• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi dan Tolok Ukur Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) dalam Konstitusi di Indonesia T2 322012008 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi dan Tolok Ukur Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) dalam Konstitusi di Indonesia T2 322012008 BAB I"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah.1

Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa:2

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

1

Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3.

2

(2)

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang;

d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat dikatakan bahwa UU dan Perppu memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Selama ini UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”3 Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”): “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Selain itu, penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun

3

(3)

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”Jika mengacu pada rumusan ini maka jelaslah bahwa sejatinya Perppu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang. Dengan demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peran DPR dalam konteks Perppu baru terlihat pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut”

dan “jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah

itu harus dicabut”.

(4)

menyetujui Perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang disahkan menjadi Undang-Undang, sedangkan jika Perppu itu ditolak oleh DPR maka Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah UU.4

Sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdapat penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Pasal ini mengenai

noodverordeningsrecht Presiden, aturan seperti ini memang

diperlukan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.”5

Huda berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat

4

Hukum Online, Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5235ce3d531c8/kedudukan-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-(perpu), diakses pada tanggal 28 November 2014.

5

(5)

yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya dan darurat.6

Dinamika sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang penetapan Perppu oleh Presiden umumnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena tolok ukur “kegentingan yang memaksa” selalu bersifat multitafsir dan besarnya

subyektivitas Presiden dalam menafsirkan frase “kegentingan yang

memaksa” sebagai dasar untuk menetapkan Perppu. Hal yang selalu

menjadi kontroversi hingga saat ini adalah tolok ukur mengenai “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar bagi pembentukan

Perppu. Bahkan seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa Perppu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa.

Melalui penelitian ini penulis hendak berargumen bahwa sampai sejauh ini, tidak ada kriteria tolok ukur yang jelas dari makna “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tersebut, karenanya

kehadiran Perppu lebih pada pertimbangan subjektif Presiden. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Oleh sebab itu, maka

6Huda, Ni’matul, dalam Ibnu Sina Chandranegara, Ibid

(6)

penulis hendak menganalisis eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengkaji tolok ukur dalam pembentukan Perppu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia?

2. Apa makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Mengetahui hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia.

2. Mengetahui makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah

(7)

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pengetahuan dalam ilmu hukum, khususnya mengenai eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia.

2. Secara praktis hasil pengkajian penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah terkait sebagai eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia.

E. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini, yaitu: 1. Teori PERPPU

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan

Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.” Perppu juga dinyatakan dalam Pasal 22 UUD 1945: 7

(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

7

(8)

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Berdasarkan hal tersebut, maka Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ikhwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pegaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).8 Namun, peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut (vide Pasal 22 ayat (2) UUD 1945) dan jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut (vide Pasal 22 ayat (3) UUD 1945). Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam “persidangan berikut”.

Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut

Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah masa

8

(9)

sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Jadi, pembahasan Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perppu itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR.

2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas hukum

Reschsstaat.9 Ciri-ciri negara hukum ialah, pertama, adanya

pembagian kekuasaan dalam negara, kedua, diakuinya hak asasi manusia yang dituangkan dalam konstitusi, ketiga, adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas), keempat, adanya peradilan yang bebas dan merdeka, kelima, semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum10. Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu dalam pembentukan undang-undang harus didasarkan pada undang-undang dasar (konstitusi)11. Undang-undang yang ada harus mencerminkan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia. Indonesia adalah negara hukum,

9

Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 Bagian Sistem Pemerintahan Negara. Angka 1.

10

Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum Ikatan Alumi Universitas Jayabaya, Jakarta, 23 Januari 2010.

11

(10)

maka semua produk undang-undang harus didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945.

Kebijakan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.

Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 1945.12 Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

12

(11)

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari aspek substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum.13 Lebih jauh aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan.14

Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan atau dikonkretkan memiliki

13

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.222.

14

(12)

legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.15

Demikian sebaliknya dimana sebuah produk perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/prosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil/ substansial.16 Melalui proses sinkronisasi materi muatan Undang-Undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai Undang-Undang.

Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-wenangan oleh penguasa terhadap warga negara.17 Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni :18

15Ibid

.

16Ibid,

hal. 223.

17

Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2009, hal 50.

18

(13)

a. memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis

(rechtmatige)

b. tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki peraturan perundang-undangan;

c. tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat;

d. diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum. 3. Teori Kekuasaan Legislasi Presiden

Melalui ajarannya Montesquieu berpendapat bahwa:

“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.” 19

Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power. Cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan tersebut dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembaga negara.20 Di Indonesia, kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan yang melaksanakan pemerintahan.

19

Montesquieu, dalam Andy Wiyanto, Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, hal 209.

20

(14)

Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD 1945). Akan tetapi di dalam pembentukan undang-undang Presiden masih mempunyai kewenangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).

(15)

kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Teori Prinsip Kegentingan yang Memaksa

Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir

Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) ada kemendesakan (emergency).21 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan

(emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak

diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.

Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, berpendapat:

21

(16)

“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang -undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan

Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal

-ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian ”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel

(wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung

di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi peraturan pemerintah.”22

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

22

(17)

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.23

2. Pendekatan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu. Dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.24 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai hakikat pembentukan Perppu.

b. Pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.25 Dalam penelitian ini,

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 35.

24

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 96.

25Ibid

(18)

maka penulis akan menggali makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.26 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen hukum mengenai makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). 3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum dan Sumber Penelitian

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian. Oleh karena itu, sumber bahan hukum penelitian ini adalah bahan hukum sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.27 Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:

26

Ibid, hal 138.

27

(19)

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian, seperti misalnya: UUD 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan pula metode analisis deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interpretasi.28 Dalam penelitian ini yang diinterpretasikan yaitu mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti

28

(20)

Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu.

G. Sistematika Penulisan

Bab II membahas tentang eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pada tataran historis, penulis akan memaparkan hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia di Indonesia. Pada tataran konseptual, penulis akan memaparkan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia dan kekuasaan legislasi Presiden. Pada tataran konseptual, penulis akan memaparkan hakikat Perppu di Indonesia.

Bab III membahas tentang tolok ukur “hal ikhwal kegentingan

yang memaksa” dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu). Dalam bab ini, pada tataran historis penulis akan memaparkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di Indonesia. Pada tataran analisis, penulis akan mengkaji frasa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) Vs frasa ”keadaan bahaya”

(21)

pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berdasarkan konstitusi di Indonesia.

Bab IV merupakan bab Penutup yang berisi mengenai kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada akhir bab ini penulis akan mengemukakan sarannya terkait dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh tidak langsung budaya organisasi terhadap kinerja kepala sekolah melalui motivasi dapat dijelaskan dengan model teori dari model integratif perilaku

Sehubungan dengan pelaksanaan Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi Pekerjaan Survey Kajian Lokasi dan Detail Engineering Design ( DED ) TPA Sampah Kota Labuan Bajo dan

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2013, seperti tersebut dibawah ini:. NO

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN & BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Tabel

Iklim organisasi yang baik akan mempengaruhi tingkat kinerja auditor didalam organisasi dan akan mendorong auditor tersebut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya serta dalam

Oleh karena itu penulis akan membantu membuat sebuah “Aplikasi Pengolahan Data Pemesanan, Persediaan dan Pembayaran Keripik Menggunakan PHP ( PHP Hypertext

Pengiriman merupakan sebuah proses bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari produk sayuran dataran tinggi yang berada dalam satu jalar rantai pasok. Manajemen pengiriman

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Implementasi Undang-undang No.02 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah dilakukan secara baik oleh Dewan Pimpinan Wilayah Partai