• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DALAM PENDIDIKAN SAINS TERINTEGRASI AGAMA DAN ETIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DALAM PENDIDIKAN SAINS TERINTEGRASI AGAMA DAN ETIKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

DALAM PENDIDIKAN SAINS TERINTEGRASI AGAMA DAN ETIKA Oleh: Arifah Khusnuryani

Dosen Program Studi Biologi dan Pendidikan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

ABSTRACT

Science and technology have been integrated into almost every aspect of human life.

The development of science-technology raise a dilemma, in one hand it gives many benefits that can improve the quality of human life, but on the other hand it also has some disadvantages related to the technology itself and the ethical aspect of the development of science-technology. Therefore, we need an education about wisdom in developing science-technology through religion education or other disciplines which deliver ethics or values. Muhammadiyah is one of Islamic social-society board which has some institution of education, from early stage until higher education.

Those institutions of education in Muhammadiyah have an important and strategic role in delivering education of science-technology which is integrated with religion and ethics, and vice versa. Ethics education, especially bioethics, usually is delivered for medical students. However, there is a thought that this ethics education should be delivered to early stage until higher education. Therefore, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah and Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah has important role in formulating and developing the education of science-technology which is integrated with religion and ethics. Then the education institution of Muhammadiyah can produce some scientists who competence in their disciplines which is based with religion and ethics values.

Key Words: Science-Technology, Religion, Ethics and Muhammadiyah

A. Pendahuluan

Sains dan teknologi telah menjadi bagian yang terintegrasi dalam kehidupan manusia. Sampai saat ini, hampir seluruh bagian kehidupan manusia telah tersentuh oleh perkembangan sains dan teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Pelbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia telah dipengaruhi oleh adanya perkembangan sains dan teknologi. Perkembangan kedua hal ini seolah-olah telah

”mewabah” dan bergerak bagaikan air bah yang sulit terbendung lagi.

Namun demikian, perkembangan sains dan teknologi dalam kehidupan manusia telah menimbulkan suatu dilema tersendiri. Di satu sisi, perkembangan sains dan

(2)

teknologi telah membawa banyak dampak positif yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Peningkatan kualitas (kesejahteraan) hidup manusia ini tidak lepas dari semakin berkembangnya penelitian-penelitian di bidang sains dan teknologi.

Ditemukannya pelbagai vaksin dan obat-obatan baru, varietas sumber pangan, perkembangan teknologi informasi dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh peningkatan kualitas yang dimaksud.

Sekalipun dapat memberi manfaat, tetapi di sisi lain, sains dan teknologi juga bisa menimbulkan pelbagai permasalahan. Permasalahan yang timbul tidak hanya terkait dengan aspek teknologi saja, tetapi juga aspek etis yang terkait dengan perkembangan keduanya. Aspek etika dalam perkembangan sains dan teknologi tersebut merupakan satu hal yang penting untuk dipikirkan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan sains dan teknologi yang sedemikian pesat tetapi tidak disertai dengan kebijaksanaan dalam menyikapi perkembangannya.

Oleh karena itu, pengembangan sains dan teknologi haruslah didasari dengan kebijaksanaan dalam mengembangkan maupun menyikapinya. Dengan adanya kebijaksanaan ini akan diperoleh lebih banyak manfaat yang dihasilkan oleh sains dan teknologi bagi kehidupan manusia. Adapun bekal dalam mengembangkan sains dan teknologi yang bijaksana dapat dimulai sejak dalam bangku pendidikan. Pendidikan tentang kebijaksanaan yang berhubungan dengan pengembangan ilmu ini dapat ditempuh melalui pendidikan agama maupun bidang lainnya yang memuat etika atau nilai. Upaya ini jelas menunjukkan bahwa lembaga pendidikan yang berbasis agama mempunyai peran penting dan strategis dalam mewujudkannya.

B. Sains, Agama dan Etika

Seiring dengan jumlah penduduk dunia dan standar hidup manusia yang semakin meningkat, maka permintaan terhadap produk yang berkualitas tinggi juga semakin meningkat. Kondisi ini jelas turut berperan besar dalam memicu perkembangan sains dan teknologi yang ditujukan untuk kesejahteraan hidup manusia. Namun demikian, pada tahap perkembangannya, pemanfaatan sains dan teknologi ini justru telah

(3)

menimbulkan beberapa kontroversi. Hal ini terkait dengan dampak negatif yang timbul karena pemanfaatan manusia terhadap kedua produk masyarakat modern ini.

Keadaan ini selanjutnya telah mendorong munculnya isu-isu strategis, yang salah satunya adalah etika, dalam memperbincangkan pengembangan sains dan teknologi.

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa pemanfaatan sains yang dilakukan manusia telah mengalami pergeseran. E.F. Schumacher menegaskan hal ini dengan ungkapan berikut: telah terjadi pergeseran dari “sains untuk memahami” menjadi

“sains untuk memanipulasi”. Pergeseran ini sesungguhnya telah terjadi sejak masa Renaisance dan seiring dengan semakin meluasnya pengaruh Barat maka pergeseran paradigma itu juga sampai kepada kalangan intelektual muslim.

Dalam pandangan Golshani (2004: 62) ”sains untuk memahami” berpijak pada kebijaksanaan dan kode moral. Tujuannya adalah mengungkapkan rahasia kekuasaan Tuhan melalui hasil ciptaan-Nya di alam. Sedangkan, ”sains untuk memanipulasi”

didasari oleh kehendak untuk mengeksploitasi dan memanipulasi alam. Dengan dasar pemahaman semacam ini kemudian tidak mengherankan jika persoalan etika mulai banyak yang bermunculan.

Sesungguhnya, etika dapat diartikan sebagai moral atau moralitas. Etika bisa pula diartikan sebagai ilmu atau studi tentang moralitas yang mempelajari tentang baik atau buruk (dalam arti moral) dan mencoba menentukan yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Penentuan antara etis dan tidak etis terhadap suatu masalah adalah suatu pekerjaan yang kompleks dan tidak mudah. Sebab, etika diatur atau dipengaruhi oleh prinsip moral serta panduan menentukan mana yang baik dan buruk, yang bersifat individual.

Selain itu, seseorang dengan latar belakang agama yang beda juga sering memiliki pandangan yang berbeda tentang hal ini. Misalnya saja keyakinan umat Islam yang menyatakan bahwa memakan babi ialah sesuatu yang tidak dibenarkan (tidak diperbolehkan). Sementara, penganut agama Hindu berpegangan bahwa lembu adalah binatang suci dan tidak boleh dimakan, sedangkan agama lain memperbolehkannya.

(4)

Pertanyaan yang timbul dalam etika adalah apakah hukum moral itu bersifat valid secara obyektif dan tidak tergantung pada konteks agama, budaya, sejarah atau situasi? Agama telah memberikan rambu-rambu yang jelas dan pasti bagi umatnya, meskipun tidak mencakup semua hal. Kadangkala manusia dituntut untuk berpikir dan menentukan mana yang baik dan buruk, baik berdasar aturan agama yang telah ada ataupun berdasar ijtihad berdasarkan kondisi atau tata aturan yang ada dalam masyarakat. Sementara, pada saat tertentu, hukum moral dalam konteks sejarah dan budaya dipengaruhi oleh situasi dan tata aturan yang berkembang dalam masyarakat.

Nilai-nilai dasar dalam kehidupan kemungkinan masih sangat bersifat relatif, sebab hal ini berkaitan dengan kultur yang ada dalam masyarakat. Pelbagai nilai-nilai dasar yang ada ini menyebabkan diperlukannya etika.

Secara definitif, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethos yang berarti watak. Menurut K. Bertens, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang diterima sebagai pegangan bagi perilaku (Wilardjo, 2006: 53). Di dalam etika tercakup nilai-nilai serta karakter manusia yang ideal dan berujung pada standar moral untuk mencapai dua sasaran utama, yakni: memberitahukan bagaimana kita seharusnya bertindak pada situasi tertentu, dan menyediakan alasan kuat untuk melakukannya (Schüklenk, 2005: 12).

Berdasar pengertian di atas, etika mencakup pertimbangan baik dan buruk untuk menentukan keputusan, sikap, perkataan dan tindakan manusia. Dengan demikian etika dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pribadi, sebagaimana nuraninya masing-masing. Hal ini berarti bahwa batasan etika (baik-buruk), seperti perbuatan, keputusan maupun perkataan berada dalam diri manusia masing-masing. Pandangan ini sesungguhnya sesuai dengan paham ethical subjectivism.

Menurut pandangan ethical subjectivism, etika lebih bersifat subjektif. Ini berarti bahwa pandangan etika yang dipilih tergantung pada masalah opini dan rasa subjektif masing-masing individu. Namun demikian, subjektivitas sering mengarah pada sikap inkonsistensi sehingga dapat mempengaruhi posisi etika. Selain itu, ada pandangan ethical relativism atau cultural relativism. Dalam etika ini, bukan perilaku individu

(5)

yang menentukan apa yang benar dan salah, tetapi perilaku budaya di mana mereka hidup merupakan aspek penentunya. Menurut pandangan ini, nilai-nilai etika selalu bersifat kontekstual.

Pandangan lain tentang etika juga dikembangkan oleh seorang filosof, R.M. Hare.

Di sini, Hare mengembangkan universal prescriptivism sebagai alternatif terhadap etika subjektivisme dan kultural. Dalam pandangan universal prescriptivism, prinsip dasar etika itu lebih bersifat universal, tidak berubah dan abadi. Dengan demikian, menurut pandangan ini, setiap orang yang menyatakan suatu penilaian etis harus siap untuk menyatakannya ke dalam term universal dan mengaplikasikannya untuk semua situasi yang relevan.

Sekalipun terdapat pelbagai pandangan tentang etika, namun di dalam Islam, etika diidentikkan dengan ilmu akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti tabiat, watak, budi pekerti, perangai dan adat istiadat atau kebiasaan. Menurut “Ensiklopedi Islam Indonesia”, di dalam kata akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq dengan perilaku manusia sebagai makhluk, seperti: perilaku seseorang dengan orang lain maupun dengan lingkungannya (Harun Nasution et.al., 1992: 981). Dengan pengertian ini maka baik-buruk atau benar-salah secara moral dapat diukur dengan seberapa jauh hal tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kehendak Tuhan sendiri dapat diketahui dengan mempelajari wahyu-Nya, yaitu al-Qur‟an yang menjadi pedoman hidup manusia dan dapat menuntun menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Terkait dengan hal ini, akhlak bisa digunakan sebagai acuan untuk menyelaraskan segala aktivitas manusia agar sesuai dengan kehendak Tuhan, baik aktivitas yang berhubungan dengan manusia maupun lingkungan.

Menurut Amin Abdullah (1995: 147) dan Haidar Bagir (2002: 15), kata akhlak dalam Islam sama dengan moral. Bagi seorang muslim, akhlak (moral) merupakan suatu nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan yang bersifat normatif, mengikat serta harus diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, etika merupakan studi kritis terhadap moralitas (akhlak) tersebut, atau bisa dikatakan bahwa etika ialah ilmu yang mempelajari baik dan buruk.

(6)

Di dalam Islam, akhlak kadang disebut sebagai tasawuf, yaitu seperangkat tata nilai keagamaan yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tanpa dipertanyakan secara kritis terlebih dahulu. Sumber etika di dalam Islam adalah al- Qur‟an dan al-Sunnah. Implementasi kedua sumber ini secara lebih substantif sesuai dengan tuntutan perkembangan budaya dan zaman yang selalu bergerak dinamis, sehingga memerlukan proses penafsiran atau ijtihad. Untuk itu, diperlukan proses pemikiran dan logika yang terbimbing oleh akal atau nalar sehat serta nurani yang jernih dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Sunnah guna memperoleh filosofi etika di dalam masyarakat Islam.

Al-Qur‟an sebagai sumber utama etika dalam Islam lebih bersifat humanistik dan rasionalistik. Humanistik dalam pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Bersifat rasionalistik artinya bahwa semua pesan-pesan yang digunakan al- Qur‟an terhadap manusia sejalan dengan rasionalitas manusia yang tertuang dalam karya-karya para filosof. Pesan-pesan al-Qur‟an, seperti ajakan kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati kedua orangtua, bekerja keras, cinta ilmu, semuanya tidak ada yang berlawanan dengan kedua sifat di atas (Muhammad, 2004: 40).

Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Di samping itu, moralitas Islam didasarkan kepada keahlian, yaitu dengan menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Di sini tampak bahwa hal tersebut sejalan dengan teori moderasi, di mana nilai perbuatan yang diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan perbuatan itu sendiri. Tindakan etis bersifat rasional, sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelaku tindakan etis tersebut (Amin Abdullah, 2002: 19-20).

Seperti dinyatakan Potter dalam bukunya Bioethics, Bridge to the Future, manusia sangat membutuhkan suatu kearifan yang mencakup pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan pengetahuan bagi keberlangsungan hidup manusia dan perbaikan

(7)

kualitas hidup mereka. Konsep kearifan ini akan mencakup suatu tuntutan tentang bagaimana menggunakan pengetahuan untuk kebaikan sosial dan konsep kearifan tersebut dapat tertuang dalam rumusan tentang etika.

Etika memang tidak termasuk dalam domain ilmu dan teknologi yang bersifat otonom. Akan tetapi, penerapan teknologi memerlukan dimensi etis sebagai suatu pertimbangan. Walaupun ranah ilmiah hanya mencakup hal-hal yang bersifat empiris, namun tidak dapat dipungkiri bahwa aplikasi teknologi menyentuh relung-relung kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu model untuk menjembatani aplikasi sains dan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Pertimbangan etika lebih lanjut akan berimplikasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya memang berfungsi untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan untuk menghancurkan nilai-nilai tersebut. Etika bukan untuk mencampuri atau bahkan menghancurkan otoritas ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.

Kesadaran tentang permasalahan etika yang luas di masyarakat telah menimbulkan suatu perdebatan terbuka pada semua level masyarakat mengenai implikasi sosial suatu penelitian ilmiah maupun pelbagai penemuan di bidang sains dan teknologi. Biologi nampaknya menerima suatu investigasi yang cukup ketat mengenai masalah etika. Hal ini cukup beralasan mengingat bidang kajian dalam biologi, mulai dari kumpulan informasi genetika dan teknologinya, penelitian dengan menggunakan subjek hewan maupun manusia, hingga masalah kerusakan lingkungan telah mengusik pertimbangan etis. Dengan semakin spesifiknya perkembangan bidang-bidang keilmuan pada tataran ilmu terapan, kebutuhan terhadap kajian etika sekarang ini pun tidak cukup berada pada tataran filosofis saja, tetapi juga harus merambah pada tataran terapan yang bersifat spesifik, misalnya kajian khusus etika dalam ilmu biologi atau bioetika.

Dalam kaitan antara sains-teknologi, agama dan etika, negara Indonesia juga memiliki rambu-rambu terkait dengan hal tersebut. Dalam Perubahan Keempat UUD

(8)

45 Pasal 31 ayat (5) yang dinyatakan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Selain itu, terdapat Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal 13, yang memuat tentang antisipasi terhadap produk pangan yang dihasilkan melalui rekayasa genetika.

Batasan-batasan perlindungan dalam Perlindungan Varietas Tanaman juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000.

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK (RPP Penelitian Berisiko Tinggi) yang dimuat dalam UU No. 18/2002 pasal 22 menyebutkan bahwa:

1. Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional

Ketentuan dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Selain perundang-undangan, pada saat ini Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) berupaya untuk merumuskan kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengikuti etika, yaitu dengan penyusunan Pedoman Umum Bioetika Sumber Daya Hayati.

Peran Lembaga Pendidikan Muhammadiyah dalam Integrasi Sains, Agama, dan Etika

(9)

Saat ini telah berkembang wacana tentang etika manusia dan hubungannya dengan komponen biotik (komponen benda hidup) dan abiotik (komponen benda tak hidup) dalam ekosistem. Pemborosan sumber daya alam dapat dikatakan tidak hanya tidak sesuai tetapi secara moral adalah salah. Persepsi manusia terhadap lingkungan dan perilaku terhadap lingkungan muncul sebagai bagian yang terintegrasi dari hubungan antara manusia dengan alam sejak lama. Persepsi individu terhadap lingkungan terbentuk secara alami dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tradisi, pengalaman dan pengamatan personal, pendidikan dan informasi yang diterima dari pelbagai sumber.

Faktor-faktor tersebut dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan formal maupun non formal. Muhammadiyah merupakan salah satu lembaga social kemasyaakatan berbasis agama Islam yang memiliki cukup banyak lembaga pendidikan, mulai tingkat usia dini hingga perguruan tinggi. Sebagai lembaga berbasis agama Islam, lembaga pendidikan Muhammadiyah memberikan materi agama yang cukup banyak kepada peserta didiknya. Dengan demikian, tentunya akan banyak pemberian ilmu maupun penanaman nilai-nilai agama pada peserta didik, termasuk di dalamnya nilai-nilai etika.

Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan lainnya adalah perhatiannya terhadp masalah ilmu atau sains. Islam, melalui Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, menyeru kaum muslim untuk mencari ilmu dan kearifan. Islam juga menempatkan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan pada derajat yang tinggi. Kata al-„ilm dan kata-kata jadiannya digunakan dalam Al-Qur‟an lebih dari 780 kali. Selain itu, beberapa ayat pertama menyebutkan tentang arti pentingnya membaca, pena dan ajaran manusia.1

Al-Quran mengatakan bahwa tidaklah sama antara orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui, serta hanya orang yang belajarlah yang dapat memahami. Hal tersebut tercantum dalam ayat berikut :

1 Mahdi Ghulsyani, 1986, Filsafat Sains menurut Islam, Penerbit Mizan, Bandung, hal. 39.

(10)

Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” (QS. 39:9).

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu. (QS. 29:43).

Pernyataan-pernyataan terkait dengan himbauan mencari ilmu dan pujian bagi orang yang terdidik juga tercantum di dalam hadist, seperti pernyataan “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim”, “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina”, dan

“Carilah ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat”. Pujian bagi kaum terdidik dalam hadits ditunjukkan dalam pernyataan berikut : “Para ulama itu adalah pewaris para Nabi” dan “Pada hari kiamat, ditimbanglah tinta ulama dengan darah syuhada, maka tinta ulama dilebihkan dari darah syuhada”. Dengan demikian, jelaslah arti penting mencari ilmu dalam ajaran Islam.

Terdapat beberapa pandangan ulama terkait dengan hukum dalam kewajiban mencari ilmu, misalnya ada yang membedakan menjadi ilmu yang bersifat wajib „ain dan wajib kifayah untuh dipelajari. Sebagai contoh adalah pandangan Abu Hamid Al- Ghazali yang menyatakan bahwa ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah ilmu yang terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat Islam, sedangkan ilmu- ilmu seperti ilmu tentang obat, matematika, dan kerajinan yang diperlukan oleh masyarakat adalah masuk kategori ilmu yang wajib kifayah. Sementara Shadr Al-Din Syirazi berpandangan bahwa belajar “ilmu agama” (misalnya tauhid, sifat-sifat Allah) maupun belajar “ilmu non agama” (atau ilmu-ilmu kemanusiaan) adalah sama-ssama wajib dipelajari. Menurutnya, apa yang wajib „ain untuk dipelajari setiap orang tidak berarti wajib untuk masing-masing individu, dan yang wajib untuk seseorang tidak berarti wajib bagi orang lain.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, penggolongan ilmu dalam “ilmu agama” dan “non agama” dapat menimbulkan kesalahan pemahaman dalam memandang kedudukan antar ilmu, yaitu bahwa ilmu “non agama” terpisah dari ilmu

“agama” (Islam), dan hal ini bertentangan dengan keuniversalan agama Islam sebagai agama yang dapat merahmati kebahagiaan kepada kemanusiaan. Hal ini sesuai

(11)

dengan pendapat yang disampaikan oleh Syahid Murtadha Muthahhari. Menurutnya, kelengkapan dan kesempurnaan Islam menuntut agar setiap bidang ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam dianggap sebagai bagian dari ilmu agama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menuntut ilmu, baik yang masuk kategori ilmu “agama” maupun “non agama” adalah sama-sama pentingnya.

Hal tersebut selaras dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Bekal ilmu umum/”non agama” akan menjadikan peserta didik sebagai orang yang berilmu dan cakap di bidangnya, sedangkan ilmu agama akan menjadikan peserta didik sebagai insan yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia.

Kuntowijoyo, dalam bukunya yang berjudul “paradigm Islam : Interpretasi untuk Aksi” (1999), sebagaimana dikutip oleh Rahmat (2004), menyatakan bahwa di dalam struktur keagamaan Islam tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Konsep tentang agama dalam Islam meliputi pelbagai bidang seperti social, politik, ekonomi dan budaya. Nilai-nilai Islam adalah kumpulan prinsip- prinsip hidup yang berisi ajaran tentang bagaimana manusia seharusnya menjalanakan kehidupan. Prinsip-prinsip tersebut saling berkaitan satu dengan lain membentuk satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Berkaitan dengan uraian di atas tentang keseimbangan menuntut ilmu “agama”

maupun “non agama”, tampak bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan salah satu lembaga yang mengupayakan pemberian ateri “agama” dan

“non agama” dalam porsi yang cukup berimbang. Dengan demikian, lembaga pendidikan Muhammadiyah memiliki posisi penting untuk dapat menyampaikan atau menyebar-luaskan ilmu kepada peserta didik secara seimbang dan terintegrasi antara ilmu agama dan “non agama” (ilmu umum).

Tantangan perkembangan sains dan teknologi kemungkinan besar akan semakin luas dan kompleks. Dalam upaya menyikapi perkembangan sains dan teknologi

(12)

tersebut, banyak sekolah dan perguruan tinggi yang memfokuskan pelajarannya pada fakta-fakta sains dan mengabaikan konsekuensi sosial dari penemuan biologi.

Perkembangan sains dan teknologi hingga pertengahan abad 19 dianggap sebagai bebas nilai. Namun demikian ternyata perkembangan sains dan teknologi yang cepat memunculkan pemikiran tentang pentingnya etika dan moral terkait aktivitas sains dan teknologi tersebut. Terlebih lagi perkembangan sains dan teknologi tersebut berkaitan dengan munculnya krisis lingkungan, seperti pencemaran dan berkurangnya sumber daya.

Selanjutnya, sejak pertengahan abad ke-19 hingga kini, sains dianggap dipengaruhi oleh nilai. Problem-problem sains tidak hanya diselesaikan dengan pengetahuan saintifik saja, namun juga, tetapi juga oleh pemahaman terhadap nilai- nilai terkait sains. Karakteristik tersebut menjadi dasar pertimbangan tentang perlunya pendidikan dan pengajaran etika dan nilai dalam sains.

Salah satu tujuan dasar pendidikan sains tidak hanya memberikan informasi saintifik kepada peserta didik, namun juga disertai muatan sosial. Dengan demikian, peserta didik dapat membuat keputusan sains dan teknologi dengan tetap memperhatikan aspek masalah sosial tertentu. Pendidikan etika diharapkan dapat menjadikan peserta didik mampu membuat keputusan dengan melihat aspek positif maupun negatif sains dan teknologi. Konsekuensinya, pendidik harus mengajar pelbagai aspek sains, untuk membekali siswa dengan thinking skills yang diperlukan untuk membuat keputusan personal maupun social.2

Para saintis mempunyai pendapat yang berbeda tentang sifat netral efek social dari pengembangan sains dan teknologi. Beberapa saintis umumnya menyatakan bahwa sains adalah penemuan untuk kebenaran yang obyektif, oleh karena itu bersifat netral secara etika. Akan tetapi, saintis yang juga memiliki pertimbangan terhadap aspek sosial menyatakan bahwa siapa pun yang menjadi penemu saintifik memiliki tanggung jawab etis terhadap pemanfaatan hasil temuannya tersebut.

2 Choi, K, and Hee-Hyung Cho, 2002, Effects of Teaching Ethical Issues on Korean School Students‟

Sttitudes Toward Science, Journal of Biological Education, Vol 37 (1), pp 26, 29

(13)

Tak dapat dipungkiri bahwa dibutuhkan pendidikan etika dalam masyarakat modern, dimana sains dan teknologi berkembang dengan pesat., serta tak seorang pun dapat memisahkan sains dan etika. Diperlukan pelbagai variasi strategi mengajar untuk menstimulasi rasa tertarik siswa tentang manfaat sains dalam kehidupan serta kemampuan mengidentifikasi aspek etika dalam sains. Untuk itu maka diperlukan pengembangan kurikulum yang mengakomodir materi keilmuan umum, agama maupun etika.

Kurikulum merupakan pedoman dalam penyusunan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik. Kurikulum semesinya memuat pelbagai kompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, yang meliputi aspek pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.

Ada kesan bahwa selama ini lembaga pendidikan hanya mengoleksi mata pelajaran/kuliah dan mengajar hanyalah kegiatan penyampaian materi kepada peserta didik. Tentunya kesan tersebut perlu dibenahi hingga menjadi lebih baik, sehingga lembaga pendidikan perlu menyeleksi mata pelajaran/kuliah yang benar-benar dapat membekali peserta didik dan mengajar tidak hanya memberikan materi/ilmu pengetahuan, namun juga disertai dengan penanaman nilai-nilai.

Proses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran guru. Guru adalah subjek penting dalam proses pendidikan, dan guru adalah subjek yang bertanggung jawab terhadap proses pendidikan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru memiliki peran penting dan strategis dalam upaya penyebarluasan ilmu yang integratif dengan agama dan etika. Akan tetapi di sisi lain, banyak guru (khususnya bidang ilmu pengetahuan alam) tidak dilatih atau tidak terlatih untuk mengajarkan tata nilai, walaupun tidak ada cara hidup atau sistem pendidikan yang bebas tata nilai.

Watson (2005) menyatakan bahwa silabus yang dikembangkan untuk mengajar sains di abad 21 mensyaratkan siswa untuk memiliki pertimbangan isu etis terkait secara mendalam. Namun, beberapa guru sains tidak merasa nyaman atau mampu untuk mengajarkan isu-isu seperti skrining genetik dan aborsi, dan mungkin kurang terlatih dalam mengelola diskusi.

(14)

Menyikapi hal tersebut di atas, penyiapan guru sebagai agen transfer ilmu dan nilai merupakan suatu keharusan. Selama ini yang telah terjadi kemungkinan adalah penyiapan guru untuk menguasai materi yang akan diajarkan namun tidak dilengkapi dengan penyiapan atau pemberian bekal yang kuat untuk mengajarkan atau menanamkan nilai kepada peserta didik. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada guru ilmu umum/”non agama”, khususnya sains dan teknologi, namun juga pada guru ilmu

“agama”.

Kondisi ideal yang diharapkan adalah guru sains mempunyai bekal atau pengetahuan agama, demikian sebaliknya pada guru agama diharapkan memiliki wawasan tentang aplikasi atau pemanfaatan sains dan teknologi. Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mencapai kondisi ideal tersebut, karena selama ini yang terjadi adalah masing-masing mendalami keilmuan bidangnya sendiri dan terkadang tidak terintegrasi dengan bidang ilmu lain, baik antar ilmu umum/”non agama” maupun antara ilmu umum/”non agama” dengan ilmu “agama”. Apa yang dipelajari dan diajarkan juga terkadang pada tataran teori atau hafalan, tanpa disertai pengetahuan tetang aplikasi ilmu terkait, pemaknaan atau muatan nilai yang berkaitan dengan materi yang diajarkan.

Untuk menjembatani permasalahan tersebut, dapat dilakukan upaya penyiapan pendidik agar lebih mampu mengajarkan sains dan teknologi yang terintegrasi dengan agama atau etika, atau sebaliknya, yaitu menyiapkan pendidik bidang agama yang mampu mengaitkan keilmuan agama dengan masalah-masalah dalam kehidupan, terutama dalam pengembangan sains dan teknologi yang beretika. Alternatif lain yang dapat ditempuh adalah pembentukan team teaching yang terdiri dari pelbagai disiplin ilmu sehingga materi yang diajarkan lebih bermakna karena adanya pengajar dari pelbagai sudut pandang bidang ilmu.

(15)

Pendidikan etika, khususnya bioetika3, selama ini umumnya hanya diajarkan di fakultas kedokteran. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pendidikan etika juga perlu diberikan mulai pendidikan dasar maupun menengah, bahkan bila memungkinkan sejak usia dini, sedangkan di tingkat pendidikan tinggi tidak hanya diberikan pada mahasiswa kedokteran, namun juga pada disiplin ilmu yang lain. Oleh karena itu, diperlukan peran Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah untuk turut serta merumuskan dan mengembangkan pendidikan sains-teknologi yang terintegrasi dengan agama dan etika, maupun pendidikan agama yang lebih menyentuh/berkaitan dengan aplikasi sains-teknologi dalam kehidupan. Dengan demikian, diharapkan lembaga pendidikan Muhammadiyah benar-benar mampu mencetak generasi saintis yang memiliki karakteristik khusus, yaitu saintis yang berlandaskan nilai-nilai agama dan etika.

Penutup

Sains dan teknologi sesungguhnya adalah ilmu yang dapat memperkaya khasanah pemahaman manusia akan adanya suatu proses penciptaan yang sangat cerdas. Pemahaman terhadap sains dan teknologi mampu menghantarkan kesadaran akan adanya Sang Khalik karena sains dan teknologi mampu menghantarkan pengkajinya pada suatu makna kehidupan yang hakiki. Kesadaran semacam ini seharusnya menghasilkan tata-nilai atau etika yang mengilhami perilaku para ilmuwan sehingga produk-produk teknologi hasil temuan mereka sarat dengan tanggung jawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan serta berorientasi pada pengabdian kepada-Nya

Semua subjek dalam sains dan teknologi yang terkait dengan kehidupan manusia memerlukan etika, seperti halnya bidang biologi yang memerlukan bioetika.

Muncul kekhawatiran bahwa pengabaian terhadap masalah etika akan menghasilkan

3 Terdapat pelbagai definisi tentang bioetika, namun dapat disarikan bahwa bioetika merupakan disiplin ilmu yang membahas tentang dimensi etis dari masalah-masalah penerapan teknologi, ilmu kedokteran, biologi, dan ilmu hayati lainnya.

(16)

ilmuwan yang berambisi mengembangkan sains dan teknologi tanpa menyadari adanya batas-batas dan tanggung jawab terhadap manusia, kemanusiaan dan lingkungan. Etika yang perlu dibangun sekarang haruslah memiliki cakupan keterlibatan dan kepentingan yang luas dari pelbagai disiplin ilmu4.

Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam pendidikan etika, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah memiliki posisi atau peran strategis dalam penanaman nilai-nilai etika dan agama bagi para peserta didiknya, karena disamping memberikan materi- materi/pelajaran yang bersifat ilmu umum (sains, teknologi maupun sosial) juga memberikan materi agama yang cukup, dengan demikian lembaga pendidikan Muhammadiyah semestinya mampu memberikan keilmuan umum yang terintegrasi dengan agama/etika dan selanjutnya dapat menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang kompeten di bidangnya dengan dilandasi nilai-nilai agama atau etika.

Daftar Pustaka

Choi, K, and Hee-Hyung Cho. 2002. Effects of Teaching Ethical Issues on Korean School Students‟ Sttitudes Toward Science. Journal of Biological Education.

Vol 37 (1). pp 26, 29

Mahdi Ghulsyani, 1986, Filsafat Sains menurut Islam, Penerbit Mizan, Bandung, hal.

39.

______________, M. 2004 Issues in Islam and Science. Institute for Humanities and Cultural Studies (IHCS). Tehran.

Haidar Bagir. 2002. “Etika Barat, Etika Islam”, pengantar untuk Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Penerbit Mizan, Bandung.

hal. 15.

Kuhse, H. dan Singer, P. 1999. Bioethics, An Anthology. Blackwell. USA.

4 Kusmaryanto. 2007. Basics of Bioethics Education. Disampaikan dalam Workshop pendidikan Bioetika. 4-5 April 2007. Yogyakarta.

(17)

Kusmaryanto. 2007. Basics of Bioethics Education. Disampaikan dalam Workshop Pendidikan Bioetika. 4-5 April 2007. Yogyakarta

M. Amin Abdullah. 1995. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta. hal. 147.

_______________. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Penerbit Mizan. Bandung. hal 19-20.

Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islami. UUP YKPN. Yogyakarta. hal. 40.

Potter, V. R. 1971. Bioethics: Bridge to the Future. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.

Schüklenk, U. 2005. Module one: Introduction to Research Ethics. Developing World Bioethics. Vol 5 No. 1, 2005.

Wilardjo, L. 2006. Bioetika dan Etika di Bidang Informasi dan Pangan. Ilmu, etika, dan agama menyingkap tabir alam dan manusia. CRCS UGM. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

2) Guru melakukan refleksi dan penilaian pertanyaan tentang materi menulis dan menyunting teks eksposisitentang adat Jawa tradisi mantuyang dilaksanakan. 3) Siswa

6$ ;m'stin Se:tin"  Disebut pula sebagai ruang bakar$ Pada bagian ini terjadi  proses pembakaran antara bahan bakar dengan %luida kerja yang berupa udara  bertekanan

Perbandingan gaya – gaya yang bekerja pada struktur dengan menggunakan yielding damper dengan struktur biasa (konvensional) ataupun struktur dengan menggunakan bracing yaitu

Analisis Agribisnis Jeruk Pontianak Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus di kecamatan Tebas Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat).. The Inverse Relationship Between Size

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Zulaecha (2010) untuk mengukur kecepatan penyembuhan luka sayat pada mencit dengan menggunakan lendir bekicot dengan

Kriteria untuk instrumen kualitas perangkat pembelajaran yang ada pada sekolah dikatakan valid atau tidak valid adalah setelah dilakukan interpretasi dengan

Adanya penghargaan kelompok yang berasal dari nilai ulangan harian siklus I setelah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, jika dibandingkan dengan nilai ulangan harian

Langkah awal dalam kerangkan penelitian ini adalah menganalisa permasalahan yang ada pada proses antrian yang terjadi pada layanan pembayaran uang kuliah di Unika, Dalam