• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6. IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

78

6. IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN

TERHADAP ANAK BERDASARKAN PASAL

74 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN

2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Mustika Prabaningrum Kusumawati Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia mustika.praba@gmail.com

Abstrak

Mendapatkan pekerjaan merupakan hak setiap warga negara tanpa terkecuali yang dijamin oleh konstitusi. Jaminan ini pun berlaku bagi pekerja anak melalui ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun ketentuan pasal ini seolah “menumbangkan” adanya larangan tegas yang sebelumnya dinyatakan dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimana pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan semacam kelonggaran berupa rambu-rambu pembatasan yang harus ditaati oleh pihak pengusaha apabila ingin melibatkan anak sebagai pekerja.

Implementasi ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan nyatanya tidak dapat berdiri sendiri. Pasal ini harus dikaitkan dengan beberapa ketentuan lainnya seperti Pasal 183, Pasal 185 dan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan bukti nyata bahwa negara telah berusaha hadir melalui payung hukum undang-undang.

Hadirnya pemerintah melalui undang-undang realitanya masih jauh panggang dari api. Masih sering dijumpai pihak pengusaha tidak taat hukum dikarenakan memang tidak mengetahui aturan yang berlaku atau memang sengaja acuh terhadap peraturan karena menganggap pemerintah sendiri tidak tegas terhadap penegakan hukumnya. Keterlibatan semua pihak dala hal ini pengusaha, pemerintah dan yang

(2)

79

paling penting lagi adalah orang tua berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pekerja anak sangat dibutuhkan agar anak tidak menjadi korban.

Kata Kunci : Implementasi, Perlindungan, Pekerja Anak

Latar Belakang Masaalh

Anak merupakan karunia titipan Tuhan yang tentunya harus dijaga dengan sebaik mungkin. Anak dapat pula dikatakan sebagai generasi penerus bangsa sehingga kehadiran dan kualitas anak-anak bangsa sangat berperan terhadap kemajuan suatu bangsa. Sehingga dalam proses tumbuh kembangnya sangat rawan diwarnai berbagai faktor baik faktor positif dan faktor negatif.

Gemuruh hingar bingar di tengah gencarnya pengusaha berlomba-lomba mencari keuntungan sebesar-besarnya terkadang sengaja atau tidak sengaja melibatkan anak sebagai pekerja. Diskursus segala hal yang berhubungan dengan permasalahan yang berkaitan dengan anak masih diwarnai perdebatan alot berkaitan dengan apakah sebenarnya diperbolehkan anak untuk bekerja, dilarang atau bahkan dibiarkan begitu saja.

Negara secara yuridis telah melaksanakan kewajibannya dalam rangka upaya memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya terutama bagi kelompok pekerja anak melalui beberapa peraturan perundang-undangan. Pada kenyataannya, dalam situasi real yang terjadi di dalam masyarakat menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap aturan masih saja dilanggar yang sudah tentu memberikan efek negatif bagi pekerja anak itu sendiri. Lemahnya posisi tawar pekerja anak yang diperkuat dengan berbagai faktor yang mendukung seorang anak bekerja menjadi pekerja anak khususnya faktor ekonomi mau tidak mau menuntut si anak untuk tidak memiliki pilihan lain sehingga harus rela menjalani pekerjaan-pekerjaan yang belum pantas di lakukan oleh seorang anak.

(3)

80 Rumusan Masalah

Bagaimanakah implementasi perlindungan terhadap anak berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?

Pembahasan

The founding fathers pada saat mendirikan Indonesia merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtstaat) dimana sejalan dengan ide dasar tersebut maka dalam buku “The Sociology of Law: An Introduction” setidaknya ada tujuh prasyarat yang harus diperhatikan yakni (1) The sources of the new law must be authoritative and prestigious; (2) The rationale of the new law must be expressed in terms of its compatibility and continuity with established cultural and legal principles; (3) Pragmatic models for compliance must be identified; (4) the element of time in legislative action; (5) That enforcement agents must be committed to the behaviour required by the law even if not to the values implicit in it; (6) Positive sanctions are as important as negative ones; (7) Effective protection must be provided for the rights of those who could suffer as a result of evasion or violation of the law. (Roger, 1984)

Hukum memiliki sifat mengatur dan memaksa, karena adanya hukum untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat. Kehidupan masyarakat dapat menjadi tertib dan teratur apabila ditunjang oleh tatanan hukum yang memberikan jaminan bahwa setiap manusia harus saling menghormati hak manusia lainnya, jika tidak menghormati dan mengindahkan tatanan hukum, maka akan ada sanksi atas perbuatannya tersebut (Chainur, 2006).

Konsepsi negara hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum yang dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsepsi tersebut terbentuk dari kesepakatan masyarakat yang disepakati secara bersama-sama melalui legislatif. Dalam konsep negara hukum sering dikenal dengan istilah rechtsstaat yang dikembangkan Kant, Stahl, Laband hingga Fitche dan istilah rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Jimly, 2012). Konsepsi negara hukum dalam konsep

(4)

81

rechtsstaat maupun rule of law menggambarkan bahwa hukum diadakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi warga negaranya yang oleh sebab itu maka Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum tertinggi negara dan menjadi tolak ukur dalam perlindungan terhadap setiap warga negaranya.

Anak merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang dapat dikatakan tidak ternilai oleh uang dan apa pun. Ada berbagai tujuan yang dimiliki oleh pasangan suami istri yang telah menikah di mana salah satunya adalah dengan memiliki keturunan atau anak yang di antara banyak fungsi dalam keluarga, salah satunya adalah fungsi sosialisasi atau pendidikan. Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk kepribadiannya. Anak-anak harus belajar norma-norma mengenai apa yang senyatanya baik dan norma-norma yang tidak layak dalam masyarakat. Dalam keluarga, anak-anak mendapatkan segi-segi utama dari kepribadiannya, tingkah lakunya, tingkah pekertinya, sikapnya, dan reaksi emosionalnya. Kepribadian seseorang itu diletakkan pada waktu sangat muda dan yang berpengaruh besar sekali terhadap kepribadian seseorang adalah keluarga (Narwoko, 2010).

Dalam kamus sosiologi, yang dimaksud anak adalah seseorang yang menurut hukum mempunyai usia tertentu, sehingga dianggap hak dan kewajibannya terbatas (Soerjono, 1993). Anak yang secara yuridis diakui keberadaannya dan memiliki perlindungan atas keberadaannya, ironisnya anak saat ini justru dijadikan sebagai tulang punggung keluarga bahkan dijadikan sebagai komoditas eksploitasi sedangkan orang tua justru lepas tangan terhadap hal ini.

Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diartikan sebagai setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Adapun cakupan lebih luas lagi siapa saja yang dikategorikan sebagai anak adalah anak terlantar, anak yang

(5)

82

menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh.

Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologi, intelektual dan sosialnya. Namun pada kenyataannya banyak anak-anak di bawah usia 18 tahun yang telah terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, menjadi pekerja anak antara lain di sektor industri dengan alasan tekanan ekonomi yang dialami orang tuanya ataupun faktor lainnya.

Walaupun ada seperangkat peraturan yang melindungi pekerja anak, tetapi kecenderungan kualitas permasalahan pekerja anak dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang eksploitatif dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral, sosial dan intelektual anak. Jenis pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, anak yang diperdagangkan, anak bekerja di pertambangan, dan lain-lain (Fifik, 2003).

Pengertian tentang tenaga kerja yang dikemukakan oleh Dr. Payaman Simanjuntak memiliki pengertian yang lebih luas dari pekerja/buruh. Pengertian tenaga kerja disini mencakup tenaga kerja/buruh yang sedang terkait dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja. Sedangkan pengertian dari pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain, pekerja atau buruh adalah tenaga kerja yang sedang dalam ikatan hubungan kerja (Hardijan, 2003).

Pekerja anak merupakan permasalahan serius dan kompleks. Usia anak yang semestinya dipergunakan untuk bermain dan menuntut ilmu justru dipergunakan untuk bekerja. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, kondisi keluarga bahkan juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat. Sebagian orang tua berpendapat bahwa bekerja merupakan proses pembelajaran yang akan berguna bagi perkembangan anak di kemudian hari (Ghufran, 2007). Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah

(6)

anak-83

anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Bagong, 2010). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 3 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Seorang anak yang terpaksa bekerja dapat dikatakan telah terlantar hak-haknya sebagai anak karena pada saat yang bersamaan terjadi pengabaian akan hak-hak yang harus mereka terima sebagai seorang anak, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak bermain, hak akan akses kesehatan dan hak-hak yang lainnya sebagai seorang anak. Kondisi demikian menjadikan pekerja anak masuk dalam kategori pihak yang membutuhkan perlindungan khusus yang menuntut peran orang tua, keluarga, masyarakat, kelompok terkait bahkan pemerintah sebagai pembentuk kebijakan khususnya dikaitkan dengan kebijakan terhadap pekerja anak.

Anak-anak yang telah terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menjalankan perannya sebagai pekerja bukanlah fenomena baru yang dapat kita lihat sehari-hari di Indonesia. Timbul sebuah pertanyaan yang sering kali ada di masyarakat berkaitan dengan sebenarnya diperbolehkan atau tidak untuk menjadikan anak sebagai pekerja anak. Pada dasarnya aspek pekerja anak diakomodir dalam undang-undang khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diakomodir dalam: Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Penegasan larangan tersebut di atas semata-mata ingin memberikan perlindungan bagi anak agar tidak dieksploitasi oleh siapapun. Pada kenyataannya memang sering kali dijumpai pekerja anak dalam berbagai sektor pekerjaan baik sektor formal maupun sektor informal yang oleh karenanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak hanya berhenti pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan saja yang memang secara tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak. Secara filosofis,

(7)

84

larangan mempekerjakan anak dilakukan semata-mata dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak demi pengembangan harkat dan martabatnya dalam rangka mempersiapkan masa depannya (Netty, 2011).

Meskipun dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di atas dikatakan ada larangan tegas namun nyatanya ada “kelonggaran” bahkan kebebasan bagi seorang anak untuk dapat bekerja yang tetap berada dalam ranah payung hukum ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru hanya memberikan semacam batasan-batasan semata, bukan secara tegas melarang anak menjadi pekerja.

Pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh undang-undang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni sebagai berikut: Siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburu; Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

ü segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya

ü segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

ü segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/ atau

ü semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan/moral anak.

Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pembatasan yang terakomodir dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini juga tidak dapat dipisahkan dengan perlindungan hukum terhadap pekerja anak serta penegakan

(8)

85

hukum yang dapat dilakukan apabila ketentuan-ketentuan ini dilanggar oleh pihak pengusaha. Hal ini disebabkan karena banyak cara penyamaran eksploitasi anak-anak, akan tetapi apa pun bentuk yang diambil, semua didasarkan pemanfaatan kelemahan dan tidak berdayanya anak-anak. Eksploitasi dan pemanfaatan anak-anak adalah karena minimnya perlindungan terhadap mereka, padahal mereka masih membutuhkan perlindungan, karena pemiskinan menimbulkan kerentanan ganda bagi mereka dan pada keluarga mereka. Karena itu mereka tidak punya pilihan lain. Nasib ini menimpa berjuta anak. Posisi pinggiran juga menjadikan mereka hanya mementingkan bagaimana mereka sekedar bertahan hidup saja, akan tetapi mendatangkan keuntungan bagi orang-orang yang mengeksploitasi mereka (Peter, 1994).

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain berkaitan dengan pengertian perlindungan anak, Undang-Undang Perlindungan Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menjabarkan secara spesifik bahwa perlindungan yang diberikan juga mencakup perlindungan secara khusus yakni perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.( Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap pekerja anak tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan hak asasi anak itu sendiri. Mengapa terjadi demikian ? Hal ini disebabkan karena secara

(9)

86

konstitusional melalui ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui hak untuk bekerja bahkan kesempatan yang diberikan oleh negara ini diberikan baik di dalam maupun di luar negeri. Sedangkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Lebih lanjut lagi kedua ketentuan di atas diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja serta Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tindak lanjut dari adanya implementasi Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berkaitan erat dengan upaya perlindungan hukum terhadap anak yang diakomodir dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta penegakan hukum yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183, Pasal 185 dan Pasal 187 Undang-Undang Nomor Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 183 Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185 Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4)

(10)

87

dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah); Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 187 Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Selain itu, sebagai bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap pekerja anak dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan sebagai upaya pencegahan yang dapat ditempuh dengan membatasi jenis-jenis pekerjaan yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh pekerja anak dengan mekanisme penetapan syarat tertentu bagi pengusaha atau perusahaan yang memiliki pekerja anak (Mustika, 2019). Oleh sebab itu sudah tepat kiranya dengan hadirnya Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kesimpulan

ü Tujuan negara Indonesia dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea IV yang mana berdasarkan hal tersebut, negara dalam hal ini berkewajiban memberikan perlindungan hukum bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali termasuk anak yang dalam hal ini adalah pekerja anak. Bekerja pada usia yang masih dikategorikan sebagai anak tentu bukan kemauan melainkan

(11)

88

sebuah keterpaksaan yang mayoritas dialami oleh anak bangsa demi menyambung hidup.

ü Berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang hingga saat ini belum usai ditambah lagi dengan posisi anak sebagai seorang pekerja yang hak-haknya masih kurang dapat dilindungi oleh pihak pengusaha. Negara dalam hal ini pemerintah berusaha hadir melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan batasan pagi pihak pengusaha dalam melibatkan anak sebagai pekerja dengan harapan dapat memberikan perlindungan yang kemudian ketentuan ini didukung dan diperkuat dengan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam hal perlindungan serta Pasal 183, Pasal 185 dan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan penegakan hukum melalui pemberian sanksi baik pidana maupun denda terhadap pengusaha yang melanggar.

Rekomendasi

Berbagai peraturan undang-undang telah dibentuk oleh pemerintah khususnya dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 183, Pasal 185 dan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tekstual sudah sangat baik dalam memberikan batasan atau rambu-rambu bagi pihak pengusaha agar tidak semena-mena dalam hal mempekerjakan anak. Akan tetapi realitanya masih sering dijumpai pengusaha yang tidak taat hukum entah karena memang tidak mengetahui keberadaan undang-undang tersebut atau memang sudah mengetahui namun sengaja dilanggar karena merasa dalam penegakan hukumnya pemerintah masih belum maksimal. Oleh sebab itu sangat diharapkan bahwa semua pihak mengambil peran baik dari sisi pengusaha yang mempekerjakan anak maupun sisi pemerintah dalam mengimplementasikan apa yang sudah

(12)

89

dilahirkan dalam bentuk undang-undang sehingga tidak berhenti hanya sebatas teks hitam putih di atas kertas saja. Tidak ketinggalan juga peran penting dari orang tua bahwa anak merupakan karunia terbesar dan terindah dari Tuhan yang tak dapat diganti oleh apapun sehingga orangtua juga harus melindungi anak-anaknya meskipun dalam kondisi yang mengharuskan anak mereka bekerja tetapi peran orangtua tetaplah yang utama.

Daftar Pustaka

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana, Jakarta, 2010

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Ed. 1 Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Fifik Wiryani, Perlindungan Pekerja Anak, Pusat Studi Kajian Wanita, UMM Press, Malang, 2003.

Jimly, Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. Kedua, Cet. Ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.

M. Ghufran H. Kordi, Ironi Pembangunan: Beberapa Catatan Kritik dan Refleksi, FH UKSW, Salatiga, 2011.

Mustika Prabaningrum Kusumawati ,“Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Pekerja Anak (ditinjau dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan dan HAM)”, Jurnal Literasi Hukum, Vol. 3 No. 1 April 2019, Magelang, FH UNTIDAR.

Narwoko J. Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Jakarta, 2010.

Netty Endrawati, “Faktor Penyebab Anak Bekerja dan Upaya Pencegahannya”, Jurnal Ilmiah Hukum Refeksi Hukum, FH UKSW, Salatiga, 2011.

Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

(13)

90

Roger Cotterrell, The Sociology of Law: An Introduction, Butterworths, london, 1984.

Referensi

Dokumen terkait

Air sungai dikategorikan sebagai agak tercemar apabila terdapat campuran organisma indikator dari kelas 1 & 2, atau dari kelas 1, 2, & 3. Air sungai dikategorikan

Tidak nyatanya pengaruh umur terhadap efisiensi penggunaan ransum dalam penelitian ini disebabkan karena umur ternak yang digunakan dalam penelitian ini disebabkan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif (descriptive analysis) karena dilakukan untuk memperlihatkan dan menguraikan

Hal ini dapat dilihat dari indikator: (a) Efisiensi, setiap aparatur pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan program dan kegiatan dengan menggunakan sumber daya

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Rumput laut yang telah direndam pada pupuk organik dan telah diaklimatiasi di tambak kemudian dilakukan perbanyakan pada waring berukuran 3x3x1 m yang ditancapkan

Agresivitas lebah yang ditangkarkan berkategori kurang baik karena memiliki agresivitas yang tinggi, yaitu pada saat pembentukan calon ratu baru dan pada saat simpanan