DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ……... 15
BAB II PEMBELAJARAN KIMIA DAN PEMBEKALAN CALON GURU KIMIA A. Pembelajaran Kimia…... 17
B. Pembekalan Calon Guru Kimia. ... 28
C. Pembelajaran Kimia bagi Calon Guru………... 42
D. Analisis Materi Kimia Dasar bagi Calon Guru Kimia………... 62
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian ... 66
B. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 78
C. Definisi Operasional ………. D. Instrumen Penelitian ... 79
E. Teknik Pengumpulan Data ... 80
F. Teknik Pengolahan Data ... 81
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 83
1. Karakteristik MPKGK………... 83
2. Penguasaan Calon Guru terhadap Kemampuan Generik Kimia .…. 87 3. Efektivitas MPKGK Dibandingkan dengan Model Pembelajaran Konvensional………..……… 100
4. Respons Mahasiswa terhadap MPKGK………. 103
5. Kendala-kendala dalam Menerapkan MPKGK………..……. 107
6. Keunggulan dan Keterbatasan MPKGK……..………..……. 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 130
B. Saran ………... 131
DAFTAR PUSTAKA ... 133
LAMPIRAN-LAMPIRAN……….. 140
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas selalu diupayakan pemerintah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Perkembangan iptek pada abad 21 menuntut SDM menjadi masyarakat terbuka yang dapat berperan aktif dalam era globalisasi (Tilaar, 1999). Agar SDM dapat berperan aktif dalam menghadapi perkembangan iptek yang begitu cepat, maka diperlukan masyarakat yang melek sains dan teknologi (Poedjiadi, 2005). Selain itu, SDM perlu memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) sehingga akan muncul tenaga kerja yang dapat berpikir kritis, berpikir kreatif, membuat keputusan, dan memecahkan masalah (Liliasari, 2005). Dalam pengelolaan SDM tersebut diperlukan pengembangan metode dan kerja ilmiah (Rustaman, dkk., 2003).
Klausner (1996) berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tersebut dapat berkembang melalui pemahaman sains dan proses-proses sains yang merupakan perwujudan dari hakikat sains. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan sains perlu memperhatikan empat pilar pendidikan UNESCO, yakni (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together (Depdiknas, 2003).
antaranya pertanian, kesehatan, dan perikanan. Untuk itu, Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa:
“….Pendidikan kimia perlu berupaya agar para peserta didik: (1) tanggap secara tepat terhadap isu lokal, nasional, regional, dunia, sosial, ekonomi, lingkungan, dan etika; (2) dapat menilai secara kritis perkembangan dalam bidang sains dan teknologi serta dampaknya; (3) memberi sumbangan terhadap kelangsungan perkembangan sains dan teknologi, dan (4) membuat pilihan yang tepat untuk karirnya. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan sains (termasuk pendidikan kimia) perlu menitikberatkan agar para peserta didik menjadi pembelajar aktif dan bersifat fleksibel….”.
Lebih lanjut, Depdiknas (2006) menekankan bahwa mata pelajaran kimia bertujuan agar para peserta didik memiliki beberapa kemampuan. Kemampuan-kemampuan tersebut, antara lain (1) memupuk sikap ilmiah dan dapat bekerja sama dengan orang lain; (2) memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah; dan (3) memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kurikulum pendidikan kimia telah cukup memadai untuk menumbuhkembangkan para pembelajar sesuai dengan tuntutan SDM yang berkualitas, namun pada implementasinya ditemukan banyak kendala.
perkembangan pendidikan sains (termasuk pendidikan kimia) di Indonesia akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan iptek yang semakin cepat di era globalisasi.
Pada tahun 1992, Balitbang Dikbud (Sidi, 2000) melaporkan hasil penelitian terhadap guru-guru sains SMA di 27 propinsi yang menunjukkan bahwa pada umumnya guru hanya dapat menguasai materi pelajaran sekitar 60% dari mata pelajaran IPA yang diujikan (termasuk mata pelajaran kimia). Nilai rata-rata skor hasil tes terhadap guru tersebut adalah 56,5 dari kemungkinan pencapaian tertinggi sebesar 100. Selain itu, hasil studi Purwadi, dkk. (2007) melaporkan nilai rata-rata kompetensi profesional guru jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia secara umum masih rendah (kurang dari 60). Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa penguasaan materi pelajaran kimia oleh guru kimia sekolah menengah umum tingkat nasional sangat rendah.
Menurut catatan Zamroni (2001), hasil uji kompetensi keprofesionalan sebanyak 411 guru kimia SMA se-DKI Jakarta tahun 1999 hanya memperoleh nilai rata-rata sebesar 4,75. Data tersebut sesuai dengan hasil temuan Sidi (2000) yang mengemukakan bahwa sebagian besar proses pembelajaran sains (termasuk pembelajaran kimia) di sekolah menengah umum kurang sesuai dengan konsepsi dan substansi materi pelajaran tersebut. Pelajaran sains yang seharusnya diberikan untuk membentuk logika siswa agar berpikir sistematis, obyektif, dan kreatif melalui pendekatan keterampilan proses dan pemecahan masalah, ternyata lebih banyak diberikan dengan metode ceramah sehingga siswa cenderung menghafal aksioma, dalil, dan fakta yang sebenarnya kurang mereka pahami.
kurang menyenangkan, dan hanya siswa tertentu saja yang dapat menguasainya. Persepsi ini semakin diperburuk dengan sikap guru kimia yang kaku, tidak bersahabat (menegangkan), dan pembelajarannya kurang menarik minat siswa, sehingga suasana belajar kurang kondusif bagi terciptanya kegiatan pembelajaran yang efektif. Kondisi ini perlu segera ditanggulangi mengingat guru merupakan pemegang kunci keberhasilan yang paling dominan di dunia pendidikan.
Sidi (2000) berpendapat bahwa berhasil tidaknya suatu kurikulum pendidikan sangat bergantung pada kinerja guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran di kelas. Guru paling bertanggung jawab dalam mewujudkan SDM berkualitas yang mampu merespon perubahan demi perubahan yang terjadi selama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, perlu adanya upaya mempersiapkan guru yang berkualitas sejak dini. Artinya, mewujudkan guru yang berkualitas dapat dilakukan sejak penyiapan calon tenaga guru sebelum diterjunkan ke lapangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lightfoot (1983) yang menyatakan bahwa pembinaan guru perlu dilakukan sejak pre-service education. Hal ini dianggap lebih efektif mengingat upaya memperbaiki guru melalui penataran-penataran guru, pendidikan, dan pelatihan (inservice education maupun onservice education) yang telah sering dilakukan masih belum membuahkan hasil yang memuaskan.
pendidikan sains sangat bergantung pada kualitas guru sains bukan pada fasilitas dan material semata. Berkaitan dengan hal tersebut, McDermott (1990) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja pendidikan sains (termasuk kimia) di Amerika Serikat adalah kurangnya para calon guru dipersiapkan dengan baik sebelum diterjunkan ke lapangan. Dengan adanya kenyataan tersebut tampaknya upaya peningkatan kualitas guru melalui pendidikan calon guru perlu ditangani lebih serius lagi.
Guru sains (termasuk guru kimia) yang berkualitas perlu memiliki karakteristik tertentu. Sharma (1983) mengemukakan bahwa guru sains yang berkualitas minimal perlu memiliki tiga hal, yakni: (1) memiliki kualifikasi akademik yang memadai; (2) terlatih dalam metode dan teknik-teknik pembelajaran modern; serta (3) menguasai pengetahuan praktis mengenai psikologi dan proses pembelajaran. Di samping itu, Shulman (Ball & McDiarmid, 1990) telah mengidentifikasi bahwa guru yang berkualitas sekurang-kurangnya menguasai tiga kategori pengetahuan, yakni: (1) pengetahuan materi subyek (subject-matter knowledge); (2) pengetahuan konten pedagogis (pedagogical content knowledge); dan (3) pengetahuan kurikulum (curricular knowledge).
dimaksudkan agar guru sains dapat memiliki empat kemampuan penting, yakni: (1) memahami hakikat dan peran inkuiri ilmiah (scientific inquiry) serta menggunakannya dalam pembelajaran sains; (2) memahami fakta fundamental dan konsep dasar sains; (3) membuat peta konsep antar mata pelajaran sains maupun dengan mata pelajaran lain; serta (4) mampu menggunakan pemahaman sains dan kemampuan-kemampuan ilmiahnya dalam menjelaskan isu-isu personal dan sosial (Klausner, 1996).
Kemampuan-kemampuan yang perlu dimiliki guru sains (termasuk guru kimia) telah banyak diteliti oleh ahli pendidikan sains. Sebagai contoh, McDermott (1990) secara lebih operasional menjabarkan kemampuan-kemampuan tersebut ke dalam lima jenis kemampuan, yakni: (1) melakukan penalaran kualitatif maupun kuantitatif yang mendasari pengembangan dan penerapan konsep-konsep; (2) membangun dan menginterpretasikan representasi ilmiah seperti grafik, diagram, dan persamaan-persamaan; (3) memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam buku teks; (4) memahami tahap demi tahap proses sains (proses observasi, inferensi, mengidentifikasi asumsi, merumuskan, dan menguji hipotesis); serta (5) mengantisipasi kesulitan-kesulitan konseptual yang mungkin dialami oleh siswa pada setiap topik sains.
satuan; (4) penguasaan bahasa simbolik; (5) pemilikan kerangka logis; (6) pemilikan konsistensi logis; (7) pemahaman hukum sebab akibat; (8) penguasaan pemodelan; (9) pemilikan inferensi logis, dan (10) pembuatan abstraksi. Kemampuan generik kimia tersebut perlu dikembangkan dalam pendidikan kimia dan perlu dikuasai juga oleh guru kimia ataupun calon guru kimia.
Karakteristik guru kimia berkualitas yang diharapkan ternyata bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Kondisi ini ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam proses pendidikan calon guru sains (termasuk guru kimia) di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Menurut laporan evaluasi kurikulum LPTK 1996/1997, penguasaan materi calon guru sains, khususnya menyangkut sains sekolah menengah umum, yang diukur pada mahasiswa dari delapan LPTK, menunjukkan keadaan yang memprihatinkan (Tim Basic Science LPTK, 1997). Data di Jurusan Pendidikan Kimia salah satu LPTK di Bandung menunjukkan keadaan yang tidak jauh berbeda. Skor rata-rata (dalam skala empat) Kimia Dasar mahasiswa TPB dalam lima tahun (1997/1998 sampai dengan 2002/2003) adalah berturut-turut 2,39; 2,12; 1,98; 2,01; dan 2,24 (Arsip Jurusan, 2003).
Kesulitan-kesulitan tersebut dapat diprediksi sebagai akibat kurangnya penguasaan mahasiswa calon guru kimia terhadap materi subyek (subject-matter) kimia yang diperlukan.
McDermott (1990) berpendapat bahwa penguasaan pengetahuan materi subyek (subject matter knowledge) yang dimiliki calon guru sangat ditentukan oleh proses pembelajaran yang dialaminya. Sebagai contoh, jika guru sains (termasuk guru kimia) diharapkan dapat mengajarkan sains berbasis inkuiri maka calon guru tersebut harus pernah mengalami perkuliahan berbasis inkuiri (Klausner, 1996). Untuk itu, para calon guru sekolah menengah perlu dibekali dengan perkuliahan yang berorientasi sekolah.
Lebih lanjut, Klausner (1996) mengemukakan lima ciri perkuliahan yang berorientasi sekolah, yakni: (1) metode perkuliahan harus relevan dengan metode pembelajaran yang akan dikembangkan di sekolah; (2) perkuliahan tentang konsep-konsep dasar lebih efektif jika berlandaskan pengalaman nyata; (3) perkuliahan perlu dimulai dengan memberi kesempatan untuk melakukan penelitian open-ended di laboratorium agar para calon guru akrab dengan fenomena yang dipelajari; (4) para dosen LPTK perlu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk membantu calon guru berpikir kritis dan memiliki bekal keterampilan bertanya, dan (5) perkuliahan bagi calon guru perlu diarahkan untuk membangun kesadaran terhadap kesulitan-kesulitan konseptual yang mungkin dialami oleh para siswanya kelak. Untuk itu, model perkuliahan bagi para calon guru kimia perlu lebih menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student-centered) yang mencerminkan hakikat kimia, yakni kimia sebagai proses, kimia sebagai produk, dan kimia sebagai sikap (Poedjiadi, 2005).
dikemukakan di atas. Padahal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sejak tahun 2003 telah menerbitkan Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 (High Education Long Term Strategies) atau yang dikenal dengan HELTS. Semua perguruan tinggi termasuk lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perlu terikat dalam satu tujuan yang dirumuskan dalam Visi 2010 Perguruan Tinggi Indonesia, yaitu pada tahun 2010 telah dapat diwujudkan sistem pendidikan tinggi dengan perguruan tinggi yang sehat sehingga mampu memberikan konstribusi pada daya saing bangsa yang memiliki ciri-ciri berkualitas, memberi akses dan berkeadilan, serta otonomi dan desentralisasi (Depdiknas, 2004).
Dengan HELTS tersebut, upaya penjaminan dan kendali mutu pendidikan perlu diterapkan di semua perguruan tinggi (termasuk LPTK) yang menghasilkan tenaga calon guru. Langkah konkrit yang dapat diupayakan adalah pembenahan dalam kegiatan perkuliahan para calon guru. Para dosen LPTK perlu mengupayakan model perkuliahan yang sesuai dengan tuntutan lapangan. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan lebih serius dalam mengupayakan model perkuliahan kimia bagi para calon guru yang sesuai dengan karakteristik kimia dan berorientasi pada tugas-tugasnya di lapangan kelak.
Pemahaman tentang Peserta Didik; (3) Penguasaan Pembelajaran Kimia yang Mendidik, dan (4) Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan.
KURIKULUM PENDIDIKAN KIMIA
Kurikulum Pelajaran Kurikulum Pendidikan Kimia di Sekolah Kimia di LPTK
HELTS
Peningkatan Kualitas Perkuliahan di LPTK
Pembelajaran Kimia SMA Perkuliahan Kimia Dasar
Teori Praktikum
Mahasiswa Calon Teori Praktikum Guru Kimia
Dosen
KONDISI LAPANGAN - Stoikiometri Pembekalan - Perkuliahan dilakukan - Ikatan Kimia Materi Kemampuan terpisah antara teori - Kesetimbangan Generik dengan praktikum Kimia - Perkuliahan didominasi
MPKGK bagi Calon oleh metode ceramah Sarana Guru melalui - Praktikum bersifat Prasarana Perkuliahan verifikasi
Kimia Dasar - Penguasaan mahasiswa terhadap konsep kimia dasar masih rendah - Perlu MPKGK
EMPAT PILAR Peningkatan Penguasaan Konsep STANDAR PENDIDIKAN dan Kemampuan Generik KOMPETENSI GURU UNESCO Kimia Calon Guru PEMULA
Berdasarkan kerangka keterkaitan masalah dalam Gambar 1.1, pengetahuan para calon guru sains (termasuk kimia) terhadap materi subyek perlu ditingkatkan. Kegiatan pembelajaran kimia yang akan dikembangkan para calon guru di lapangan kelak sangat bergantung pada penguasaan materi subyek kimia yang telah dikembangkan dalam perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan materi subyek merupakan kebutuhan pokok bagi para calon guru dan merupakan komponen esensial dari pengetahuan yang perlu dimiliki guru.
Dalam Kurikulum Pendidikan Kimia LPTK 2003, pengetahuan materi subyek kimia dikelompokkan ke dalam mata kuliah Kimia Dasar dan Kimia Lanjut. Kimia Dasar diberikan kepada mahasiswa jurusan pendidikan kimia di LPTK bertujuan untuk memberi bekal pengetahuan, keterampilan, dan wawasan tentang dasar-dasar ilmu kimia kepada mahasiswa, yang diperlukan sebagai dasar untuk memahami kimia lebih lanjut (Tim TPB Kimia, 2003). Menurut kenyataan yang ada, konsep-konsep kimia dasar memang sangat dekat dengan konsep-konsep kimia SMA. Oleh karena itu, kegiatan perkuliahan kimia dasar dapat dijadikan wawasan bagi para calon guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran kimia SMA di lapangan kelak.
dilaksanakan hanya dalam jumlah yang terbatas; (3) pelaksanaan pembelajaran teori dengan praktikum dilakukan secara terpisah sehingga praktikum lebih bersifat memverifikasi hasil; (4) proses pembelajaran lebih berorientasi pada buku teks (diktat); (5) proses belajar kurang menekankan adanya keterkaitan materi perkuliahan dengan materi kimia SMA; (6) pelaksanaan perkuliahan dilakukan oleh tim dosen yang karakteristik dan cara penyajiannya berbeda-beda; dan (7) belum adanya penekanan yang kuat dalam membekali kemampuan generik kimia yang sangat diperlukan di lapangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu diupayakan perbaikan perkuliahan Kimia Dasar bagi calon guru yang selama ini hampir luput dari pemerhati pendidikan sains. Para calon guru kimia perlu dipersiapkan secara matang dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan kimianya sehingga dapat menunjang kegiatan pembelajaran kimia di sekolah menengah kelak. Perkuliahan Kimia Dasar bagi calon guru selain perlu membekali mereka dengan penguasaan materi subyek, para calon guru juga perlu dilatihkan kemampuan generik selama perkuliahan Kimia Dasar. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan masalah utama sebagai berikut.
“Bagaimana membekali mahasiswa calon guru dengan kemampuan-kemampuan generik kimia melalui perkuliahan Kimia Dasar?”
Agar masalah penelitian lebih operasional, maka pertanyaan penelitian dijabarkan lagi menjadi enam submasalah sebagai berikut.
1. MPKGK yang bagaimana yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan calon guru kimia dalam menguasai materi?
2. Kemampuan-kemampuan generik apakah yang dapat dibekalkan kepada calon guru dari topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan melalui penerapan MPKGK?
3. Apakah penerapan MPKGK pada topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan dapat membekali kemampuan menguasai konsep dan kemampuan generik kimia mahasiswa calon guru lebih efektif daripada model perkuliahan konvensional?
4. Bagaimana respons mahasiswa calon guru terhadap penerapan MPKGK dalam topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan?
5. Kendala-kendala apa yang dialami dosen dan mahasiswa calon guru dalam mewujudkan kemampuan-kemampuan generik kimia melalui MPKGK yang diterapkan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengembangkan model perkuliahan yang dapat membekali calon guru dengan kemampuan generik kimia sebagai modal dasar guna mengembangkan kegiatan pembelajaran kimia di sekolah menengah kelak. Kemampuan generik kimia tersebut diharapkan dapat memberikan implikasi terhadap para calon guru dalam meningkatkan penguasaan konsep-konsep kimia terutama dalam perkuliahan Kimia Dasar
Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk merancang MPKGK dan menguji efektivitasnya dalam membekali kemampuan-kemampuan generik kimia bagi para calon guru melalui perkuliahan Kimia Dasar pada topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan. Karakteristik model perkuliahan Kimia Dasar yang dikembangkan dalam setiap topik tersebut diharapkan dapat dijadikan panduan dalam mengembangkan perkuliahan pada topik-topik berikutnya.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak, antara lain:
1. Bagi LPTK, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan kualitas para calon guru kimia di LPTK terutama dalam hal penguasaan materi subyek kimia.
3. Bagi mahasiswa calon guru, kemampuan-kemampuan generik kimia yang diperoleh mahasiswa dalam model perkuliahan ini dapat dikembangkan sendiri oleh mahasiswa ketika mempelajari topik-topik kimia lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk mengembangkan model pembekalan
kemampuan generik kimia (MPKGK). Model pembekalan yang dikembangkan
merupakan suatu model pembelajaran yang dapat membekali calon guru dengan
kemampuan-kemampuan dasar kimia. Model pembelajaran tersebut termasuk salah
satu produk pendidikan. Menurut Borg & Gall (1989), penelitian dan pengembangan
pendidikan (educational research and development) merupakan suatu proses yang
digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan. Oleh
karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan (Educational Research and Development) yang disingkat
dengan R&D.
2. Desain Penelitian
Sebagaimana penelitian R&D, maka desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini mengikuti tahap-tahap R&D. Borg & Gall (1989) telah memberikan
tahap-tahap R&D untuk pengembangan produk pendidikan. Dari tahap-tahap tersebut
dapat disederhanakan menjadi empat tahap R&D, yang meliputi (1) Studi
Pendahuluan; (2) Penyusunan Model; (3) Validasi Model; dan (4) Pengembangan
Model. Tahap-tahap R&D ini merupakan merupakan satu kesatuan yang saling
jelasnya, tahap-tahap R&D dalam penelitian ini dapat dilihat dalam desain penelitian
R&D pada Gambar 3.1.
STUDI PENDAHULUAN PENYUSUNAN MODEL VALIDASI MODEL PENGEMBANGAN MODEL
Studi Kepustakaan Implementasi Program
Mengenai:
- Analisis Konsep Kimia Dasar Penilaian Kelompok Kelompok - Analisis Kemampuan Generik Draf MPKGK Eksperimen Kontrol - Silabus Kimia Dasar
- Hasil-hasil penelitian yang relevan. Pre Test Pre Test - Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) Revisi
- Penelitian dan pengembangan
Penerapan Perkuliahan Uji coba terbatas MPKGK Konvensional
Draf MPKGK :
Desain (tujuan, sasaran, silabus,
materi/panduan, lembar kerja, Post Test Post Test strategi,pendekatan, metode) Revisi
implementasi (Connecting-Restruc- turing-Applying), Evaluasi(tes,non tes)
MPKGK Analisis Data
Survey Lapangan Hipotetis
Mengenai: - Perkuliahan Kimia Dasar di LPTK
- Fasilitas Laboratorium di LPTK MPKGK Teruji - Wawancara terbatas dengan
Dosen Kimia Dasar LPTK
Gambar 3.1. Desain Penelitian R&D
Tahap I. Studi Pendahuluan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, antara lain: menganalisis
silabi Kimia Dasar I; studi konten Kimia Dasar I menganalisis Kurikulum Kimia
SMA; mengidentifikasi kemampuan-kemampuan dasar kimia yang harus dikuasai
siswa; mengidentifikasi kemampuan-kemampuan dasar kimia yang harus dikuasai
guru; mengidentifikasi permasalahan pembelajaran kimia di SMA, dan
mengidentifikasi permasalahan pembelajaran kimia di LPTK. Hasil studi pendahuluan
ini digunakan untuk melengkapi latar belakang penelitian, kajian pustaka, dan sebagai
dasar perancangan model perkuliahan Kimia Dasar bagi calon guru dan merancang
model evaluasinya.
Tahap II. Penyusunan Model
MPKGK disusun berdasarkan hakikat kimia dan kemampuan-kemampuan
dasar kimia yang perlu dikuasai calon guru; hakikat pembelajaran kimia bagi calon
guru; serta karakteristik materi subyek dalam perkuliahan Kimia Dasar I, di
topik-topik kimia dasar dengan kemampuan-kemampuan dasar kimia topik-topik
terpilih; lembar kerja mahasiswa (LKM); MPKGK; dan model evaluasi. Keterkaitan
antarkomponen dalam MPKGK secara sederhana dinyatakan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Keterkaitan Antarkomponen MPKGK
Berdasarkan karakteristik bidang kajian pokok Kimia Dasar I, hasil
wawancara dengan mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Kimia Dasar I, dan
kemampuan-kemampuan dasar kimia yang teridentifikasi, maka dalam penelitian ini
dipilih topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan sebagai fokus kajian
materi.
Berdasarkan topik yang dipilih sebagai bahan kajian tersebut, kemudian
dikelompokkan ke dalam dua komponen, yaitu (1) komponen teori, yakni
subtopik-subtopik yang dapat diajarkan dengan metode kuliah tanpa praktikum dan (2) Materi kimia yang
harus dikuasai oleh calon guru
Kaitan antara topik dengan kemampuan
generik kimia
Topik-topik terpilih LKM MPKGK
Komponen Teori
Komponen Praktikum
Penguasaan Konsep
Kemampuan Generik
Kimia
Kemam-puan Teklab
Respons Calon
Guru
komponen praktikum, yakni subtopik-subtopik yang dapat diajarkan dengan
praktikum seperti Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Pengelompokan Topik Stoikiometri, Ikatan, dan Kesetimbangan yang Disajikan dengan Kuliah Tanpa Praktikum dan Praktikum
Topik Subtopik yang Diajarkan
tanpa Praktikum
Subtopik yang Diajarkan dengan Praktikum
1. Stoikiometri Rumus Kimia
Penyetaraan Persamaan Reaksi Hukum Proust
Hukum Dalton Hukum Gay Lussac Hipotesis Avogadro Perhitungan Kimia
Persamaan Reaksi Hukum Lavoisier
2. Ikatan Kimia Ikatan Ion
Pembentukan Kristal Ion Struktur Lewis
Ikatan Kovalen
Jenis-jenis Ikatan Kovalen Struktur Ruang Molekul Ikatan Logam
Ikatan Hidrogen Ikatan van der Waals
Kepolaran Ikatan
3. Kesetimbangan Jenis-jenis Reaksi Kesetimbangan Tetapan Kesetimbangan
Prinsip Le Chatelier
Kesetimbangan dalam Industri
Ciri-ciri Sistem Kesetimbangan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesetimbangan
Pengembangan MPKGK yang merupakan strategi dari model triangulasi
(connecting, restructuring, applying) memuat prinsip-prinsip inkuiri berdasarkan
rujukan konstruktivisme dan menitikberatkan aktivitas peserta didik ini adalah untuk
membantu mahasiswa memahami dasar-dasar pengetahuan dalam kimia sebagai
sesuatu yang saling mempengaruhi antara observasi, eksperimen, definisi, deskripsi
MPKGK lebih menekankan pada proses penelitian ilmiah dengan beberapa
alasan. Pertama, sebagian besar mahasiswa yang mengambil kuliah Kimia Dasar I
ketika mereka belajar kimia di SMA-nya tidak mempunyai pengalaman konkrit yang
cukup dengan fenomena-fenomena untuk memahami teori dan penurunan matematik
yang disajikan dalam kegiatan pembelajaran. Kedua, sebagian besar perkuliahan
Kimia Dasar I belakangan ini cenderung meliputi materi yang luas dan padat, di mana
pembelajaran menggunakan metode konvensional yang mengakibatkan mahasiswa
cenderung hanya menghafal fakta-fakta, konsep, ataupun teori tanpa memahami
maknanya. Ketiga, sebagai calon guru mahasiswa perlu mendapatkan pengalaman
langsung dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiah (inkuiri) agar dapat
membimbing siswanya secara optimal kelak ketika terjun sebagai pendidik di
lapangan.
Lembar kegiatan mahasiswa (LKM) dikembangkan untuk membimbing
mahasiswa dalam melatihkan kemampuan generik kimia yang dapat diidentifikasi
dalam topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan. Indikator pencapaian
hasil belajar tercantum dalam kisi-kisi soal yang dijadikan instrumen penelitian.
Ragam kemampuan generik kimia tercantum dalam setiap LKM. Oleh kareana itu,
setiap pertemuan dalam kegiatan perkuliahan memerlukan tiga jenis LKM, yakni
LKM-a, LKM-b, dan LKM-c.
Pemberian label pada masing-masing LKM mengandung maksud tertentu
berdasarkan urutan MPKGK yang dikembangkan. Pemberian label ini dimaksudkan
agar mempermudah dosen dalam menggunakan LKM sesuai dengan langkah-langkah
yang digunakan dalam MPKGK. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 3.2,
Tabel 3.2. LKM Topik Stoikiometri
Jenis LKM Label Konsep Indikator Kemampuan Generik
LKM 1-a Stoikiometri Membangun konsep
Memiliki kerangka logis
LKM 1-b Rumus Kimia
Tatanama Senyawa
Membangun konsep
Mengamati secara langsung dan tak langsung
Menggunakan bahasa simbolik
LKM 1-c Persamaan Reaksi Membangun bahasa simbolik
Membangun pemodelan matematik
LKM 2-a Hukum Dasar Kimia Memahami hukum sebab-akibat
Membangun konsep
LKM 2-b Hukum Lavoisier Membangun konsep
Memahami hukum sebab-akibat
Mengamati secara langsung dan tak langsung
Memiliki inferensi logis
LKM 2-c Hukum Proust
Hukum Dalton
Membangun konsep
Memahami hukum sebab-akibat Menggunakan bahasa simbolik
LKM 3-a Hukum Gay Lussac
Hipotesis Avogadro
Memahami hukum sebab-akibat Membangun konsep
LKM 3-b Konsep Mol Menggunakan bahasa simbolik
Memiliki kerangka logis
Membangun pemodelan matematik
LKM 3-c Perhitungan Kimia Menggunakan bahasa simbolik
Tabel 3.3. LKM Topik Ikatan Kimia
Jenis LKM Label Konsep Indikator Kemampuan Generik
LKM 1-a Ikatan Kimia Membangun konsep Memiliki kerangka logis
LKM 1-b Ikatan Ion Membangun konsep
Menggunakan bahasa simbolik LKM 1-c Struktur Lewis
LKM 2-a Ikatan Kovalen
LKM 2-b Jenis-jenis Senyawa Kovalen LKM 2-c Struktur Molekul
LKM 3-a Struktur Ruang Molekul LKM 3-b Teori VSEPR
Teori Domain Elektron Teori Hibridisasi LKM 3-c Kepolaran Ikatan LKM 4-a Ikatan Logam
Ikatan Hidrogen Gaya van der Waals LKM 4-b
LKM 4-c
Tabel 3.4. LKM Topik Kesetimbangan
Jenis LKM Label konsep Indikator Kemampuan Generik
LKM 1-a Kesetimbangan Membangun konsep Memiliki kerangka logis LKM 1-b Ciri-ciri Setimbang Dinamis Membangun konsep
Mengamati secara langsung dan tak langsung Memiliki kerangka logis
Menggunakan bahasa simbolik LKM 1-c Grafik Kesetimbangan Membangun konsep
Menggunakan bahasa simbolik Memiliki kerangka logis LKM 2-a Reaksi Kesetimbangan Menggunakan bahasa simbolik
Membangun model matematik LKM 2-b Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kesetimbangan
Membangun konsep
Memahami hukum sebab-akibat
Mengamati secara langsung dan tak langsung Memiliki inferensi logis
LKM 2-c Tetapan Kesetimbangan Membangun model matematik Menggunakan bahasa simbolik
LKM 3-a Prinsip Le Chatelier Memahami hukum sebab-akibat Membangun konsep
LKM 3-b Pergeseran Kesetimbangan Membangun konsep
Memahami hukum sebab-akibat
Mengamati secara langsung dan tak langsung Memiliki inferensi logis
Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah MPKGK.
Setiap kegiatan pembelajaran diarahkan untuk melatih mahasiswa mengembangkan
kemampuan-kemampuan dasar kimia. Setiap pertemuan dalam kegiatan perkuliahan
meliputi tiga tahap pokok, yakni :
1. Tahap I : Connecting, dipandu dengan LKM-a.
2. Tahap II : Restructuring, dipandu dengan LKM-b
3. Tahap III : Applying, dipandu dengan LKM-c
Label LKM menunjukkan pertemuan dan tahap pembelajaran, misalnya
LKM-1a artinya LKM yang digunakan pada pertemuan ke-1 tahap connecting, LKM-1b
artinya LKM yang digunakan pada pertemuan ke-1 tahap restructuring, LKM-1c
artinya LKM yang digunakan pada pertemuan ke-1 tahap applying, dan seterusnya.
Tahap III: Validasi Model
Pada tahap ini meliputi serangkaian kegiatan, antara lain: pelaksanaan uji coba
terbatas MPKGK, analisis hasil uji coba MPKGK, dan revisi MPKGK.
1. Pelaksanaan Uji Coba Terbatas
Uji coba MPKGK yang dikembangkan dalam penelitian ini dilakukan di
Jurusan Pendidikan Kimia salah satu LPTK Negeri dalam mata kuliah Kimia Dasar I
pada semester ganjil 2003/2004. Jumlah mahasiswa yang dilibatkan dalam uji coba
adalah 40 orang. Uji coba dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan
Desember 2003.
2. Analisis Hasil Uji Coba Terbatas
Pada awal dan akhir kegiatan pembelajaran topik Stoikiometri, Ikatan Kimia,
dan Kesetimbangan, mahasiswa diuji kemampuannya melalui tes untuk mengukur
Tabel 3.5. Rangkuman Analisis Deskriptif Skor Kemampuan Mahasiswa Hasil Uji Coba Alat Pengukur
Kemampuan Mahasiswa
Skor minimum
Skor Maksimum
Skor rata-
rata
SD Persentase
Mahasiswa yang memperoleh
skor ≤ 55,0
Tes Kemampuan (tes) 25 80 55,6 16,45 42 %
LKM (non-tes) 14 76 58,5 12,25 60%
Dari Tabel 3.5 terlihat bahwa kemampuan-kemampuan dasar kimia yang
dicapai oleh mahasiswa partisipan uji coba baru dalam kategori cukup. Persentase
mahasiswa yang mampu melewati passing grade (Skor=55) untuk kedua kemampuan
di atas masing-masing 42% dan 60 %.
3. Revisi MPKGK
Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan dapat diidentifikasi beberapa
hal-hal yang perlu dipertahankan dan perlu disempurnakan baik pada MPKGK yang
disusun, maupun kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam MPKGK, untuk kepentingan
implementasi dalam penelitian. Berdasarkan wawancara dengan beberapa mahasiswa
secara random, tampaknya strategi pembelajaran yang dikembangkan dapat diikuti
oleh mahasiswa. Penjelasan-penjelasan atau arahan-arahan dalam kegiatan
pra-instruksional perlu lebih dipertegas. Mahasiswa umumnya menyenangi kegiatan
praktikum terintegrasi ini, karena manfaatnya secara langsung lebih dirasakan.
Diskusi hasil-hasil percobaan setelah praktikum menurut mahasiswa harus dilakukan
karena dengan demikian mahasiswa langsung mengetahui kesalahan-kesalahan atau
kebenaran proses dan hasil-hasil yang mereka peroleh, dan juga langsung diketahui
hubungan antara data yang diperoleh dengan prinsip-prinsip atau konsep-konsep
kimia yang dipelajari. Instruksi-instruksi yang terdapat dalam setiap LKM, secara
Alokasi waktu untuk setiap kegiatan perlu diatur secara lebih tegas, mengingat
pada umumnya bekal keterampilan mahasiswa dalam melakukan praktikum relatif
kurang. Mahasiswa perlu membuat pesiapan yang bisa dikerjakan di rumah sebelum
mereka melakukan percobaan di laboratorium. Tugas ini diperiksa dosen sebelum
praktikum berlangsung. Mahasiswa diberi tugas untuk membaca bahan belajar yang
akan dibahas di kelas sebelum pembelajaran dilakukan, sehingga waktu dapat
digunakan secara efisien.
Tahap IV: Pengembangan Model
Pada tahap ini MPKGK yang telah diperbaiki berdasarkan hasil uji
coba diimplementasikan dan diuji efektivitasnya. Desain implementasi model yang
digunakan adalah pre and post-test kelompok kontrol yang tak diacak (Sevilla, et al,
1993) dapat dilihat dalam Gambar 3.3.
O1 X1 O2
O1 X2 O2
Gambar 3.3. Desain Implementasi Model Keterangan:
X1 = MPKGK
X2 = Model Konvensional
O1 = pre-test
O2 = post-test
Pengujian efektivitas dilakukan dengan menganalisis perolehan skor (gain
score) mahasiswa yakni selisih antar skor post-test dan pre-test. Di samping itu,
perbandingan penguasaan kemampuan-kemampuan dasar kimia antara mahasiswa
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini terdiri atas lima langkah,
yakni: (1) Pemberian pre-test untuk mengetahui keadaan awal kemampuan dasar
kimia subyek penelitian. Hasil pre-test ini akan digunakan untuk melihat sejauh mana
terjadinya peningkatan kemampuan dasar kimia pada mahasiswa setelah mengalami
pembelajaran dengan MPKGK; (2) Melaksanakan kegiatan pembelajaran
menggunakan MPKGK; (3) Penilaian proses dan hasil pembelajaran (post-test).
Evaluasi proses dilakukan dengan menggunakan lembaran observasi dan angket.
Observasi dilakukan oleh tim observasi, sedangkan angket diberikan kepada
mahasiswa. Penilaian hasil belajar meliputi evaluasi terhadap
kemampuan-kemampuan dasar kimia yang terdiri dari kemampuan-kemampuan dalam penguasaan materi
subyek kimia dan kemampuan generik kimia. Kemampuan dalam penguasaan materi
subyek kimia diuji dengan tes obyektif pilihan ganda dan uraian (essay). Sedangkan
kemampuan generik kimia diuji dengan LKM. Penilaian kegiatan laboratorium
dilakukan terhadap proses dan laporan praktikum; (4) Analisis data dan interpretasi.
Data yang merupakan hasil pembelajaran dianalisis untuk melihat keefektifan
MPKGK yang dikembangkan serta kelebihan dan kekurangan model kuliah tersebut,
dan (5) Merumuskan temuan-temuan penelitian dan rekomendasi.
Secara garis besar, alur yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
dalam Gambar 3.4. MPKGK dalam pengembangannya melibatkan serangkaian
kegiatan yang terencana dan bertahap. Pada bagian akhir penelitian ini dilakukan
analisis terhadap kemampuan mahasiswa menguasai materi dan respon mahsasiswa
Kesimpulan
Gambar 3.4. Alur Penelitian Analisis Silabus Kimia
Dasar I di LPTK
Analisis Konsep Kimia Dasar
Permasalahan Pembelajaran Kimia
Dasar di LPTK
Kemam- puan generik maha- siswa PBM Kimia di LPTK Pengua- saan konsep maha- siswa
Studi materi kimia Kimia Dasar I
Identifikasi kemampuan- kemampuan dasar yang harus
dikuasai oleh guru
Identifikasi kemampuan-kemampuan dasar kimia yang dapat ditumbuhkan
dalamtopik-topik Kimia Dasar I
Permasalahan Pembelajaran Kimia di SMA
Pemilihan topik-topik Kimia Dasar I yang
dicobakan
Identifikasi Kemampuan Generik
Uji Validasi Tes Penguasaan Materi
Uji Validasi Angket
Uji Validasi MPKGK
Penerapan MPKGK
Analisis Penerapan MPKGK
Dampak terhadap Penguasaan Materi Mahasiswa
Respons Mahasiswa terhadap MPKGK yang Dikembangkan
Analisis Konsep Kimia SMA Analisis Silabus Kimia SMA Pengua-saan konsep kimia siswa Pengua-saan konsep kimia guru PBM Kimia di SMA Kemam-puan generik kimia siswa
B. Lokasi dan Subyek Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Jurusan Pendidikan Kimia suatu LPTK Negeri di
Bandung. Implementasi MPKGK dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar.
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa calon guru semester I jurusan
Pendidikan Kimia yang sedang mengikuti mata kuliah Kimia Dasar I. Mahasiswa
tersebut terdiri dari dua kelas, yakni kelas Kimia A dan kelas Kimia B. Kedua kelas
itu kemudian diundi untuk menetapkan kelas penelitian dan kelas kontrol.
Berdasarkan hasil undian terpilih kelas Kimia A sebagai kelas penelitian dan kelas
Kimia B sebagai kelas kontrol. Jumlah mahasiswa kelas penelitian dan kelas kontrol
masing-masing sebanyak 40 orang.
C. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi, maka definisi operasional
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Model Pembekalan Kemampuan Generik Kimia (MPKGK), didefinisikan
sebagai strategi pembelajaran konstruktivisme memuat sederetan langkah
(connecting, restructuring, applying) yang dikembangkan berdasarkan
kemampuan generik kimia yang diperlukan calon guru di lapangan kelak
(NWREL, 2001).
2. Kemampuan Generik Kimia, didefinisikan sebagai kemampuan calon guru
kimia yang berkaitan dengan strategi kognitif yang dapat dikembangkan
dalam berbagai konteks kimia membentuk suatu kesatuan utuh yang
menggambarkan potensi seseorang yang tidak tergantung pada domain
diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi
guru kimia (Gibb, 2002).
D. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan berbagai instrumen, baik dalam pembelajaran
maupun dalam pengumpulan data. Secara singkat jenis instrumen dan kegunaannya
[image:32.595.101.520.216.616.2]adalah seperti pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Instrumen Penelitian
Jenis Instrumen Kegunaan dalam penelitian
MPKGK Pedoman pelaksanaan kegiatan perkuliahan
bagi dosen dan mahasiswa
Pedoman Observasi Mengobservasi proses pembelajaran.
Angket Menjaring respons mahasiswa terhadap MPKGK.
Catatan Harian Merefleksi proses pembelajaran dan
kendala-kendala yang dihadapi dalam impelementasi MPKGK.
Lembar Kerja Mahasiswa (LKM)
Mengevaluasi penguasaan kemampuan generik kimia.
Tes Kemampuan Kimia Mengevaluasi penguasaan materi subyek kimia.
Laporan praktikum Mengevaluasi kemampuan mahasiswa
melakukan kegiatan laboratorium.
Peta Konsep Standar Mengevaluasi kemampuan mahasiswa membuat
peta konsep
Instrumen penelitian berupa model pembelajaran MPKGK, pedoman
observasi, angket, soal tes kemampuan kimia (Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan
Kesetimbangan) dapat dilihat dalam lampiran. Adapun langkah-langkah dalam
penyusunan instrument adalah sebagai berikut.
1. Menyusun Alat Penilaian Kemampuan Menguasai Materi Subyek Kimia pada Topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan
Alat penilaian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas penilaian
kemampuan generik (non-tes) dan penilaian kemampuan menguasai materi subyek
menguasai materi subyek dievaluasi melalui pokok uji dalam bentuk pilihan ganda
dan tes uraian.
2. Melakukan Validasi terhadap Pakar
Setelah pembuatan kisi-kisi dan alat penilaian, selanjutnya dilakukan penilaian
pakar (expert judgment) terhadap alat penilaian tersebut. Untuk itu, dua orang pakar
diminta untuk melakukan validasi kisi-kisi dan alat penilaian tersebut. Dari kedua
pakar itu, satu dosen dari Jurusan Pendidian Kimia FPMIPA UPI dan satu dosen dari
Sekolah Pascasarjana Program Pendidikan IPA UPI. Peneliti memperoleh catatan
khusus dari kedua pakar tersebut yang digunakan sebagai bahan perbaikan.
3. Menentukan Efektivitas MPKGK
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penentuan efektivitas MPKGK
dilakukan melalui uji coba pada mahasiswa semester I tahun akademik 2003/2004
Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Kelas Kimia A 2003. Hasil uji coba
kemudian dianalisis secara statistik. Untuk tes kemampuan menguasai materi subyek
kimia dilakukan uji statistik untuk memperoleh koefisien reliabilitas tes dan
konsistensi internal tiap item soal. Koefisien reliabilitas dicari dengan rumus alpha
Gronbach, sedangkan konsistensi internal digambarkan oleh koefisien korelasi antara
skor tiap item soal dan skor total (Arikunto, 1998). Untuk keperluan analisis
digunakan program SPSS versi 13.0 for Windows.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif berupa skor kemampuan-kemampuan dasar kimia yang
diperoleh oleh mahasiswa calon guru dalam pembelajaran topik Stoikiometri, Ikatan
kuantitatif juga meliputi nilai LKM dan laporan praktikum. Skor
kemampuan-kemampuan dasar kimia dikumpulkan dari tes kemampuan-kemampuan-kemampuan-kemampuan dasar kimia
dengan metode tes tertulis.
Data kualitatif berupa catatan-catatan harian peneliti yang menggambarkan
proses pembelajaran yang berlangsung, juga tanggapan mahasiswa mengenai
MPKGK. Data kualitatif juga mencakup kendala-kendala yang dijumpai dalam
perkuliahan dengan praktikum terintegrasi. Data kualitatif ini dikumpulkan melalui
observasi, rekaman pembelajaran, angket, dan catatan-catatan harian peneliti.
F. Teknik Pengolahan Data
Data berupa skor kemampuan-kemampuan dasar kimia yang diperoleh
mahasiswa calon guru dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensial. Tingkat
penguasaan kemampuan-kemampuan dasar kimia dinyatakan dengan kategori
kemampuan yang didasarkan pada kriteria penilaian acuan patokan (PAP). Adapun
[image:34.595.100.519.239.621.2]pedoman konversinya adalah seperti pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Konversi Skor Penilaian Kemampuan Generik Kimia menjadi Kategori Kemampuan
(Arikunto, 2002)
Skor /Nilai Kategori Kemampuan
85 – 100 70 – 84 55 – 69 40 – 54 0 – 39
Baik sekali Baik Cukup Kurang Kurang sekali
Peningkatan penguasaan kemampuan-kemampuan kimia antara sebelum dan
sesudah pembelajaran (Savinainen & Scott, 2002) dapat dihitung dengan rumus gain
dengan Spre = skor pre-test; Spost = skor post-test; Smax = skor maksimum. Tingkat
perolehan skor kemudian dikategorikan atas tiga kategori (Savinainen & Scott, 2002),
yaitu: (1) Tinggi gain > 0,7); (2) Sedang (0,3 < N-gain < 0,7), dan (3) Rendah
(N-gain < 0,3).
Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji t untuk data yang
berdistribusi normal. Untuk data yang tidak berdistribusi normal, uji beda dilakukan
dengan statistik non parametrik yaitu uji Wilcoxon. Kedua uji ini dilakukan pada taraf
signifikansi 0,05 (5 %). Uji t atau uji Mann-Whitney digunakan juga untuk
menganalisis perbandingan antara penerapan MPKGK dengan model pembelajaran
konvensional. Normalitas data diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Semua
prosedur statistik ini dilakukan dengan program SPSS Versi 13.0 for Windows
(Wijaya, 2000).
Respons mahasiswa terhadap proses pembelajaran secara umum dinyatakan
dengan membandingkan rata-rata skor angket dengan kategori respon yang ditetapkan
yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Tabel 3.8
[image:35.595.102.518.231.624.2]menunjukkan kategori respons mahasiswa tersebut.
Tabel 3.8. Kategori Respons Mahasiswa terhadap MPKGK
(Arikunto, 2002)
Skor total Kategori
85 % - 100 % 55 % - 84 % 40 % - 54 %
< 40 %
Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju
Respons mahasiswa terhadap MPKGK kemudian dibedakan atas beberapa
variasi. Untuk tiap variasi disajikan persentase mahasiswa yang memberi tanggapan
sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Tiap-tiap variasi respons
diberikan ulasan secara naratif deskriptif yang menunjukkan interpretasi peneliti
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, secara umum dapat
disimpulkan bahwa model pembekalan kemampuan generik kimia (MPKGK) efektif
dalam meningkatkan penguasaan konsep kimia dan kemampuan generik kimia calon
guru melalui perkuliahan Kimia Dasar. Secara khusus dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut.
1. MPKGK yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan calon guru
dalam menguasai materi memiliki karakteristik: (a) terdiri dari tiga tahap, yakni
connecting, restructuring, dan applying; (b) berorientasi pada kemampuan generik
kimia; (c) terintegrasi praktikum, serta (d) menggunakan LKM.
2. Kemampuan generik yang dapat dikembangkan calon guru meliputi tujuh
kemampuan, yakni kemampuan membangun konsep, memiliki kerangka logis,
mengamati secara langsung/tidak langsung, menggunakan bahasa simbolik,
membangun pemodelan matematik, memahami hukum sebab-akibat, dan
memiliki inferensi logis. Perolehan skor tertinggi pada kemampuan membangun
konsep dan terendah pada kemampuan memiliki kerangka logis.
3. Penerapan MPKGK dapat membekali kemampuan menguasai konsep kimia
(N-gain=0,49) dan kemampuan generik kimia (N-gain=0,65) calon guru lebih efektif
dibandingkan dengan model konvensional.
4. Mahasiswa calon guru sebagian besar memberikan respons positif terhadap
5. Pada umumnya kendala penerapan MPKGK dialami oleh dosen dan mahasiswa
yang belum terbiasa dengan tuntutan perkuliahan berbasis aktivitas, namun
MPKGK dapat memudahkan mahasiswa dalam meningkatkan penguasaan konsep
Kimia Dasar pada topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan.
6. MPKGK memiliki beberapa karakteristik yang menunjukkan keunggulan dalam
hal menumbuhkan aktivitas belajar mahasiswa berdasarkan kejelasan kemampuan
yang perlu dikembangkan, tetapi mahasiswa belum terbiasa dengan tuntutan
perkuliahan yang lebih banyak dibandingkan dengan perkuliahan konvensional.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, perkuliahan Kimia Dasar bagi calon guru
dapat disarankan hal-hal sebagai berikut.
1. Agar mahasiswa calon guru terbiasa dalam mengerjakan tugas-tugas selama
Perkuliahan Kimia Dasar melalui MPKGK, sebaiknya mahasiswa tersebut
dibiasakan untuk belajar secara berkelompok (study club) di luar kelas. Belajar
kelompok dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning) tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, akan tetapi perlu dilakukan juga di luar kelas agar setiap
mahasiswa dapat saling berinteraksi dan saling mengisi ketika mengerjakan
tugas-tugas perkuliahan yang diberikan.
2. MPKGK pada topik Ikatan Kimia sebaiknya dilengkapi dengan pembekalan
kemampuan mengamati secara langsung/tidak langsung, terutama dalam pokok
bahasan Kepolaran Ikatan.
3. Agar waktu yang digunakan dalam perkuliahan lebih efisien, sebaiknya
topik-topik yang sudah diberikan dalam perkuliahan terintegrasi praktikum tidak
4. MPKGK dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran
Kimia Dasar yang dikembangkan dalam penelitian sejenis, terutama dalam rangka
menumbuhkan kemampuan generik kimia, dengan tetap mempertimbangkan
keunggulan dan keterbatasannya serta kemungkinan kendala yang dihadapi.
5. Penelitian ini hanya dilakukan pada tiga pokok bahasan yaitu Stoikiometri, Ikatan
Kimia, dan Kesetimbangan. Agar kemampuan-kemampuan generik kimia yang
dapat ditumbuhkan tidak sebatas yang teridentifikasi dari ketiga topik tersebut,
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. (1988). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Depdikbud.
Anderson, R.D. & Mitchener, C.P. (1994). “Research in Science Teacher Education”. Handbook of Research on Science Teaching and Learning. Gabel Dorroty L. (editor). New York. Macmillan Publishing Company.
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arsip Jurusan. (2003). Data dan Hasil Wawancara tentang Perkuliahan Kimia Dasar. Bandung: Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.
Ball, D.L. & McDiarmid, G.W. (1990). “The Subject-Matter Preparation of Teachers”. Handbook of Research on Teacher Education. A Project of the Association of Teacher Educators.
Bloom, B.S. (1956). Taxonomy of Education Objectives. Book 1. Cognitive Domain. London: Longman Group LTD.
Borg, W.R. & Gall, M. D. (1989). Educational Research an Introduction. Fifth Edition. New York and London: Longman.
Brotosiswoyo, B.S. (2000). Hakikat Pembelajaran MIPA (Fisika) di Perguruan Tinggi. Proyek Pengembangan Universitas Terbuka. Dirjen Dikti Depdiknas.
Brady, J.E. & Senese, F. (2004). Chemistry: Matter and Its Changes.Fourth Edition. New York & Maryland: John Wiley & Sons, Inc.
Cochran, K.F., et al. (1993). “Pedagogical Content Knowing: An Integrative Model for Teacher Preparation”. Journal of Teacher Education. 44 (4), 263-272.
Collete, A.T. & Chiappetta, E.L. (1994). Science Instruction in the Middle and Secondary School. Third Edition. New York: Maxwell Macmillan International.
Cooper, J. M. (1990). Classroom Teaching Skills. Lexington: D.C. Heath and Company.
Depdiknas. (2003). Daftar Kemampuan Dasar Sekolah Menengah Umum. Disajikan pada kegiatan sosisalisasi kurikulum dan sistem pengujian berbasis kompetensi SMU di Provinsi Tahun 2002. Jakarta. Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Bagian Proyek Dikmenum.
Depdiknas (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas (2006). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Ditjen Dikti (2004). Kurikulum Pendidikan Kimia S-1. Jakarta: Ditjen Dikti.
Driver, R., et al. (1994). Making Sense of Secondary Science. Research into Children’s Ideas. London & New York: Routledge.
Falmer, W.A. & Farrel, M.A. (1980). Systematic Instruction in Science for the Middle and High School Years. Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company.
Ferguson, P. & Womack, S.T. (1993). “The Impact of Subject-Matter and Education Coursework on Teaching Performance”. Journal of Teacher Education. 44 (1), 55-63.
Firman, H., dkk. (1992). Profil Taraf-taraf Perkembangan Intelektual Mahasiswa Program TPB FPMIPA IKIP Bandung Tahun Ajaran 1991- 1992. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan.
Francisco, J.S. & Nicoll, G. (1998). “Integrating Multiple Teaching Methods into a General Chemistry Classroom”. Journal of Chemical Education. 75 (2), 210-213.
Gavin, H. (1998). The Essence of Cognitive Psychology. London: Prentice Hall Europe.
Geddis, A.N. (1993). “Transforming Subject-Matter Knowledge: The role of Pedagogical Content Knowledge in Learning to Reflect on Teaching” International Journal of Science Education. 15 (6), 673-683..
Giancoli, S.G. (1995). “A Study of Effectiveness of a Guided Open-ended Approach to Physics Experiment”. International Journal of Science Education. 17 (2), 233-241.
Gibb, J. (2002). The Collection of Research Reading on Generic Skill in VET. [Online]. Tersedia: http: // www.ncvr.edu.au.hotm. [24 Oktober 2004].
Hinduan, A.A. (2001). Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan IPA di Sekolah melalui Program Piloting FPMIPA UPI dalam Proyek IMSTEP. Dipresentasikan dalam National Seminar on Science and Mathematics Education. Bandung, 21 Agustus 2001.
Hodson, D. (1996). “Practical Work in School Science: Exploring Some Direction for Change”. International Journal of Science Education. 18 (7), 755-760.
Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies: Lesson from Research and Practice (Second Ed.). Australia: Social Science Press.
Klausner, R.D. (1996). National Science Education Standards. Washington DC: National Academy Press.
Lawson, A.W. (1995). Science Teaching: An Introduction the Development of Thinking. Belmont California: Wadsworth Publishing Company.
Lazarowitz, R. & Tamir, P. (1996). “Research on Using Laboratory Instruction in Science”. Handbook of Research on Science Teaching and Learning. A Project of the NSTA (Dorothy L. Gabel, editor). New York. John Wiley & Sons, Inc.
Lee, O. (1995). “Subject Matter Knowledge Classroom Management and Instructional”. Practice in Middle School Science. Journal of Research in Science Teaching 12 (14), 423-440.
Leornard, W.J., et al. (1996). “Using Qualitative Problem Solving to Highlight the Role of Conceptual Knowledge in Solving Problems”. American Journal of Physics. 64(12), 1495-1503.
Lightfoot, M. (1983). Pre-service Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Liliasari. (2005). Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia melalui Pendidikan Sains. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Tidak dipublikasikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Maple, J. (1996). Advanced Chemisty: An Enquiry-based Approach. London: John Murray Ltd.
McDermott, L.C. (1990). “A Perspective on Teacher Preparation in Physics and Other Sciences: The Need for Special Science Courses for Teachers”. American Journal of Physics. 58 (8), 734-742.
Mestre, J.P. (2001). “Implications of Research on Learning for the Education of Prospective Science and Physics Teachers”. Physics Education. 36 (1), 44-51.
Moerwani, P., dkk. (2001). Kiat Pembelajaran Kimia di Perguruan Tinggi. Jakarta: Pusat Antar Universitas Depdiknas.
Mulyasa, D. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasution, A.H. (1999). Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar Nusa.
NRC (1996). National Science Education Standards. Washington DC: National Academy Press.
NSTA & AETS (1998). Standards for Science Teacher Preparation. National Science Teacher Association in Collaboration with The Association of Teachers in Science.
NWREL.(2001). Science Inquiry. Retrivied 29/03/2004 from
http://www.nwrel.org/msec/science_inq.
Osborne, R, et al. (1985). Learning in Science. The Implications of Children’s Science. London: Heinemann.
Paulson, D.R. (1999). “Active Learning and Cooperative Learning in Organic Chemistry Lecture Class”. Journal of Chemical Education. 76 (8), 1136- 1141.
Poedjiadi, A. (2005). Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Purwadi, A., dkk. (2007). Kompetensi Guru Sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Puskur. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Kimia Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Depdiknas.
Rahayu, S. I. (2001). Hakikat Pembelajaran Kimia di Perguruan Tinggi. Jakarta: Pusat Antar Universitas Depdiknas.
Redish, E.F. (1994). “Implication of Cognitive Studies for Teaching Physics”. American Journal of Physics. 62 (9), 796-803.
Renner, J.W. & Lawson, A.E (1973). Piagetian Theory and Instruction in Physics. The Physics Teacher. 11 (3), 165-169.
Rose, C. & Nicholl, M.J. (1997). Accelerated Learning for the 21st Century
(terjemahan Dedy Ahimsa). Bandung: Nuansa.
Rutherford, F. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. Oxford University Press.
Rustaman, N.Y., dkk. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.
Rustaman, N.Y. (2006). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Dipresentasikan dalam Seminar HISPPIPAJ. Bandung, 22-23 Juli 2005.
Savinainen, A. & Scott, P. (2002). “The Force Concept Inventory: A Tool for Monitoring Student Learning.” Physics Education. 39(1), 45-52.
Sevilla, C. G., et al. (1993). Pengantar Metode Penelitian (terjemahan Alimuddin Tuwu). Jakarta: Universitas Indonesia.
Sharma, R.C. (1981). Modern Science Teaching. New Delhi: Dhanpat Rai & Sons.
Sia, A.P. (1996). “Metacognitive Strategy for Teaching Science Concept”. Journal of Science and Mathematics Education in South East Asia, XVIII. (1), 16-23.
Sidi, I.J. (2000). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah: Tantangan dan Pengembangan. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pendidikan MIPA. Bandung, 31 Juli s/d 2 Agustus 2000.
Sujana, N. (1998). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algeserindo.
Sujana, N. & Suwariah, W.I. (1991). Model-Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru Algeserindo.
Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School (Second Ed.). Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Suyitno, A. (2000). Beberapa Upaya Pemberdayaan Perkuliahan Biologi bagi Mahasiswa Pendidikan Biologi di FPMIPA UNY. Proceeding Seminar Nasional. Pengembangan Pendidikan MIPA di Era Global. FPMIPA Universitas Negeri Yogyakarta 22 Agustus 2000.
Swartz, C. (1998). Teaching Introductory Physics. A Source Book. New York: ALP Press.
Tee, T.B. (1996). “Black Boxes Practical; Problem Solving Skills Among Pre Service Primary Student Teacher in Brunei Darussalam”. Journal of Science and Mathematics Education in South East Asia XVIII, (1), 1-15.
The Houw Liong & Brotosiswoyo, B.S. (2000). Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi. Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Tilaar, H.A.R. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Tera Indonesia.
Tim Basic Science LPTK. (1997). Laporan Evaluasi Kurikulum LPTK tahun 1996/1997. Bandung: IKIP Bandung.
Tim TPB Kimia. (2003). Silabus Perkuliahan Kimia Dasar 2003/2004. Bandung: Jurtusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.
Tobin, K., et al. (1994). “Research on Instructional Strategies for Teaching Science”. Handbook of Research on Science Teaching and Learning. A Project of National Science Teachers Association. New York: Macmillan Publishing Company.
Toothacker, W. S. (1983). “A Critical Look at Introductory Instruction”. American Journal of Physics. 51 (6), 516-520.
Trowbridge. L.W. & Bybee, R.W. (1990). Becoming A Secondary School Science Teacher. Fifth Edition. Colombo: Merrill Publishing Company.
Utomo, T. & Ruijter, K. (1985). Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Wijaya. (2000). Analisis Statistik dengan Program SPSS 13,0 for Windows. Bandung: Alfabeta.
Zamroni. (2001). Peran Kolaborasi Sekolah-Universitas dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam di Indonesia. Makalah disampaikan pada National Seminar on Science and Education. Bandung, 21 Agustus 2001.