Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris Berbasis
Metode pengajaran Pancasila untuk mahasiswa di perguruan tinggi perlu dibuat menjadi lebih menarik, relevan, kreatif, dan non-indoktrinatif, tidak seperti di zaman Orde Baru yang menitikberatkan pada hafalan dan pengulangan, dengan nuansa formalitas yang kental. Tujuannya, mahasiswa tidak merasakan keterasingan dan keberjarakan dengan Pancasila yang oleh sebagian orang dianggap sebagai ‘relik dari masa lalu’, sehingga internalisasi nilai-nilai Pancasila dan re-aktualisasinya jadi lebih mendalam. Berdasarkan pengalaman penulis mengajar MK Pancasila dan Kewarganegaraan selama kurun waktu lima tahun (2009 – 2013) di Universitas Multimedia Nusantara, materi ajar Sejarah Lahirnya Pancasila, Filsafat dan Ideologi Pancasila, sebagai sebuah pengetahuan yang menyejarah (historical knowledge), dapat dibuat lebih menarik penyampaiannya dengan menggunakan pendekatan partisipatoris yang berbasis imajinasi rekonstruktif. Naskah pidato Pancasila yang disampaikan Bung Karno dan Muh. Yamin pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI dan keunggulan Ideologi Pancasila dibandingkan beberapa ideologi besar dunia lainnya merupakan dua pokok materi ajar yang bisa digali secara imajinatif-rekonstruktif dan lalu disampaikan kepada mahasiswa secara lebih partisipatoris. Tidak menutup kemungkinan materi-materi ajar Pancasila dan Kewarganegaraan yang lainnya (Identitas Nasional, Rule of Law dan Konstitusi, Demokrasi, Multikulturalisme, Otonomi Daerah, Wawasan Kebangsaan) juga bisa didekati dengan cara serupa.
Kata kunci: pendekatan partisipatoris, pengetahuan yang menyejarah, imajinasi rekonstruktif, naskah pidato Pancasila versi Bung Karno dan Muh. Yamin, Ideologi Pancasila.
Pendahuluan
Pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di tingkat Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia
masih diperlukan dan tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan dilindungi dengan payung hukum
yang terbaru, yaitu UU No. 12/2012, Pasal 35 ayat 3. Normativitas pengajaran Pancasila dan
Kewarganegaraan di tingkat PT merupakan sebuah keniscayaan “untuk membentuk Mahasiswa
menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air,”1
dalam rangka
pembangunan mentalitas kebangsaan serta pewarisan kemampuan hidup sebagai warganegara yang
baik (nation-building capacity). Terkait dengan itu, sejauh menyangkut materi ajar dan metode
pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan, kita bisa melihat bahwa di satu sisi, materi ajar
Pancasila dan Kewarganegaraan di tingkat PT tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini
merupakan sesuatu yang baik dalam arti penguatan identitas kebangsaan. Di sisi lain, metode
pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan terbilang masih belum terlalu banyak disentuh oleh
pembaruan dan penyegaran, belum cukup dieksplorasi dan diperkaya, dan masih belum dibuat jadi
lebih menarik dan relevan, padahal zaman terus bergerak dan kita sudah memasuki era digital dan
Media Baru. Ketika mahasiswa sekarang sudah mulai terbiasa mencatat dengan menggunakan
laptop, tabs dan digital notes di dalam ruang kelas, metode pengajaran dan pembelajaran Pancasila
dan Kewarganegaraan juga perlu di-updateagar tidak menjadi “sekedar nostalgia masa lalu” dan di
-cuek-in karena membosankan. Bagaimana caranya? Berikut adalah paparan reflektif yang didasarkan
pada pengalaman penulis selama mengajar MK Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas
Multimedia Nusantara (Tangerang) sejak 2009. Semoga menginspirasi.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian kecil dan penulisan artikel ini adalah metode
hermeneutika kritis-evaluatif yang didasarkan pada amatan (observasi) terhadap penerapan metode
partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif di ruang kelas selama pengajaran MK Pendidikan
Kewarganegaraan di Universitas Multimedia Nusantara, yang dilakukan sejak Semester Gasal tahun
ajaran 2009 – 2010 sampai dengan Semester Genap tahun ajaran 2012 - 2013.
Metode hermeneutika kritis evaluatif---yang dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1833 –
1911) sampai Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002) --- adalah sebuah metode untuk mencari makna
dan kebenaran dari sebuah teks atau peristiwa, dengan tujuan memahami (verstehen) dan bukan
menjelaskan (erklären) fenomena. Pemahaman tentang kebenaran adalah peristiwa penyingkapan
(aletheia) makna yang terjadi secara terus menerus, sehingga pada prinsipnya kebenaran itu bisa
digali dan ditemukan dalam aktivitas menafsir (hermeneutic). Menurut Thomas Hidya Tjaya,
“pengetahuan manusia tidak pernah berelasi langsung dengan realitas telanjang pada dirinya,
melainkan selalu dengan realitas dalam konteks kultural tertentu yang dihidupi oleh manusia, dengan
penafsirannya melalui tradisi dan asimilasi kontemporer yang dilaluinya.” (Tjaya, 2005: 68). Metode
hermeneutika merupakan sebuah metode yang menarik sekaligus menantang untuk dipraktikkan
dalam pengajaran dan pembelajaran Pancasila justru karena sifatnya yang terbuka dan dinamis.
Metode hermeneutika tidak pernah mengabsolutkan makna suatu teks, entah itu teks jadi Pancasila
sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD’45, maupun teks pidato perumusan Pancasila oleh
Bung Karno dan Muh. Yamin.
Sementara itu, berbicara tentang metode “partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif”
(untuk ringkasnya akan disebut PBIR dalam artikel ini), penulis merujuk pada pandangan
Giambattista Vico (1668 – 1744), seorang filsuf bahasa dan sejarah dari Italia sekaligus profesor
retorika di Universitas Napoli, yang terkenal dengan adikaryanya Scienza Nuova (Sains yang Baru).
Alasan penulis memilih tokoh ini sebagai inspirator metode PBIR adalah karena dalam buku adi
karyanya tersebut, Vico menekankan pentingnya imajinasi untuk memahami pengetahuan sejarah.
mengaitkan bidang sejarah, kodrat manusia, dan matematika. Dalam Nuova Scienza, Vico
berpandangan bahwa ‘Dalam kabut kegelapan yang mencungkupi era kuno, bersinarlah nur
kebenaran yang abadi: bahwa dunia masyarakat sipil itu sudah jelas-jelas dibuat oleh
manusia-manusia dan bahwa prinsip-prinsipnya dapat ditemukan dalam modifikasi akal budi kita sendiri.”2
Yang dimaksud Vico dengan modifikasi di sini ialah tahap-tahap pertumbuhan, atau cakupan, atau
arah, dari pikiran manusia, imajinasi, kehendak, perasaan yang dengannya manusia dapat ‘masuk’ ke
dalam alam pikiran orang-orang tertentu, di tempat tertentu, pada era tertentu.
“Dentro le modificazioni della medesima nostra mente umana” merupakan kartu truf Vico untuk filsafat sejarahnya. Tidak hanya sekedar mengetahui fakta (prinsip verum/factum), tugas
manusia lebih terletak pada memahami motivasi-motivasi atau tindakan-tindakan orang lain sebab
manusia memiliki kapasitas pemahaman yang imajinatif. Pengetahuan historis bukan sekedar
pengetahuan tentang peristiwa, kejadian masa lalu, namun lebih pada peristiwa-peristiwa sejauh
mereka “masuk” (menjadi bagian) ke dalam aktivitas manusia dan merupakan unsur dari biografi
seorang individu atau sebuah kelompok. Vico percaya bahwa dengan berupaya sangat keras, kita
dapat memahami masyarakat dan peradaban “zaman batu” yang bercirikan dunia komunikasi yang minim “kata dan kalimat,” namun kaya akan gerak-gerik tubuh, isyarat, atau gambar. Yang kita butuhkan hanyalah imaginative faculty untuk dapat memahami sejarah dari suatu kebudayaan,
peradaban, yang terpisah jauh dari kita, baik dalam artian waktu maupun tempat (Berlin, 1976: 30).
Yang mau dilawan Vico dengan teori modificazioni atau imaginative reconstruction of the historical
facts ini adalah kecenderungan cara berpikir pada zaman itu, baik para pendukung teori Natural Law
atau kontrak sosial (Hobbes, Locke, Rousseau) maupun para rasionalis semacam Descartes dan
Spinoza, yang kukuh berpegang pada asumsi mengenai kodrat manusia yang ajeg, yang tidak pernah
berubah sekali dan selama-lamanya, yang berlaku pada segala manusia sepanjang segala zaman.
Keyakinan akan kodrat manusia yang ajeg pada gilirannya dapat mengarahkan kita pada argumen
reductio ad absurdum. Sejarah bukanlah proses linier dalam lop tertutup. Sejarah perlu lebih
dimengerti sebagai nascimento, proses kelahiran kembali, lagi dan lagi, dari cara manusia memahami
baik dirinya sendiri maupun tindakan manusia secara kolektif, tidak hanya pada zamannya saja
namun juga pada zaman dan tempat tertentu, berkat bantuan rekonstruksi imajinasinya serta
dibimbing oleh penyelenggaraan ilahi atau daya kreatif Roh Ilahi (Berlin, 1976: 35).
Isaiah Berlin mengakui dan memuji orisinalitas pemikiran Vico tentang pengetahuan sejarah
(historical knowledge), “[berbicara tentang Vico] Ketika berpikir tentang masa lalu, kita bergerak
melampaui perilaku; kita ingin memahami bagaimana mereka (manusia) hidup pada waktu itu, juga
memahami motif-motif, ketakutan dan harapan, ambisi dan cinta dan kebencian … Kita dapat
melakukan ini karena kita sendiri juga manusia dan memahami dunia batin kita sendiri yang terkait
dengan istilah-istilah ini tadi.” (Berlin, 2002: 7)
Metode pengajaran yang umum berlaku di Indonesia sampai saat ini masih merujuk pada
taksonomi Bloom, yang memberikan arah serta tekanan tujuan pendidikan pada tiga wilayah
(domain), yaitu: Kognitif, Afektif dan Psikomotorik. Apa yang masih kurang dari tiga kategori ini?
Imajinasi. Di sinilah pentingnya sumbangan pemikiran Vico tentang pengetahuan sejarah dan peran
kemampuan imajinasi rekonstruktif manusia untuk melengkapi taksonomi Bloom.
Mengapa imajinatif rekonstruktif? Apa yang khas dari pendekatan ini dibandingkan
pendekatan sejenis (misalnya, active learning atau CBSA)? Dalam pendekatan imajinatif
rekonstruktif, peserta didik diajak dan difasilitasi oleh dosen untuk masuk lebih ke dalam dari apa
yang nampak dalam teks atau gambar. Peserta didik “memodifikasi pikiran mereka” dan
berimajinasi, seperti apa rasanya hidup, merasa, berpikir, berharap, berbincang, berdebat, pada
zaman pra-kemerdekaan RI, pada tahun-tahun formulasi Pancasila, terutama sejak Sidang BPUPKI
29 Mei 1945 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI dan sehari sesudahnya saat rumusan
Pancasila yang sah termaktub dalam Preambule UUD 1945. Berimajinasi di sini bukan aktivitas
mengkhayal dan melantur (daydreaming), melainkan, seperti disampaikan Vico di atas, aktivitas
untuk memahami baik teks maupun konteks, isi maupun mood yang menyertai Proses Kelahiran
Pancasila dan setelahnya.
Hasil dan Pembahasan
Ketika pertama kali mengajar PKN di tingkat Perguruan Tinggi (September 2009), terus
terang penulis merasa gamang dan kurang percaya diri, mengingat luhur dan mulianya materi ajar
namun yang sayangnya sudah terkontaminasi rezim Orde Baru di bawah Soeharto “yang pernah
menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaan dan
indoktrinasi pemaknaan Pancasila lewat penataran P4.” (Azra, 2010: 10). Akan tetapi, syukurnya,
berkat latihan teater yang diikuti selama dua tahun selama di bangku kuliah (2001 – 2002), juga naik
ke atas panggung untuk pementasan naskah, penulis merasa tertantang untuk memadukan
keterampilan dan pengetahuan yang sudah dimiliki tentang dasar-dasar teknik teater ke dalam
metode pengajaran. Kesempatan itu datang ketika masuk ke materi ajar Kelahiran Pancasila dan
Ideologi Pancasila. Pada materi ini, ruang untuk berimajinasi dan berekspresi terbuka lebih leluasa
mengingat siswa didik diajak masuk menyelami alam pikiran masa lalu sambil senantiasa berpijak
Berdasarkan metode PBIR yang dipercaya penulis dapat meningkatkan respon dan
ketertarikan mahasiswa pada materi ajar Pancasila dan Kewarganegaraan, berikut adalah sejumlah
aplikasinya yang sudah diuji-cobakan di ruang kelas:
1. Pementasan teatrikal ideologi Pancasila berhadap-hadapan dengan sejumlah ideologi besar
dunia lainnya (liberalism, kapitalisme, komunisme, marxisme, fasisme, dan sosial demokrat).
2. Membaca kembali teks pidato Pancasila Bung Karno dan Muh. Yamin dan
mempresentasikannya kembali di depan kelas.
3. Pembuatan website“ideologi Pancasila” yang diisi dengan wawancara, video, dan artikel.
Dari tiga model aplikasi di atas, berikut adalah perbandingannya dalam bentuk bagan:
Nomenklatur parameter
pemahaman post-event Sedang (diskontinyu) Sedang (diskontinyu) Tinggi (kontinyu)
Efek dramatis Tinggi Sedang Rendah
Catatan:
1. Perbedaan kualitatif rendah, sedang, dan tinggi didasarkan pada hasil amatan penulis sebagai
dosen, baik di dalam ruang kelas selama semester berjalan maupun sesudahnya (dalam percakapan
sehari-hari ketika bertemu di kantin, di selasar, di saat-saat santai non-formal). Selain itu, juga
didapatkan feedback dari mahasiswa baik secara lisan maupun tertulis setelah metode ini
diuji-cobakan.
2. Beberapa foto, video, dan gambar dilampirkan untuk mengobjektifkan penilaian (koroborasi).
3. Feedback tertulis dari mahasiswa mengenai dosen berupa kuisioner isian (format kuisioner dibuat
oleh BAAK UMN) dilampirkan beberapa. Hasilnya mayoritas “memuaskan” (skala 2.80 – 3.40)
4. Masih ada beberapa aplikasi lainnya dari metode PBIR, seperti pembuatan video (stop motion,
animasi maupun live) yang didahului dengan riset kecil serta turun ke lapangan (contohnya untuk
Nasional dan Multilkulturalisme), namun itu tidak dielaborasi di sini karena keterbatasan ruang
penyampaian dan pemfokusan pembahasan.
Simpulan
Dari feedback lisan maupun tertulis yang disampaikan mahasiswa kepada penulis, sebagian
besar dari mereka merasa terkesan dan bersemangat mengikuti Mata Kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan. Artikel ini, meskipun tidak memerinci langkah demi langkah pengajaran
Pancasila yang menggunakan metode PBIR, diharapkan sudah memberikan gambaran awal soal
pentingnya metode PBIR ini. Bukan hanya membuat suasana pembelajaran di ruang kelas menjadi
lebih hidup dan bergairah, namun juga, dalam jangka panjang, kesan tentang Pancasila (proses,
tokoh, peristiwa, filsafatnya) menjadi lebih positif dan melekat di sanubari siswa didik. Pada
gilirannya nanti, ketika ditanya orang asing dan orang yang “mengasingkan serta mencemooh”
Pancasila, mereka dapat dengan bangga dan percaya diri dapat menjelaskan bahwa upaya mengenali
dan mencintai Pancasila tidaklah semembosankan dan se-indoktrinatif seperti yang awalnya mereka
sangka. Bukankah tidak ada satu usaha pun yang mudah untuk mendapatkan serta berbagi cinta yang
sejati dan mendalam?
Jika saja imajinasi diberikan ruang yang lebih luas dan intensif dalam pengajaran dan
pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan, mungkin saja kita tidak perlu terlalu khawatir
“Pancasila dibahas dalam ruang-ruang sempit dan pengap ... penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran ... (mengalami) existential vacuum, (bahkan) masuk angin dan merana.” (Bagun,
2010: xviii)
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. [1983] 1996. Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of
Nationalism. New York dan London: Verso.
A.Sudiarja, G. Budi Subanar, St. Sunardi dan T. Sarkim. Tim Penyunting. 2006. Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Auxier, Randall E. 1997. "Imagination and Historical Knowledge in Vico: A Critique of Leon
Pompa’s Recent Work" dalam HUMANITAS, X (1). (bisa diakses di http://www.nhinet.org/auxier2.htm)
Azra, Azyumardi. 2010. “Revisitasi Pancasila” dalam Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku
Bagun, Rikard. 2010. “Pancasila Janganlah Diabaikan” dalam Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xvii – xx.
Berlin, Isaiah. 1976. Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas. London: The Hogarth
Press.
---. 2002. The Power of Ideas. Princeton: Princeton University Press.
Caponigri, A. R. 1968. Time and Idea: The Theory of History in Giambattista Vico. Notre Dame:
University of Notre Dame Press.
Kresna, Aryaning Arya, dkk. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan (Civics). Tangerang: UMN Press.
Tjaya, Thomas Hidya. 2005. “Hermeneutika Tradisi dan Kebenaran” dalam Tjaya, T. H. dan
Sudarminta, J. Menggagas Manusia sebagai Penafsir. Jogjakarta: Kanisius, hlm. 59 – 83.
Vico, Giambattista. [1744] 1948. The New Science (Nuova Scienza). Diterjemahkan dari edisi ketiga
(1744) oleh Thomas Goddard Bergin dan Max Harold Fisch. Ithaca, New York: Cornell
University Press.