PENDAHULUAN
Tingkah laku menolong merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Bentuknya sangat bervariasi seperti membukakan pintu untuk orang lain yang sedang membawa barang, membantu teman mengambilkan buku di rak,
menjadi pendonor darah, ataupun aktif dalam kegiatan sosial. Perilaku prososial menurut Baron dan Bryne (2007) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada individu yang melakukan tindakan tersebut dan bahkan mungkin mengandung suatu resiko bagi individu yang menolong. Menurut Cholidah, dalam Hasnida (2002)
perilaku prososial ini sangat penting peranannya dalam menumbuhkan kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan
berarti kehadirannya bagi orang lain.
Masa remaja adalah masa dimana penerimaan sosial sangat penting. Tugas-tugas
perkembangan remaja menurut Havighurts, dalam Hurlock, (1999) antara lain memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan
kawan sebaya baik laki-laki maupun perempuan, memperoleh peranan sosial, menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif, memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainya, mencapai kepastian
akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri, memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan, mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga, membentuk
Hurlock (1999) menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan sosial. Menurut Eisenberg dan Mussen
dalam Dayakisni dan Hudaniah (2009) perilaku prososial mencangkup tindakan-tindakan : sharing (membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kewajiban orang lain.
Basti dalam Darmadji (2011) menyatakan bahwa beberapa faktor internal yang
mempengaruhi perilaku prososial yaitu: karakteristik kepribadian, suasana hati, religiusitas, pertimbangan untung-rugi, kemampuan yang dimiliki, keuntungan
pribadi, nilai dan norma-norma pribadi, empati, jenis kelamin.
Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah budaya, keluarga, karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan, karakteristik situasional, faktor peran gender,
dan etnis.
Salah satu faktor internal yang disebutkan di atas adalah religiusitas. Individu
dikatakan memiliki tingkat religiusitas yang tinggi apabila mempunyai keterikatan religius yang lebih besar sehingga individu tersebut menjalankan ajaran-ajaran dan
Hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan penulis pada siswa kelas XI di SMA Negeri 2 Salatiga melalui observasi dan wawancara menunjukkan bahwa beberapa
siswa memiliki perilaku prososial yang rendah. Hal ini diperlihatkan melalui sikap tidak mau menolong ketika temannya jatuh, ketika temannya dalam keadaan
kesusuhan tidak memberi bantuan.
Informasi yang didapat dari hasil wawancara kepada guru agama nasrani, diperoleh informasi bahwa siswa nasrani menunjukan perialku prososial yang
rendah, hal ini ditunjukan dengan sikap menolong teman yang sedang mengalami musibah, bencana atau kecelakaan. Di SMA Negeri 2 sendiri, nilai religiusitas
diberikan kepada siswa melalui pembelajaran agama yang dilakukan satu minggu sekali dan berbagai kegiatan agama lainya.
Penelitian dengan judul “Tingkah laku prososial mahasiswa terhadap pengemis
ditinjau dari tingkat religiusitas” oleh Ludia (2010) menyatakan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dan perilaku prososial mahasiswa terhadap
pengemis dengan nilai r (0,298), sedangkan penelitian dengan judul “Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Prososial Mahasiswa Pengurus Lembaga Dakwah Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” oleh Farhah (2011) menyatakan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial mahasiswa pengurus LDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan nilai r (0.033) .
Perilaku Prososial
Eisenberg & Mussen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2009) menekankan bahwa
perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan sharing (membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.
Aspek-aspek perilaku prososial menurut Eissenberg dan Mussen dalam Yulia
(2012) adalah sebagai berikut : a. Berbagi (sharing)
Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka. Sharing diberikan bila penerimaan menunjukan kesukaran dan ada tindakan melalui dukungan. Perilaku berbagi dapat ditunjukan pula
dengan perilaku saling bercerita tentang pengalaman hidup, mencurahkan isi hati.
b. Kerjasama (cooperative)
Kesediaan untuk kerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan kooperatif dan biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling
menolong, dan menyenangkan. c. Menyumbang (donating)
d. Menolong (helping)
Kesediaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang dalam kesulitan
meliputi membagi dengan orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang
berlangsungnya kegiatan orang lain. e. Kejujuran (honesty)
Kesediaan untuk berkata, bersikap apa adanya serta menunjukkan keadaan
yang tulus hati.
f. Kedermawanan (generosity)
Kesediaan memberi secara sukarela untuk orang yang membutuhkan. Munculnya perilaku prososial seseorang merupakan hasil interaksi yang kompleks antara beberapa faktor yang memperngaruhinya, baik faktor internal maupun faktor
eksternal. Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi seseorang berperilaku prososial menurut Basti, dalam Darmadji (2011) antara lain faktor
internal karakteristik kepribadian, suasana hati, religiusitas, pertimbangan untung rugi, kemampuan yang dimiliki, keuntungan pribadi, nilai dan norma-norma, pribadi,
Religiusitas
Paloutziandalam Subandi (2013) mengatakanbahwa kata „religion’ berasal dari kata latin “relegare” yang berarti „mengikat‟ atau „menghubungkan‟. Dengan agama
manusia melakukan pengikatan diri dan senantiasa berusaha menjalin hubungan
dengan kekuatan lain, sehingga dapat merasakan kehidupan yang lebih utuh, lengkap, dan menyeluruh.
Maksudnya adalah bahwa di dalam religi (agama) pada umumnya terdapat
aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang
dalam hubunganya terhadap Tuhan, sesama manusia serta alam sekitarnya.
Dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark dalam Subandi (2013) berpendapat bahwa dimensi religiusitas terdiri dari:
a. Religion Belief (the Ideological Dimension) atau dimensi keyakinan
Tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam
agamanya. Dalam agama Kristiani yang termasuk dalam dimensi keyakinan adalah: Yesus adalah anak Allah yang tunggal, Tuhan itu sendiri, Yesus telah
b. Religious Practice (the Ritual Dimension)
Sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam
agamanya. Dalam Kristiani yang termasuk dalam dimensi ritual ini adalah bersedia kebaktian gereja, menjalankan puasa dan pantang pada masa pra
Paskah, membaca Al Kitab, mengaku dosa, berziarah.
c. Religious Feeling (the Experiential Dimension atau dimensi Pengalaman Perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagaaman yang pernah
dialami dan dirasakan. Misalnya takut akan berbuat dosa, merasa doa dikabulkan, diselamatkan Tuhan.
d. Religious Knowledge atau dimensi Pengetahuan
Sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada di dalam Kitab Suci maupun lainnya.
e. Religious Effect (the Consequential Dimension)
Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh
ajaran agamnya di dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah di mengunjungi tetangganya yang sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan harta
dan sebagainya.
Beberapa fungsi religiusitas yang dikemukakan olehHendropuspito (1990) yaitu: a. Berfungsi edukatif
Ajaran-ajaran agama yang harus dipatuhi oleh peran penganutnya, membimbing mereka untuk menjadi lebih baik dan terbiasa dengan hal baik
b. Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah
keselamatan dunia dan akhirat, dan keselamatan tersebut dicapai melalui keimanan terhadap Tuhan. Keyakinan akan keselamatan inilah yang dapat
mengurangi rasa cemas, khawatir dan was-was yang terjadi dalam diri seseorang tatkala dihadapkan oleh berbagai persoalan hidup.
c. Berfungsi sebagai pendamai
Melalui agama seseorang dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama, sehingga rasa berdosa atau rasa bersalah akan segera hilang
dari batinnya jika ia bertobat. d. Berfungsi sebagai kontrol sosial
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma sehingga ajaran
agama dapat berfungsi sebagai pengawas sosial baik secara individu atau kelompok.
e. Berfungsi transformative
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau
Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari Bahasa Inggris)
yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan
mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Pada umumnya para ahli menganggap masa remaja dimulai saat seseorang mencicipi kemasakan seksual dn berakhir bila telah diakui dewasa secara hukum.
Batasan-batasan remaja yang digunakan peneliti menggunakan batasan remaja Thronburgh dalam Yulia (2012) yaitu 11-19 tahun dengan pertimbangan pada usia
remaja sudah mulai memasuki tahapan dimana anak belajar menolong untuk remaja awal, belajar bertingkah laku prososial dan sensitif terhadap norma sosial untuk remaja pertengahan, dan untuk remaja akhir belajar berperilaku menolong yang akan
memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman.
Hubungan religiusitas dengan tingkah laku prososial
Religiusitas berasal dari kata religi yang artinya agama (Fowler, 1995). Religi atau agama bukanlah merupakan sesuatu yang tunggal, tetapi merupakan sistem yang terdiri dari beberapa aspek. Religiusitas adalah dimensi yang berada di dalam lubuk
hati, sebagai riak getaran nurani pribadi dan menempas intimitas jiwa, yang juga disebut sebagai inti kualitas hidup manusia. Religiiusitas juga disebut tindakan
Paloutzian dalam Subandi (2013) mengatakan bahwa kata „religion’ berasal dari kata latin “relegare” yang berarti „mengikat‟ atau „menghubungkan‟. Dengan agama
manusia melakukan pengikatan diri dan senantiasa berusaha menjalin hubungan dengan kekuatan lain, sehingga dapat merasakan kehidupan yang lebih utuh,
lengkap, dan menyeluruh.
Nurdin (1999) berpendapat bahwa tingkat religiusitas seseorang yang tinggi berarti tinggi pula kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku prososial,
karena perilaku prososial merupakan salah satu matra dalam meningkatkan tingkat religiusitas.
Perilaku prososial merupakan perilaku yang menguntungkan orang lain yang dilakukan secara sukarela dan tanpa keuntungan yang nyata bagi orang yang memberikan bantuan, Baron dan Byrne (1994). Menurut Cholidah (dalam Hasnida,
2002) perilaku prososial ini sangat penting peranannya dalam menumbuhkan kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya karena dengan
kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain.
Dengan adanya perilaku prososial maka akan membuat individu menjadi lebih peduli dengan individu yang lain dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan perilaku prososial sangat penting, khususnya pada diri remaja yang
perkembangan kehidupannya semakin memprihatinkan dan cenderung bersikap merugikan orang lain selain itu remaja juga mengalami masalah dalam tugas
Dengan meningkatnya religiusitas remaja maka akan semakin tinggi pula perilaku prososial pada diri remaja. Glock dan Stark, dalam Andisti, (2008)
Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara religiusitas dan perilaku prososial pada remaja yang
beragama Nasrani di SMA NEGERI 2 SALATIGA.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Variabel Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Menurut
Azwar (2008), pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya akan dapat diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh lewat suatu proses pengukuran di samping valid dan reliabel, juga objektif. Metode penelitian
kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif korelasional.
Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitiani adalah: a. Variabel terikat : perilaku prososial
b. Variabel bebas : religiusitas Subyek Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah siswa siswi yang beragama Nasrani (Kristen dan
Katolik) dengan jumlah populasi 63 siswa siwi. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan berjumlah 63 partisipan yang diambil berdasarkan
Hal ini disebabkan karena dalam penelitian kuantitatif dianggap akan menghasilkan perhitungan statistic yang lebih akurat daripada sampel dalam jumlah
kecil (Kumar dalam Wardhani, 2009).
Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah siswa siswi di SMA Negeri 2
Salatiga, beragama Nasrani, mengikuti pembelajaran agama Nasrani di kelas SMA Negeri 2 Salatiga dan duduk di kelas XI.
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel dengan memiliki ciri-ciri dan karakteristik tertentu. Metode ini mengacu pada penentuan criteria subyek dan objek yang menjadi tujuan penelitian ini (Azwar, 2004)
Instrumen
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen berbentuk skala, yaitu skala prososial dan skala religiusitas. Skala yang digunakan untuk mengukur perilaku
prososial ini menggunakan skala yang disusun oleh Yulia (2012) dan telah dimodifikasi oleh penulis sendiri berdasarkan teori Eisenberg dan Mussen dalam
Dayakisni dan Hudaniah (2009).
Penilaian skala ini makin tinggi skor total yang diperoleh individu menunjukan prososialnya makin tinggi, sedangkan makin rendah skor total yang diperoleh
Sedangkan untuk skala yang digunakan untuk mengukur religiusitas menggunakan skala yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Glock dan
Stark dalam Subandi (2013). Penilaian skala ini makin tinggi skor total yang diperoleh individu menunjukan religiusitasnya makin tinggi, sedangkan makin
rendah skor total yang diperoleh individu menunjukan religiusitasnya lemah atau rendah. Skala religiusitas berjumlah 23 aitem yang terdiri dari 12 aitem favorable dan 11 aitem unfavorable.
Sebelum peneliti melakukan pengambilan data terhadap subyek penelitian yang sesungguhnya, peneliti menguji bahasa terhadap skala yang telah dibuat oleh peneliti
kepada 10 orang remaja yang mempunyai criteria yang hamper sama dengan subyek yang sesungguhnya.
Pada tanggal 3 Juli 2014 peneliti menyebar skala pada 10 orang remaja guna
menguji bahasa dan diperoleh bahwa dalam skala religiusitas item no 8 dan 13 sulit untuk dimengerti, maka dari itu peneliti melakukan penyusunan kembali item yang
tidak dapat dimengerti oleh subyek supaya ketika diberikan kepada subyek penelitian yang sesungguhnya aitem tersebut dapat dimengerti oelh subyek.
Prosedur Pengambilan Data
Setelah skala selesai dipersiapakan, peneliti mempersiapkan persiapan penelitian yang lainya, seperti perizinan dari fakultas dan hal lainya, maka peneliti segera
Perizinan dari pihak fakultas didapat pada tanggal 11 Juli 2014, peneliti segera memberikan surat tersebut kepada pihak sekolah yaitu SMA Negeri 2 Salatiga pada
hari itu juga. Pada tanggal 14 Juni 2014, peneliti menerima informasi untuk segera bertemu dengan guru Bimbingan Konseling, untuk penentuan hari pengambilan data.
Berhubung dalam minggu tersebut yaitu mulai dari tanggal 14 Juni 2014 hingga 19 Juni 2014 kegiatan pembelajaran sedang mengalami kendala yaitu, pada kelas X masih mengikuti kegiatan MOS dan untuk kelas XI hingga kelas XII harus mengikut
kegiatan pelajaran untuk mengejar mata pelajaran yang masih tertinggal, maka dari pihak sekolah hanya dapat memberikan waktu pada peneliti untuk mengambil data
pada hari Jumat tanggal 18 Juni 2014 pada saat proses pembelajaran agama.
Peneliti telah menyiapkan 70 skala psikologi yang terdiri dari 2 skala yaitu skala A yang berisi tentang skala religiusitas dan skala B yang berisi tentang skala perilaku
prososial yang akan digunakan dengan rincian 63 digunakan dalam penelitian dan 7 sebagai cadangan apabila ada kesalahan dalam prosedur pengisian.
Tanggal 18 Juni 2014 pukul 08.30, peneliti melakukan pengambilan data yang dilakukan di lapangan parker SMA Negeri 2, dan membagi sesuai karakteristik
subyek penelitian, kemudian peneliti mengambil data sebanyak 55 skala pada siswa Kristen dan kemudian mengambil data pada siswa Katolik sebanyak 8 skala, dari pengambilan data tersebut peneliti mendapat 63 subyek penelitian. Kemudian
HASIL PENELITIAN Analisis Validitas
Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan teknik statistik
Corrected Item-Total Correlation dengan bantuan program komputer SPPS 21 for windows. Kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem total dengan batasan koefisien korelasi yang dianggap memuaskan dan memberikan kontribusi yang baik adalah sebesar > 0,25 (Azwar, 1997). Pada skala religiusitas, diperoleh bahwa dari
23 aitem yang diuji terdapat 3 aitem gugur, sehingga terdapat 20 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0.270-0.644 dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0.881 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.
Pada skala perilaku prososial, diperoleh bahwa dari 33 aitem yang diuji terdapat 2 aitem gugur, sehingga terdapat 31 aitem terpakai. Nilai r (corrected item total-correlation) bergerak dari 0.308-0.623 dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0.911 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.
Analisis Deskriptif a. Variabel Religiusitas
Tabel 4.5
Statistik Diskriptif Hasil Pengukuran Skala Religiusitas Descriptive Statistics
N Minimum Maximu
m
Mean Std.
Deviation
Religiusitas 63 48 79 66,27 7,482
Valid N (listwise) 63
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui skor empirik skala religiusitas paling rendah adalah 48 dan skor paling tinggi adalah 79, rata-ratanya adalah 66,27 dengan
standar deviasi .7,482. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran skala kepuasan hidup digunakan empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan
sangat rendah. Jumlah aitem yang digunakan adalah 23 dengan 20 aitem terpakai dan 3 aitem gugur dengan kategori jawaban mulai dari 1 sampai 4.
Skor maksimal yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan
jumlah aitem terpakai, yaitu 4 x 20 = 80 dan skor minimum yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor terendah dengan jumlah aitem terpakai, yaitu 1 x 20 = 20.
Untuk mengetahui religiusitas digunakan interval dengan ukuran:
i =
skor tertinggi – skor terendah jumlah kategori
i =
80 – 20 5
Tabel 4.6
Kriteria Skor Religiusitas
No Interval Kategori Frekuensi % Mean SD
1 20 ≤ x ≤ 32 Sangat Rendah 0 0%
66,27 7,482
2 32 < x ≤ 44 Rendah 0 0%
3 44 < x ≤ 56 Sedang 3 4,76%
4 56 < x ≤ 68 Tinggi 34 53,97%
5 68 < x ≤ 80 Sangat Tinggi 26 41,27%
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa presentase di setiap kategori yaitu, 0%
subjek berada dalam kategori sangat rendah, 0% dalam kategori rendah, 4,76% subjek berada dalam kategori sedang , 53,97% subyek berada dalam kategori tinggi
dan 41,27% subyek berada dalam kategori sangat tinggi.
b. Variabel Perilaku Prososial
Tabel 4.7
Statistik Diskriptif Hasil Pengukuran Skala Perilaku Prososial Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
ProSosial 63 80 121 105,24 10,515
Valid N (listwise) 63
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat diketahui skor empirik skala religiusitas paling rendah adalah 80 dan skor paling tinggi adalah 121, rata-ratanya adalah 105,24
dengan standar deviasi 10,515.
Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran skala kepuasan hidup
digunakan empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah. Jumlah aitem yang digunakan adalah 33 dengan 31 aitem terpakai dan 2 aitem gugur
dengan kategori jawaban mulai dari 1 sampai 4.
Skor maksimal yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan jumlah aitem terpakai, yaitu 4 x 31 = 124 dan skor minimum yang diperoleh dengan
i =
skor tertinggi – skor terendah jumlah kategori
i =
124 – 31 5
[image:19.595.86.515.101.580.2]i = 18,6
Tabel 4.8
Kriteria Skor Perilaku Prososial
No Interval Kategori Frekuen
si
% Mean SD
1 31 ≤ x ≤ 49,6 Sangat Rendah 0 0%
105,24 10,515 2 49,6 < x ≤ 68,2 Rendah 0 0%
3 68,2 < x ≤ 86,8 Sedang 3 4,76%
4 86,8 < x ≤ 105,4 Tinggi 31 49,2%
5 105,4 < x ≤ 12 Sangat Tinggi 29 46,03%
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa presentase di setiap kategori yaitu, 0%
subjek berada dalam kategori sangat rendah, 0% dalam kategori rendah, 4,76% subjek berada dalam kategori sedang , 49,2% subyek berada dalam kategori tinggi dan 46,03% subyek berada dalam kategori sangat tinggi. Secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa perilaku prososial remaja yang beragama Nasrani di SMA NEGERI
Uji Normalitas
Penelitian ini menggunakan uji normalitas dilihat melalui Kolmogrov-Smirnov untuk melihat apakah residual berdistribusi normal atau tidak. Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0.05 (Santoso, 2000). Berdasarkan hasil
pengujian normalitas, kedua variabel memiliki signifikansi lebih besar 0,05. Variabel religiusitas memiliki nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,680 (p>0,05) dan perilaku prososial memiliki nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,675 (p>0,05). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua populasi berdistribusi normal.
Uji Linieritas
Hasil uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut. Dalam penelitian ini hubungan
religiusitas dan perilaku prososial adalah linear, karena memiliki nilai signifikasi untuk linearitas sebesar 0,000 (p < 0,05).
Analisis Korelasi
Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis dapat diketahui hubungan antara religiusitas dan perilaku prososial menunjukan korelasi sebesar 0,941 dengan
Maka hipotesis penelitian adalah ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dan perilaku prososial pada remaja yang beragama Nasrani di SMA
NEGERI 2 Salatiga. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi religiusitas pada remaja maka semakin tinggi pula perilaku prososial yang dimiliki.
Hasil Uji Hipotesis Antara Religiusitas terhadap Perilaku Prososial Correlations
Religiusitas ProSosial
Religiusitas
Pearson Correlation
1 ,941**
Sig. (1-tailed) ,000
N 63 63
ProSosial
Pearson
Correlation
,941** 1
Sig. (1-tailed) ,000
N 63 63
PEMBAHASAN
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan antara variabel religiusitas dan
perilaku prososial, didapatkan hubungan yang positif signifikan antara kedua variabel tersebut dengan besar korelasi 0,941. Artinya, semakin tinggi religiusitas
yang dimiliki oleh remaja maka semakin tinggi pula perilaku prososial yang dimilikinya.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dan perilaku
prososial yang berarti semakin tinggi religiusitas yang dimiliki maka semakin tinggi pula perilaku prososialnya. Dalam hal ini religiusitas ditunjukan dengan korelasi r =
0,941 dengan signifikansi 0,000 (p<0,01) dengan sumbangan efektif sebesar 88,54% dan sisanya 11,46% dipengaruhi oleh factor lain diluar religiusitas seperti genetik, usia, jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel religiusitas dan prososial memiliki hubungan positif signifikan, yang dapat disebabkan oleh beberapa
kemungkinan. Remaja yang mengikuti komunitas agama akan mempunyai rasa persatuan, rasa yang sangat bermanfaat bagi diri sendiri atau orang lain, dan
menyediakan sumber penting dukungan sosial (Pescosolido & Georgianna; Williams dkk dalam Ellison, 2001). Melalui komunitas agama, para remaja akan merasakan hidup mereka bermakna, mempunyai harga diri yang lebih tinggi dan jarang
Agama mendorong orang untuk menjalani gaya hidup sehat. Selain itu agama mempunyai fungsi sebagai control social fungsi ini dikemukakan oleh Hendropuspito
(1990) Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma sehingga ajaran agama dapat berfungsi sebagai pengawas sosial baik secara individu atau kelompok.
Hasil penelitian ini juga memiliki hasil yang sama, serta sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ludia (2010) menyatakan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dan perilaku prososial. Sebaliknya, hasil
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dan perilaku
prososial remaja yang beragama Nasrani di SMA NEGERI 2 Salatiga, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.Terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dan perilaku prososial yang berarti semakin tinggi religiusitas yang dimiliki maka semakin tinggi pula perilak prososial-nya. Dalam hal ini religiusitas ditunjukkan dengan
korelasi r = 0,941 dengan signifikansi 0,000 (p<0,01) dengan sumbangan efektif sebesar 88,54%(diperoleh dari r²) dan sisanya sebesar 11,46% dipengaruhi oleh
faktor lain diluar religiusitas seperti pendapatan, usia, jenis kelamin, dan pendidikan.
2.Tingkat religiusitas sebagian besar (53,97%) remaja yang beragama Nasrani di
SMA NEGERI 2 Salatiga adalah tinggi, begitu pula perilaku prosoial sebagian besar (49,2%) remaja yang beragama Nasrani di SMA NEGERI 2 Salatiga
SARAN
Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan di atas maka penulis
menyarankan hal-hal sebagai berikut: a. Bagi para remaja
Religiusitas dapat meningkatkan perilaku prososial remaja, remaja terkadang memiliki aktivitas yang sibuk disetiap harinya tanpa memperhatikan kehidupan religiusnya. Seorang remaja dapat memiliki
perilaku prososial yang baik ditengah kesibukan aktivitas kesehariannya dengan cara meningkatkan religiusitasnya seperti: mengikuti kegiatan
kategorial di gereja, membaca kitab suci, berdoa, melakukan pantang dan puasa, serta beberapa aktivitas yang bisa dilakukan.
b. Bagi Orang Tua
Agama sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi perilaku prososial remaja, hendaknya diperhatikan dengan benar. Para orang tua
seharusnya tidak hanya mengarahkan untuk mengikuti setiap kegiatan di gereja yang dapat meningkatkan iman dan takwa anaknya, namun juga ikut
Ketika remaja memiliki iman dan ketakwaan yang baik, maka sangat memungkinkan untuk membantu remaja agar tidak melakukan
penyimpangan-penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Pada akhirnya ketika remaja menyadari bagaimana pentingnya ajaran agama harus ditaati, mereka akan menjadi remaja yang memiliki perilaku prososial tinggi.
c. Bagi peneliti selanjutnya.
Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan dan mengembangkan
disarankan untuk meneliti mengenai faktor-faktor lain yang memengaruhi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor lain yang memengaruhi perilaku prososial. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat
DAFTAR PUSTAKA
Andisti, M. A., & Ritandiyono. (2008). Religiusitas dan perilaku seks bebas pada
dewasa awal. Diakses 18 Juni 2014. Dari
http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/298 Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________ (2004). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. ________ (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogayakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, R.A., & Byrne, D. (1994). Social psychology (9th edition). Boston: Allyn & Bacon.
Cholijah. (1996). Hubungan kepadatan dan kesesakan dengan stress dan intensi prososial pada remaja di pemukiman padat. Diakses 16 Juni 2014. Dari http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/76/jtptian-gdl-camroni110-3778-1-1102025-p.pdf.
Cozby, P. C. (2009). Methods in behavioral research. (Edisi ke-9). Alih Bahasa: Maufur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darmadji, A. (2011). Perilaku prososial vs kekerasan sosial: Sebuah tinjauan pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam,1(IV), 29-31.
Dayakisni, T. H. (2006). Psikologi sosial. Malang: UMM Press.
Eddy, P. (2007). Pedoman mengajar dasar gerak atletik. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogayakarta.
Eisenberg, N. & Mussen, P.H., (1989), The roots of prosocial behavior in children, New York: Cambridge University Press.
Farhah, S. (2011). Hubungan religiusitas dengan perilaku prososial mahasiswa pengurus lembaga dakwah kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses 15
Juni 2014. Dari
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4512/1/SITI%20FARH AH-FPS.PDF.
Fowler, J. (1995). Teori perkembangan kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Hasnida. (2002). Crowding (kesesakan) dan density (kepadatan). Diakses 13 Juni 2014. Dari http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2/pdf.
Hendropuspito, D. (1990). Sosiologi agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, (edisi kelima). Jakarta. Erlangga.
Ludia. (2010). Tingkah laku prososial mahasiswa terhadap pengemis ditinjau dari tingkat religiusitas. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata
Mangunwijaya, Y. B. (1986). Menumbuhkan sikap religiusitas anak. Jakarta: Gramedia Margono. (2004). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurdin, (1999). Etika pergaulan sosial-religius dalam masyarakat majemuk. Ihya 'Ulum al Din: International Journal, 01(1).
Rakhmat, J. (1996), Psikologi agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ratnasari, Desi S. (2013). Hubungan antara religiusitas dengan perilaku prososial pada mahasiswa program studi bimbungan dan konseling. Skripsi (tidak diterbitkan) . Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Sa‟diyah, R. (2007). Hipertensi sebagai faktor risiko stroke di RS Roemani
Muhammadiyah. Diakses 16 Juni 2014. Dari
http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php.
Santoso, S. (2000). Buku latihan SPSS statistik parametik. Jakarta: Alex Media Komputindo
Sarwono, S. W. & Eko A. M. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Siregar, R. H. (2011). Hubungan yang signifikan antara sumber-sumber nilai makna
hidup dan faktor-faktor dalam The Five Factor Model of Personality. Diakses 16 Juni 2014 dari http://reposity.usu.ac.id/bitstream/123456789/23605/4
Subandi, M.A. (2013). Psikologi agama dan kesehatan mental. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial. (edisi ke-12). Jakarta: Kencana Predana Media Group
Wardhani, P. W. (2009). Hubungan nilai budaya uncertainty avoidance dengan tingkah laku inovatif. Diakses 18 Juni 2014. Dari http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126429-155.8%20PUT.
Wrightmans, L., & Deaux, K. (1981). Social psychology in the 80’s (3th). California: Brooks / Cole Publishing Company.