• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT MANGGARAI TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT MANGGARAI TESIS"

Copied!
307
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI

MASYARAKAT MANGGARAI TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

YOGYAKARTA 2020

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Oleh:

KRISTIANA JAYANTI ANDANG NIM: 181232001

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER JURUSAN BAHASA DAN SENI

(2)

i

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI

MASYARAKAT MANGGARAI TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER JURUSAN BAHASA DAN SENI

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Oleh:

KRISTIANA JAYANTI ANDANG NIM: 181232001

(3)

iv MOTO

Rahasia kesuksesan adalah mengetahui yang orang lain tidak tahu.” (Aristotle Onassis)

“Hiduplah seolah engkau mati besok. Belajarlah seolah engkau hidup selamanya." (Mahatma Gandhi)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Seiring dengan ucapan syukur ke hadirat TYME yang telah memberikan berkat dan restunya hingga saat ini saya dapat menyelesaikan Tesis ini, karya ini saya persembahkan bagi bagi kedua orang tua, Bapak Hendrikus Andang dan Ibu Yofita Setia yang senantiasa setia memberikan dukungan baik secara moril maupun materi selama proses belajar dan penyelesaian Tesis.

(4)

vii

Andang, K., J., 2020. Kajian Ekolinguistik Metaforis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré sebagai Manifestasi Jati Diri Masyarakat Manggarai. Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan wujud nilai-nilai kearifan lokal, 2) mendeskripsikan makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal, 3) Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal Déré yangmenunjukan manifestasi jati diri mamasyarakat Manggarai, 4) Mendeskripsikan strategi preservasi. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif yang dengan pendekatan ekolinguistik metaforis. Objek dalam penelitian ini adalah wujud kearifan lokal, makna simbolik wujud kearifan lokal, nilai kearifan lokal yang menunjukan manifestasi jati diri masyarakat Manggarai dalam tradisi lisan Déré. Data dalam penelitian ini berupa bagian-bagian tradisi lisan Déré. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dengan teknik dasar dan teknik lanjutan serta metode etnografi.

Metode simak dan teknik ini disejajarkan dengan metode observasi dalam penelitian sosial sedangkan metode etnografi digunakan untuk melakukan wawancara mendalam. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti yang didukung dengan pedoman wawancara dan alat bantu rekam. Penelitian ini menggunakan metode analisis ektralingual dan kontekstual yang disejajarkan dengan metode deskripsi kebudayaan dalam etnografi. Prosedur analisis data dalam penelitian ini meliputi proses identifikasi data yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, klasifikasi data, interpretasi, triangulasi, konfirmasi, dan penulisan laporan hasil penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama dalam tradisi lisan Déré terdapat kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible) berupa 1) ungkapan, 2) bidal, 3) metafora, 4) petuah, 5) kepercayaan dan 6) kebiasaan dan kearifan lokal berwujud nyata (tangible) berupa 1) air (Waé) dan 2) altar (compang). Kedua, makna simbolik wujud kearifan lokal tradisi lisan Déré yaitu, 1) raja, 2) pohon, 3) altar

(compang), 4) Ndéréng, dan 5) air (Waé), 6) bulan (Wulang) dan bintang (Ntala), dan

6) pisang (Muku). Ketiga, nilai yang terkandung dalam tradisi lisan Déré yaitu, 1) nilai solidaritas, 2) nilai penghormatan, 3) Nilai religius, 4) nilai syukur dan 5) nilai ketaatan yang menunjukkan manifestasi jati diri masyarakat Manggarai berupa, 1) masyarakat yang solider dan 2) masyarakat Manggarai sebagai masyarakat yang religius dan 3) masyarakat Manggarai sebagai masyarakat pekerja keras. Keempat, strategi preservasi tradisi lisan Déré dilakukan dengan bekerjasama dengan 1) lembaga keagamaan dan 2) lembaga pendidikan.

Kata Kunci: ekolinguistik metaforis, tradisi lisan Déré, wujud kearifan lokal, nilai kearifan lokal, makna simbolik, jati diri dan preservasi tradisi lisan.

(5)

viii ABSTRACT

Andang, K., J., 2020. Metaphorical Ecolinguistic Study of Local Wisdom Values Déré Oral Traditions as Manifestations of Manggarai People's Identity. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language Education, Masters Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University. This research aims to 1) describe the form of local wisdom values, 2) describe the symbolic meaning of local wisdom values, 3) describe the values of local wisdom Déré which shows the manifestation of the identity of the Manggarai community 4) describe the preservation strategy values. This type of research is qualitative research with a metaphorical ecolinguistic approach. The object of this research is the form of local wisdom, the symbolic meaning of the form of local wisdom, the value of local wisdom that shows the manifestation of the identity of the Manggarai community in the oral tradition of Déré. The data in this study are in the parts of Déré's oral tradition. The method of data collection is done by using the method of referring to basic and advanced techniques as well as ethnographic methods.

The listening method and this technique are paralleled by the observation method in social research while the ethnographic method is used to conduct in-depth interviews. The instruments in this study were researchers who were supported by interview guidelines and recording aids. This research uses the extralingaling and contextual analysis method which is paralleled by the method of cultural description in ethnography. Data analysis procedures in this study include the process of identifying data that has been translated into Indonesian, data classification, interpretation, triangulation, confirmation, and writing a research report.

The results of this study indicate that, first in Déré's oral tradition there is intangible local wisdom in the form of expressions, 2) thimbles, 3) metaphors, 4) advice, 5) beliefs and 6) habits and local wisdom tangible tangible (tangible) ) in the form of 1) water (Waé) and 2) altar (tattered). Second, the symbolic meaning of local wisdom is the oral tradition of Déré, namely, 1) the king, 2) the tree, 3) the altar (compang), 4) Ndéréng, and 5) water (Waé), 6) month (Wulang) and star (Ntala) , and 6) bananas (Muku). Third, the values contained in Déré's oral tradition are, 1) the value of solidarity, 2) the value of respect, 3) the religious value, 4) the value of gratitude and 5) the value of obedience that shows the manifestation of Manggarai community identity in the form of, 1) solider society and 2) the Manggarai community is a religious society and 3) Manggarai community as a hard-working community. Fourth, Déré's oral tradition preservation strategy is carried out in collaboration with 1) religious institutions and 2) educational institutions.

(6)

ix

Keywords: metaphorical ecolinguistics, Déré oral traditions, forms of local wisdom, local wisdom values, symbolic meaning, identity and preservation of oral traditions

(7)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Sistematika Penelitian ... 10

1.6 Batasan Istilah ... 11

BAB II KAJIAN TEORI ... 14

2.1 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis ... 14

2.2 Bahasa, Kebudayaan dan Masyarakat ... 21

2.3 Tradisi Lisan Déré... 26

2.4 Konsep Identitas Masyarakat ... 33

2.5 Kearifan Lokal ... 36

2.6 Pelestarian Tradisi Lisan ………... 40

(8)

xiii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian ... 47

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Bahasa ... 48

3.3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Etnografi ... 50

3.4 Instrumen Penelitian... 54

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 54

3.6 Triangulasi... 57

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Deskripsi Data ... 59

4.2 Hasil Analisis ... 64

4.2.1 Wujud Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré ... 64

4.2.2 Makna Simbolik Nilai Kearifan Lokal Déré ... 95

4.2.3 Nilai Kearifan Lokal yang Memanifestasi Jati Diri Mayarakat Manggarai ... 112

4.2.4 Upaya Preservasi Tradisi Lisan Déré ... 158

4.3 Pembahasan ... 164

4.3.1 Wujud Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré ... 164

4.3.2 Makna Simbolik Nilai Kearifan Lokal Déré ... 168

4.3.3 Nilai Kearifan Lokal yang Memanifestasi Jati Diri Mayarakat Manggarai ... 172

4.3.4 Upaya Preservasi Tradisi Lisan Déré ... 175

BAB V PENUTUP ... 179

5.1 Simpulan ... 179

(9)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 186 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 192

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada pendahuluan, peneliti akan menguraikan enam hal yaitu, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penyajian, dan batasan istilah. Hal-hal tersebut diuraikan dalam subbab berikut.

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal melalui keadaan masyakrat yang multikulur. Keadaan masyarakat Indonesia yang seperti demikian ditandai dengan adanya suku, ras, religi dan adat istiadat yang beragam, namun tetap dalam kesatuan yang utuh. Salah satu hal yang perlu disoroti adalah keragaman kebudayaan yang tercermin dalam adat istiadat yang terdapat disetiap daerah. Dalam kaitannya dengan cerminan kebudayaan, tradisi lisan menjadi salah satu hal yang perlu dikaji secara ilmiah, mengingat bahwa tradisi lisan merupakan suatu sistem yang selaras antara manusia, lingkungan dan penciptanya.

Tradisi lisan menjadi salah satu bagian adat istiadat yang melekat dalam sebuah kebudayaan tertentu. Tradisi lisan adalah sejarah itu sendiri. Di antara berbagai jenis sumber sejarah, tradisi menduduki sebuah tempat yang istimewa. Tradisi adalah pesan, tetapi bukanlah pesan yang tertulis (Vansia, 2014: xiv). Pandangan terkait tradisi lisan tersebut menunjukan bahwa tradisi lisan dijadikan sebagai bentuk ataupun cara masyarakat suatu kebudayaan tertentu dalam menyampaikan sesuatu.

(11)

Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-temurun

dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke telinga”

(Sibarani, 2015:4). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan adalah proses penyampaian tradisi yang dalam hal ini adalah pesan dilakukan secara lisan dan turun-temurun dalam satu komunitas masyarakat.

Tradisi lisan sebagai tradisi yang menduduki sebuah tempat yang istimewah hendaknya dapat dijaga dan dilestarikan, namun nyatanya kini telah mengalami kemerosotan dalam melawan kemajuan zaman. Tim Peneliti Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Tradisi Lisan dari Balai Litbang Agama Jakarta menemukan lima tradisi lisan yang mengalami kepunahan dan menutut adanya penggalian dan pengkajian. Terdapat indikator dalam melakukan kajian tradisi yaitu, tradisi lisan merupakan sesuatu yang unik dan hampir punah (Republika, 2018). Kepunahan tradisi lisan khas nusantara dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah kurangnya perhatian terhadap pendidikan multikulturalisme. Kurangnya pendidikan multikulturalisme menyebabkan pendidikan dan penelitian terhadap budaya dan bahasa makin tidak popular (Berita satu, 2011).

Hal ini didasari oleh keadaan bangsa Indonesia yang kaya akan budaya. Perlu memberi porsi terhadap pendidikan multikultur, selain sebagai identitas komunitas tradisi lisan juga menjadi sumber penting dalam pembentukkan karakter bangsa. Hilangnya tradisi bisa menghilangkan struktur sosial dan sifat keturunan dari bangsa, pandangan filosofis, pola pikir dan nilai-nilai kehidupan serta menghilangkan ekspresi linguistik (Berita satu, 2011). Hal ini menunjukkan betapa penting menjaga

(12)

kelestarian tradisi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan masyaraka, pola pikir bahkan identitas pemilik tradisi. Tradisi lisan dapat menjadi gerbang masuk dalam mengenal keadaan hingga persmasalahan suatu masyarakat.

Selain itu memasuki era baru yaitu, Revolusi 4.0 yang menimbulkan kemajuan di bidang IPTEK yang telah memeberikan pengaruh terhadap perkembangan kearifan lokal. Dalam dunia pendidikan, dengan adanya revolusi industri 4.0 memberikan dampak positif dengan semakin maju dan berkembangnya sistem pembelajaran kita, akan tetapi juga memberikan dampak negatif bagi dunia pendidikan kita apabila tidak mampu menjawab tantangan yang muncul di era sekarang. Dampak negatif yang ditimbulkan dan dapat kita lihat sekarang ini adalah kurangnya pemahaman mengenai pendidikan multikultural bagi generasi muda kita dalam hal ini anak usia sekolah (Rohman & Ningsih, 2018: 44). Besarnya pengaruh negatif revolusi 4.0 yang dialami ini menyebabkan kekhawatiran akan pudarnya nilai-nilai luhur budaya yang ada dalam kebudayaan lokal. Dengan demikian, dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi yang dapat dijadikan sebagai dasar ketahanan nasional. Brata (2016: 9) menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan elemen budaya yang harus digali, dikaji, dan direvitalisasikan karena esensinya begitu penting dalam penguatan fondasi jati diri bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Berdasarkan bukti di atas, peneliti menyadari bahwa mencari, menjaga dan mempertahankan nilai-nilai wujud dan makna simbolik nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi lisan merupakan tindakan yang tepat dalam menjaga

(13)

eksistensi tradisi lisan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji nilai-nilai kearifan lokal dalam sebuah tadisi lisan yang mampu mencerminkan identitas masyarakat pemiliknya serta merancang strategi preservasi tradisi lisan. Warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini budaya, menjadi bagian penting dalam menumbuhkan dan membangun jati diri (Yulianti, 2015).

Sejalan dengan itu, salah satu masyarakat di wilayah NTT, yaitu masyarakat Manggarai memiliki adat kebiasaan tradisi lisan berupa Déré. Daerah Manggarai pada dasarnya telah terbagi dalam tiga wilayah yang berbeda, yaitu Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai Tengah. Namun pembahasan dalam penelitian ini tidak akan memisahkan antara ketiga wilayah Manggarai tersebut. Manggarai digunakan sebagai wilayah kultural juga mengikutsertakan Manggarai Barat dan Manggarai Timur hanya sebagai wilayah administratif (Deki, 2011: 40).

Masyarakat Manggarai memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap dunia seni dan bentuk kesenian masyarakat Manggarai tersebut diklasifikasi dalam dua jenis yaitu seni sastra dan seni pertunjukan (Deki, 2011: 87). Sebagai sebuah kajian dalam dunia linguistik, maka fokus dalam penelitian ini adalah seni sastra karena mengandung unsur verbal. Salah satu bentuk kesusastraan yang terdapat dalam kebudaya Manggarai adalah Déré. Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membantuk suatu kesatuan bunyi. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Déré dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai syair lagu yang dilantunkan dengan beragam alunan nada.

(14)

Hampir di setiap ucapara adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya diwarnai dengan tradisi lisan Déré. Hal ini secara tidak langsung ingin menunjukan adanya hubungan antara ungkapan dalam tradisi lisan mayarakat Manggarai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik nilai sosial, religi, budaya dan histori. Pemaparan tersebut sejalan dengan teori Linguistic Antropology yang disampaikan oleh (Duranti, 1997: 25) bahwa melalui bahasa tercermin seluk beluk kebudayaan tertentu dan sebagai bentuk performansi aktivitas sosial dan budaya. Melalui tradisi lisan Déré, masyarakat Manggarai juga dapat menunjukan identitas sosial dan budayanya yang tentu saja berbeda dengan masyarakat lain yang terdapat di wilayah Indonesia.

Supriatin (2012:407) menyatakan bahwa tradisi lisan Tradisi lisan adalah warisan leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup yang terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan upacara adat. Tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang mengandung banyak hal penting di dalamnya sehingga penting untuk suatu masyarakat tertentu untuk tetap menjaga kelestarian tradisi lisan. Lebih lanjut, Supriatin (2012: 408) yang mengatakan bahwa tradisi lisan yang terdapat di Nusantara, sekaligus juga menyimpan identitas bangsa karena pada tradisi lisan terletak akar budaya dan akar tradisi sebagai subkultur atau kultur Indonesia. Melalui hal-hal tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa tradisi lisan Déré yang terdapat dalam budaya Manggarai terkandung nilai-nilai kearifan lokal yang mampu memanifestasi jati diri masyarakat Manggarai. Mengingat bahwa, tradisi lisan menjadi bagian dari kebudayaan yang patut dijaga, maka masing-masing

(15)

masyarakat yang menjadi bagian dari kebudayaan diharapkan mampu menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Dengan demikian, salah satu hal utama yang hendak dikaji oleh peneliti dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan manifestasi jati diri masyarakat Manggarai yang terdapat dalam tradisi lisan Déré.

Tradisi lisan Déré sebagai bagian dari budaya masyarakat Manggarai tentu mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan. Kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun (Duranti, 1997: 25; Hidayati, 2017: 40). Dalam mengkaji hal tersebut, peneliti menggunakan prespektif ekolinguistik untuk mengkaji hubungan antara bahasa dan ekologi. Pada perkembangnya, konsep ekologi dibedakan menjadi dua yaitu, ekologi metaforis dan ekologi biologis.

Tradisi lisan Déré yang dikaji dalam penelitian ini dianggap sangat relevan prespektif ekolinguistik metaforis. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, seperti yang dikemukakan oleh (A. Fill & Muhlhausler, 2006), yaitu (1) perbedaan kerangka kerja yang berbeda antara ekologi metaforis dan ekologi biologis. (2) fokus penelitian yang dikaji dalam penelitian ini melibatkan konteks sosial dan budaya masyarakat budaya Manggarai, yaitu untuk melihat hubungan antara penggunaan bahasa di dalam tradisi lisan Déré dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat Manggarai. Ekolinguistik metaforis melihat hubungan antara penggunaan bahasa Manggarai dalam tradisi lisan Déré menunjukkan bahwa penggunaan bahasa berupa kata-kata maupun kalimat merupakan bagian yang tak terpisahkan

(16)

dari sebuah kebudayaan. Pola pikir, cara berprilaku dan kebiasaan suatu masyarakat dapat tercermin dalam bahasa yang digunakan. Melalui hal ini dapat terlihat adanya keterlibatkan antara lingkungan sosial dan budaya masyarakat Manggarai.

Dengan demikian terdapat beberapa identifikasi masalah diantaranya adalah (1) tradisi lisan Déré menjadi salah satu tradisi lisan yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat Manggarai dan hingga saat ini masih melekat dengan kehidupan masyarakat Manggarai sehingga sangat penting untuk diteliti secara mendalam. (2) Terdapat wujud nilai-nilai kearifan lokal serta makna simbolik dalam kearifan lokal tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai yang belum diteliti secara baik dan lengkap. (3) Tradisi lisan dari waktu ke waktu semakin dilupakan, sehingga besar kemungkinan mengalami kepunahan. Untuk itu perlu dilakukan preservasi tradisi lisan agar tetap ada dan menjadi kekhasan dari masing-masing kebudayaan. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kajian ekolinguistik metaforis nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan Déré sebagai manifestasi jati diri masyarakat Manggarai relevan dan penting untuk dilakukan. Peneliti merumusakan judul penelitian yaitu, kajian ekolinguistik metaforis nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan Déré sebagai manifestasi jati diri masyarakat Manggarai.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat rumusan masalah utama dalam

(17)

terdapat dalam tradisi lisan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?” Rumusan masalah utama tersebut dijabarkan dalam empat sub masalah, yaitu:

1. Apa sajakah wujud nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?

2. Apa sajakah makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?

3. Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal Déré menunjukan manifestasi jati diri masyarakat Manggaraiberdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?

4. Bagaimanakah strategi preservasi nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré agar tetap lestari?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah

“Mendeskripsikan jati diri masyarakat Manggarai yang termanifestasi dalam tradisi

lisan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis”. Tujuan umum tersebut diperinci dalam tujuan khusus sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan wujud nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan

Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

2. Mendeskripsikan makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

(18)

3. Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal Déré yangmenunjukan manifestasi jati diri masyarakat Manggaraiberdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

4. Merumuskan strategi preservasi nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré agar tetap lestari.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi khalayak baik manfaat teoritis dan praktis. Pada penelitian ini, manfaat teoretis dan manfaat praktis tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut;

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk pengembangan teori dalam hubungannya antara lingkungan ekonomi, sosial dan budaya (ekolinguistik metaforis).

2. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih teori nilai kearifan lokal dan makna simbolik tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.

3. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih teori tentang jati diri serta tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.

4. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih teori preservasi tradisi lisan, khususnya tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.

(19)

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut;

1. Hasil penelitian ini dapat membantu para tenaga pengajar untuk memanfaatkan hasil penelitian sebagai bahan ajar kontekstual terkait pelajaran muatan lokal. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah Manggarai dalam

merancang program pembangunan masyarakat Manggarai berbasis kearifan lokal.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya memelihara dan mempertahankan tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai dari ancaman kepunahan.

1.5 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab, berikut ini adalah uraian sistematis penelitian ini. Bab I berisi tentang pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika penelitian. Bab II berisi tentang landasan teori yang memuat teori- teori yang relevan dengan topik penelitian. Sub-subtopik dalam landasan teori ini berupa integrasikan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan teori-teori ekolinguistik dan ekolinguistik metaforis, kebudayaan, masyarakat dan bahasa, tradisi lisan Déré, konsep jati diri masyarakat, konsep kearifan lokal, preservasi tradisi lisan, dan kerangka berpikir. Bab III berisi tentang metodologi penelitian. Metode penelitian ini menjabarkan

(20)

tentang jenis penelitian, sumber data, data, dan objek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data dan triangulasi.

1.6 Batasan Istilah

Ada beberapa istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa istilah tersebut kemudian dibatasi oleh peneliti. Adapun pembatasan istilah tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Ekolinguistik Metaforis

Ekolinguistik metaforis merupakan studi interdisipliner yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan lingkungan sosial dan budaya (Haugen, 1972: 325). Hubungan antara bahasa dan lingkungan sekitar (sosial, politik dan budaya) di mana sebuah bahasa digunakan dapat bersifat timbal balik.

2. Tradisi Lisan

Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun -temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke

telinga” (Sibarani, 2015: 4). Tradisi lisan diartikan sebagai tradisi dalam bentuk lisan atau verba dan penyampaiannya diwariskan turun-temurun secara lisan. 3. Tradisi Lisan Déré

Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam

syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membantuk suatu kesauan bunyi. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Hal ini mengimplikasikan bahwa tradisi

(21)

lisan Déré memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), adat kebiasaan yang dalam hal ini merupakan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu yaitu, masyarakat Manggarai.

4. Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun (Duranti, 1997: 25; Hidayati, 2017: 40). Dalam praktiknya, kearifan lokal semacam itu dihayati, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia dalam masyarakat.

5. Jati Diri

‘Jati diri’ merujuk pada dua pengertian, yakni (1) ‘ciri-ciri, gambaran, atau

keadaan suatu benda; identitas’; dan (2) ‘inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari

dalam; spiritualitas’ (KBBI, 2016). Istilah ‘jati diri' merujuk pada konsep jati diri kolektif masyarakat tertentu yang terwujud di dalam tradisi lisan dapat berupa biologis, sosiologis, psikologis, dan ideologis suatu masyarakat tertentu.

6. Preservasi Tradisi Lisan

Preservasi adalah semua hal yang merujuk pada proses pengawetan, pemeliharaan, penjagaan, perlindungan (KBBI, 2016). Berdasarkan pengertian tersebut maka preservasi tradisi lisan merujuk pada segala macam bentuk upaya

(22)

pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan agar tradisi lisan tetap bertahan sebagaimana adanya. Preservasi dilakukan pada bahasa yang terancam punah, maupun yang telah mengalami kepunahan dengan fokus penelitiannya yaitu, menyelidiki, mendokumentasikan dan menyelamatkannya.

(23)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini peneliti menguraikan tujuh kajian teori yang diintegrasikan dengan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu, ekolinguistik dan ekolinguistik metaforis, kebudayaan, masyarakat dan bahasa, tradisi lisan Déré, konsep identitas masyarakat, konsep kearifan lokal, pelestarian tradisi lisan, dan kerangka berpikir. Hal-hal tersebut dipaparkan sebagai berikut.

2.1 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis

Kajian ekolinguistik mengangkat persoalan terkait hubungan antara bahasa dan lingkungan di mana suatu bahasa dipergunakan. Hubungan bahasa dan lingkungan dibedakan menjadi ekolinguistik metaforis dan ekolinguistik alamiah. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah ekolinguistik metaforis. Berikut dijelaskan secara mendalam terkait pendekatan ekolinguistik metaforis yang dijadikan sebagai kerangka teori sekaligus pisau analisis dalam mendeskripsikan wujud nilai kearifan lokal, makna simbolik keraifan lokal, nilai keraifan lokal yang menunjukan manifestasi jati diri masyarakat Manggarai dalam tradisi lisan Déré serta strategi preservasi tradisi lisan Déré.

2.1.1 Ekolinguistik

Kajian ekolinguistik sebagai bidang ilmu interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan linguistik pertama kali dipelopori Haugen (1972:35) yang lebih dikenal

(24)

dengan “ekologi bahasa”. Haugen memandang bahwa ekologi bahasa adalah kajian

tentang hubungan bahasa dan lingkungannya. Hal yang paling mendekati dengan konteks ini adalah konsep ekolinguistik metafosir yang disampaikan oleh Haugen, yaitu terdapat hubungan tali temali dengan dimensi-dimensi non alamiah yang dapat berupa dimensi sosial, kultural dan historis. Bahasa terdapat dalam pikiran penuturnya, bahasa dapat memiliki fungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan penutur dengan lingkungannya, baik itu dalam lingkungan alamiah maupun yang non alamiah (Haugen, 1972:35; Fill & Penz, 2018). Bidang kajian ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya dan menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2009: 1). Sejalan dengan itu, prespektif ekolinguistik disebut sebagai muara natural dari berbagai interdisipliner linguistik yang bertugas mengupas masalah-masalah di dalam lingkungan budaya, sosial, politik, bahkan hukum (Rahardi et al., 2016:1-2). Dalam pembahasannya, ekolinguistik mencoba mengangkat persoalan-persoalan terkait bahasa berserta lingkungan di mana bahasa itu digunakan. Baik itu lingkungan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Beberapa konsep ekolinguistik yang digunakan untuk mengupas tuntas perubahan timbal balik antara lingkungan dan bahasanya bisa menjelaskan bahwa pergeseran nilai, norma-norma dan kultur yang ada dalam masyarakat bisa menyebabkan perubahan dan tekanan dalam bahasa sebagai akibat dari tekanan terhadap lingkungan yang turut terjadi sebelumnya (Umiyati, 2011). Konsep dimaksud meliputi konsep ekolinguistik kritis, keberlanjutan, konsep masyarakat

(25)

berisiko, parameter ekolinguistik, leksikon, serta konsep ideologi. Konsep ekolinguistik hadir sebagai bentuk respon terhadap perubahan yang dipengarhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap penggunaan bahasa.

Haugen (1972) berupaya menggunakan analogi dari ekologi dan lingkungan dalam menciptakan metafora berupa metafora ekosistem yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut, Haugen membuat perbandingan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen (1972: 325) menggambarkan bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak penggunanya dan hanya berfungsi menghubungkan penggunanya dengan sesama dan kepada alam yaitu, lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam. Haugen menunjukan bahwa antara bahasa dijadikan sebagai penyokong dalam proses interaksi antara pengguna bahasa dan lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya A. Fill & Muhlhausler (2006) menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif manusia pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki. “The ecology of language meant the study of the interrelations between

(26)

hanya memiliki kecendrungan untuk meneliti permasalahan-permasalahan bahasa yang bersifat internal yaitu, persoalan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, kaidah-kaidah bahasa dan leksikon. Pembicaraan yang mengarah kepada ekologi bahasa dianggap masih sangat kurang, padahal menurut Haugen (1972: 325), penelitian ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerjasama dengan antropologi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik. Hal ini disebabkan kajian ekolinguistik sejatinya merupakan kajian interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkungannya. Definisi lingkungan merujuk pada pikiran seseorang kepada dunia nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.

Ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian bahasa dan ekologis (Nuzwaty et al., 2014). Bahasa terdapat dalam pikiran penuturnya, bahasa dapat memiliki fungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan penutur dengan lingkungannya, baik itu dalam lingkungan alamiah maupun yang non alamiah. Proses interaksi yang terjadi di lingkungan di mana seseorang tinggal, menuntut adanya kemampuan mempergunakan bahasa sebagai media berinteraksi. Kemampuan seseorang dalam menggunakan sistem bahasa dianggap sebagai hasil interaksi seseorang terhadap lingkungannya. Individu yang lahir dan bertumbuh dalam suatu lingkungan tertentu membiasakan diri untuk belajar dan mengadaptasi sistem yang ada di lingkungan tersebut. Istilah Ekolinguistik (ekologi bahasa)

berhubungan dengan kata ‘ekologi’ yaitu ilmu yang mempelajari interaksi antara

(27)

merujuk pada pikiran seseorang terhadap dunia nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa tersebut. Kajian ekologi mencakup ketergantungan dalam suatu sistem, sedangkan dalam kajian ekologi bahasa yang dilihat adalah konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (A. Fill & Muhlhausler, 2006).

Ekologi bahasa bermetamorfosis menjadi ekolinguistik yang tidak hanya mencakup pengertian alamiah (natural ecolinguistics) maupun ekolinguistik dalam pengertian metaforis (metaphoric ecolinguistics). Ekolinguistik natural banyak disebut envirolinguistik (envirolinguistics), sedangkan sedangkan ekolinguistik metaforis lazim diterminologikan ekolinguistik (Rahardi et al., 2016:1). Ekolinguistik mataforis menjadi prespektif teori yang paling relevan dengan persoalan yang dibahas dalam penelitian ini. (Rahardi et al., 2016) menegaskan bahwa dalam ekolinguistik metaforis sebagai bentuk preservasi nilai-nilai kearifan lokal dan sangat erat kaitannya dengan pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah wujud kearifan lokal dengan latar belakang kultur yang berbeda. Ekolinguistik metaforis tidak hanya berfokus pada persoalan-persoalan lingkungan melainkan mencoba menampilkan nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat khas dalam budaya tertentu serta berusaha mengusung berbagai strategi pelestarian yang diharapkan mampu mengatasi persoalan kepunahan suatu bahasa.

(28)

2.1.2 Ekolinguistik Metaforis

Ekolinguistik sebagai sebuah kajian baru dalam dunia linguistik ini muncul pertama-tama karena keprihatinan terhadap hilangnya keanekaragaman linguistik (Pupavac, 2012: 198; Fill & Penz, 2018: i). Salah satu bentuk ‘hilangnya linguistik’ ini bukan semata-mata hilangnya bahasa ataupun dialek, tetapi termasuk juga hilangnya tradisi- tradisi yang mengikutsertakan bahasa di dalamnya. Dalam hal ini, lingkungan bahasa adalah hubungan antartempat di mana proses interaksi antara bahasa dan lingkungan ini berlangsung. Sehingga pada gilirannya terminologi ekolinguistik bermetamorfosis menjadi ekolingustik, baik ekolinguistik dalam pengertian alamiah (natural ecolinguistics) maupun ekolinguistik dalam pengertian metaforis (metaphoric ecolinguistics). Ekolinguistik natural banyak disebut envirolinguistik (envirolinguistics), sedangkan ekolinguistik metaforis lazim diterminologikan ekolinguistik (Rahardi et al., 2016:1). Di dalam penelitian ini, peneliti tetap menggunakan istilah ekolinguistik metaforis sebagai bentuk penegasan bahwa penelitian ini bukanlah penelitian ekolinguistik natural atau envirolinguistik. Ekolinguistik metaforis terkandung nilai-nilai mendasar yakni preservasi nilai-nilai kearifan lokal (local values) yang mustahil dilepaskan dari praksis pembelajaran bahasa. Ketika peneliti telah sampai pada pembahasan mengenai hubungan tersebut maka nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat juga akan tampak (Rahardi et al., 2016: 1-2). Ekolinguistik metaforis tidak hanya mengangkat persoalan lingkungan dan bahasa, namun secara tidak langsung memerihkan nilai-nilai keraifan lokal secara eksplisit dari masyarakat tersebut.

(29)

Nash (2019: 243) mengemukakan bahwa ekolinguistik atau bidang ekologi bahasa terutama berkaitan dengan dua bidang penelitian utama. Pertama, analisis wacana lingkungan, sering disebut analisis wacana ekologis atau bahasa ekologi dan lingkungan. Kedua, ekologi bahasa sebagai interaksi antara manusia, pikiran, dan lingkungan yang sering diungkapkan melalui studi leksiko-gramatika, tentang bagaimana manusia berbicara dan beradaptasi secara linguistik dengan lingkungan baru dan juga asing. Berdasarkan kedua bidang penelitian tersebut, sebenarnya ekologi merupakan studi tentang saling keterkaitan dan interaksi spesies dan entitas lainnya. Ekolinguistik didefinisikan sebagai studi tentang interaksi timbal balik antara bahasa dan antara bahasa dan lingkungannya. Setiap komponen bahasa, pengguna serta lingkungan di mana bahasa digunakan menjadi satu kesatuan yang memberikan pengaruh antara satu komponen dengan komponen lainnya.

Terdapat penelitian terdahulu yang membahas tentang kajian ekolinguistik metaforis yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini yaitu, “Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis” oleh Antonius Nesi (2018). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti tersebut menggunakan kajian ekolinguistik metaforis sebagai pisau pembedah persoalan yang dibahas dalam penelitian untuk mendeskripsikan wujud jati diri dan kearifan lokal dari tradisi lisan Takanab. Pendekatan ekolinguistik metaforis pada penelitian tersebut melihat bahwa bahasa dalam tradisi lisan Takanab tidak dapat terlepas dari konteks lingkungan sosial dan budaya masyarakat Dawan. Penelitian

(30)

yang dilakukan oleh Antonius Nesi (2018) menjawab tiga rumusan masalah yaitu, jati diri, wujud kearifan lokal dan strategi preservasi tradisi lisan Takanab.

Selain penelitian yang dilakukan Nesi (2018) terdapat penelitian lain yang membahas tentang tradisi lisan dengan menggunakan pendekatan ekolinguistik. Penelitian yang dilakukan oleh (Helmon, 2020) tentang “Tradisi Lisan Torok sebagai

Manifestasi Jati Diri Masyarakat Manggarai”. Penelitian ini menggunakan kajian

ekolinguistik metaforis dalam memaknai persoalan yang dibahas dalam penelitian untuk mendeskripsikan wujud kearifan lokal, nilai kearifan lokal dan jati Mayarakat Manggarai melalui tradisi lisan Torok. Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara penelitian ini dengan kedua penelitian terdahulu. Perbedaan antara penelitian terdahulu dan penelitian yang dilakukan ini adalah bentuk tradisi lisan yang diteliti dan hal yang hendak dikaji. Sedangkan persamaannya terletak pada penggunaan metodologi etnografi sebagai metode penelitian serta pemecahan persoalan terkait tradisi lisan menggunakan pendekatan ekolinguiatik metaforis.

2.2 Bahasa, Kebudayaan dan Masyarakat

Terdapat beberapa teori yang dapat mengambarkan hubungan antara bahasa, kebudayaan dan masyarakat. Berikut dijelaskan ketiga hal tersebut.

2.2.1 Bahasa dan Kebudayaan

Salah satu konsep yang paling melekat dalam ekolinguistik bahwa bahasa memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Lingkungan ini dapat merujuk pada, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya. Sejalan

(31)

dengan itu, Haugen (1972:325) berpendapat bahwa bahasa adalah bagian dari lingkungan yang lebih besar yang bersifat fisik (pengguna bahasa hanya ada di lingkungan fisik), psikologis (bahasa berinteraksi dengan bahasa lain di benak bilingual dan multibahasa penutur), dan sosiologis (bahasa berinteraksi dengan masyarakat di yang berfungsi sebagai media komunikasi). Hal itu didukung oleh pendapat bahwa setiap bahasa memiliki perangkat kata tertentu sebagai petunjuk bahwa kata-kata itu menjadi bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan (Mulyadi, 2014:93). Hal ini nampak dalam pola pikir dan tingkahlaku yang diwujudkan menggunakan kata-kata dalam bahasa kebudyaaan tertentu.

Suatu bahasa tidak bisa dipahami hanya sebagai sistem struktural yang tidak tergantung pada penutur dan budaya mereka (Garner, 2014:112). Dalam kaitannya dengan ekolinguistik, perlu dibahasa secara khusus terkait hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Lebih lanjut, Sitompul & Simaremare (2017:26) menyatakan bahwa dalam kebudayaan bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan, pengembangan, dan penyebarluasan kebudayaan.

Foley (1997:3) mendefenisikan bahwa “Antropological linguistics views language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at

language to find cultural understandings”. Linguistik antropologi sebagai subdisiplin

(32)

memiliki peran menyokong dan menempa praktek-praktek kultural dan struktur sosial. Melalui pengertian ini diketahui bahwa antropolinguistik mencoba mengkaji bahasa, budaya dan aspek lain yang ada di dalamnya memiliki peranan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pemahaman bahasa membantu memahami suatu budaya.

Sibarani (2004: 51) dalam (Sitompul & Simaremare, 2017:27) menyatakan terdapat tiga relasi yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang mengartikan bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa meng- indikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya. Ketiga relasi penting dalam ilmu antropolinguistik ini menunjukkan bahwa budaya dan bahasa memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga bahasa juga turut memberi penanda dalam perkembangan masyarakat itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan.

Sejalan dengan itu, ilmu kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian ini dikaji atau menjadi fokus utama dalam bidang antropologi. Duranti (1997:2) mengatakan bahwa antropologi linguistik “the study of language as a cultural resource and

(33)

dan berbicara sebagai praktik budaya. Duranti juga menegaskan bahwa linguistik

antropologi ‘tidak bersinonim’ dengan studi bahasa yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi. Meskipun difokuskan pada telaah bahasa, namun Duranti menempatkan antropologi linguistik sebagai bagian dari antropologi. Lebih lanjut, Duranti (1997:27) dalam bukunya Linguistic Anthropology mempertegas “To know a culture is like know- ing a language. They are both mental realities. Furthermore, to describe

a culture is like describing a language”. Mengenal budaya sama seperti mengenal

bahasa. Keduanya adalah realitas mental. Lebih jauh, mendeskripsikan suatu budaya sama seperti mendeskripsikan suatu bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.

Dengan kata lain, dalam antropolinguistik terapat tiga kajian yaitu, studi budaya, bahasa dan aspek kehidupan manusia. Asumsi ini mendorong para peneliti untuk mengkaji tradisi lisan khususnya yang memiliki unsur-unsur verbal yang terkandung di dalamnya. Terdapat hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang telah disintesiskan oleh Yunhadi (2016:171). Dalam tulisannya, Yunhadi (2016:171) menjelakan pokok pikiran Sapir-Whorf bahwa pola-pola bahasa yang terungkap dalam analisis bahasa mencerminkan pola yang ada dalam pikiran penuturnya. Lebih lanjut, Yunhadi (2016:171) menjelaskan bahwa Sapir dan Worf menguraikan hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran yang dikenal dengan nama hipotesis linguistic relativity, yaitu perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa.

(34)

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa bahasa dijadikan sebagai media bagi masyarakat pengguna dalam menyalurkan ide, gagasan maupun perasaan yang dimiliki. Pemikiran manusia tak dapat lepas dari realitas lingkungan alam, sosial, dan budayanya, sehingga lingkungan alam, budaya dan lingkup sosial dapat mempengaruhi pola pikirnya. Secara pasti dapat dikatakan bahwa dengan korelasi itu ekspresi pemikiran manusia tidak dapat lepas dari praktik komunikasi. Di sinilah konsep etnografi komunikasi dipandang relevan dan bertali-temali dengan ekolinguistik metaforis sebagai sebagai perspektif penelitian ini.

2.2.2 Bahasa dan Masyarakat

Hubungan antara bahasa dan masyarakat, dapat menunjukan pula hubungan antara bahasa dan pikiran masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat ini, telah menarik perhatian para ahli bahasa dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda. Pada saat kita menyebut masyarakat dan bahasa, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua hal tersebut tidak dapat memisahkannya dari budaya. Goodenough ([1957] 1964: 36)dalam (Duranti, 1997:27) “a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior, or emotions. It is rather

(35)

an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind,

their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them”. Masyarakat

dalam suatu kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan dipercaya oleh seseorang agar dapat diterima dalam suatu masyarakatnya. Sekali lagi pada saat membahas atau mencari pengaruh bahasa terhadap masayarakat, kita tidak bisa memisahkan antara masyarakat dengan budayanya.

Hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa struktur sebuah bahasa berpengaruh pada cara pandang penutur terhadap dunia. Yunhadi (2016:171) menjelaskan pokok pikiran Sapir-Whorf tentang linguistic determinism, yaitu struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Jadi, pikiran manusia mengikuti struktur dan kosa kata yang digunakan dalam bahasa yang dituturkan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya berpengaruh pada masyarakat tetapi menentukan masyarakat. Misalnya; struktur bahasa yang digunakan mampu menunjukkan masyarakat sebagai penggunanya. Penutur dari bahasa yang berbeda memiliki cara pandang yang berbeda pula terhadap dunianya. Bahasa mencerminkan pengalaman yang dialami oleh penuturnya, bahasa tidak digunakan hanya semata-mata untuk melaporkan pengalaman kita tentang dunia disekitar kita.

(36)

2.3 Tradisi Lisan Déré

Terdapat tiga karakteristik tradisi menurut (Sibarani, 2015:4). Pertama, tradisi itu merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas yang mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Kedua, tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas. Kepemilikan tradisi secara langsung dapat memperkuat dan mengukuhkan mengukuhkan identitas kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Suatu tradisi dapat dikenal dan diakui melalui partisipasi kelompok masyarakatnya sendiri.

Tradisi lisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2016) dibedakan menjadi dua makna, yakni (1) adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat dan (2) penilaian atau anggapan bahwa caracara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Makna kata tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia masih dapat diterima tentang tradisi yang disampaikan secara turun-temurun dan makna kedua yang menyatakan bahwa di dalam tradisi mengandung kebaikan dan kebenaran meskipun baik dan benar di sini bersifat lokalitas. Arti kedua tentang tradisi berdasarkan KBBI tersebut minimal dapat menepis mitos yang sudah beredar dalam masyarakat bahwa tradisi senantiasa dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari masa lampau. Padahal, realitasnya tidaklah demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Baso (2003) dalam Supriatin (2012:

(37)

409) bahwa tradisi tidak hadir sebagaimana adanya pada masa lalu, tetapi pasti telah mengalami proses seleksi atau bongkar ulang sehingga ada yang dipopulerkan atau dipinggirkan bergantung pada relasi kekuasaan yang bermain di sekitarnya. Baso menambahkan bahwa tradisi lisan tidak hanya terpaku pada kejadian masa lampu saja, melainkan mengalami pula proses perbenahan menjadi sebuah tradisi yang dapat diterima dan dijaga kelestariannya hingga kini.

Dalam bukunya yang berjudul De la Tradition Orale: esai de method historique, menjelaskan bahwa tradisi lisan sebagai sumber sejarah yang mampu menghadirkan fakta-fakta yang kredibel, hingga mengansumsikan tradisi lisan sebagai sejarah itu sendiri (Vansia, 2014: xxiv-xxv). Hal inilah yang disebut oleh (Vansia, 2014) sebagai proses transmisi yaitu proses pemindahan tradisi secara turun-temurun. Dalam kaitannya dengan tradisi lisan, Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membentuk suatu kesatuan bunyi dan dilakukan turun secara lisan. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Tradisi lisan dianggap selalu berjalan beriringan dengan sejarah bahkan dapat dikatakan sebagai saksi peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Supriatin (2012: 407) yang mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan warisan leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup yang terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan upacara adat. Tradisi lisan merupakan cultural heritage atau warisan budaya yang mengandung berbagai kearifan lokal (local wisdom), nilai-nilai budaya, dan kebijakan yang

(38)

terekspresikan dalam cerita rakyat, seni pertunjukan rakyat, dan berbagai ritual dalam upacara adat. Cultural heritage atau warisan budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus kita pelihara dan kita lestarikan karena di dalamnya menyimpan identitas budaya sekaligus sebagai akar budaya yang merupakan subkultur atau kultur Indonesia.

Tradisi lisan adalah sebuah kebudayaan yang diwariskan terutama melalui aspek kelisanan (oral tradition) (Takari, 2013: 2). Berdasarkan pendapat tersebut, tradisi lisan bukan berarti tradisi itu terdiri atas unsur- unsur verbal saja, melainkan penyampaian tradisi itu secara turun-temurun dan secara lisan secara lisan. Tradisi lisan terdiri atas tradisi yang mengandung unsur-unsur verbal, sebagian verbal (partly

verbal), atau nonverbal (nonverbal) (Takari, 2013:2). Hal ini juga sejalan dengan

yang disampaikan Danandjaja yang mengatakan bahwa secara garis besar bentuk- bentuk folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yakni folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal), dan folklor bukan lisan (non verbal

folklore) (Danandjaja, 2015: 64). Selanjutnya Danandjaja juga mengatakan bahwa

istilah folklor lisan di dalam tulisannya tersebut bersinonim dengan istilah tradisi lisan (oral tradition). Hal ini menunjukkan bahwa ‘tradisi lisan’ mengacu pada proses penyampaian tradisi dan hasil dari proses penyampian dalam bentuk lisan. Sejalan dengan itu, konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut

ke telinga” (Sibarani, 2015:4). Tradisi lisan, terutama tradisi yang memiliki unsur-unsur verbal seperti tradisi bermantra, bercerita rakyat, berteka-teki, berpidato adat,

(39)

berpantun, berdoa, dan permainan rakyat yang disertai nyanyian dapat dikaji dari sudut pandang bahasa, khususnya yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan kebudayaan.

Saat ini tradisi lisan telah menjadi domain yang sangat menarik bagi para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Dengan tidak adanya naskah, penelitian mengenai tradisi ini menjadi proses rumit khususnya untuk menyampaikan informasi tentang budaya, kebiasaan, dan perilaku masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui mulut ke mulut melalui cerita. Kemampuan manusia untuk berbicara dan berkomunikasi pada akhirnya membedakan manusia itu sendiri dari makhluk hidup lain. Aktivitas manusia untuk berkomunikasi melalui ucapan dan kecerdasannya, kemampuan kognitif untuk menyadari lingkungannya dan memvisualisasikan apa yang ada di dalam pikiran merupakan dua faktor penting dalam perkembangan masyarakat, sehingga tidak heran apabila Wilson mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan aspek evolusi masyarakat manusia (Wilson, 2015: 118). Tradisi lisan menjadi penanda perkembangan yang terjadi di dalam lingkup masyarakat itu sendiri.

Tradisi lisan (oral tradition) di berbagai daerah muncul dalam banyak bentuk dan dengan istilah yang berbeda-beda. Masyarakat Manggarai memiliki interese yang tinggi terhadap dunia seni (Deki, 2011: 87). Ketertarikan akan kesenian mendorong mayarakat Manggarai dalam menciptakan beragam kesenian. Bentuk kesenian orang Manggarai dapat diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu seni sastra dan seni pertunjukan. Kajian dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk kajian bahasa, maka fokus kajiannya adalah seni sastra. Bentuk kesusastraan tersebut diungkapkan

(40)

dalam pelbagai bentuk, seperti prosa (tombo nunduk, tombo turuk, tombo rapang, mantra, bidal, dan puisi yang berupa pepatah, peribahasa (go’et), syair (Déré) dan lagu (Déré,). Pada penelitian ini, fokus peneliti adalah Déré.

Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam

syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membentuk suatu kesatuan bunyi dan dilakukan turun secara lisan. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011:171). Syair-syair yang terdapat dalam Déré pada umumnya mengandung kata-kata puitis dalam menyampaikan maksud Déré yang dibuat. Déré yang diciptakan pada umumnya disebarkan turun-temurun secara lisan. Déré pada awal mulanya merupakan nyanyian rakyat, sampai pada akhirnya mucul gereja katolik dan berkeinginan mentrasliterasikan syair lagu yang mulanya berbentuk lisan menjadi tulisan dan diberi not.

Bagi masyarakat Manggarai, Déré menempati posisi penting karena dijadikan sebagai media mengekspresikan jiwa seni yang dapat ditampikan dalam situsi dan kondisi tertentu (Deki, 2011:173). Déré kerapkali dijumpai dalam upacara adat baik komunal maupun privat. Upacara komunal misalnya upacara atau ritus adat yang merupakan upacara dari masyarakat satu kampung. Beberapa ritus adat dalam sistem lingko atau komunal tersebut antara lain upacara adat resmi, yaitu pentas caci, sanda

dan mbata. Sedangkan pada upacara privat atau upacara keluarga (kilo) salah satunya

adalah upacara kematian (lorang). Hadirnya Déré dalam upacara komunal maupun privat seperti yang telah disebutkan pada dasarnya mengandung maksud yang sama

(41)

yaitu sebagai media mengekspresikan diri sesuai dengan konteks masyarakat Manggarai.

Penelitian tentang tradisi lisan yang relevan dengan penelitaian ini adalah penelitian yang berjudul Tradisi Lisan Male-Male: Nyanyian Kematian dalam

Masyarakat Ciacia oleh (Asrif, 2017). Tradisi lisan male-male itu menggambarkan

penghargaan masyarakat terhadap sosok sempurna melalui ungkapan kesedihan, kerinduan, ketabahan, dan puji-pujian. Pelaksanaan male-male memiliki sejumlah fungsi, baik fungsi pribadi (penutur dan tuan rumah) maupun fungsi bagi masyarakat (warga yang melayat). Bagi penutur dan tuan rumah, tradisi itu berfungsi untuk menghibur, memberikan kepedulian sesama, menyebarkan nilai sosial, agama, dan prestise, serta mewariskan tradisi. Bagi masyarakat, male-male berfungsi sebagai sarana mengingatkan diri akan kematian, memperkukuh keimanan, serta meningkatkan empati, dan solidaritas sesama. Untuk itu diperlukan upaya pewarisan dalam menjaga keberlanjutan tradisi itu. Pewarisan formal dilakukan melalui sekolah, sedangkan pewarisan informal melalui penguatan lembaga adat.

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian penelitian ini adalah, penelitian

tentang “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti sebagai Media Komunikasi Kultural dalam

Masyarakat Wakatobi” yang dilakukan oleh Udu (2015). Tradisi lisan Bhati-bhati

merupakan nyanyian rakyat yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti merupakan media komunikasi kultural masyarakat Wakatobi untuk menyampaikan berbagai hal yang menyangkut berbagai nilai budaya, sejarah, adat istiadat, hubungan manusia dengan

(42)

lingkungan, yang berhubungan dengan Tuhannya. Mereka juga bebas mengungkapkan pikiran, perasaannya terhadap seseorang, kampung, ataupun masalah sosial lainnya, dan pendengar tidak bisa tersinggung karena kritik itu disampaikan dengan bahasa halus dan penuh dengan canda.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Asrif (2017) yang hanya memeraikan fungsi tradisi lisan Male-male dan penelitian yang dilakukan oleh Udu (2015) yang memeraikan fungsi dan nilai tradisi lisan Bhati-bhati. Penelitian ini akan mencoba mempergunakan tradisi lisan Déré dalam memeraikan wujud nilai-nilai kerarifan lokal, makna simbolik nilai kearifan lokal serta nilai kearifan lokal tradisi lisan Déré yang menunjukan menifestasi jati diri masyarakat Manggarai dengan menggunakan pendekatan ekolinguistik metaforis sebagai pisau analisis.

2.4 Konsep Identitas Masyarakat

Tradisi lisan yang terdapat dalam budaya masyarakat tertentu secara tidak langsung memberikan gambaran identitas masyarakat itu sendiri, salah satunya adalah identitas diri masyarakat Manggarai yang tercermin dalam tardisi lisan Déré. Hal ini menunjukan bahwa penelitian terkait identitas masyarakat Manggarai penting

untuk dikaji. Dalam KBBI (2016) identitas diartikan sebagai ‘jati diri’. Dalam kamus itu, ‘jati diri’ merujuk pada dua pengertian, yakni (1) ‘ciri-ciri, gambaran, atau

keadaan suatu benda; identitas’; dan (2) ‘inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari

dalam; spiritualitas’. Ciri-ciri, gambaran atau keadaan dari sesuatu yang dalam hal ini adalah kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya. Ciri, dan keadaan dari

(43)

masing-masing kebudaayan di wujudkan dalam semangat spiritualitas yang mereka miliki.

Erikson (2002: 21) menjelaskan bahwa identitas adalah konfigurasi integratif dari masa lampau dengan masa sekarang dan dari yang di dalam dan yang di luar, ke dalam suatu keseluruhan yang baru dan secara kodrati proses identitas ini proses identitas ini bersifat psikososial. Pembentukan ientitas pribadi dilakukan bersamaan dengan kelompok sosial masyaarakatnya. Apabila kata identitas dalam kaitannya dengan masyarakat maka, identitas digunakan untuk menyatakan ciri golongan suatu kelompok masyarakat tertentu. Digunakan untuk menunjukkan ciri yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya pada suatu daerah tertentu dan sifatnya kompleks. Konsep identitas atau jati diri apabila dikaitkan dengan keadaan masyarakat manggarai artinya menunjukan ciri-ciri, keadaan maupun gambaran kebudayaan masyarakat Manggarai yang berbeda dengan budaya masyarakat lain. Identitas masyarakat Manggarai secara tidak langsung dapat tercermin melalaui tradisi lisan Déré yang ada dalam kebudayaan tersebut.

Penelitian terkait identitas suatu masyarakat sebelumnya dilakukan oleh (Tube, 2017) terkait “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat

Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik”. Dalam penelitiannya, Tube

mendeskripsikan identitas masyarakat Lamaera, NTT, melalui tradisi lisan Liâ Asa Usu yang ada di daerah tersebut. Tube (2017) mempergunakan perspektif etnopragmatik dalam mengkaji penelitiannya. Metode etnografi digunakan dalam pengumpulan dan analisis data. Tube menjelaskan bahwa jati diri masyarakat

(44)

Lamalera tergambar melalui sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, dan bahasa. Apabila Tube yang menempatkan jati diri masyarakat Lamalera pada kerangka unsur-unsur universal kebudayaan, maka beda halnya dengan penelitian ini yang mengungkap identitas masyarakat Manggarai dengan melakukan pemaknaan tradisi lisan Déré melalui sudut pandang ekolinguistik metaforis dan dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Manggarai.

Penelitian selanjutnya mengkaji tentang Tradisi Tunggul Wulung Sebagai Sarana

Penguat Jati Diri Bangsa oleh (Susanti et al., 2018). Penelitian ini dilakukan pada

saat perayaan Tradisi Tunggul Wulung untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut yang dapat memperkuat Jati Diri Bangsa. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa dalam Tradisi Tunggul Wulung banyak nilai-nilai sosial sebagai penguat jati diri bangsa berupa kekeluargaan, gotong royong, dan toleransi. Penelitian ini hanya menunjukkan jati diri melalui Tradisi Tunggul Wulung dengan memeraikan beragam nilai yang terkandung di dalamnya tanpa menggunakan pendekatan secara khusus. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Susanti et al., 2018), penelitian ini hendak memeraikan wujud kearifan lokal, makna simbolik dan nilai kearifan lokal yang menunjukan jati diri masyarakat Manggarai melalui tradisi lisan Déré dengan menggunakan ekolinguistik metaforis sebagai pisau analisis.

Dengan demikian, istilah ‘identitas’ dalam penelitian ini merujuk pada konsep

jati diri kolektif masyarakat yang terwujud di dalam tradisi lisan Déré berupa jati diri yang tercermin dalam pola pikir, pola hidup dan juga pola budaya masyarakat

(45)

Manggarai. Aspek-aspek jati diri tersebut menjadi hal yang tidak terpisahkan dari aspek lingkungan sosial, biologi, ekonomi dan budaya masyarakat Manggarai. Semua hal terkait jati diri yang tercermin dalam tradisi lisan Déré Masyarakat Manggarai dikaitkan dengan berbagai konteks lingkungan yang ada dalam kebudayaan tersebut.

2.5 Kearifan Lokal

Secara etimologis, kearifan lokal berasal dari kosakata bahasa Inggris, local ‘ruang, tempat’, dan wisdom ‘kearifan, kebijaksanaan’. Kosa kata local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Dalam konteks penelitian ini, local dapat dimaknai sebagai lingkungan interaksi, yang di dalamnya ditunjukkan pola hubungan antara manusia, sesama, dan lingkungan sosial budayanya. Sementara itu, wisdom dapat dimaknai sebagai perwujudan pola pikir, sikap, dan tindakan yang merujuk pada nilai-nilai luhur. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai wujud akal, sikap, dan tindakan manusia pada suatu lingkungan dalam menghayati nilai-nilai luhur atau kebijaksanaan itu.

Menurut Hidayati (2016: 40) kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun. Lebih lanjut, kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya, namun dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu: pengetahuan, gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan kebiasaan adat yang dilakukan

Gambar

Tabel 3.1 Sumber Data, Data dan Objek  Jenis Data  Sumber Data
Tabel 4.1 Klasifikasi Data
Tabel 4.2 Jumlah Data dan Hasil Identifikasi  Wujud nilai-nilai kearifan

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan berkah-Nya sehingga penulis menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Cinta Suci Zahrana

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan tesis yang berjudul

Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan pengetahuan dan ilmu kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis yang

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat Rakhmat Hidayah-Nya dan atas perkenan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian ini yang berjudul

Ucapan syukur kepada Alloh SWT yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tesisnya dengan judul: “

Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur hanya milik Allah Subhanahuwata’ala, yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis