DAFTAR ISI
A.Latar Belakang Penelitian.……….…..
B.Rumusan Masalah...
BAB II KAJIAN KONSEPTUAL TENTANG KONSELING
SPIRITUAL DAN KEMANDIRIAN REMAJA
A.Konsep Konseling Spiritual
Pengertian Bimbingan dan Konseling Spiritual ………....
Integrasi Agama dengan Spiritual………...
Perkembangan Konseling Spiritual……….
Pengaruh Konseling Spiritual dalam Kehidupan Manusia……..……
Kaitan antara Konseling Spiritual dengan Kemandirian Remaja……
B.Konsep Kemandirian Remaja
Karakteristik Remaja……….…..
Pengertian Kemandirian Remaja……….…… Kompetensi Kemandirian Siswa SMP/ MTs………...
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian………
B. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian ………
C. Pengembangan Instrumen Penelitian ………
Definisi Konsep dan Definisi Operasional Variabel……...
Instrumen Pengumpulan Data……….
Validitas Instrumen……….
Reliabilitas Instrumen………..
Pedoman Skoring………..………...
Revisi dan Finalisasi Instrumen………..………….
D. Teknik Analisis Data………
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian ………....
Profil Kemandirian Remaja/ Siswa Kelas VII….………. Profil Kemandirian Remaja/ Siswa Tiap Indikator……….……. Program Bimbingan dan Konseling Spiritual ………...……..
Hasil Uji Efektivitas ……….
B.Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan Hasil Studi Pendahuluan………
Proses dan Hasil Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Spiritual…
Efektivitas Layanan Bimbingan dan Konseling Spiritual…………...
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
DAFTAR TABEL
Tabel
2.1 Standar Kompetensi Kemandirian Siswa SMP/ MTs.…………...
3.2 Rancangan Penelitian ….….………
3.3 Kisi-Kisi Instrumen Kemandirian Remaja ………
3.4 Matrik Perkiraan Implementasi Konseling Spiritual………
3.5 Pola Skor Opsi Alternatif Respons Model Likert ………...
4.6 Profil Kemandirian Remaja/ Siswa Kelas VII MTs. KA………….
4.7 Profil Kemandirian Remaja Berdasarkan Skor Item………
4.8 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator De-idealisasi Orang Tua
4.9 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Orang Tua Sebagaimana Orang Lain (as people)………
4.10 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Bebas Dari Ketergantungan Terhadap Orang Tua………
4.11 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Derajat Individuasi Yang Baik Dalam Berhubungan Dengan Orang Tua………
4.12 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Kemampuan
Mengambil Keputusan………
4.13 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Kekuatan Terhadap Tekanan Pihak Lain………
4.14 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Kepercayaan Akan Kemampuan Diri (Self Reliance)………
4.15 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Keyakinan Abstrak…
4.16 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Keyakinan Prinsipil…
4.17 Profil Kemandirian Remaja pada Indikator Keyakinan Independen……... 4.18 Profil Kemandirian Remaja Pada Aspek Kemandirian Emosi……
4.19 Profil Kemandirian Remaja Pada Aspek Kemandirian Perilaku…
4.20 Profil Kemandirian Remaja Pada Aspek Kemandirian Nilai……
4.21 Data Perolehan Skor dan N-Gain Kemandirian Remaja/ Siswa …
4.22 Hasil Uji Normalitas Data Pretes dan Postes ……… 4.23 Tes of Homogeniety of Variance………
4.24 Hasil Uji Statistik per Indikator Kemandirian Remaja………..…
4.25 Hasil Uji Hipotesis Efektivitas Bimbingan dan Konseling Spiritual
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1 Permohonan Penilaian Instrumen……….
Lampiran 2 Perbaikan Instrumen Skala Kemandirian Remaja…………
Lampiran 3 Uji Validitas-Reliabilitas Instrumen ………
Lampiran 4 Data Perolehan Skor Skala Kemandirian Remaja ……….
Lampiran 5 Data Perolehan Skor Per Indikator dan Per Aspek Skala..
Lampiran 6 Format Skala Kemandirian Remaja ……….………..
Lampiran 7 Satuan Layanan Bimbingan dan Konseling dan Materi….
Lampiran 8 Data Perolehan Skor Pretes dan Postes ………..
Lampiran 9 Data Perolehan Skor Pretes dan Postes Per Indikator …..
Lampiran 10 Hasil Uji Hipotesis Penelitian Per Indikator …………..
Lampiran 11 SK Pembimbing Tesis
Lampiran 12 Perpanjangan SK Pembimbing Tesis
Lampiran 13 Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan
Lampiran 14 Daftar Hadir dan Jurnal Harian Kelompok Layanan
Lampiran 15 Foto-foto
Halaman
144
145
155
159
164
170
174
187
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Bimbingan dan konseling merupakan upaya yang diwajibkan di
sekolah-sekolah menengah untuk memberi perhatian khusus pada perilaku remaja/ siswa.
Bimbingan dan Konseling dilakukan untuk mencegah dan memperbaiki perilaku
yang kurang sesuai dengan harapan, sehingga siswa dapat mandiri dan
berkembang secara optimal. Kartadinata (Desmita, 1999: 185) menyebutkan
beberapa gejala ketidakmandirian remaja yang perlu mendapat perhatian dunia
pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1. Ketergantungan pada kontrol luar bukan karena niat sendiri yang ikhlas, sehingga mengarah pada perilaku formalistik, ritualistik, yang tidak konsisten.
2. Sikap tidak peduli pada lingkungan yang merupakan gejala perilaku impulsif.
3. Sikap komformistik tanpa pemahaman dan mengorbankan prinsip, yang menimbulkan ketidakjujuran dalam berpikir dan bertindak.
Daradjat (1993: 69) juga menyebutkan bahwa:
Banyak orang tua yang mengeluh, bersusah hati karena anak remajanya menjadi keras kepala, sukar diatur, mudah tersinggung, sering melawan dan sebagainya. Bahkan ada orangtua yang benar-benar panik karena kelakuan anaknya yang telah remaja, seperti sering bertengkar, berbuat kelakuan-kelakuan yang melanggar aturan atau nilai-nilai moral dan norma-norma agama, sehingga dikatakan oleh masyarakat sebagai nakal.
Pernyataan para ahli tersebut, merupakan tantangan untuk
mengembangkan kemandirian remaja melalui pendidikan, bimbingan dan
2
kejadian dalam hidup, tentang pentingnya berpegang teguh pada tuntunan Ilahi
dan memberi pencerahan spiritual agama bagi para remaja di sekolah-sekolah.
Menurut guru Bimbingan dan konseling di Madrasah Tsanawiyah
Kifayatul Akhyar Bandung, ada 20 % siswa di sekolah tersebut yang sudah
beberapa hari tidak masuk sekolah tanpa alasan (alpa). Ada yang berangkat dari
rumah dengan baju seragamnya tapi membelot ke tempat main game online, ke
rumah teman, ke tempat ngumpul orang-orang di jalanan, ada juga yang katanya
tinggal di rumah saja pada jam sekolah karena bangun kesiangan, malas, atau ada
masalah dengan teman di sekolah, dengan guru atau marah dan kecewa pada
orang tua sehingga sengaja menentang orangtua yang menyuruh sekolah. Hasil
observasi awal peneliti menunjukkan adanya beberapa siswa yang sering
bergerombol dengan teman yang putus sekolah, memakai tato di tangan, kaki dan
badan, memakai anting/ tindik lidah, tidak melaksanakan tugas piket kebersihan,
tidak membawa alat pelajaran yang ditugaskan, tidak mengerjakan tugas yang
diberikan guru mata pelajaran. Hasil wawancara dengan siswa mengungkapkan
bahwa beberapa siswa yang rajin sekolah ternyata juga mempunyai konflik
dengan teman, saling meledek nama dan pekerjaan orang tua, pernah menantang
guru serta mengaku sedang bertengkar dengan orangtua, kurang yakin akan
kemampuan diri menghadapi test/ ujian mata pelajaran, merasa diri punya
kelemahan sehingga menjadi rendah diri, tidak tahu akan sumber pedoman
nilai-nilai, belum melaksanakan ibadah menurut ajaran agama dengan baik, sering
3
yang lebih mengasyikkan dari pada pergi ke sekolah seperti bermain atau
menonton pertandingan sepakbola dan lain sebagainya.
Perilaku remaja seperti disebutkan diatas merupakan indikator kurangnya
kemandirian remaja. Berdasarkan fenomena yang terjadi di Madrasah Tsanawiyah
tersebut yang memiliki visi “membentuk manusia muslim yang beriman,
bertaqwa, berakhlak mulia, dan mampu beribadah kepada Allah SWT serta
beramal untuk masyarakatnya”, peneliti merasa tertarik untuk menerapkan teknik
Bimbingan dan Konseling Spiritual (BK Spiritual), karena dengan pendekatan
tersebut, secara konseptual akan membuat remaja menjadi mawas diri, sadar akan
makna hidup yang bersih-suci, merasakan ada yang selalu mengawasi semua
gerak-geriknya yaitu Tuhan yang Maha Tahu segala sesuatu, serta BK spiritual
yang direncanakan juga akan sesuai dan terkait erat dengan visi sekolah dan
pengembangan nilai-nilai agama/ spiritual yang seharusnya dianut siswa-siswa
remaja di sekolah tersebut .
Siswa Madrasah Tsanawiyah kelas VII merupakan remaja yang masih
mempunyai ciri-ciri karakter yang masih labil, masih dalam tahap mencari
identitas spiritual dan nilai-nilai untuk dijadikan panduan dalam hidup dan dalam
mengatasi segala permasalahannya. Mereka sangat memerlukan bimbingan dan
konseling dari guru agar kemandirian mereka dapat dikembangkan. Sikap dan
perilaku remaja yang bersekolah disana diharapkan mencerminkan nilai-nilai
spiritual dari ajaran agama Islam yang sumbernya Al Quran dan Hadits Nabi
4
adalah konseling yang mengintegrasikan nilai-nilai atau isu spiritual dalam proses
konselingnya.
Nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama/ kepercayaan yang dianut
akan sangat kuat pengaruhnya bagi seseorang. Jika nilai-nilai dari kepercayaan/
keimanan itu kemudian menjadi pegangan/ kompas dalam kehidupannya, maka
individu akan siap menghadapi apapun yang terjadi di dunia dengan tabah, kuat
dan berserah diri serta melakukan usaha yang terbaik demi persembahan pada
Yang Maha Kuasa. Jika keimanan ini kurang tertanam dengan kuat, maka apapun
yang dilakukan akan terasa tidak utuh, kurang bermakna, tidak menguntungkan,
tidak bisa dijadikan sandaran mutlak, karena tidak terhubung dengan Yang Maha
Kuasa itu. Jika individu telah merasa hidupnya sangat berarti, maka ia akan
mandiri, tidak tergantung pada manusia sekalipun orang tuanya, tetapi ia akan
senantiasa berbuat baik untuk siapapun, karena ia yakin bahwa apa yang
dilakukannya dilihat oleh Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Kemandirian orang yang memiliki integritas spiritual akan tinggi karena mereka
akan bebas dari rasa ketergantungan pada siapa pun, kecuali Sang Maha Pencipta.
Guru BK selama ini masih belum banyak yang melakukan BK dengan
mengangkat aspek spiritualitas dalam praktik BK mereka di sekolah. Mungkin
mereka sudah melaksanakan BK kolaboratif, di antaranya berkolaborasi dengan
guru mata pelajaran agama, tetapi belum banyak yang mampu melakukan
bmbingan dan konseling spiritual, padahal di Amerika Serikat, kesadaran atas
pentingnya agama dan spiritualitas sudah berkembang, sebagaimana diungkapkan
5
Akhir abad 20 ditandai dengan berkembangnya minat terhadap isu-isu spiritual dan keyakinan (keimanan) di Amerika Serikat. Berbagai majalah dan koran terkemuka, seperti Time, Newsweek, U.S. News, dan World Report memuat pemberitaan atau artikel-artikel tentang isu-isu tersebut. Beratus-ratus buku populer dan banyak statsiun televisi yang menaruh perhatian untuk membahas atau menayangkan isu-isu spiritual dan keagamaan…Banyak ahli psikoterapi/ konseling yang tidak memiliki persiapan atau pemahaman dan keterampilan untuk menangani isu-isu spiritual, ditambah lagi bahwa mereka memiliki pandangan sekuler, atau kurang mengalami kehidupan beragama, sehingga mereka mengalami hambatan dalam membantu klien.
Thoresen (2007: 4) juga melaporkan bahwa :
…40 percent of all Americans attend religious services weekly…a clear majority of Americans report that their religious beliefs and practices provide a primary source of meaning and purpose in their lives. …67 percent state that they find strength and comfort from their spiritual or religious beliefs…
Artinya: 40 persen orang Amerika mengikuti pelayanan agama mingguan… secara nyata mayoritas orang Amerika memberitahukan bahwa keyakinan agama dan pengamalannya memberikan sumber utama kebermaknaan dan tujuan dalam hidupnya…67 persen menyatakan bahwa mereka menemukan kekuatan dan kenyamanan dari keyakinan spiritual atau agama mereka itu.
Beberapa tahun yang lampau, Corey (1997: 282-283) telah menjelaskan
bahwa bimbingan dan konseling atau psikoterapi tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai yang dianut konselor, beliau mengungkapkan bahwa :
6
Dalam upaya mengembangkan kepribadian remaja yang mandiri dan
menjadi manusia yang punya kepribadian yang utuh sebagai makhluk yang
berdimensi biopsikososiospiritual, perlu integrasi antara nilai-nilai spiritual/
agama dalam setiap proses bimbingan dan konseling. Miller (2003: 130)
mengungkapkan kesimpulan Richard dan Bergin (2000) tentang kekuatan penuh
sumberdaya keyakinan agama dan prakteknya atau integrasi religius/ spiritual
dalam BK ini sebagai berikut :
The positive relationship between religion, spirituality and mental healthstresses the importance of the integration of spiritual and religious concerns in counseling. Richards and Bergin (2000) summarize the findings of this positive relationship as follows. First, religious coping behaviors assist people during stress and illness. Second, religious people have a greater physicalhealth, life length, surgical recovery, and sense ol well-being, as well as more life satisfaction, moral behavior, emphaty, and altruism. Third, they have less anxiety related to death, worry, neurotic guilt, depression andsuicidal tendencies, are less likely to divorce, use or abuse alcohol or drugs, have premarital sex or teenage pregnancies (if the religion prohibits premarital sex) and delinquency. This summary indicates the powerful resource religious beliefs and practices can be to clients in counseling and the importance of integrating this area in counseling.
Uraian diatas menyatakan bahwa :
1. Integrasi religius/ spiritual dalam bimbingan dan konseling berkorelasi
positif dengan kesehatan mental: perilaku coping religius mengarahkan
orang selama stress dan sakit.
2. Orang yang religius memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, panjang
umur, mudah dalam penyembuhan luka, perasaan bahagia, demikian pula
kepuasan hidup, perilaku moral yang baik, empatik dan altruis.
3. Dengan bimbingan dan konseling yang memperhatikan nilai-nilai agama
7
hal kecemasan tentang kematian, kekhawatiran, gangguan nerotik, depresi,
kecenderungan untuk bunuh diri, demikian juga dalam kemungkinan
untuk bercerai, penggunaan alkohol atau obat-obatan, seks pranikah atau
kehamilan remaja (jika agamanya melarang seks pranikah) dan kenakalan
remaja.
Hasil polling di Amerika yang dilakukan oleh Gallup (1992) menyatakan
bahwa : “66 % masyarakat menyenangi konselor propesional, yang memiliki
nilai-nilai keyakinan dan spiritual, 81 % masyarakat menyenangi proses
Bimbingan dan konseling yang memperhatikan nilai-nilai keyakinan spiritual/
agama.” Jadi akan sangat penting bagi para konselor untuk mencoba pendekatan
spiritual dalam bimbingan dan konseling agar tujuan BK yang memandirikan
dapat dicapai secara lebih efektif.
Kemandirian merupakan isu penting pada masa remaja awal yang ditandai
oleh kemampuan untuk membuat keputusan dan perilaku yang dewasa, seperti
yang dikemukakan Nancy J Cobb (2007) berikut:
One of the major issues confronting early adolescent is to become more autonomous, to be more independent and responsible for their action. Autonomy takes a number of forms. Perhaps the most basic of this is simply choosing to be part of decision making proses, asking to be treated as more adult. As adolescent, take part in this process, they come to feel more confident, about choice they make and their ability to do things on their own. (Sarjun, 2010: 84)
Dari ungkapan para ahli diatas, terlihat betapa pentingnya guru dan para
pendidik memberi perhatian yang serius untuk mengembangkan kemandirian pada
8
konseling mempengaruhi kemandirian remaja. Pada aspek kemandirian
emosional, Steinberg dan Silverberg pernah mengembangkan dan menggunakan
Skala Kemandirian Emosional yang diujicobakan pada remaja yang disebut
Steinberg Emosional Autonomy Scale. Pada aspek kemandirian nilai, telah
dilakukan penelitian oleh Frank dkk.,1998; Marcc J Noom; Maja Dekovic; Wim
Meeus: 2001, yang hasilnya menyatakan bahwa semakin baik kemandirian nilai,
maka semakin cepat dan baik pengambilan keputusan yang dilakukan seorang
remaja. Hasil temuan penelitian Asuninder Tung dan Damanjit Sandhu (2005)
menemukan bahwa di India kemandirian emosi dan mental yang sehat dimilki
oleh siswa setelah mendapatkan bantuan (Sarjun, 2010: 88).
Bimbingan dan konseling dengan pendekatan spiritual yang diberikan
pada remaja akan membuat remaja memahami nilai-nilai yang harus dipegang
dengan kuat, mengalahkan pengaruh teman sebaya dan lingkungan yang
melanggar etika dan moral. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam bimbingan dan
konseling diharapkan akan membuat remaja memahami, mengerti dan menyadari
bahwa penting untuk mempunyai identitas diri, termasuk identitas spiritual sesuai
keyakinan yang dia pilih.
Anak yang berusia dibawah 12 tahun belum mampu menyerap nilai-nilai
agama dan ketuhanan yang bersifat abstrak ketika mereka di Sekolah Dasar (SD),
karena usia dibawah 12 tahun (usia SD) belum mampu berfikir abstrak, masih
berada pada tahap berfikir kongkrit-operasional. Daradjat (1993: 117) menyatakan
9
mampu memahami hal yang abstrak dan mengambil kesimpulan yang abstrak dari
kenyataan yang dilihat atau didengarnya.
Untuk membekali remaja yang baru melepas masa anak ini, maka saatnya
siswa kelas VII di tingkat sekolah menengah mendapat penjelasan tentang
keberadaan Tuhan yang tidak terlihat dan merasakan belaian kasih-sayang Tuhan
dengan cara memahami makna abstrak spiritual dibalik semua kejadian dalam
kehidupannya serta pada alam semesta dan lingkungannya. Mereka harus lebih
mandiri, hanya menggantungkan diri pada Tuhan, bukan pada orang tua atau
orang lain di sekitarnya. Mereka juga harus mampu mengelola emosi,
memelihara kesehatan diri, bersemangat tinggi untuk belajar dan beraktivitas, dan
memilih bergaul dengan teman yang baik.
Remaja akan mencapai kemandiriannya ketika ia hanya berharap kebaikan
dari Tuhannya. Ia akan kuat, bersemangat tinggi untuk belajar tentang hidup dan
kehidupan, mampu menghadapi rasa sakit hati dan kecewa dengan tabah. Menjadi
orang yang mudah mema’afkan karena sadar akan kelemahan dirinya dihadapan
Tuhan, jika ia sendiri pernah melakukan salah pasti ingin dima’afkan juga oleh
orang lain. Jika ia ingin sukses dalam kehidupannya, maka ia harus mampu
mengambil keputusan sendiri untuk berbuat sesuai keinginan dan tujuan
hidupnya, tanpa terbebani oleh rasa malu atau ragu-ragu yang tidak perlu karena
ia telah mengikuti jalan lurus yang bersumber dari nilai-nilai ketuhanan/
spiritualitas. Penela’ahan terhadap kemandirian yang memungkinkan untuk
dicapai oleh remaja dengan pelayanan bimbingan dan konseling spiritual ini
10
Konseling Spiritual untuk Meningkatkan Kemandirian Remaja/ Siswa Kelas VII
di Madrasah Tsanawiyah Kifayatul Akhyar Bandung”.
B. Rumusan Masalah
Pemaparan latar belakang diatas, menuntun penulis untuk merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kemandirian remaja di Madrasah Tsanawiyah
Kifayatul Akhyar sebelum dilakukan bimbingan dan konseling spiritual?
2. Bagaimana gambaran program bimbingan dan konseling spiritual untuk
meningkatkan kemandirian remaja di Madrasah Tsanawiyah Kifayatul
Akhyar?
3. Bagaimana efektivitas bimbingan dan konseling spiritual terhadap
kemandirian remaja di Madrasah Tsanawiyah Kifayatul Akhyar?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas bimbingan dan
konseling spiritual dalam meningkatkan kemandirian remaja
11
a. Memperoleh gambaran tentang kemandirian remaja di Madrasah
Tsanawiyah Kifayatul Akhyar sebelum dilakukan bimbingan dan
konseling spiritual
b. Memperoleh gambaran tentang pelaksanaan bimbingan dan konseling
spiritual yang dilakukan pada remaja di Madrasah Tsanawiyah
Kifayatul Akhyar.
c. Memperoleh gambaran tentang efektivitas bimbingan dan konseling
spiritual terhadap kemandirian remaja di Madrasah Tsanawiyah
Kifayatul Akhyar.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat dibedakan
menjadi dua segi, yaitu: manfaat dari segi teoritis dan manfaat dari segi
praktis. Secara teoritis, hasil penelitian dan pengembangan ini diharapkan
dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para peneliti dan pelaksana
bimbingan dan konseling spiritual di Indonesia dalam mengembangkan
dan memperkuat teori dan konsep yang sudah ada, khususnya bimbingan
dan konseling spiritual untuk mengembangkan kemandirian remaja.
Secara praktis, diharapkan hasil pengembangan penelitian ini,
dapat memberikan manfaat bagi :
a. para guru bimbingan dan konseling atau konselor, agar memperoleh
gambaran yang lebih luas tentang bimbingan dan konseling spiritual untuk
12
70
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, meneliti tentang
bagaimana efektivitas Konseling Spiritual untuk meningkatkan kemandirian
remaja kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Berdasarkan tahapan yang akan
dilaksanakan, maka secara keseluruhan rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan quasi ekperimen. Rancangan quasi eksperimen
merupakan jenis penelitian eksperimen tanpa menekankan penetapan cara
random. Penelitian eksperimen memang memberikan pemeriksaan yang paling
teliti dibanding rancangan lain dalam penelitian kuantitatif, tetapi dalam penelitian
ini kurang memungkinkan jika dilakukan penentuan cara random, karena
merupakan studi lapangan (field study). Campbell dan Stanley menyatakan bahwa
penelitian eksperimen tanpa penentuan cara random merupakan eksperimen quasi: “Random assignment, however, often is not possible, especially in field studies. Campbell and Stanley refer to experiments that lack random assignment as
quasi-experiment” (Borg & Gall, 2003: 402).
Variabel independent dalam penelitian ini adalah bimbingan dan konseling
spiritual, dan variabel terikatnya adalah kemandirian remaja. Adapun desain
penelitiannya adalah menggunakan Nonequivalent Control-Group Design dengan
cara Pretest-Posttest (Borg & Gall, 2003: 402). Rancangan penelitiannya adalah
71
Tabel 3.2 Rancangan Penelitian
Pretest Treatmen Postest
Kel. Eksperimen 1 X 2
Kel. Kontrol 1 - 2
Keterangan:
O : Test
X : Treatmen/ Perlakuan
Langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:
1) Random assignment of research participants to experimental and control groups
2) Administration of pretest to bouth groups
3) Administration of the treatment to the experimental group but no the control group
4) Administration of the posttest to both groups (Borg & Gall, 2003: 366).
Kedua kelompok diberikan pretest pada saat yang bersamaan, demikian pula
pemberian posttest. Adapun Gambaran umum alur penelitian ini adalah sebagai
72
….………...
………
Gambar 3. 1 Alur Penelitian
Menentukan Masalah
Menyususn Instrumen Penelitian berdasarkan Kajian Teori
Validasi
Tahap Persiapan Revisi
Pengumpulan Data
Tahap Pengumpulan Data Pretest
Analisis Tahap Analisis
Treatment/ Tindakan
Posttest
Hasil dan Pembahasan
73
B.Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam Penelitian ini adalah siswa kelas VII Madrasah
Tsanawiyah Kifayatul Akhyar. Lokasi Madarasah adalah di Jalan A.H Nasution
No. 495 Kota Bandung. Sampelnya diambil dengan cara purposif sampling
(sampel purposif) tetapi diproses secara random (Borg & Gall, 2003: 173), dengan
mempersilakan seluruh siswa kelas VII yang bersedia mengikuti sesi konseling
sebagai kelompok layanan atau menjadi kelompok kontrol, maka diperoleh 20
orang remaja/ siswa sebagai sampel. Menurut Kerlinger (2000), salah satu cara
untuk mengontrol varian ekstra adalah dengan randomisasi alias pengacakan:
Secara teoritis, randomisasi adalah satu-satunya cara untuk mengontrol semua variabel ekstra yang mungkin. “ Jika randomisasi telah tercapai dengan berhasil, kelompok-kelompok eksperimen dapat dipandang memiliki kesamaan statistik dalam segala hal atau cara yang mungkin. Pengontrolan varian ektra melalui randomisasi merupakan metode pengontrolan yang besar kekuatannya ( Kerlinger, 2000: 500).
Untuk mendapat sampel penelitian tersebut, maka siswa-siswa kelas VII
MTs. Kifayatul Akhyar diberikan instrumen kemandirian yang telah dibuat untuk
dikerjakan (diisi skalanya) lalu dianalisis hasilnya. Dengan cara pengumuman,
peneliti meminta pada siswa-siswa untuk bersedia menjadi partisipan penelitian,
maka diperoleh 20 orang sebagai sampel dalam penelitian, sehingga diperoleh 10
orang sebagai kelompok eksperimen dan 10 orang lainnya sebagai kelompok
74
C. Pengembangan Instrumen Penelitian
1 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional Variabel a. Kemandirian Remaja
Douvan & Andelson menyebutkan karakteristik kemandirian sebagai:
Each of these characterization is reasonable enough description of what it means to be independent, yet each describes a different sort of independence. The first characterization involves what psychologist call emotional autonomy- the aspect of independence that is related to change in the
individual’s close relationship, especially whith parents. The second
characterization correspons to what sometimes called behavioral autonomy- the capacity to make independent decisions and follow trough with them. The third characterization involves an aspect of independence referred to as value autonomy, which is more than simply being able to resist pressures to go along with the demands of others, it means having a set of principles about right and wrong, about what is important and what is not
(Steinberg, 2002: 290).
Menurut Steinberg, ada sedikit perbedaan dalam istilah autonomy dan
independence:
Although we often use the words autonomy an independence interchangeably, in the study of adolescence they mean slightly different things. Independence generally refers to individual capacity to behave on their own. The growth of independence is surely a part of becoming autonomous during adolescence, but autonomy has emotional and cognitive as well as behavioral components. (Steinberg, 2002: 290).
Steinberg juga menyatakan bahwa pengertian kemandirian tergantung dari sudut
mana orang melihatnya:
We have talked a great deal thus far about the need to develop a sense of autonomy during adolescence. But what does it really mean to be an autonomous or independent person? One way to approach this question is to begin by thinking about the people whom you would describe as independent. Why do they seen so? Is it because they are able to rely on themselves rather than depending excessively on others for support or guidance? Is it beause they can make their own decisions and follow them through, withstanding pressures to go against what they know is right? Or is it perhaps because they are independent thinkers-people who have strong principles and values that
75
anough description of what it means to be independence. (Steinberg, 2002: 290).
Dalam menjelaskan aspek-aspek kemandirian emosi pada remaja,
Steinberg (2002: 292) menyebutkan empat komponen sebagai berikut:
A questionnaire measuring four aspects of emotional autonomy was administrered to a smple of 10-to 15-year-olds. The four components were (1)
the extent to which the the adolescents’de- idealized their parents felt individual; (2) the extent to which the the adolescents were able to see their
parents as people (“my parents act differently with their own friend than they
do with me”); (3) non dependency, or the degree to which the adolescents depended on themselves, rather than on their parents, for assistance (“when I’ve done something wrong, I don’t always depend on my parents to straighten
things out”); and (4) the degree to which the adolescents felt individuated within the relationship with their parents (“there are some thing about me that my parents do not know”).
Kemandirian emosi pada remaja menurut Steinberg merupakan proses
individuasi. Individuasi membawa pelepasan diri dari sifat kekanak-kanakan yang
tergantung pada orang tua menuju sikap yang lebih matang, lebih bertanggung
jawab dan hubungan yang tanpa ketergantungan. Remaja lebih bertanggung jawab
atas apa yang dia pilih dan dia lakukan, bukan orang tua yang melakukan sesuatu
untuknya. De-idealisasi merupakan aspek pertama kemandirian emosi yang
berkembang ketika remaja melepaskan gambaran kekanak-kanakannya tentang
orang tuanya dengan cara yang lebih matang. Seorang remaja usia 15 tahun akan
menunjukkan kemandirian emosi yang lebih baik dari pada yang berusia 10 tahun,
meskipun gambaran mereka tentang orang tuanya yang ideal sudah berkurang.
Remaja tidak lagi menuntut orang tuanya untuk menjadi orang tua yang ideal.
Remaja melihat orang tuanya berbicara dengan orang lain sebagaimana orang lain
76
ketergantungan pada orang tua (non dependency) serta derajat individuasi yang
baik dalam berhubungan dengan orang tuanya tersebut.
Penelitian tentang kemandirian perilaku dinyatakan oleh Steinberg (2002:
297) menjelaskan tiga area: perubahan dalam kemampuan pembuatan keputusan,
kekuatan dari pengaruh orang lain, dan perasaan akan kemampuan dirinya (self
reliance).
Let’s look more closely at way and how changes in behavioral autonomy
occur during adolescence. Researchers have looked at this three domain: changes in decition-making abilities, changes in susceptibility to the influence of others, and changes in feeling of self- reliance.
Sedangkan tentang kemandirian nilai, Steinberg (2002: 305) menyatakan
bahwa konsep moral, politik, ideologi dan religius pada remaja, membuatnya
mampu berfikir tentang implikasi pelanggaran hukum dan peraturan secara umum
(keyakinan abstrak). Remaja juga akan menembus hukum yang ada jika ada
sesuatu yang lebih penting untuk dipertahankan, dan itu adalah hal yang sah untuk
dilakukan (keyakinan prinsipil), selanjutnya remaja juga memiliki pandangan
sendiri yang tidak sesuai dengan system nilai dari orang tua atau figur otoritas
lainnya (non dependency).
The development of value autonomy entails change in adolescent’s
conceptions of moral, political, ideological, and religius issues. Three aspects of the development of value autonomy during adolescence are especially interesting. First, adolescents become increasingly abstract in the way they think about these sorts of issues. Second, during adolescence, beliefs become increasingly rooted in general principles that have an ideological basis.
Finally beliefs become increasingly founded in the young person’s own values
77
Tentang masing-masing indikator kemandirian nilai ini, Steinberg
mengungkapkan sebagai berikut :
Religious beliefs, like moral and political beliefs, also become more abstract, more principled, and more independent during the adolescent years.
Specifically, adolescent’s beliefs become more oriented toward spiritual and
ideological matters and less oriented toward rituals, practices, and the strict
observance of religious customs…The development of religious thinking during
late adolescent develops a stronger sense of independence, he or she may leave behind the unquestioning conventionality of earlier religious behavior as a first step toward finding a truly personal faith. (Steinberg, 2002: 305).
Definisi Operasional kemandirian remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: kesadaran pada remaja/ siswa Kelas VII Madrasah
Tsanawiyah Kifayatul Akhyar untuk mencapai kebebasan diri yang meliputi
aspek kemandirian emosional, aspek kemandirian perilaku dan aspek kemandirian
nilai, yaitu kebebasan dari pengaruh orang tua, memandang orang tua
sebagaimana orang lain, tidak lagi mengidolakan orang tua, memiliki derajat
individuasi yang baik dalam berhubungan dengan orang tua, mampu mengambil
keputusan, menghadapi tekanan pihak lain, percaya pada kemampuan diri,
memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai hidup yang abstrak, prinsipil dan tidak
mudah terpengaruh nilai yang salah. Aspek dan indikatornya adalah sebagai
berikut:
A. Kemandirian Emosi
1. De-idealisasi orang tua: remaja tidak lagi menuntut orang tuanya
78
2. Orang tua sebagaimana orang lain: remaja melihat orang tuanya
berbicara dengan orang lain sebagaimana orang lain berbicara (as
people).
3. Bebas dari ketergantungan pada orang tua: remaja menunjukkan sikap
yang bebas dari ketergantungan pada orang tua (non dependency).
4. Derajat individuasi yang baik dalam berhubungan dengan orang tua.
B. Kemandirian Perilaku
1. Kemampuan membuat keputusan.
2. Kekuatan dari pengaruh orang lain.
3. Kepercayaan akan kemampuan diri (self reliance).
C. Kemandirian Nilai
1. Keyakinan Abstrak: remaja mampu berfikir tentang implikasi
pelanggaran hukum dan peraturan secara umum dan lebih berorientasi
spiritual dan ideologis.
2. Keyakinan Prinsipil: remaja menembus hukum yang ada jika ada
sesuatu yang lebih penting untuk dipertahankan, karena menurutnya
adalah hal yang sah untuk dilakukan.
3. Keyakinan Independen: remaja memiliki pandangan sendiri yang tidak
sesuai dengan system nilai dari orang tua atau figur otoritas lainnya
(non dependency).
Adapun kisi-kisi instrumen kemandirian remaja tesebut adalah sebagai
79
Konseling spiritual didefinisikan oleh Dennis Lines (2006: 2) sebagai:
A particular mode of interaction that call practitioners to step aside from their preferred manner of working to engage in a therapeutic process of being with being, and to respond to their clients in a reciprocal engagementas though both are on a continuing journey of transending self (by capitalising self I stress the individual sense of personhood)
80
sedang dalam pengembaraan diri transendens terus menerus dengan memberdayakan dirinya secara individual sebagai manusia.
Dennis Lines (2006) juga menyebutkan beberapa teknik yang biasa
digunakan dalam konseling religius dan pastoral sesuai dengan hasil kesimpulan
Richard dan Bergin (1997). Teknik dan intervensi yang seringkali dipakai oleh
agama tradisi di dunia tersebut adalah: berdo’a, membaca kitab suci, pemberian
maaf dan meditasi (Lines, 2003 : 159):
…Whilst not elevating technique too highly, let us look at the broad range of
interventions available for the spiritual counselor. The comprehensive study of Richards and Bergin (1997) presents a range of religious techniques and
interventios which are advocated by most of the world religious traditions’,
and these are prayer, scripture reading, forgiveness and meditations-which is
popular in transpersonal therapy…The psychological benefits of collective
prayer were evident for Ibn:”when I come out of the mosque I would feel this is good…The first moment that I felt good was when I had a first glimpse of the Kaaba…And about three million people were there that day, together, and only
thing that was no other intention, or anything like that, except to pray to our Creator. And it felt so overwhelming, so incredible (Lines, 2003 : 160).
Artinya: Meskipun tidak terlalu tinggi mengangkat teknik, marilah kita melihat berbagai intervensi yang tersedia untuk konselor spiritual. Studi komprehensif dari Richards dan Bergin (1997) menyajikan berbagai teknik agama dan intervensi yang dianjurkan oleh sebagian besar tradisi keagamaan dunia, dan ini adalah do’a, membaca Alkitab, pengampunan dan meditasi-yang populer dalam terapi transpersonal ...Manfaat psikologis dari doa kolektif dinyatakan oleh Ibnu: "ketika saya keluar dari masjid saya akan merasa ini adalah baik ... saat pertama saya rasakan baik adalah ketika saya mengalami pengalaman pertama sekilas ketika mengunjungi Ka'bah ... Dan sekitar tiga juta orang ada di sana hari itu, bersama-sama, dan hanya ada satu niat, tak ada yang lain, atau sesuatu seperti itu, kecuali untuk berdoa kepada Sang Maha Pencipta kita. Dan rasanya begitu luar biasa, begitu menakjubkan..
Penggunaan Kitab (tulisan suci) atau biblioterapi religius termasuk salah
satu teknik konseling spiritual/ religius. Miller (2003: 196) yakin bahwa
penggunanaan kitab suci ini akan membantu klien untuk merubah keyakinannya,
melihat masalah secara berbeda, dan memahami kitab suci dengan lebih baik,
81
mengajarkan kepada kita bagaimana cara hidup. Kekuatan pembacaan kitab suci
menurut Garret (1998) adalah pada pengalaman subyektif pendengar tentang kisah
yang dibacanya, dan pada apa yang didengar serta pada apa makna yang
dipahami klien dari kisah tersebut. Konselor dapat membantu klien dengan cara
terlibat dalam diskusi tentang makna bacaan bagi klien dan membantu klien
menerapkan bacaan tersebut untuk pengobatannya, sebagaimana kata Lines:
Reading scripture has regularly been viewed as appropriate in religious counseling, both for spiritual edification and as a source of teaching on how to live. Religious texts have a rich store of spiritual and moral wisdom, though
not all religious writings are claimed to be revelations from God or the gods.”
(Lines, 2003 : 160)
Artinya: Membaca kitab suci secara rutin dipandang tepat dalam konseling religius, baik untuk peneguhan rohani dan sebagai sumber pengajaran tentang bagaimana hidup. Teks-teks agama memiliki kekayaan kebijaksanaan spiritual dan moral, meskipun tidak semua tulisan-tulisan keagamaan yang diklaim sebagai wahyu dari Tuhan atau para dewa. "
Najati (2005: 352) menyatakan bahwa membaca al Qur’an (Kitab suci
bagi umat Islam) merupakan terapi untuk menghilangkan kegelisahan yang timbul
akibat perasaan berdosa. Ibnu Taimiyyah mengemukakan: “al Qur’an adalah obat
untuk setiap penyakit yang ada di dalam dada serta bagi orang-orang yang di
dalam hatinya terdapat penyakit ragu dan syahwat. Al Qur’an mengandung
bermacam penjelasan yang bisa memilah yang hak dari yang batil”.
Makhdlori (2007: 27) mengungkapkan sesuatu yang “magis” atau mistik,
daya spiritual tertinggi dalam arti metafisis tentang isi Al Qur’an :
82
maka akan sembuh dengan kekuatan “magis” spiritual yang ada dalam ayat
-ayat tertentu dengan kekuatan suci dari alam transendens. Firman Allah dalam
ayat 204 surat al A’raf artinya: “dan apabila dibacakan al Qur’an, maka
dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu sekalian
mendapat rahmatNya”. Al Qur’an adalah sumber hukum yang mengatur
kehidupan manusia sehari-hari dan sumber pengetahuan bagi kegiatan intelektual manusia, baik yang bersifat material maupun nonmaterial.
Sedangkan tentang berdo’a yang merupakan teknik konseling spriritual
lainnya, Miler (2003: 192) menjelaskan manfaat berdo’a, antara lain membuat
orang mendekatkan diri pada Yang Maha Suci baik dalam cara bertindak, berpikir
maupun sikap. Berdo’a adalah berbicara, dan orang akan mengurangi kesibukan
hidup serta menemukan informasi tentang jawaban-jawaban atas segala
pertanyaan mengenai kehidupan ketika mereka berdo’a:
Prayer can be reviewed as talking and the act of prayying may cause the client to slow down his or her busy life and find that he or she receive information about or answers to his or her life question (Becvar, 1997).
…These five types of prayer may be practiced by the counselor and client to examine the type of prayer the client is using or the type of prayer than using together in session to determine if another form would be more beneficial for them. For example, a client who struggles with self conteredness may be engaged in petitionary prayer yet intercessory may be more beneficial to the client in terms of his or her issues. Miler (2003: 192)
Artinya: Do’a dapat ditinjau sebagai berbicara dan kegiatan berdo’a dapat membuat klien menunda kesibukannya dan menemukan bahwa ia memperoleh informasi tentang atau jawaban atas pertanyaan hidupnya (Becvar, 1997). ... Kelima bentuk do’a dapat dilakukan oleh konselor dan klien untuk memeriksa jenis do’a yang digunakan klien atau daripada menggunakan jenis doa bersama-sama di dalam sesi untuk menentukan apakah bentuk lain akan lebih bermanfaat bagi mereka. Sebagai contoh, klien yang berjuang dengan pemusatan diri dapat terlibat dalam doa permohonan dengan perantara mungkin lebih bermanfaat bagi klien dalam hal masalahnya.
Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari kegiatan berdo’a. Do’a adalah
dzikir dan ibadah. Dalam do’a ada ketenangan jiwa serta obat kesedihan,
83
Allah akan mengabulkan do’anya lantaran membenarkan firman Allah Ta’ala
(Najati, 2005: 356): ”Dan jikalau hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka sesungguhnya Aku itu dekat. Aku mengabulkan do’a orang yang
berdo’a bila ia memohon kepada-Ku” (QS al Baqarah, 2: 186).
Arifin (2009: 126) menjelaskan mengenai energi spiritual dari ruhani
manusia sebagai kekuatan yang dahsyat dan mendapat dukungan empiris dari
dunia Barat. Latihan yang merupakan metode membangkitkan energi spiritual
tersebut disebut riyadhoh yang isinya adalah: bersuci dengan wudlu, melakukan
shalat, puji-pujian pada Tuhan, permohonan ampun dan do’a-do’a yang
dipanjatkan dengan tulus sebagaimana non Islam melakukan meditasi:
Secara internal proses muhasabah adalah aktifitas nyata dari pelatihan ruhani (riyadhah ruhaniyah) yang sangat jarang dilakukan. Padahal kekuatan ruhani adalah memiliki energi yang dahsyat dan tidak terbatas…Semua lantunan ungkapan ini adalah untuk melatih organ-organ fisik dan ruhani agar biorythmik-nya senantiasa bermuara pada nilai-nilai illahiyah sebagai sumber segala energi dan kekuatan. Di Barat telah dicoba dilakukan penelitian pengukuran terhadap energybatin saat para sufi melantunkan teks-teks suci tersebut. Hasilnya tergolong pada kelompok manusia yang mempunyai kekuatan energy sebesar 40 MHz. Energi inilah yang kemudian disebut orang
sebagai bibit untuk mendapatkan “energi sinar Tuhan” dan sanggup
menggetarkan apa yang mereka sebut dengan god spot yang ada pada diri manusia. Energi ini pulalah yang biasa dijadikan modal dasar puncak pencapaian para sufi dengan Tuhannya sebagai pengalaman puncak perjumpaan (peak experience) (Arifin, 2009: 128).
Kegiatan muhasabah dimulai sendiri-sendiri dengan berwudhu, shalat,
selanjutnya role play, yaitu dengan berperan sebenar-benarnya sebagai hamba
dihadapan khaliqnya tanpa berdusta dan berpura-pura. Arifin melanjutkan tentang
84
Kemudian membuka diri dengan ikhlas, masuk kepada diri sendiri, jangan melihat kiri-kanan, bila perlu pejamkan mata, dan biarkan teks-teks lantunan
do’a suci yang dibimbing pengucapannya oleh mursyid memasuki diri kita.
Langkah berikutnya dapat mulai dengan kontemplasi sambil terus melantunkan ayat-ayat suci dan do’a. Proses ini terus dilakukan ibarat sedang meng-install diri kita agar terjadi proses internalisasi energy spiritual dari do’a untuk
meninggikan frekuensi spirtualitas kita. Contoh do’a munajat: “Ya Allah,
hamba yang penuh noda dan dosa ini, saat ini dirumahMu yang mulia ini berdatang sembah untuk memohon ampunan. Engkau telah memerintahkan melalui firmanMu untuk bertobat, tetapi selama ini hamba terkadang melalaikannya.Kini hamba sadar Engkau membuka pintu taubatMu untuk hamba yang berdosa ini. Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa jika Nabi kami utusanMu berada di tengah-tengah kami dan jika masih ada hambaMu yang memohon ampunan padaMu maka Engkau tidak akan menyiksa kami. Kami sungguh memohon ampunanMu, ya Allah, karena tak ada yang dapat mengampuni selain Engkau yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Rabbi innii dzalamtu nafsii faghfirli
Wa’fu’anna waghfirlanaa warhamna
Rabbighfirli waliwalidayya walil mu’miniina yauma yaquumul hisab.
Adapun konselor yang dapat diidentifikasi sebagai konseor berorientasi
spiritual menurut Boorstein (1996) adalah:
Practitioners working within the science of transpersonal psychology who feel confident and competent to work upon issues of religion and spirituality broadly conceived. They recognise the various dimensions of religion and spirituality and are not perturbed that spiritual aspects of the person are not reducible or contained within conventional psychological constructs. They are quite at home in working with metaphor and symbol, supra-psychology and the transpersonal. Spiritually-inclined therapist recognise and venerate the numinous within human experience and functioning, being neither embarrassed by non-empirical discourse nor afraid to share similar accounts of their own with their clients (Lines, 2006: 85).
Berdasarkan konsep diatas, maka Definisi Operasional Variabel (DOV)
bimbingan dan konseling spiritual dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
interaksi antara guru BK dengan beberapa remaja siswa kelas VII MTs. KA dalam
kegiatan kelompok bimbingan dan konseling untuk menemukan makna kehidupan
85
Pencipta melalui do’a bersama, membaca kitab suci, muhasabah/ meditasi dan
pengampunan sehingga remaja mencapai kebebasan terhadap orang tua, dalam
mengambil keputusan, menghadapi tekanan pihak lain, percaya pada kemampuan
diri, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai hidup yang abstrak, prinsipil dan
tidak mudah terpengaruh nilai yang salah (independent).
Tabel 3. 4
Matrik Perkiraan Implementasi Bimbingan dan Konseling Spiritual No. Aspek/ orang tua dan orang lain untuk bersama-sama menjalani
Remaja/ Siswa mengenal Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan, memahami tentang kehidupan dan kematian, surga dan neraka sebagai balasan perbuatan manusia sehingga meyakini dunia gaib/ abstrak tersebut dan selalu berhati-hati dalam menjalani hidup agar
mema’afkan orang lain,
mengambil keputusan sendiri, percaya akan kemampuan diri sendiri dan merasa memiliki pegangan nilai-nilai dan prinsip yang kuat untuk menjalani kehidupan di dunia ini sehingga mampu menangkal pengaruh negatif dari orang lain, memiliki kepercayaan akan kemampuan
86
Reliance) diri dan bebas dari ketergantungan kepada orang tua ataupun orang lain, tetapi bertanggung jawab pada Tuhannya dan selalu berdo’a merasakan kenikmatan dalam meminta ampun dan berdo’a kepada Allah ketika ditimpa rasa takut, berserah diri sepenuhnya pada Allah dengan meminta pertolonganNya, mengakui dosa dan kesalahannya dengan tekad untuk berusaha memperbaiki diri, menjadi orang yang bertanggung jawab, dan menjadi teladan dengan cara berbuat baik kepada sesama termasuk dengan cara mema’afkan kesalahan orang lain.
Remaja/ Siswa menghormati orang tuanya dengan niat ibadah pada Allah, menerima kekurangan dan kelebihan orang tuanya, tidak menggantungkan diri sepenuhnya pada orang tua,
Untuk mengukur tingkat kemandirian remaja dalam penelitian ini
menggunakan insrumen pengumpulan data berupa Skala Kemandirian Remaja.
Instrumen Kemandirian Remaja disusun oleh peneliti berupa item skala Likert
dengan lima pilihan respon. Lima pilihan respon Instrumen Kemandirian Remaja
ini adalah: SS (sangat sesuai), S (sesuai), R (ragu-ragu), TS (tidak sesuai), dan
87
3 Validitas Instrumen
Penimbangan dan uji validasi instrumen dilakukan untuk memperoleh
gambaran mengenai derajat kecermatan instrumen dalam mengungkap variabel
yang diteliti.
a. Validasi Rasional
Aspek yang divalidasi secara rasional dari instrumen kemandirian remaja
terdiri dari: isi (content), konstruk dan redaksi. Aspek isi meliputi kesesuaian
materi pernyataan instrumen dengan landasan teori kemandirian remaja menurut
Steinberg (2002). Aspek konstruk divalidasi dari sisi kesesuaian dengan teori-teori
kuantifikasi psikologis. Adapun aspek redaksi menyangkut struktur bahasa dalam
item-item pernyataan instrumen.
Validitas rasional instrumen kemandirian remaja dalam penelitian ini
dinilai oleh ahli bimbingan dan konseling dari Jurusan Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Item pernyataan dikelompokkan
kedalam kualifikasi memadai (M) atau tidak memadai (TM). Pernyataan yang
berkualifikasi M langsung digunakan untuk menjaring data penelitian. Sedangkan
untuk kualifikasi TM dilakukan dua kemungkinan, yaitu: pernyataan tersebut
direvisi sehingga dapat termasuk kelompok M atau pernyataan tersebut dibuang.
b. Validasi Empiris
Proses berikutnya yang dilakukan untuk memperoleh kekokohan
instrumen yang digunakan adalah dengan melakukan uji coba instrumen terhadap
30 remaja (siswa kelas VII SMP M). Uji coba ini dimaksudkan untuk mengetahui
ketepatan/ kesahihan (validity) dan keterandalan (relliability) alat ukur yang telah
88
dihitung menurut perhitungan berdasarkan rumus Pearson Product Moment
(Azwar, 1995: 153) dengan menggunakan bantuan Microsoft Exel 2007.
Langkah-langkah dalam mengolah data untuk menentukan validitas
instrumen tersebut diolah dengan metode statistika dengan menggunakan bantuan
Microsoft Exel 2007 sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data yang diperoleh dan memisahkan antara skor tertinggi
dan terendah.
b. Mencari rata-rata (x) setiap butir item pernyataan kelompok atas dari nilai
rata-rata (x) kelompok bawah dengan menggunakan rumus dari Furqon
(2002: 37):
X = �=1 �
Keterangan :
X : Nilai rata-rata yang dicari � : Jumlah skor
N : Jumlah Responden
c. Mencari simpangan baku (s) setiap butir item pernyataan kelompok atas
dan) kelompok bawah dengan menggunakan rumus:
S = ( − )
2
−1
Keterangan :
S : simpangan baku yang dicari
89
d. Mencari variansi gabungan (�2) dengan dalan mengkuadratkan
simpangan baku dari masing-masing butir pernyataan
e. Mencari nilai t-hitung untuk setiap butir pernyataan dengan rumus:
t = 1 2
�1 1 2
+�2
2 2
Keterangan :
t : simpangan baku yang dicari X : nilai rata-rata suatu kelompok �1 : variansi kelompok 1
�2 : variansi kelompok 1
: Jumlah sampel kelompok atas
2 : Jumlah sampel kelompok bawah
f. Selanjutnya membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel dalam taraf
signifikansi 95%
Penentuan derajat validitas suatu pernyataan instrumen penelitian menurut
Cronbach (1970) ialah yang memiliki koefisien berkisar antara 0,30 sampai
dengan 0,50 telah dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap efisiensi
(Azwar, 1999: 103). Hasil uji validitas item insrumen kemandirian remaja dalam
penelitian ini diperoleh 38 item menunjukkan validitas yang baik, dan dua butir
item menunjukkan validitas yang rendah, yaitu item no. 24 dan 34, sehingga
90
4 Reliabilitas Instrumen
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat seberapa besar tingkat kesamaan
data dalam waktu yang berbeda. Untuk menguji reliabilitas instrumen penelitian
ini digunakan rumus dari Alpha sebagai berikut:
= −
1 . 1− �
�
Keterangan:
r : Nilai Reliabilitas
� : Jumlah Varians Skor Tiap-tiap ltem
�: Varians Total
k : Jumlah Item
Menurut Gall & Borg (2003: 196): “ In general, tests that yield scores
with a reliability of .80 or higher are sufficiently reliable for most research
purposes”. Berdasarkan pernyataan tersebut, koefisien reliabilitas instrumen
Kemandirian Remaja sebesar = 0, 845 adalah reliabel. Hasil dari olah data
melalui uji validitas dan reliabilitas diperoleh data yang layak untuk diolah dalam
proses analisis berikutnya.
5 Pedoman Skoring
Jenis instrumen pengungkap data penelitian ini adalah skala psikologi
yang diaplikasikan dengan format rating scale (skala-penilaian) dalam skala
Kemandirian remaja. Model rating-scales yang digunakan yaitu skala Likert
91
alternatif respons tersebut bersifat kontinum, artinya semakin tinggi respon yang
dipilih oleh remaja/ siswa maka semakin tinggi tingkat kemandiriannya. Begitu
pun sebaliknya, semakin rendah respon yang dipilih oleh remaja/ siswa, maka
semakin rendah pula tingkat kemandiriannya. Keuntungan intrumen dengan skala
Likert antara lain:
a. Mempunyai banyak kemudahan dalam menyusun pertanyaan maupun
menentukan skor berupa angka.
b. Mempunyai reliabilitas yang tinggi dalam mengurutkan manusia
berdasarkan intensitas tertentu.
c. Sangat luwes atau fleksibel dari pada teknik pengukuran lainnya. jumlah
item, jumlah alternatif jawaban terserah pada pertimbangan peneliti.
(Nasution, 1995: 63).
Secara sederhana, tiap opsi alternatif respon mengandung arti dan nilai
skor seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 3. 5
Pola Skor Opsi Alternatif Respons
Model Likert Pada Instrumen Skala Kemandirian Remaja
No. Item Skor
1. 1 2 3 4 5
2. 5 4 3 2 1
3. 5 4 3 2 1
4. 1 2 3 4 5
5. 1 2 3 4 5
6. 5 4 3 2 1
7. 5 4 3 2 1
8. 5 4 3 2 1
9. 5 4 3 2 1
10. 1 2 3 4 5
11. 1 2 3 4 5
12. 5 4 3 2 1
13. 5 4 3 2 1
92
Langkah berikutnya adalah menetapkan konversi skor sebagai
standardisasi dalam menafsirkan skor ditujukan untuk mengetahui makna skor
yang dicapai individu dalam pendistribusian responsnya terhadap instrumen, serta
untuk menentukan pengelompokan tingkat kemandirian remaja. Konversi skor
disusun berdasarkan skor yang diperoleh subjek uji coba pada setiap aspek
maupun skor total instrumen yang kemudian dikonversikan menjadi tiga kategori
yang mengacu pada landasan teori mengenai karakteristik kemandirian remaja.
Pembagian tiga kategori kemandirian remaja dari hasil pengungkapan awal
dilakukan dengan mengacu pada penghitungan skor z data responden pada proses
93
6 Revisi dan Finalisasi Instrumen
Pada tahap persiapan dilibatkan 30 orang remaja (siswa kelas VII SMP M)
untuk menguji keterbacaan pernyataan instrumen. Aitem pernyataan yang
diajukan untuk dinilai oleh para ahli bimbingan dan konseling berjumlah 60 item.
Sedangkan item yang dinilai sesuai untuk meneliti kemandirian remaja dalam
penelitian ini pada akhirnya berjumlah 38 item pernyataan setelah dilakukan
penyesuaian sesuai item yang valid (terlampir).
D. Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif
mengenai profil kemandirian remaja siswa kelas VII dan data uji efektivitas
layanan bimbingan dan konseling spiritual untuk meningkatkan kemandirian
remaja. Untuk menganalisis data yang diperoleh, digunakan analisis statistik.
Langkah analisis untuk menjawab rumusan penelitian yang pertama yaitu
untuk memperoreh gambaran umum tingkat kemandirian remaja dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mendistribusikan skor skala responden pada tabel konversi skor
2. Untuk melihat gambaran tingkat kemandirian remaja secara keseluruhan
maupun gambaran pada setiap indikator dipergunakan satuan deviasi
standar distribusi normal. Distribusi ini didasari oleh asumsi bahwa skor
subyek dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor subyek
94
3. Menentukan kategori kemandirian remaja/ siswa menurut tiga kategori
yaitu tinggi, sedang dan rendah. Rumus untuk menggolongkan subyek ke
dalam tiga kategori diagnosis tingkat kemandirian remaja adalah:
a. X < (µ- 1,0.
�
), untuk kategori rendahb. (µ - 1,0.
�
) X (µ + 1,0.�
), untuk kategori sedangc. X < (µ + 1,0.
�
) X, untuk kategori tinggiKeterangan:
X = skor subyek
µ = mean teoritis
�
=
satuan deviasi standar (Azwar, 1999: 106).Rumusan penelitian ketiga diformulasikan ke dalam hipotesis sebagai
berikut: “Bimbingan dan Konseling Spiritual efektif untuk meningkatkan
Kemandirian Remaja”. Teknik statistik yang digunakan untuk uji hipotesis
penelitian adalah uji dua data sampel independen. Uji-t independen digunakan
untuk menganalisis keefektifan layanan bimbingan dan konseling spiritual untuk
meningkatkan kemandirian remaja antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Tujuan uji- t adalah untuk membandingkan kedua data sebelum layanan
bimbingan dan konseling (pretes) dan pasca layanan bimbingan dan konseling
(postes) tersebut apakah sama atau berbeda, gunanya untuk menguji kemampuan
generalisasi yang berupa dua variabel berbeda dengan menggunakan IBM SPSS
Statistics 20 sesuai rumus dari Furqon (2002: 170) sebagai berikut:
t =
1 − 295
Keterangan:
t : thitung
1 : nilai rata-rata sampel 1 1 : nilai rata-rata sampel 2
�� : simpangan baku gabungan kedua sampel
1 : banyaknya sampel 1 2 : banyaknya sampel 2
Adapun prosedur untuk pengujian efektivitas bimbingan dan konseling
spiritual untuk meningkatkan kemandirian remaja adalah menghitung data
Normalized-Gain (N-Gain). Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui selisih antara skor postes dengan pretes pada kelompok eksperimen dan kontrol (Colleta,
2007: 172). Adapun rumusnya adalah: �= � � − �
� − � � .
Selanjutnya menguji perbedaaan efektivitas bimbingan dan konseling
spiritual untuk meningkatkan kemandirian remaja menggunakan uji-t independen
(independent sample t test). Kriteria untuk uji-t tersebut berpandangan pada
hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa: �0: “Bimbingan dan konseling
spiritual tidak efektif untuk meningkatkan kemandirian remaja” dan �1 :
“Bimbingan dan konseling spiritual efektif untuk meningkatkan kemandirian
remaja”. Hipotesis statistiknya adalah:
�0: �� � � � = ��
�1: �� � � � >��
Adapun perhitungan efektivitasnya adalah menggunakan software IBM SPSS
137
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian tentang efektivitas bimbingan dan konseling
spiritual untuk meningkatkan kemandirian remaja siswa kelas VII MTs. adalah
sebagai berikut:
1. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa kemandirian sebagian
besar remaja siswa kelas VII di MTs. Kifayatul Akhyar termasuk pada
ketegori tinggi dan sedang serta tidak ada yang termasuk pada ketegori
rendah. Indikator kemandirian remaja yang perlu ditingkatkan pada
remaja/ siswa kelas VII MTs. ini adalah indikator Deidealisasi Orang
Tua, Bebas dari Ketergantungan terhadap Orang Tua, Kepercayaan
terhadap Kemampuan Diri (Self Reliance), Keyakinan Prinsipil dan
Keyakinan Independent.
2. Hasil pelaksanaan program bimbingan dan konseling spiritual
menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling spiritual dengan teknik
berdo’a, membaca kitab suci, meditasi dengan cara muhasabah dan
permohonan ma’af (forgiveness) efektif untuk meningkatkan
kemandirian remaja siswa kelas VII MTs. KA. Sedangkan indikator
kemandirian remaja yang berhasil ditingkatkan adalah indikator
Deidealisasi Orang tua, Kemampuan Mengambil Keputusan dan
138
Indikator lainnya setelah diperhatikan ternyata juga mengalami
peningkatan skor, tetapi belum cukup efektif untuk meningkatkan
kemandirian remaja pada indikator tersebut.
3. Hasil layanan bimbingan dan konseling spiritual untuk meningkatkan
kemandirian remaja menunjukkan hasil yang efektif (signifikan) untuk
membantu meningkatkan kemandirian remaja.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disampaikan rekomendasi kepada
pihak-pihak yang terkait, sebagai berikut:
1. Pihak sekolah
Pihak sekolah diharapkan dapat memberi kesempatan kepada Guru BK untuk
mengikuti pelatihan, khususnya pelatihan bimbingan dan konseling spiritual.
Selain itu, agar siswa terbiasa untuk mengisi angket penelitian secara jujur,
maka siswa perlu sering terlibat dalam penelitian, baik yang dilakukan oleh
mahasiswa perguruan tinggi, maupun oleh guru-guru.
2. Bagi Guru BK
Untuk memberikan manfa’at layanan bimbingan dan konseling secara lebih
bermakna dalam kehidupan di dunia dan di akhirat bagi remaja, maka guru
bimbingan dan konseling perlu mempelajari dan mengembangkan teknik
bimbingan dan konseling spiritual baik yang berlandaskan agama tertentu
ataupun yang tidak bersumber dari wahyu Tuhan sesuai kepercayaan dan
139
maka tehnik berdo’a, membaca kitab suci, meditasi dan forgiveness bisa digunakan sesuai kebutuhan remaja untuk mengatasi masalah dalam kehidupan
ini sesuai aspek-aspek yang ingin dikembangkan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih membuktikan lagi bahwa
program bimbingan dan konseling spiritual efektif untuk meningkatkan
kemandirian remaja. Penelitian lanjutan dapat menyesuaikan variabel terikat
selain kemandirian, misalnya pengendalian diri, konsep diri, motivasi belajar
dan lain-lain. Jangka waktu penelitian perlu ditambah dan jumlah sampel bisa
lebih banyak dari penelitian ini. Peneliti selanjutnya juga perlu menyusun
model proses bimbingan dan konseling yang lebih menarik, terencana dan
berkelanjutan. Metode penelitian juga perlu lebih disesuaikan, bisa
menggunakan metode studi kasus (kualitatif), studi deskriptif, pengembangan
model dan lain-lain. Jenis konseling harus lebih variatif, seperti konseling
individual ataupun konseling kelompok dengan konselor yang mencukupi
(tidak hanya sendiri). Teknik bimbingan konseling dengan membaca kitab suci
al-Qur’an, berdo’a, meditasi dan lain-lain bagi remaja yang beragama Islam
adalah suatu yang penting dilakukan agar remaja mendapat pengalaman
langsung mengenai penjelasan tentang nilai-nilai dari sumbernya yang otentik
agar mereka mencapai kematangan dalam memahami nilai-nilai, emosi