15
3. Sejarah Singkat Gereja Kristen Sumba Payeti
Jemaat Payeti merupakan hasil dari Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Zending Belanda di Sumba. GKS Payeti diresmikan pada tanggal 16 Juli 1930 dan pada tanggal 3 Maret 1942 ditahbiskan Pendeta pribumi yaitu Pdt. Hapu Mbay (Beliau adalah Pendeta pertama di wilayah Sumba Timur). Pelaksanaan berbagai kegiatan PI lebih banyak dilaksanakan di Payeti dan Jemaat Payeti memberikan kontribusi yang cukup penting dalam perkembangan PI di Sumba Timur. Sebagai contoh yakni pembukaan sekolah untuk anak-anak Sumba di sekitar Payeti (1907), lalu pendirian gedung ibadah beratapkan rumbia di Payeti (1921), serta GKS Payeti turut berperan penting dalam mengumpulkan semua jemaat GKS dari semua Klasis yakni Klasis Sumba Timur, Klasis Sumba Tengah dan Klasis Sumba Barat. Hingga pada akhirnya sinode GKS dinyatakan berdiri sendiri atas keputusan dan persetujuan bersama seluruh jemaat GKS yang diselenggarakan di GKS Payeti pada tanggal 15-17 Januari 1947.1 Selain itu, GKS Payeti juga menerima tenaga utusan dari luar negeri yang berprofesi sebagai Pendeta dan tenaga ahli. Mereka berdomisili di Payeti dan menjadi anggota GKS Payeti serta kehadiran mereka memberi pengaruh yang besar dalam pemikiran dan kegiatan GKS Jemaat Payeti hingga saat ini. Pada saat ini, GKS Payeti masih bertempat di Jl. Prof. Yohanes, Payeti, Prailiu, Kec. Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
3.1 Peran Transformatif GKS Payeti dalam Menyikapi Diskriminasi terhadap Jemaat Berkasta Ata
3.1.1 Realitas Kehidupan Jemaat Berkasta Ata pada Masa Kini
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti, maka dijumpai beberapa model ataupun wujud perlakuan yang diberikan terhadap kaum ata. Dasar perlakuan ini tampak bergantung pada status sosial kedua tingkatan kasta yakni maramba dan kabihu. Sebagai contoh, Umbu Amos dari latar kasta maramba/bangsawan yang mempunyai lebih dari 30 orang ata baik yang berada di
1 Yuliana A. Ambu, Sejarah perkembangan dan Pertumbuhan GKS Payeti, (Payeti : Sumba Timur, 2020), 1- 2.
16
kota maupun desa, termasuk memiliki ata ngandi. Ata Ngandi adalah seorang/sekelompok hamba yang diwariskan oleh orang tua kepada anak maupun cucu secara turun temurun dan merupakan tradisi leluhur yang masih dilestarikan hingga saat ini oleh golongan Maramba (Bangsawan). Ata Ngandi adalah hamba yang masih bertahan dan berkembang, karena satu anak Umbu dan Rambu akan diwariskan satu sampai dua ata ngandi sebagai hadiah pernikahan yang akan menemani mereka selamanya. Umbu Amos mengatakan bahwa sangat kecil kemungkinan untuk bisa membebaskan ata (hamba) dari status mereka, karena hal ini sudah menjadi tradisi dalam kebudayaan leluhur Sumba. Meski demikian, Umbu Amos menyatakan bahwa perlakuan kepada ata pada masa modern ini sudah mulai mengalami perubahan diawali dari panggilan ata menjadi “anggu piti” atau “anggu haddang” yaitu pembantu di dalam rumah yang bekerja di dapur, sawah maupun ladang.2 Lebih jauh, Umbu Amos menegaskan bahwa tidak ada lagi hukuman yang tidak manusiawi seperti dahulu kala, karena ata pada saat ini diperlakukan dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Apa yang tuannya makan itu juga yang dimakan oleh ata, serta segala kebutuhan (pakaian, makan/minum, serta tempat tingggal) disediakan oleh tuannya. 3
Selanjutnya, Keluarga Bapak Huki Muruwali yang berlatar golongan kabihu yang saat ini sedang merawat seorang ata yang melarikan diri dari tuannya. Ata tersebut mendapatkan perlakuan yang kasar, dikarenakan sering kali memberontak kepada tuannya, sebab itu keluarga Bapak Huki Muruwali berusaha untuk memberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan mereka. sebagai contoh, memberikan tempat tinggal, makan, bahkan membelikan pakaian serta menata diri ata tersebut agar menjadi manusia yang lebih baik. Lebih jauh, bapak Huki memberikan kesempatan dalam berbagai kegiatan yang membuat ata tersebut dapat berbaur dengan dunia luar yang jarang ia temui. Walaupun tidak ada yang tahu kapan tuan dari ata tersebut menjemputnya pulang.4 Pada kenyataannya hampir semua golongan kabihu memperlakukan ata sama tanpa ada perbedaan karena
2 Wawancara dengan Umbu Amos, Golongan Maramba di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 26 April 2022, pukul 15.00 WIT.
3 Wawancara dengan Umbu Amos, tanggal 26 April 2022, pukul 15.00 WIT.
4 Wawancara dengan Keluarga Bapak Huki Muruwali, Golongan Kabihu di Kota Waingapu, Kab.
Sumba Timur, tanggal 2 Juni 2022, pukul 18.00 WIT.
17
status tersebut, ata juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan baik itu kompetisi olahraga bahkan kegiatan kepanitianpun ata diundang dan dilibatkan.5
Selanjutnya, secara umum perlakuan terhadap jemaat ata sebagaimana yang diamati tampak juga terefleksikan dalam dua kelompok penggolongan para ata.
Pertama, kelompok ata yang masih terkurung dalam sistem perbudakan dan kedua, kelompok ata yang sudah mengalami perubahan hidup (tetap dengan status ata).
Kelompok kedua telah mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan lebih mandiri pada konteks saat ini.6 Berbeda dengan golongan kedua, maka golongan pertama jelas tetap dibatasi segala gerak aktivitasnya. Pada salah satu wawancara yang dilaksanakan bersama seorang Ata Ngandi dikatakan:
“Kattiu na eti ngu, Paitah na luri ngu, nyungga ata na Umbu ngya dangu na Rambu ngya” artinya sakit dan pahit kita punya hidup, kita adalah hambanya Umbu dan Rambu jadi “ya mau bagimanapun kita berusaha untuk lari, selamanya kita adalah Ata (hamba) jadi berusaha untuk bersyukur saja dengan keadaan ini tanpa berpikir lagi untuk lari atau keluar dari status tersebut”.7
Beberapa realita terkait perlakuan terhadap golongan pertama di atas dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut: pertama yaitu hak untuk berpendidikan yang tidak diberikan secara adil dan merata karena dalam satu rumah itu hanya ata (hamba) tertentu yang dipilih untuk melanjutkan pendidikan sedangkan beberapa diantaranya tidak dijinkan sehingga lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di rumah, dapur, sawah dan ladang.8 Kedua; kaum ata (hamba) hanya boleh menikah dengan golongan ata, karena pernikahan ata dengan golongan maramba maupun kabihu sangat jarang terjadi. Hal ini disebabkan tidak semua golongan maramba berkenan melepaskan ata-nya untuk menikah dengan kasta yang berbeda, dan mustahil jika seorang bangsawan berpindah kasta menjadi ata karena pernikahan.
Lebih lanjut, pernikahan secara gereja dan adat bagi kaum ata hanya akan dilakukan jika tuan mereka sudah bisa mengijinkan dan bersedia membiayai pernikahan ata- nya tersebut.9 Ketiga; hukuman masih diberlakukan oleh para maramba jika ata- nya tidak bisa mengikuti peraturan yang ada maupun memberontak pada tuannya.
6Wawancara dengan Pdt. Yuliana Ata Ambu, S.Th, Pendeta GKS Payeti di Kota Waingapu, Kab.
Sumba Timur, tanggal 16 Juni 2022, Pukul 17.35 WIT.
7Wawancara dengan Golongan Ata Ngandi di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 20 Januari 2022, pukul 10.00 WIT.
8 Wawancara dengan Golongan Ata Ngandi, tanggal 20 Januari 2022, pukul 10.00 WIT.
9 Wawancara dengan Golongan Ata Ngandi, tanggal 20 Januari 2022, pukul 10.00 WIT.
18
Namun, pada konteks saat ini hukuman yang diberikan disamakan dengan hukuman yang diberikan kepada anak bangsawan sendiri yaitu para ata dididik sebagaimana bangsawan mendidik anak-anak mereka.10 Walaupun pada pelaksanaanya, hukuman tersebut pasti tetap memiliki perbedaan antara ata dan kerabat maramba sendiri.
Realitas kehidupan yang dialami para ata di Sumba, pada gilirannya mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Dalam pernyataan Bapak Fritz Andrean Malo selaku Lurah Matawai/Payeti disampaikan bahwa semua masyarakat memiliki kedudukan yang sama dihadapan pemerintah termasuk dalam kehidupan sosial-pelayanan kemasyarakatan. Pemerintah tidak membeda-bedakan masyarakat berdasarkan status sosial bahkan pemerintah tidak pernah mentolerir/membenarkan semua sikap dan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia serta Harkat dan Martabat Manusia.11 Lebih jauh, bapak Fritz menegaskan bahwa sekalipun sampai dengan saat ini pemerintah belum melakukan sosialisasi yang secara khusus membahas kedudukan kaum ata didalam masyarakat, akan tetapi dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan masyarakat, pemerintah sering menyampaikan bahwa pemerintah membuka kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk kaum ata untuk terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti PKK dan Dasawisma.12
Berdasarkan wawancara dengan salah satu Tokoh Adat Sumba Timur, Umbu Nikodemus Ndilu (Wunang/Juru bicara/ seseorang yang berperan penting dalam adat Sumba Timur) dinyatakan bahwa pada kenyataan saat ini memang benar bahwa hubungan antara maramba dan ata tidak dapat dihapuskan karena ada begitu banyak proses adat yang rumit. Lebih lanjut, menurut Umbu Ndilu, penghapusan sistem kasta antara maramba dan ata sebenarnya dapat terjadi apabila beberapa hal ditempuh. Pertama; golongan maramba sepakat untuk melepaskan kaum ata yaitu membiarkan mereka menempuh pendidikan setinggi mungkin dan merubah kehidupan mereka menjadi lebih sukses dan mandiri. Pada kenyataannya, tidak semua golongan maramba bersedia untuk melepaskan ata-nya begitu saja dan
10 Wawancara dengan Umbu Amos, Golongan Maramba di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 26 April 2022, pukul 15.00 WIT.
11 Wawancara dengan GI. Eben Landuama, Guru Injil GKS Payeti di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 20 Juni 2022, Pukul 10.00 WIT
12 Wawancara dengan Bapak, Fritz Andrean Malo Pihak Pemerintah di Kota Waingapu, Kab.
Sumba Timur, tanggal 22 Juni 2022, pukul 09.11 WIT
19
sampai saat ini belum ada musyawarah bersama yang dilakukan, baik itu bersama maramba, Gereja bahkan tokoh adat untuk membahas kebebasan kaum ata. Alasan tersebut disebabkan karena jika seorang ata lebih hebat dari maramba maka kaum bangsawan/maramba akan merasa tersaingi atau tidak lagi mempunyai kekuasaan.
Kaum ata masih bertahan hingga saat ini karena terus beranak cucu, maka seiring berjalannya waktu kaum ata semakin bertambah, karena dalam satu rumah maramba bisa terdapat lebih dari 2-4 orang ata laki-laki dan perempuan bahkan ada kemungkinan semakin bertambah jumlah jika tidak dibatasi oleh para maramba.13 Kedua, pengahapusan kasta dapat terjadi melalui adat pernikahan antara golongan ata dengan golongan maramba maupun dengan golongan kabihu. Hal ini tentunya dnegan tetap melibatkan pelaksanaan tradisi budaya yaitu membelis ata tersebut dengan sejumlah hewan, Mamuli, anahidda dan kain Sumba yang sudah disesuaikan dengan kesepakatan dan ijin bersama tuan dari ata tersebut. Realitanya, hal ini masih belum bisa terealisasikan secara optimal dalam kehidupan orang Sumba Timur, karena banyak maramba yang menentang pernikahan tersebut sampai pada konteks saat ini.14
Berdasarkan dari semua hasil wawancara dan observasi di atas tampak bahwa beberapa aksi sudah berupaya ditempuh untuk memperjuangkan hak golongan ata, akan tetapi masih ada keterbatasan yang terlihat dalam pelaksanaannya. Adapun keterbatasan yang dominan dijumpai yakni menyangkut upaya pemberian akses atau pemenuhan hak bagi kaum ata oleh para maramba yang mengakibatkan langgengnya pembedaan status ata dan maramba secara lintas generasi sampai dengan konteks saat ini. Dengan demikian, realitas kehidupan yang dialami jemaat berkasta ata yaitu pada dasarnya masih diskriminatif, yakni para ata masih sangat terhambat dalam mengakses segala hak hidupnya. Sekalipun ada beberapa peluang akses semisal menempuh pendidikan, namun, tetap saja hal ini tidak berlaku umum untuk keseluruhan kaum ata. Begitupun halnya dengan peluang mengakses perkawinan yang sepenuhnya tetap bergantung pada ijin para maramba.
13 Wawancara dengan Bapak Nikodemus Ndilu, Tokoh adat di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 17 Juni 2022, pukul 15.00 WIT.
14 Wawancara dengan Bapak Nikodemus Ndilu, tanggal 17 Juni 2022, pukul 15.00 WIT.
20
Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga sosial di Sumba Timur tidak pernah memarjinalkan golongan ata. Sebaliknya, mereka memposisikan golongan ata setara seperti masyarakat pada umumnya. Pelbagai pelayanan serta ruang untuk mendapatkan hak sebagai warga Indonesia terbuka lebar bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali orang-orang bergolongan ata. Meski demikian, apa yang dilakukan oleh lembaga sosial pada konteks saat ini, belum sampai pada inti persoalan diskriminatif terhadap kaum ata yakni pembatasan akses hak pribadi sebagai manusia. Hal ini terjadi karena pembahasan mengenai budaya sistem kasta adalah tindakan yang sensitif terlebih upaya untuk mengkritisi pelaksanaan sistem kasta kerap diyakini sebagai yang pantang dilakukan oleh masyarakat Sumba termasuk Sumba Timur. Kenyataannya, segala urusan yang menyangkut persoalan ata menjadi tanggung jawab dan hak dari para maramba, akibatnya para ata sendiri tidak memiliki hak penuh atas diri/kehidupan mereka.
Apabila para ata tersebut melawan untuk mendapatkan pemenuhan hak hidup mereka sebagai pribadi manusia, artinya mereka dipandang sebagai yang memberontak kepada tradisi sekaligus tuan mereka. Perlawanan semacam itu, pada akhirnya menghasilkan konsekuensi yang berat bagi kelangsungan kehidupan para ata sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk itu, taat akan aturan yang sudah ditetapkan oleh maramba kerap dipahami bahkan diyakini sebagai satu- satunya pilihan yang paling menyelamatkan hidup dan kesejahteraan golongan ata.
3.1.2 Peran Transfomatif GKS Payeti Menyikapi Diskriminasi terhadap Jemaat Berkasta Ata
GKS Payeti hidup di tengah-tengah kebudayaan masyarakat Sumba Timur yang secara adat istiadat masih menerapkan stratifikasi sosial. Secara keseluruhan jemaat Payeti berasal dari ketiga golongan kasta yaitu Maramba (bangsawan), Kabihu (orang merdeka) dan Ata (hamba).15 Pdt. Yuliana A. Ambu mengatakan pada masa modern saat ini ada sekitar 50% jemaat yang masih mempertahankan sistem pengolongan kasta, walaupun pada kenyataannya gereja dan sebagian jemaat tidak setuju dengan sistem tersebut, karena darimanapun jemaat itu berasal serta seperti apapun latarbelakang kasta yang dimiliki, semuanya sama dimata gereja.
15 Wawancara dengan Pdt. Fandrian Nggala Hukapati S.Th, Pendeta GKS Payeti di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 14 Juni 2022, pukul 17.35 WIT
21
Seperti halnya dalam Firman Tuhan berungkali menegaskan bahwa kasih Allah tidak pernah memandang rupa sebab Allah memandang setiap hati yang dengan tulus datang kepada-Nya untuk mencari kebenaran Injil. Konsep kasih itulah yang terus diwujudkan dan dihidupi oleh GKS Payeti terhadap semua jemaat dari semua golongan tanpa ada perbedaan, yang ada adalah jemaat yang sama dan satu di hadapan Allah serta Gereja.16
Pewartaan akan yang satu dan sama di hadapan Allah terus diwartakan, akan tetapi pada realita saat ini, beberapa diantara yang mewartakan kebenaran Injil tersebut ialah orang-orang yang menerapkan sistem kasta, bahkan memiliki ata dengan jumlah yang cukup banyak (ada Majelis ataupun mantan Majelis mempunyai ata lebih dari 20 ata (hamba).17 Hal ini justru dapat menjadi perhatian khusus dari gereja dan menjadi peluang bagi gereja untuk mendiskusikan kembali kedudukan jemaat ata, agar sungguh jemaat ata tersebut dapat diberikan kebebasan yang lebih luas dalam pendidikan, pekerjaan atau bahkan terus mengikuti berbagai kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh gereja.
Pdt. Fandrian N. Hukapati mengatakan bahwa peran yang dilakukan Gereja dapat dilihat dari beberapa tindakan yang sudah dilakukan gereja. Diantaranya, pertama melalui pemberitaan Firman Tuhan, yaitu dalam khotbah-khotbah Minggu, PART (Pendalaman Alkitab Rumah Tangga) dan PI (Pekabaran Injil). Semuanya dimanfaatkan Gereja untuk menyampaikan kebenaran Injil yang akan mengingatkan semua jemaat secara khusus jemaat yang bergolongan bangsawan agar dapat memperlakukan ata dengan baik dan sama tanpa ada penyiksaan dan perbedaan sosial yang diberikan. Menurut Gereja, pemberitaan Firman sangat efektif dalam memperjuangkan hak jemaat ata, karena sudah semakin banyak kaum bangsawan yang terbuka dan memberikan ruang yang lebih banyak bagi kaum ata untuk berkembang.18 Kedua, Pdt. Yuliana A. Ambu menjelaskan bahwa selain lewat pemberitaan Firman Tuhan, maka gereja turut memberikan kesempatan golongan ata untuk bergabung menjadi menjelis jemaat dan panitia. Gereja juga melakukan pendekatan pastoral dan pendampingan secara kekeluargaan terhadap jemaat bangsawan dan ata yang masih mengalami kesenjangan sosial. Seperti
16 Wawancara dengan Pdt. Yuliana Ata Ambu, S.Th, tanggal 16 Juni 2022, Pukul 17.35 WIT.
17 Wawancara dengan Ibu Minang M. Metti, Golongan Kabihu di Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur, tanggal 10 Januari 2022, pukul 15.00 WIT.
18 Wawancara dengan Pdt. Mandina Lanjalay S.Th, tanggal 9 November 2021, Pukul 10.00 WIT.
22
dalam kasus pernikahan ata yang tidak disetujui oleh tuannya, maka itulah ruang bagi gereja untuk berperan dan terlibat supaya tuannya dapat menyetujui pernikahan tersebut dilaksanakan secara adat dan gereja. Kemudian, gereja juga pernah melakukan himbauan serta sosialisasi untuk semua jemaat umum tentang pentingnya pendidikan, kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar secara khususnya jemaat ata dapat mandiri, walaupun status mereka tidak bisa dihapuskan.19
Peran yang dilakukan gereja akan disesuaikan dengan situasi yang sedang dialami jemaat berkasta ata. Oleh karena belum ada program tetap/khusus untuk jemaat berkasta ata, maka program gereja selama ini hanya bersifat umum untuk semua jemaat atau untuk semua golongan dalam budaya Sumba Timur. Gereja tidak pernah membatasi keterlibatan jemaat ata dalam berbagai kegiatan gerejawi, namun jemaat ata tidak sama seperti jemaat lainnya yang bebas karena mereka terikat oleh status kasta tersebut. Dengan begitu, walaupun ruang terbuka lebar tetapi jemaat ata tetap sulit menemukan akses untuk bisa masuk dalam ruang yang diberikan oleh gereja karena dibatasi oleh status dan disibukkan oleh pekerjaan di dapur, sawah maupun ladang.20
Selanjutnya, dalam kegiatan persekutuan pemuda, nyatanya masih sangat sedikit kaum muda dari golongan ata yang terlibat. Hal inilah yang menjadi perhatian gereja kedepannya untuk mengembalikan kepercayaan diri jemaat ata bahwa mereka juga sama berharga dengan jemaat gereja pada umumnya.21 Selain beberapa peran yang telah dilakukan gereja untuk jemaat ata, namun ada beberapa hal yang masih sulit untuk diupayakan gereja yaitu penghapusan kasta serta peraturan dalam hubungan bangsawan dan ata. Gareja belum bisa menyasar agenda tersebut karena tidak semua kaum bangsawan terbuka dengan berbagai pelayanan gereja di dalam kehidupan mereka, untuk itu dapat disimpulkan bahwa masih ada tembok pemisah antara kehidupan gereja dan kehidupan kebudayaan Sumba secara khusus tentang sistem kasta.22
19 Wawancara dengan Pdt. Yuliana Ata Ambu, S.Th, tanggal 16 Juni 2022, Pukul 17.35 WIT.
20 Wawancara dengan Pdt. Yuliana Ata Ambu, S.Th, tanggal 16 Juni 2022, Pukul 17.35 WIT.
21 Wawancara dengan Pdt. Mandina Lanjalay S.Th, tanggal 9 November 2021, Pukul 10.00 WIT
22 Wawancara dengan Pdt. Mandina Lanjalay S.Th, tanggal 9 November 2021, Pukul 10.00 WIT