Memahami Kecanduan Game Online Melalui Pendekatan Neurobiologi
Sri Lutfiwati
UIN sunan Kalijaga Yogyakarta lulu.chococinno@gmail.com
Abstract
Playing online games is an alternative of entertainment that is fairly easy to obtain and inexpensive when compared to other entertainment modes. The behavior of playing online games is preferred because it offers various benefits for the players both mentally and materially. Behind the positive benefits obtained, excessive online gaming results in the emergence of addiction with some negative effects, such as the emergence of aggression behavior, loss of interest to engage in the real world, decreased cognitive abilities and lack of self regulation. This research aims to understand the process of online game addiction through a neurobiology approach using literacy study methods. The conclusion in this study is that if online gaming behavior continues to be repeated and accustomed, the dopaminergic pathway in the brain will strengthen and settle, causing addiction, which will eventually strengthen the reactive system and weaken the reflective system so the cognitive abilities decreased and are difficult in controlling their self control. The precaution that parents and educators can make a duration limit in playing online games, recognizing the details of the game to find out the warning sign if their child starts to cross the line approaching the level of addiction. Corrective actions that can be done by counselors and therapists should be focused on the factors that trigger the emergence of addiction in an effective way.
ANFUSINA: JOURNAL OF PSYCHOLOGY http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/anfusina
ajp.v1i1.3643 Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2018
Abstrak
Bermain game online merupakan alternatif hiburan yang terbilang mudah didapat dan murah jika dibandingkan dengan moda hiburan lainnya. Perilaku bermain game online disukai karena menawarkan berbagai keuntungan bagi para pemainnya baik bagi mental maupun materi. Di balik manfaat positif yang didapatkan, bermain game online yang berlebihan mengakibatkan munculnya kecanduan dengan berbagai efek negatifnya, seperti kemunculan perilaku agresi, kehilangan minat untuk terlibat di dunia nyata, kemampuan kognitif menurun hingga kurangnya regulasi diri. Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses terjadinya kecanduan game online melalui pendekatan neurobiologi menggunakan metode studi literasi. Kesimpulan dalam studi ini adalah jika perilaku bermain game online terus dilakukan berulang-ulang dan dibiasakan, jalur dopaminergik di dalam otak akan menguat dan menetap sehingga menimbulkan kecanduan, yang akhirnya akan memperkuat sistem reaktif dan membuat sistem reflektif melemah sehingga kemampuan kognitifnya menurun dan sulit dalam mengendalikan kontrol dirinya. Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan orangtua dan pendidik adalah membatasi durasi bermain game online, mengenali seluk beluk permainan untuk mengetahui warning sign jika anak mulai melewati batas mendekati tingkat kecanduan. Tindakan perbaikan yang bisa dilakukan oleh konselor dan terapis hendaknya difokuskan pada faktor-faktor yang memicu munculnya kecanduan dengan cara yang efektif.
Keyword: Addiction, Game Online, Neurobiology
Pendahuluan
Memasuki abad 21 yang dimulai pada tahun 2001, terjadi perubahan teknologi dan pertukaran informasi yang sangat cepat dan ekstrim. Masyarakat mulai mengubah cara mereka dalam menelepon dan bertukar pesan, beranjak dari era telepon kabel ke telepon seluler (ponsel), dari era surat menyurat ke penggunaan ponsel dengan fitur
Short Message Service (SMS), menggunakan komputer yang semakin
canggih, mengambil foto, hingga mengikuti tren yang terus berkembang, mulai dari kuliner, cara berpakaian, hingga gaya hidup. Hingga saat ini, perkembangan teknologi semakin canggih dan sangat mudah diakses oleh siapa saja. Sebagaimana data yang dirilis oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) melalui laman resminya pada tahun 2015, diperkirakan sebanyak lebih dari 100 juta
dari sekitar 250 juta orang warga Indonesia menjadi pengguna aktif ponsel pintar pada tahun 2018 (KOMINFO, 2015). Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif ponsel pintar terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Perkiraan tersebut dibuktikan dengan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Teknopreneur pada tahun 2017, sebagaimana dirilis oleh Kominfo melalui web resminya. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa sebanyak 54,68% yakni 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia 262 juta orang, merupakan pengguna internet. Angka ini mengalami peningkatan dibanding pada tahun 2016 yaitu sebanyak 132,7 juta jiwa. Memang, jika dilihat dari grafik pertumbuhan pengguna internet yang dirilis, sejak tahun 1998 hingga 2017, jumlah pengguna internet bertambah dengan sangat pesat, terutama yang terjadi pada tahun 2016, terjadi penambahan sebanyak 22,5 juta jiwa pengguna internet dibanding tahun 2015 (APJII & Teknopreneur, 2017).
Akses internet pada masa kini juga semakin mudah didapat. Tak hanya di kota-kota besar saja, bahkan sekarang internet sudah merambah hingga pedesaan. Jaringan internet diperluas hingga
pelosok desa di Indonesia melalui hadirnya media center Kantor
Komunikasi dan Informasi dan pusat pemerintahan di berbagai kota dan kabupaten yang menyediakan akses internet gratis pada masyarakat yang membutuhkan atau ingin memanfaatkannya, sejak pertengahan 2008 (“Internet masuk desa - BBC News Indonesia,” 2010). Bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, melalui Kompas, menyatakan bahwa pada tahun 2019, diharapkan semua wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia sudah terhubung dengan jaringan internet. Hal ini berarti saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mampu menggunakan internet yang semakin mudah diakses, tidak hanya bagi warga perkotaan namun juga di pedesaan.
Paparan internet dan kepemilikan ponsel pintar dimanfaatkan untuk berbagai hal, diantaranya untuk berkomunikasi, transaksi jual beli, mengakses media sosial, edukasi, gaya hidup, mengakses informasi sosial-politik, dan kesehatan. Dari seluruh pengguna
internet di Indonesia yang memanfaatkannya di bidang gaya hidup, berdasarkan hasil survey APJII, sebanyak 54,13% memanfaatkan
internet untuk bermain game.
Bermain game secara online menggunakan internet digemari
banyak kalangan, tidak hanya bagi anak-anak atau remaja, namun juga dewasa awal hingga menjelang lanjut usia. Lazim kita temukan
saat ini anak-anak bermain game menggunakan ponsel pintarnya,
juga remaja dan dewasa, tidak hanya saat berada di rumah atau ruangan santai, tetapi juga di tempat umum seperti bis kota, hingga di
sekolah. Bermain game dijadikan sarana hiburan yang cukup
menimbulkan efek kesenangan dan efektif untuk melewatkan waktu
luang yang ada. Selain itu, bermain game juga dapat diaplikasikan
dalam dunia pendidikan, dengan memetik esensi permainan yang ada dan memperhatikan aturan-aturan tertentu. Juga dalam beberapa
tahun belakangan, bermain game semakin marak dan digemari karena
ternyata juga menjanjikan keuntungan finansial dan bisa dijadikan pekerjaan yang bersifat profesional.
Munculnya profesi gamer profesional dan maraknya
kompetisi game online, termasuk e-sport atau olahraga digital yang
terorganisir dengan pelatihan khusus seperti layaknya atlet
profesional. Para gamer profesional tersebut mengikuti kompetisi
tertentu berdasarkan game yang mereka tekuni, memperebutkan
hadiah yang menggiurkan dan disiarkan hingga seluruh dunia. Di Indonesia, MURI bahkan pernah menyelenggarakan acara pemecahan
rekor bermain game selama 150 jam dengan melibatkan ratusan
peserta, yang sebagian besar memainkan game online (Jap, Tiatri,
Jaya, & Suteja, 2013). Ada beberapa kompetisi game online yang
menjadi perhatian para gamer di Indonesia. Sebut saja game online
bernama Dota 2, yang digemari sebagian besar pengguna internet
yang mengidentifikasikan dirinya sebagai gamer yang “berbobot”,
saat ini masih sering diadakan kompetisinya baik di luar negeri
maupun di Indonesia. Seorang gamer profesional bisa mendapatkan
$100.000 hanya dengan mengikuti sebuah kompetisi game yang
berasa dari sponsor timnya, dan jika memenangkan kompetisi tersebut tentu mereka akan mendapat lebih banyak uang. Adanya keuntungan finansial di samping keuntungan interpersonal berupa
kesenangan yang diperoleh, membuat semakin banyak yang
menekuni dunia game online dan menambah porsi keseriusannya
untuk terus bermain game. Termasuk dengan diakuinya organisasi
e-sport di berbagai belahan dunia, salah satunya Indonesia eSport
Association (IeSPA) di Indonesia, oleh Kemenpora pada tahun 2014,
yang dianggap sebagai titik terang perkembangan olahraga dan kemajuan teknologi di negara ini (Wiguna & Hakim, 2016).
Keuntungan berupa materi tidak hanya dapat diperoleh bagi
para gamer profesional, namun juga bagi para gamer amatir, dimana
banyak penyedia game yang mulai menyediakan hadiah berupa
materi yang nyata, seperti pulsa, merchandise, hingga uang tunai,
hanya dengan memainkan game tersebut secara rutin dan mencapai
level tertentu, seperti AOV yang iklannya sering terpapar di televisi maupun media sosial.
Meningkatnya ketertarikan para gamer baik profesional
maupun amatir untuk menekuni dunia game membuat mereka
terpapar dengan aktivitas bermain game online secara intensif. Hal ini
kemudian memicu munculnya beberapa gejala perilaku yang bermasalah, di samping keuntungan yang mereka dapatkan. Misalnya,
agresivitas, kehabisan uang karena dipakai untuk bermain di game
center/membeli kuota data internet, atau untuk membeli perangkat
virtual yang dibutuhkan di game yang dimainkan, hingga munculnya
kecanduan sebagai tingkatan yang paling parah.
Game online merupakan permainan berbasis dalam
jaringan/daring (online) yang disediakan oleh produsen game, dalam
bentuk aplikasi permainan maupun melekat pada browser atau server
tertentu. Game online dapat dimainkan menggunakan perangkat
komputer, konsol game atau ponsel yang terhubung dengan jaringan
internet secara aktif (van Rooij, 2011). Secara umum terdapat tiga
kategori utama dalam game online, yaitu basic online, multiplayer,
dan massively multiplayer online game (MMOG). Sedangkan
berdasarkan genrenya, dibedakan menjadi diantaranya adalah game
petualangan, simulasi dan role-playing game, dan game
Berdasarkan beberapa penelitian, diketahui bahwa beberapa
dorongan atau motivasi seseorang memilih bermain game online
terdiri dari tiga faktor utama (Kneer, Rieger, Ivory, & Ferguson, 2014), yaitu:
1. Memiliki kehidupan sosial yang kurang baik. Saat seseorang
memiliki kehidupan sosial yang kurang baik, game online
menawarkan penyelesaian yang sempurna untu melarikan diri dari masalah-masalah yang terjadi di kehidupan nyata.
Terlihat sempurna karena bermain game online relatif tidak
membutuhkan biaya yang besar untuk dapat membuat pemainnya senang dan santai, berbeda dengan bentuk hiburan atau alternatif penyelesaian masalah yang lain seperti liburan atau menemui konselor/psikolog.
2. Penghargaan diri yang rendah. Seseorang dengan
penghargaan dan penilaian diri yang rendah memilih bermain
game online untuk mengembangkan dirinya dengan lebih
vokal dalam berbicara, mencoba melakukan peran sebagai pemimpin, dan membentuk identitas baru dimana ia tidak harus bertatap muka langsung dengan sesama pemain. Orang yang memiliki masalah emosi lainnya seperti ini sangat
beresiko untuk menjadi pecandu game online, terutama game
yang interaktif seperti MMO atau MMORPG. Masalah lebih lanjut akan terjadi jika ia tidak lagi bisa membedakan antara mana yang nyata dan mana yang maya.
3. Tenggelam dalam permainan. Menenggelamkan diri dalam
permainan merupakan kompensasi atas masalah dalam
kehidupan nyata yang dialami gamer. Faktor ini memiliki
peranan penting dalam menjelaskan bagaimana seorang
gamer bisa menjadi pecandu game online. Di saat ia memiliki
kehidupan sosial yang sulit dan/atau harga diri yang rendah, menenggelamkan diri dalam permainan merupakan tindakan pelarian yang dirasa sangat membantu namun ternyata menyimpan efek negatif yang besar di baliknya.
Seseorang dikatakan kecanduan game online saat ia
mengalami beberapa gejala yang mengarah ke gangguan yang terlihat
Gaming Disorder dalam DSM V (American Psychiatric Association & American Psychiatric Association, 2013), jika memenuhi lima atau lebih dari gejala-gejala berikut dalam periode 12 bulan:
1. Preokupasi dengan permainan internet (seseorang berpikir
tentang aktivitas permainan sebelumnya atau menantikan
untuk memainkan game berikutnya). Permainan internet
menjadi aktivitas dominan dalam kehidupan sehari-hari). Catatan: Gangguan ini berbeda dari perjudian internet, yang termasuk dalam gangguan perjudian.
2. Gejala penolakan saat permainan internet diambil/dijauhkan
darinya (gejala-gejala ini biasanya digambarkan sebagai iritabilitas, kecemasan atau kesedihan, tetapi tidak ada tanda-tanda fisik dari penolakan farmakologis).
3. Toleransi – kebutuhan untuk menghabiskan jumlah waktu
yang meningkat dalam permainan internet.
4. Kegagalan dalam mengontrol partisipasi dalam permainan
internet.
5. Kehilangan minat pada hobi sebelumnya dan hiburan, kecuali
permainan internet.
6. Meneruskan penggunaan permainan internet yang berlebihan
meskipun mengetahui masalah psikososial.
7. Membohongi anggota keluarga, terapis, atau orang lain
mengenai jumlah permainan internet.
8. Menggunakan permainan internet untuk melarikan diri atau
mengurangi suasana hati negatif (misalnya, perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, kecemasan).
9. Membahayakan atau kehilangan hubungan yang signifikan,
pekerjaan, atau kesempatan pendidikan atau karir karena partisipasi dalam permainan internet.
Wittek dkk. menyebutkan hasil penelitiannya bahwa terdapat
beberapa faktor yang terkait dengan kecanduan bermain game yaitu:
seringkali terjadi pada laki-laki berusia muda, tinggal sendiri atau kesepian, memiliki kesungguhan yang rendah dalam melakukan sesuatu, mengalami neurosis, dan memiliki kesehatan psikosomatik yang memprihatinkan (Wittek dkk., 2016). Sementara Griffiths menganalisis faktor yang membuat seseorang menjadi kecanduan
bermain game online yaitu untuk tujuan mencari hiburan yang bisa memecah kebosanan yang dialaminya, terpengaruh oleh lingkungan dan kesulitan personal yang dialami, seperti sulit berteman di luar game, yang berakhir dengan ia bermain dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu juga ada faktor melarikan diri dari konflik yang ia alami di kehidupan nyata, dan mengembangkan pertemanan virtual.
Seorang pecandu game online seringkali sulit melepaskan dirinya dari
kecanduan ini karena mengalami kekambuhan, yang diakibatkan oleh faktor internal (toleransi pada dirinya) dan eksternal (tekanan dari teman atau klan di dalam game) (Griffiths, 2014)
Young menjelaskan terkait motivasi seseorang memilih
bermain game online secara lebih lanjut, yaitu:
1. Menghindari situasi yang penuh tekanan dan perasaan yang
tidak menyenangkan. Dengan bermain game online, ia akan
mendapatkan efek penyembuhan dan bisa melupakan tekanan tersebut secara instan, mudah dan murah.
2. Merasa canggung, terisolasi dan tidak aman secara sosial pada
kehidupan nyata. Ia bisa bertransformasi menjadi diri ideal
yang diinginkan dengan bermain game online melalui
penggambaran diri dengan avatar atau figur di dalam game tersebut.
3. Ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri karena keinginan
untuk diakui dan memiliki kekuatan tidak terpenuhi dengan
baik di dunia nyata. Sementara di dunia game online ia akan
mampu mendapatkannya dari hasil keterampilannya saat bermain dari pemain lainnya.
4. Rendahnya penilaian dan penghargaan dirinya, yang membuat
ia membentuk identitas idealnya di dalam game online.
5. Rendahnya kemampuan berkomunikasi di dalam kehidupan
nyata (Young, 2009).
Bermain game online memiliki dua sisi efek yang ditimbulkan
dari aktivitasnya, yaitu sisi positif dan negatif. Kebanyakan penelitian
yang telah dilakukan berfokus pada efek permainan game online yang
mengandung kekerasan terhadap agresivitas pemainnya. Namun
ternyata, ada beberapa studi yang menjelaskan bahwa bermain game
bahwa ada dua kategori khusus gamer, yaitu gamer yang kecanduan
bermain game dan gamer yang sering bermain game tetapi tidak
kecanduan (Van Rooij, Schoenmakers, Vermulst, Van Den Eijnden, & Van De Mheen, 2011). Kedua kategori ini memiliki perbedaan yang tipis dalam ruang lingkup kesehatan psikososial, namun hanya
sedikit gamer yang tergolong ke dalam kategori kedua yakni gamer
yang tidak kecanduan. Jika dikaitkan dengan dua kategori khusus
tersebut, seringkali gamer terbuai dalam efek “koping palsu”, dimana
ia mendapatkan efek “kesembuhan” gejala depresi, terbebas dari kesepian, dan harga diri meningkat melalui aktivitas interaktif dalam game yang ia mainkan (Van Rooij dkk., 2011). Namun, efek ini
kemudian membawa gamer masuk ke dalam ketenggelaman yang
lebih jauh yang kemudian mengakibatkan ia menjadi pecandu game
online. Semakin ia mengulangi dan mendapatkan efek positif dari
bermain game, ia akan semakin beresiko untuk menjadi pecandu.
Seringkali, gamer tidak menyadari resiko ini dan menyangkal jika
dirinya mengalami kecanduan (D. Kuss, 2013).
Sementara jika dilihat lebih luas, bermain game online
secara positif mampu mengembangkan kemampuan visual-spasial seseorang melalui proses berlatih mengolah informasi spasial dari layar monitor, seperti yang ditemukan dalam penelitian korelasional oleh Green & Bavelier pada 2003 dan penelitian eksperimental oleh Okagaki & Frensch pada 1994 (Prot, Anderson, Gentile, Brown, & Swing, 2014). Pada studi lainnya yang dilakukan Rosser dkk. pada
2007, para pemain game juga mengalami peningkatan koordinasi
mata-tangan dan ketangkasan manual yang bertambah pesat (Hirumi,
2013). Bermain game online juga dapat mengembangkan kemampuan
dalam mengatur kelompok dan memimpinnya, mengembangkan optimisme, mampu berdamai dengan frustasi dan kecemasan dengan cara yang adaptif (Granic, Lobel, & Engels, 2014). Sisi positif
bermain game tersebut tentunya akan didapat dan tidak berbalik
menyerang seseorang jika ia memperhatikan batasan dalam bermain. Di sisi lain, seperti yang telah banyak dibahas dan dijelaskan dalam berbagai studi penelitian baik di dalam maupun luar negeri,
bermain game online juga memiliki sisi negatif, yang paling utama
sebelumnya. Selain itu juga meningkatkan kemunculan perilaku agresi, mengorbankan berbagai hal di kehidupan nyata, terobsesi pada permainan (D. Kuss, 2013; Young, 2009), konsentrasi menurun (D. Kuss, 2013; Prot dkk., 2014), prestasi belajar yang menurun drastis (D. Kuss, 2013; Prot dkk., 2014; Ulfa, Risdayati, & Si, 2017), gangguan tidur dan sakit kepala (Ulfa dkk., 2017), merasa cemas dan mudah marah saat tidak bermain game (Ulfa dkk., 2017; Young, 2009), melakukan prokrastinasi akademik (Kurniawan, 2017), sulit melakukan penyesuaian sosial (D. Kuss, 2013; Santoso & Purnomo, 2017), bermasalah dengan ingatan (D. Kuss, 2013), irasional dan menarik diri dari lingkungan sosial (Young, 2009).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami proses terjadinya kecanduan game online melalui pendekatan neurobiologi. Kegunaan penelitian ini agar dapat menjadi gambaran dan masukan untuk orangtua, guru, konselor dan terapis dalam memahami dinamika neurobiologis pada pecandu game online, serta dapat menentukan pilihan langkah terbaik untuk mengantisipasi dan mengintervensinya.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis
dinamika neurobiologis pada pecandu game online adalah studi
literasi. Literatur yang digunakan terdiri dari buku bertema pendidikan, psikologi dan biopsikologi, serta jurnal ilmiah dengan
tema terkait. Sementara untuk keperluan pre-eliminary penulis
menggunakan metode observasi dan wawancara dengan pemain game
online. Observasi yang dilakukan bersifat non partisipan dan natural.
Wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur secara sistematis,
hanya berdasarkan tema besar terkait penulisan artikel ini yaitu game
online dan seluk beluknya. Observasi dan wawancara ini dilakukan
pada 4 subjek dengan latar belakang usia, pendidikan dan jenis game
online yang dimainkan berbeda. Hasil observasi dan wawancara ini
digunakan untuk melengkapi uraian pendahuluan guna verifikasi data statistik tertulis yang dirilis media atau instansi resmi dengan apa yang terjadi di lapangan.
Hasil dan Pembahasan
Kecanduan game online terjadi akibat perilaku bermain game
online yang dilakukan terus menerus dan berulang-ulang, sebagai
kompensasi dari masalah dan tekanan yang ia alami di kehidupan nyata. Mengalami tekanan di dalam hidup, kurang mampu berkomunikasi secara aktif, memiliki harga diri yang rendah, membuat seseorang melarikan diri dari kehidupan nyata dan memasuki kehidupan virtual yang menurutnya lebih menerima dan menghargainya. Menurut Maslow, perasaan diterima dan dihargai merupakan kebutuhan dasar yang dimiliki manusia sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan psikologis berupa kebahagiaan dan keutuhan kehidupan batinnya (Alwisol, 2009). Oleh karena itu, saat
seseorang mendapatkannya saat bermain game online, akan sulit
baginya untuk melepaskan diri dari aktivitas tersebut, hingga membentuk perilaku bermain dengan frekuensi yang sering, dan menjadi kecanduan.
Berbagai penelitian neuroimaging telah ditelaah untuk
menjelaskan dinamika terjadinya kecanduan game online ini oleh
beberapa peneliti di bidang kesehatan mental, psikologi,
psikofisiologi, neurosains, dan juga psikiatri. Sebagian besar hasil penelitian biologis terkait kasus ini menyimpulkan bahwa kecanduan
game menunjukkan proses persarafan yang mirip dan peningkatan
aktivitas area otak yang terasosiasi dengan kecanduan obat serta perilaku kecanduan lainnya, seperti judi patologis (D. J. Kuss & Griffiths, 2012).
Dalam memahami bagaimana dinamika kecanduan game
online yang dialami seseorang secara komprehensif dapat dijelaskan
menggunakan model dual processing reward system, yaitu sistem
reaktif (“go” network) yang menjembatani respon langsung dari
perilaku, dan sistem reflektif (“stop” network) yang menjadi kontrol
penghambat perilaku berdasarkan proyeksi jangka panjang. Struktur
kunci terkait sistem reaktif adalah “bottom-up” jalur dopamin
mesolimbik dan mesokortikal (termasuk nukleus akumben), beberapa bagian striatum dan amigdala (Sussman, Harper, Stahl, & Weigle, 2018), yang berkaitan dengan regulasi perilaku termotivasi, seperti
melarikan diri, memberi makan, melawan dan perilaku seksual (Pinel, 2009). Sementara struktur kunci terkait sistem reflektif adalah area yang behubungan dengan kontrol impuls dan perhatian, seperti
ventromedial, dorsolateral dan anterior cingulate korteks prefrontal.
Selain itu juga yang berkaitan dengan memori dan afektif, seperti korteks somatosensori, insula dan hipokampus. Pada seorang pecandu, ia memiliki sistem reaktif yang lebih kuat dan sistem reflektif yang lemah. Ketidakseimbangan sistem ini juga terdapat pada otak remaja, yang kemudian menjelaskan mengapa onset
kecanduan obat dan kecanduan game online seringkali terjadi pada
masa remaja tersebut (Sussman dkk., 2018).
Seseorang yang bermain game online melakukan proses
motorik secara berulang dan menerima sensasi dari inderanya melalui lobus oksipital, korteks prefrontal dan striatum ventral. Ketika ia
melakukan pengulangan gerakan dan penerimaan stimulus dari game
online tersebut dan membiasakannya, terjadi perubahan aktivitas pada
striatum dorsal yang mengaktifkan persarafan dopamin yang melepaskan hormon dopamin dimana diterjemahkan oleh otak sebagai kesenangan. Semakin perilaku ini dibiasakan, semakin menetap pula jalur dopaminergik yang terbentuk dan kesenangan
tersebut dipertahankan oleh gamer dengan cara terus mengulangi
perilaku bermainnya (Hirumi, 2013; D. Kuss, 2013). Dalam jalur ini,
bagian otak yang lain juga terpengaruh, diantaranya anterior
cingulate, korteks orbitofrontal (D. Kuss, 2013), dan nukleus
akumben yang kemudian memunculkan kesenangan (D. Kuss, 2013; Sussman dkk., 2018). Sinaps pada bagian tegmental ventral semakin
menguat, glutamate pada nukleus akumben berkurang, dan aktivitas
amigdala serta hipokampus bertambah, menghasilkan perilaku “mengidamkan” permainan untuk terus dilakukan (D. Kuss, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku kecanduan seperti ini melalui aktivitas pada nukleus akumben yang memperkuat efek dari suatu perilaku dan akan berimbas pada fungsi korteks
orbitofrontal dan girus cingulate (D. Kuss, 2013). Pada gamer yang
mengalami kecanduan berat, terjadi penurunan gray matter pada
bagian kanan frontal pole, menambah fungsi konektivitas ke bagian
ventral yang lebih tinggi. Oleh karenanya, disimpulkan bahwa gamer
yang kecanduan mengalami penurunan kemampuan dalam mengatur tujuan jangka panjang dalam menghadapi gangguan, yang disebabkan sistem reflektif yang berkurang atau melemah. Penelitian lain
menemukan pada otak pasien yang menderita kecanduan game online
mengalami penurunan pada integritas gray dan white matter pada
korteks orbitofrontal dan prefrontal, yang berkaitan dengan sistem reflektif (Sussman dkk., 2018).
Sistem reflektif ini mengatur kontrol impuls dan
pelaksanaannya yang muncul untuk terlibat dalam mengatur
kebiasaan bermain. Pada gamer yang kecanduan, ditemukan bahwa
aktivitas otak di bagian korteks frontal dan aktivitas striatal tidak terjadi, yang mengindikasikan ketidakmampuannya mengontrol impuls sehingga keinginannya cenderung sulit dikendalikan dan
termanifestasi dengan munculnya perilaku bermain game online yang
terus diulang. Selain itu, juga ditemukan ketidakmampuan untuk
menunda reward yang berkaitan dengan aktivitas yang rendah pada
dorsolateral korteks prefrontal saat mengalami masalah, aktivitas yang kuat pada striatum ventral (yang termasuk pada sistem reaktif), ventromedial korteks prefrontal dan korteks orbitofrontal saat
menerima reward, yang juga menunjukkan kegagalan pada regulasi
diri (Sussman dkk., 2018). Simpulan dan Saran
Kecanduan game online merupakan masalah yang serius
untuk diperhatikan dan ditangani, terkait dengan efek negatif yang ditimbulkan baik dari sisi psikologis maupun biologis. Seseorang
yang mengalami kecanduan game online dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya melarikan diri dari kehidupan sosial di dunia nyata yang terasa sulit, rendahnya penilaian dan penghargaan diri, kemampuan berkomunikasi yang kurang baik, terbawa arus hingga tenggelam dalam permainan yang dipertahankan akibat menjadikan aktivitas di dunia virtual tersebut sebagai kompensasi dari masalah
yang ia hadapi di dunia nyata. Jika perilaku bermain game online ini
terus dilakukan berulang-ulang dan dibiasakan, jalur dopaminergik di dalam otak akan menguat dan menetap sehingga menimbulkan
kecanduan, yang akhirnya akan memperkuat sistem reaktif dan membuat sistem reflektif melemah sehingga kemampuan kognitifnya menurun dan sulit dalam mengendalikan kontrol dirinya.
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan orangtua dan
pendidik adalah membatasi durasi bermain game online, mengenali
seluk beluk permainan dalam game online agar bisa lebih waspada
dan mudah mengetahui warning sign jika anak mulai melewati batas
mendekati tingkat kecanduan. Jika sudah terjadi, orangtua dan pendidik sebaiknya segera menghubungi konselor atau psikolog terdekat untuk mendapatkan bantuan berupa konseling dan terapi lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan. Bagi para konselor dan terapis, hendaknya melakukan tritmen yang berfokus pada cara memecahkan masalah secara efektif, kemampuan sosial yang dibutuhkan untuk membangun harga diri yang lebih baik, membangun kembali identitas diri yang lebih siap beradaptasi di dunia nyata, melatih cara
berkomunikasi efektif seperti melakukan kontak mata,
mengembangkan kemampuan mendengarkan aktif, dan
menyampaikan pendapat secara asertif.
Referensi
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian (Edisi Revisi). UMM Press.
American Psychiatric Association, & American Psychiatric
Association (Ed.). (2013). Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders: DSM-5 (5th ed). Washington, D.C:
American Psychiatric Association.
APJII, & Teknopreneur. (2017). Laporan Survei
APJII_2017_v1.3.pdf. Indonesia: Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia.
Granic, I., Lobel, A., & Engels, R. C. M. E. (2014). The Benefits of
Playing Video Games. American Psychologist, 69(1), 66–78.
https://doi.org/10.1037/a0034857
Griffiths, M. D. (2014). Online Games, Addiction and Overuse of.
Encyclopedia of Digital Communication and Society (hlm. 1– 6). Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons, Inc. https://doi.org/10.1002/9781118767771.wbiedcs044
Hirumi, A. 2C. (2013). Bermain Game di Sekolah: Video Game dan
Permainan Komputer Simulasi untuk Anak SD dan SMP. PT.
Indeks.
Internet masuk desa - BBC News Indonesia. (2010, Maret 21).
Diambil 5 Desember 2018, dari
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/03/100 321_internetdesa
Jap, T., Tiatri, S., Jaya, E. S., & Suteja, M. S. (2013). The Development of Indonesian Online Game Addiction
Questionnaire. PLoS ONE, 8(4), e61098.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0061098
Kneer, J., Rieger, D., Ivory, J. D., & Ferguson, C. (2014). Awareness of Risk Factors for Digital Game Addiction: Interviewing
Players and Counselors. International Journal of Mental
Health and Addiction, 12(5), 585–599.
https://doi.org/10.1007/s11469-014-9489-y
KOMINFO, P. (2015, Oktober 2). Indonesia Raksasa Teknologi
Digital Asia. Diambil 5 Desember 2018, dari
https://kominfo.go.id:443/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-digital-asia/0/sorotan_media
Kurniawan, D. E. (2017). Pengaruh Intensitas Bermain Game Online terhadap Perilaku Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas PGRI Yogyakarta,
3(1), 8.
Kuss, D. (2013). Internet Gaming Addiction: Current Perspectives.
Psychology Research and Behavior Management, 125.
https://doi.org/10.2147/PRBM.S39476
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2012). Internet and Gaming Addiction: A Systematic Literature Review of Neuroimaging
Studies. Brain Sciences, 2(3), 347–374.
Pinel, J. P. J. (2009). Biopsychology (7th ed). Boston: Allyn and Bacon.
Prot, S., Anderson, C. A., Gentile, D. A., Brown, S. C., & Swing, E. L. (2014). The Positive and Negative Effects of Video Game
Play. Media and the Well-Being of Children and Adolescents,
109–128.
Santoso, Y. R. D., & Purnomo, J. T. (2017). Hubungan Kecanduan Game Online terhadap Penyesuaian Sosial Pada Remaja, (1), 18.
Sussman, C. J., Harper, J. M., Stahl, J. L., & Weigle, P. (2018).
Internet and Video Game Addictions. Child and Adolescent
Psychiatric Clinics of North America, 27(2), 307–326.
https://doi.org/10.1016/j.chc.2017.11.015
Ulfa, M., Risdayati, D., & Si, M. (2017). Pengaruh Kecanduan Game Online terhadap Perilaku Remaja di Mabes Game Center
Jalan HR. Subrantas Kecamatan Tampan Pekanbaru, 4(1), 13.
Van Rooij, A. J. (2011). Online Video Game Addiction. Exploring a New Phenomenon., 137.
Van Rooij, A. J., Schoenmakers, T. M., Vermulst, A. A., Van Den Eijnden, R. J. J. M., & Van De Mheen, D. (2011). Online
Video Game Addiction: Identification of Addicted
Adolescent Gamers: Online Video Game Addiction.
Addiction, 106(1), 205–212.
https://doi.org/10.1111/j.1360-0443.2010.03104.x
Wiguna, M. A., & Hakim, J. A. R. (2016). Bandung eSport Arena
Membangun Ekosistem eSport di Indonesia, 5, 4.
Wittek, C. T., Finserås, T. R., Pallesen, S., Mentzoni, R. A., Hanss, D., Griffiths, M. D., & Molde, H. (2016). Prevalence and Predictors of Video Game Addiction: A Study Based on a
National Representative Sample of Gamers. International
Journal of Mental Health and Addiction, 14(5), 672–686.
https://doi.org/10.1007/s11469-015-9592-8