Meisami-Asl, S. Rafiee, A. Keyhani, and A. Tabatabaeefar, “Determination of Suitable Thin Layer Drying Curve Model for Apple Slices (variety-Golab),” Plant OMICS, vol. 3, no. 3, pp. 103–108, May 2010.

[16] R. Osae, M. T. Apaliya, E. Kwaw, M. T. R. Chisepo, O. P. N. Yarley, E. A. Antiri, and R. N. Alolga,

“Drying Techniques Affect the Quality and Essential Oil Composition of Ghanaian Ginger (Zingiber Officinale Roscoe),” Industrial Crops and Products, vol. 172, 2021, Accessed: Nov. 14, 2022. [Online].

[17] J. S. Alakali, C. T. Kucha, and I. A. Rabiu, “Effect of Drying Temperature on the Nutritional Quality of Moringa Oleifera Leaves,” AJFS, vol. 9, no. 7, pp. 395–399, Jul. 2015.

[18] G. P. Sari, “Studi Budidaya Dan Pengaruh Lama Pengeringan Terhadap Jahe Merah (zinggiber Officinale Rosc.),” skripsi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011. Accessed: Nov. 14, 2022.

[Online].

[19] E. Korbel, E. Attal, J. Grabulos, E. Lluberas, N. Durand, G. Morel, T. Goli, and P. Brat, “Impact of Temperature and Water Activity on Enzymatic and Non-Enzymatic Reactions in Reconstituted Dried Mango Model System,” Eur Food Res Technol, vol. 237, no. 1, pp. 39–46, Jul. 2013.

[20] F. G. Winarno, Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press, 2008. Accessed: Nov. 17, 2022. [Online].

[21] Z.-L. Liu, M. Zielinska, X.-H. Yang, X.-L. Yu, C. Chen, H. Wang, J. Wang, Z. Pan, and H.-W. Xiao,

“Moisturizing Strategy for Enhanced Convective Drying of Mushroom Slices,” Renewable Energy, vol.

172, pp. 728–739, Jul. 2021.

[22] C. S. Kannan and N. B. Subramanian, “Drying Kinetics of Saw Dust in Tray Dryer,” Journal of Sustainable Development, vol. 1, no. 3, 2008, Accessed: Nov. 14, 2022. [Online].

[23] M. Starowicz and H. Zielinski, “How Maillard Reaction Influences Sensorial Properties (Color, Flavor and Texture) of Food Products?,” Food Reviews International, vol. 35, no. 8, pp. 1–19, 2019.

[24] D. Nurba, M. Yasar, M. Mustaqimah, R. Fadhil, P. S. Sari, and C. Mysa, “Performance of Corncobs and Wood Charcoal Briquette as Heat Energy Sources in In-Store Dryer,” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, vol. 365, no. 1, Nov. 2019.

[25] A. Krzykowski, D. Dziki, S. Rudy, U. Gawlik-Dziki, R. Polak, and B. Biernacka, “Effect of Pre- Treatment Conditions and Freeze-Drying Temperature on the Process Kinetics and Physicochemical Properties of Pepper,” LWT, vol. 98, pp. 25–30, Dec. 2018.

[26] F. Pei, Y. Shi, A. Mariga, W.-J. Yang, X. Tang, L. Zhao, X.-X. An, and Q.-H. Hu, “Comparison of Freeze-Drying and Freeze-Drying Combined with Microwave Vacuum Drying Methods on Drying

(9)

Kinetics and Rehydration Characteristics of Button Mushroom (Agaricus bisporus) Slices,” Food and Bioprocess Technology, vol. 7, no. 6, Oct. 2013.

[27] D. Evin, “Microwave Drying and Moisture Diffusivity of White Mulberry: Experimental and Mathematical Modeling,” Journal of Mechanical Science and Technology, vol. 25, no. 10, pp. 2711–

2718, Oct. 2011.

[28] N. Izli and A. Polat, “Effect of Convective and Microwave Methods on Drying Characteristics, Color, Rehydration and Microstructure Properties of Ginger,” Food Science and Technology, vol. 39, no. 10, pp. 1–8, May 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara lama fermentasi dan suhu pengeringan memberikan pengaruh terhadap kadar tanin, kadar air, kadar abu, uji organoleptik rasa,

Setelah didapat perbedaan yang signifikan, dapat dilakukan uji analisis lanjutan (Post Hoc) dilakukan uji Least Significant Difference (LSD) untuk membandingkan perbedaan

Pengujian alat pengering dengan benih kacang panjang meliputi pengujian terhadap suhu pengeringan, kadar air benih dan viabilitas benih yang dibandingkan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama pengeringan 32 jam yang dikombinasikan dengan suhu pengeringan 50°C menghasilkan wortel kering terbaik berdasarkan nilai kadar

Perlakuam terbaik pada perlakuan waktu dan suhu pengeringan mocaf menggunakan metode De Garmo mendapatkan hasil terbaik berdasarkan beberapa parameter uji

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung umbi ganyong dengan tepung hanjeli dan suhu pengeringan serta interaksi kedua faktor berpengaruh terhadap kadar

Dari hasil uji organoleptik dalam pembuatan serbuk perisa alami dari limbah pengolahan daging rajungan dengan perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh ketinggian tray dan suhu udara pengering terhadap kadar air, laju pengeringan, karakteristik pengeringan, dan kualitas jahe merah