• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam d"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Kebijakan pengelolan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia masih jauh dari amanat konstitusi yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sistem ekonomi-politik neoliberal kapitalistik yang diakomodasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakannya telah menempatkan sumberdaya alam hanya sebatas komoditi yang diorientasikan untuk memenuhi kepentingan pasar. Kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, ketimpangan penguasaan akses dan kontrol, ketidakadilan dan bahkan lebih jauh telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang berakibat pada bencana ekologis dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan mereka.

(2)

PENDAHULUAN

Sumberdaya alam berlimpah yang tidak diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat menjadikan negeri kaya raya bernama Indonesia, dieksploitasi untuk kepentingan negara industri maju dan kuasa modal di Indonesia. Seakan menjadi kutukan bagi rakyatnya sendiri, sampai dengan tahun 2010 masih terdapat sekitar 31,6 juta jiwa rakyat negara ini yang terperosok kedalam lubang kemiskinan yang paling dalam. Jutaan keluarga tidak mendapatkan akses air bersih, seiring dengan makin menipisnya daerah resapan air, berkurangnya jumlah DAS, dan pengelolaan sumber daya air yang buruk. Dan masih jutaan anak yang tidak mendapatkan pendidikan, serta tidak tersedianya layanan kesehatan yang mumpuni dan layak bagi publik.

Eksploitasi terhadap hutan, bahan tambang, migas, perampasan tanah (landgrabing) dan sumberdaya alam lainnya telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang berakibat pada bencana ekologis dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan.

Untuk itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan lain, selain memulihkan Indonesia. Agar tujuan bernegara dan berbangsa sebagaimana yang termaktub dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat segera terwujud.

Tujuan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lain adalah menuju Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Merdeka dan berdaulat secara politik untuk menentukan arah Negara Bangsa. Merdeka secara ekonomi yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Merdeka secara sosial dan budaya agar memiliki identitas dan jatidiri dan mampu memberikan ruang sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Agar ini tercapai maka dibutuhkan i’tikad politik yang meniadakan monopoli dan pengusaan besar-besaran sumberdaya alam oleh swasta dan asing, sehingga kesejahteraan benar-benar untuk publik.

(3)

rakyat telah gagal dicapai. Konsep bernegara yang berfungsi sebagai pengatur dan pelayan rakyatnya, justru hanya melayani kepentingan elit kuasa dan para pemodal. Re-publika (Indonesia) telah digantikan dengan Re-privata (swasta). Dan Indonesia pun kembali terjajah.

Penjajah telah berganti wajah, berganti metode, bentuk dan gaya. Penjajah bukan lagi representasi satu negara akan tetapi terakomodasi dalam berbagai lembaga, seperti WTO, World Bank, ADB, yang dibungkus lewat berbagai perjanjian perdagangan seperti CAFTA, G20 dan lain sebagainya. Dalam berbagai perjanjian tersebut negara-negara Industri tetap mempertahankan supremasinya atas negara bekas koloni. Inilah yang disebut praktik kolonialisme ekonomi pasca perang dingin.

Setelah pecahnya perang dunia kedua, perluasan ekonomi tetap memangsa aset-aset negara bekas jajahan. Dan bahkan semakin kuat mencengkram sendi-sendi aset kehidupan rakyat. Peran negara sebagai pelayan rakyat (re-publika) dipaksa untuk dikurangi dengan berbagai proses ekonomi liberal. Penghapusan subsidi untuk rakyat, melakukan liberalisasi sektor keuangan, melakukan penjualan aset Badan Usaha Milik Negara. Hingga bebasnya perdagangan lintas negara yang menghancurkan usaha kecil rakyat disektor pertanian, peternakan, perikanan dan industri rumah tangga. Menyandarkan pembangunan pada utang luar negeri dan meninggalkan kemampuan mandiri dan berdikari. Indonesia dewasa ini dipaksa menjalankan tiga fungsi yang menopang sendi ekonomi global yakni, sumber daya alam yang berlimpah, buruh murah terpasang, dan pasar bagi produk penjajah.

(4)

Kehancuran lingkungan sudah merata sebarannya di Indonesia. Wujud paling mudah untuk dikenali adalah berbagai bencana ekologis yang terjadi setiap hari di seluruh nusantara, sambung menyambung tanpa jeda. Kondisi ini diperparah dengan situasi geografis Indonesia yang berada di kawasan rentan bencana dan ancaman perubahan iklim.

(5)

SALAH URUS BERUJUNG BENCANA

Dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana (BNPB, 2010). Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran. Kondisi ini di sebut WALHI sebagai “Darurat Ekologis Indonesia”.

Proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat telah mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi. Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial-budaya dan krisis ekologi lahir dari proses demokrasi yang telah dibajak oleh kepentingan elit yang menghamba pada kuasa modal. Krisis ekologi yang terjadi karena negara, pemodal dan sistem pengetahuan modern telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek sehingga pada gilirannya berbagai bencana lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang diderita rakyat dari tahun ke tahun (WALHI, 2004).

Kondisi semacam ini secara langsung menjadi penyebab dari kemiskinan rakyat serta hilangnya kedaulatan dan keadilan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 menyebutkan, bahwa masyarakat miskin di Indonesia sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Penyebab utamanya adalah akses yang terbatas terhadap SDA sebagai sumber mata pencaharian dan penunjang kehidupan sehari-hari. Hal ini diperburuk dengan menurunnya mutu Lingkungan Hidup yang membuat masyarakat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan dan masyarakat miskin semakin rentan untuk lebih terpuruk. Meskipun sangat disayangkan tidak disebutkan peran kuasa modal di dalamnya, yang menjadi penyebab dari adanya ketimpangan akses dan pemanfaatan Sumber Daya Alam di tengah masyarakat.

Masalah akses dan pemanfaatan terhadap Sumber Daya Alam menjadi isu penting dalam kaitannya dengan hak menentukan nasib sendiri terkait dengan pemanfaatannya yang berada dalam teritori suatu bangsa. Artinya, setiap bangsa harus secara bebas menguasai kekayaan alam dan sumber dayanya. Secara yuridis, jaminan suatu negara atas kedaulatan sumber daya alam telah diatur dalam instrumen hukum internasional. Ruang lingkup pengaturannya tidak terbatas hanya pada penguasaan atas sumber daya alam semata, namun meluas terbangunannya tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dan berkesetaraan.

(6)

Penegasan mengani hal ini lebih jauh diatur dalam konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat

2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3:“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dua instrumen yuridis di tingkat internasional maupun nasional, membantu dalam melakukan observasi secara lebih mendalam atas kondisi terkini pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia. Ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan konstitusional bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam. Karena itu sudah selayaknya hal ini menjadi landasan dalam setiap perencanaan kebijakan di bidang lingkungan dan sumber daya alam. Yaitu memastikan peran konstitusional negara dalam menguasai kekayaan alam dengan tujuan menjamin agar kemakmuran rakyat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang perorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang perorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.

Di sisi lain, memburuknya kondisi lingkungan dan kebijakan lingkungan saat ini sangat berpengaruh terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan pendidikan, serta hak asasi lainnya. Kerugian ekologis terjadi akibat dari kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan, privatisasi sumber daya air, pembalakan yang merusak serta praktek penangkapan ikan secara ilegal dan merusak lingkungan. Sumber Daya Alam melimpah yang dimiliki Indonesia telah menggabungkan negeri ini dalam daftar sumber pengerukan dan target penjajahan oleh kapital internasional. Selain mengambil keuntungan dari ekspor bahan mentah dengan harga murah, mereka juga menggunakan kesempatan ini untuk memastikan pembayaran kembali utang-utang pemerintah.

Kondisi demikian jelas bertentangan dengan semangat konstitusi untuk memberikan jaminan terhadap hak atas lingkungan hidup. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) menyebutkan“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan'. Sedangkan Pasal 33 ayat (4) berbunyi 'Perekonomian nasional diselenggarakan

berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

(7)

Sektor Kehutanan

Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi degradasi hutan mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun, lebih cepat dibanding era tahun 1980-an dengan tingkat degradasi 1 juta per tahun. Sampai tahun 2007, terdapat 322 izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan luas 2,78 juta hektar. Sementara, 266 izin HTI dengan luas 10 juta hektar, hanya 3,4 juta hektar yang ditanami, sedangkan sisanya ditelantarkan. Penebangan komersil secara ekspansif untuk konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar yang luasnya mencapai 20 juta hektar lebih, sementara yang sudah ditanami seluas 7,8 juta hektar, ditambah dengan kawasan pertambangan yang juga mengkonversi hutan sehingga semakin didegradasikannya kawasan hutan Indonesia.

Kawasan hutan lindung pun terus mengalami penciutan. Tahun 2004, luas kawasan hutan lindung Indonesia mencapai 55,2 juta hektar. Fakta terkini, Indonesia tinggal memiliki kawasan hutan lindung seluas 39 juta hektar (2009). Terjadi penciutan kawasan hutan lindung seluas 29 % dalam 5 tahun terakhir. Adapun kawasan hutan lindung yang terancam ditambang sejumlah 11,4 juta hektar. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah mengakomodir investasi yang mengorbankan hutan, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Aturan tersebut diantaranya PP No 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutang untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.

Perubahan Iklim

Dalam kebijakan terkait perubahan iklim, pemerintahan belum melakukan tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim, di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat nasional, melalui pembukaan lahan gambut dan perkebunan sawit yang sempat dijadikan ikon energi rendah karbon membuat emisi karbon Indonesia menjadi besar. Di tingkat internasional, Indonesia jauh di belakang negara dunia ketiga lainnya, seperti Bolivia, yang secara keras mengingatkan negara Industri untuk menurunkan emisinya serta membayar hutang ekologis (hutang iklim mereka) kepada dunia dan negara dunia ketiga, bukan melalui metode carbon off-set.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk mereduksi emisi dari sektor energi dan sektor kehutanan (praktek konversi lahan) sebesar 26% pada tahun 2020 sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pertemuan KTT G-20 di Pittsburgh pada bulan September yang lalu hanya akan mempermalukan Indonesia di dalam kancah perundingan terkait dengan perubahan iklim. Karena sebelumnya pada saat pertemuan G-8 di Hokaido Jepang Presiden SBY juga pernah menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan sebesar 50% pada tahun 2009. Tapi sampai dengan hari ini, komitmen tersebut tak lebih dari sekedar cek kosong dalam perubahan iklim.

(8)

61 tahun 2011 ini tidak menjawab bagaimana koordinasi dan penyelarasan program secara lebih konkret baik antar sektor maupun antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sementara disisi lain sebelumnya pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan pembangunan melalui program MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang sudah pasti lapar tanah dan sumberdaya alam yang berpotensi besar merusak lingkungan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat.

Pemerintah tak pernah menunjukkan upaya serius untuk menghentikan laju deforestasi, melainkan terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam, seperti mengeluarkan 20 izin RKT seluas ratusan ribu hektar diatas hutan alam di propinsi Riau pada tahun 2008 untuk mendukung kebutuhan kayu industri bubur kertas.

Pemerintah juga terus akan mengembangkan perkebunan sawit seluas 12,9 juta hektar di 12 wilayah untuk mendukung program biofuel di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 untuk mendukung kebutuhan ekspor sebesar 60% dan sisanya untuk kebutuhan energi, pangan dan lain sebagainya. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua ton CO2(Wetlands International, 2006).

Pertanian, Kemiskinan dan Konflik

Hingga kini kemiskinan di pedesaan dan pertanian juga tidak pernah menjadi perhatian pemerintah sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah 44,3 persen. Namun, mereka hanya menyumbang 15.9 dari PDB Nasional 2008 yang berarti sebagian besar petani hidup dalam kemiskinan. Rata-rata kepemilikan lahan yang dipunyai oleh petani hanya 0.17 hektar lahan/perkapita. Sebagian besar di dalamnya adalah buruh tani yang tidak mempunyai lahan sama sekali (landless). Sementara itu, terdapat 12.418.056 (dua belas juta empat ratus delapan belas ribu lima puluh enam) hektar tanah terlantar (Deptan 2007) tidak pernah diberikan kepada rakyat.

Selain miskin, rakyat setiap hari juga harus berhadapan dengan perampasan tanah. Hingga tahun 2008, tercatat 10,8 juta hektar tanah petani dan masyarakat adat telah dirampas oleh perusahaan yang difasilitasi negara. Ada lebih dari 1,1 juta KK yang menjadi korban. Mayoritas konflik tersebut menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang paling menderita, akibat kerentanan dan kondisi ketidakadilan gender yang selama ini sangat menyolok dalam pengurusan kekayaan alam Indonesia.

(9)

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria, mencatat bahwa hingga tahun 2007 terdapat 1.537 konflik agraria di Indonesia dengan melibatkan 10 juta hektar tanah dan 10 juta penduduk. Sedangkan Sawit Watch, salah satu organisasi yang konsen pada isu perkebunan sawit dan HAM mencatat sampai untuk tahun 2007 terdapat 514 kasus yang terjadi di 14 propinsi, melibatkan rakyat, serta 141 perusahaan sawit, dari 23 group usaha dan pemerintah.

Data konflik LH dan PSDA ini hanya yang muncul di permukaan. Sebab, BPN Pusat hingga tahun 2007 mencatat tanah sengketa yang telah lama umurnya berjumlah 7.491 kasus. Penyelesaianya baru diselesaikan 591 kasus pada tahun 2007, dan 1.600 kasus pada tahun 2008. Dalam beragam konflik SDA dan agraria ini, persoalan administratif penguasaan atas tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) menjadi salah satu pokok soalnya.

Lingkungan Hidup, Utang dan Korupsi

Merujuk laporan Koalisi Anti Utang, hingga Juli 2009, untuk outstanding Surat Utang Luar Negeri (SUN) saja sudah hampir menyentuh angka Rp 900 triliun. Kenaikan jumlah utang luar negeri terus meningkat setiap tahun dan membebaniAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai ilustrasi, hingga akhir Juli 2008, total utang negara sudah mencapai sebesar Rp 1.462 triliun. Jumlah itu hampir mencapai angka 2 kali lipat APBN 2007. Hampir separuh utang luar negeri, atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka tersebut, 40 persen adalah utang dari Jepang.

Secara nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebesar Rp 194 triliun.

Selama ini utang luar negeri yang sangat besar tersebut tidak digunakan untuk rakyat, tetapi menjadi sumber bagi pembiayaan kepentingan modal dan investasi besar. Investasi dengan modal besar ini, secara eksploitatif semakin menurunkan kualitas dan daya dukung lingkungan. Di satu sisi, negara dengan menggunakan pajak rakyat, harus membayar bunga dan cicilan hutang pokok dalam jumlah yang sangat besar.

Untuk tahun anggaran 2008-2009 pembayaran cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp. 495,69 triliun atau setara dengan 58 persen pendapatan negara, atau menghabiskan 75 persen pendapatan pajak dalam APBN 2009.

Hingga Agustus 2009, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 1.6000 trilun (kurs 11.000/US$). Angka ini, menjadikan setidaknya setiap jiwa rakyat Indonesia hari ini harus menanggung beban utang sebesar Rp 8 juta!

(10)

Privatisasi Yang Melumasi Krisis Ekologis

Pemerintah juga terus melakukan privatisasi dan swastanisasi aset-aset strategis publik, seperti BUMN, industri migas, perusahaan listrik negara, perbankan nasional dan lain sebagainya. Sedikitnya 34 BUMN strategis hendak dijual oleh pemerintah kepada pihak swasta (mayoritas asing) melalui Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan dengan Keppres 18 tahun 2006. Privatisasi ini mendorong semakin meningkatnya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam di Indonesia, dimana beberapa diantaranya mengelola sektor sumber daya air, mineral, energi, perkebunan dan kehutanan. Penyerahan BUMN strategis bidang SDA kepada mekanisme pasar bebas ini juga secara ekonomik melumasi bencana ekologis. Akses dan kontrol negara dan rakyat atas LH dan PSDA berpindah ke tangan modal swasta.

Sektoralisme, Pemasalahan Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Sektoralisme dalam pengelolaan sumber daya alam telah berjalan selama puluhan tahun, dimulai dengan dibukanya keran penanaman modal asing di masa Orde Baru. UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang ternyata keluar lebih dahulu daripada UU No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, segera disusul oleh UU No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Kebijakan ini melancarkan datangnya PT. Freeport ke Indonesia, yang kemudian terus menerus diperpanjang kontraknya sejak 1967 hingga 2041. Selama itu pula, hingga kini tidak ada suatu kesatuan pandangan tentang pengelolaan sumber daya alam. Bahkan sebuah kebijakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam (Ketetapan MPR No.IX Tahun 2001) yang belakangan lahir atas kesadaran adanya ketidaksinkronan berbagai kebijakan sektoral dan ketimpangan dalam pengelolaannya menjadi mandul karena tidak pernah dijalankan oleh pemerintah dan DPR.

Faktanya kini, 10 tahun sejak Tap MPR tersebut lahir, kebijakan agraria dan sumber daya alam yang ada tetap bersifat sektoral dan kadang saling bertentangan. Ketiadaan aturan yang general tentang sumber daya alam pun menyulitkan dalam UU lainnya misalnya saja, UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan sebuah PP tentang “penatagunaan sumber daya alam lainnya” padahal pengertian “sumber daya alam lainnya” tersebut tidak pernah dijelaskan sebelumnya, dan tidak ada UU lain yang dapat dijadikan pedoman.

(11)

Dari segi visi misi kebijakan, Maria S. Soemardjono dkk. membuat penilaian sebagai berikut terhadap berbagai kebijakan terkait penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam:

Kebijakan Visi Misi

Sumberdaya Air Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial, dan ada kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan ketersediaan

modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen usaha yang ahli.

UU 31/2004 tentang

Perikanan Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil.

(12)

Selain itu kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga menyumbang kesemrawutan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan daerah, antar daerah dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat, apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2010 saja, WALHI telah melaporkan sejumlah dugaan korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur; serta kasus dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Dukungan pemerintah terhadap keamanan berusaha bagi korporasi juga diwujudkan dalam dirumuskannya pasal-pasal kriminalisasi bagi pihak-pihak yang dianggap “menganggu”. Hal ini tercermin dalam berbagai UU, mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta baru-baru ini yaitu UU Perumahan dan Permukiman yang mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap menghalangi relokasi (baca: penggusuran).

Hal ini kemudian berdampak pada banyaknya kasus masyarakat yang dikriminalisasi saat berhadapan dengan korporasi dalam mempertahankan ruang hidup dan lingkungannya. Kriminalisasi ini seringkali justru memperuncing konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan yang mungkin telah terjadi bertahun-tahun. Begitu banyaknya warga masyarakat yang dikriminalisasi, bahkan mengalami kekerasan hingga tewas karena dianggap menghalang-halangi kegiatan pengusaha, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Sementara pengusaha yang dilaporkan oleh warga masyarakat karena perampasan lahan dan wilayah adat tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Meskipun ada kasus misalnya penetapan pengusaha sawit Murad Husein sebagai tersangka perampasan lahan di Banggai pada Maret 2010, hingga kini yang bersangkutan masih bebas dan kasusnya belum ditindaklanjuti. Sementara 17 warga dan aktivis saat ini mendekam di tahanan karena berdemonstrasi dan dituduh merusak fasilitas kantor perusahaan milik Murad Husein.

Di lain pihak, penegakan hukum untuk tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi masih sangat lemah. Untuk pencemaran saja, Walhi mencatat ada 75 kasus sepanjang 2010, sementara pengaduan yang masuk ke Kementrian Lingkungan Hidup mencapai 200 kasus. Akan tetapi Mabes Polri dalam setengah tahun pertama 2010 hanya menangani 13 kasus tindak pidana lingkungan dengan 6 tersangka, sementara di tahun 2009 total hanya 17 kasus dengan 10 tersangka. Karena nya masih banyak kasus yang belum tersentuh hukum. Sementara di tingkatan pengadilan, Kementrian Lingkungan Hidup mencatat hanya 20 kasus dengan 5 kasus divonis penjara, 1 kasus divonis pidana percobaan, sementara terpidana dalam 14 kasus lainnya dinyatakan bebas murni.

(13)

semburan lumpur dengan bencana gempa di Yogyakarta. Meskipun ada sejumlah ahli yang membantah argument tersebut, proses hukum baik pidana maupun perdata (diajukan oleh Walhi dan YLBHI secara terpisah) tetap tidak dapat membuat PT. Lapindo Brantas bertanggungjawab. Bahkan hingga kini, negara yang harus menanggung akibatnya dan telah lebih dari Rp.4 trilyun dana APBN dikucurkan hingga kini.

Untuk kejahatan kehutanan seperti pembalakan dan penyelundupan hidupan liar yang mendapat perhatian dan dukungan pembiayaan yang signifikan dari luar negeri, berbagai upaya dukungan dilakukan bahkan RUU Pembalakan Liar menganggap bahwa kejahatan ini sama seriusnya dengan terorisme, karenanya penegakannya dapat menyimpang dari ketentuan KUHAP. Padahal, lagi-lagi yang akan dikriminalisasi dengan UU ini nantinya adalah masyarakat perambah yang hidupnya tergantung dari hutan, sementara perusahaan pembalakan kayu skala besar yang jauh lebih merusak dapat melenggang bebas selama mengantongi izin dari pemerintah.

Di sisi lain, penyidikan untuk tindak pidana impor limbah B3 dalam UU PPLH yang sebagaimana bunyinya pasti melibatkan dua negara, ternyata tidak dianggap sebagai kejahatan transnasional. Polairud Mabes Polri mengakui bahwa mereka tidak dapat menjangkau pengimpor limbah di luar negeri karena keterbatasan dana, sehingga selama ini yang dari sekian banyak kasus yang ditangani keseluruhannya hanya penerima (perusahaan di Indonesia) yang dijadikan tersangka dan hampir semuanya bebas. Lebih lanjut, peraturan pelaksana UU PPLH tentang pengelolaan limbah B3 hingga kini juga tidak kunjung disahkan, sehingga mempersulit penegakan hukumnya.

UU PPLH menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana UU tersebut akan selesai dalam waktu setahun (Oktober 2010 yang lalu). Belum disahkannya satupun peraturan pelaksana tersebut menunjukkan ketidakseriusan KLH dalam mempersiapkan perangkat penegakan hukum lingkungan. Saat ini memang sejumlah RPP sedang dibahas akan tetapi prosesnya kurang partisipatif dimana pembahasannya cenderung tertutup untuk RPP tertentu. Adapula kecurigaan bahwa ada proses ‘penghalusan’ ketentuan dalam UU PPLH yang selama ini dianggap sangat keras, untuk dapat menjamin keberlangsungan dan dukungan dunia usaha serta institusi pemerintah yang erat dengan eksploitasi sumber daya alam seperti Kementrian ESDM, dapat terlihat misalnya dalam draf RPP Perizinan Lingkungan yang telah dikonsultasikan ke publik.

(14)

Kebijakan ‘payung” untuk pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam masih merupakan sesuatu yang dicita-citakan untuk mengatasi tumpang tindih dan ketidaksinkronan kebijakan. Ini merupakan tantangan bagi gerakan lingkungan dan agraria untuk terus menerus memperjuangkannya, ditengah ego sektoral dari berbagai kementrian di pemerintah. Tentunya proses panjang ini harus dibarengi dengan kesiapan komitmen, substansi dan sumber daya yang memadai.

Sementara itu, legislasi berbagai kebijakan sektoral yang masih berlangsung saat ini tetap tidak dapat diabaikan. RUU tentang Perubahan UU Migas, RUU tentang Perubahan UU Pangan, RUU Pemberantasan Pembalakan Liar dan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan adalah sebagian dari sekian banyaknya RUU prioritas Prolegnas 2011 yang penting untuk dipantau substansinya. Selain itu karena harapan penegakan hukum lingkungan banyak digantungkan pada UU PPLH, penting bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam pembahasan berbagai rancangan peraturan pelaksanaannya. Bagi pemerintah khususnya KLH, dibutuhkan percepatan pembahasan tanpa mengabaikan substansinya demi kepastian hukum dan penegakannya.

Restorasi Ekologis

Kunci “Pemulihan Indonesia” adalah restorasi ekologis. Restorasi Ekologis adalah tindakan sistematis untuk memulihkan dan melindungi kondisi ekologis, sosial dan budaya kawasan dengan menjamin akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupan yang adil dan lestari.

Program Restorasi Ekologis harus didasarkan pada asas kerakyatan, keadilan antar dan intra generasi, kepastian hukum, keberlanjutan, partisipasi, transparansi, akuntablitas, serta penghormatan pada nilai hak asasi manusia. Di samping itu, memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokratisasi pengelolaan SDA yang tercermin dalam pengaturan hak dan peran serta masyarakat yang hakiki dan terperinci dengan menjabarkan prinsip: keadilan gender, akses atas informasi, perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat dan sistem nilai masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA.

Restorasi Ekologis menentang pola pembangunan dan pengurusan SDA yang bercorak eksploitatif, ekspansif, berorientasi pasar, mengabaikan keselamatan dan peningkatan produktifitas rakyat, serta keberlanjutan jasa pelayanan alam.

(15)

pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH), rasa aman dan perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Untuk itu, pelaksanaan agenda Restorasi Ekologis harus dilaksanakan secara terintegrasi dalam seluruh sektor dan wilayah. Prinsip-prinsip Restorasi Ekologis juga harus digunakan sebagai prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah Indonesia (RPJP dan RPJM).

Sasaran utama dari pelaksanaan agenda Restorasi Ekologis adalah mengembalikan fungsi utama lingkungan hidup dan PSDA sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat. Selain itu, dimaksudkan untuk melindungi kekayaan alam yang tersisa dari tindakan produksi, konsumsi dan tata kelola yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.

Apa yang harus dipulihkan

Indonesia yang sekarang ini penuh dengan carut marut pengelolaan memerlukan perubahan yang menyeluruh untuk dapat membalikan krisis menjadi republik yang mampu mengayomi dan melakukan manajerial atas sumber-sumber kehidupan guna keberlanjutan rakyat dan negara. Sektor-sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat seperti jaminan keselamatan atas air, tanah, pesisir dan laut serta udara yang bersih harus menjadi skala prioritas untuk diselamatkan.

Negara yang mandat pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah harus menunjukan niat baik dan melakukan tindakan-tindakan yang mengutamakan keselamatan rakyat dengan melakukan penyelamatan terhadap sumber-sumber kehidupan. Pemerintah mulai dari struktur tertinggi sampai dengan lini terbawah harus mempunyai kesamaan pandang berupa pengarusutamaan dan memberikan jaminan bagi rakyat dalam melakukan tindakan dalam rangka pemebuhan kebutuhan serta membebaskan rakyat dari ancaman-ancaman pengusuran basis-basis ekonomi rakyat mulai dari cara yang paling visual berupa penggusuran secara langsung sampai dengan tindakan penipuan dengan dalih kemakmuran seperti yang selama ini terjadi.

(16)

selaku pemilik negara. Pembangunan yang bersandar kepada hutang luar negeri yang sarat dengan intervensi politik penguasaan sumber daya alam harus di hapuskan dan mewajibakan kepada pemodal-pemodal yang selama ini melakukan pengrusakan teradap sumber-sumber kehidupan rakyat untuk bertanggungjawab dengan membayar hutang ekologis atas tindakan-tindakan yang sudah dilaksanakan.

Rakyat harus mendapatkan informasi utuh dari setiap konsep pembangunan. Informasi yang bermuara kepada penyesatan dan membuat rakyat memberikan dukungan terhadap kepentingan segelintir kelompok yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Rakyat harus mendedikasikan dirinya sebagai organ utama dalam setiap kepentingan bernegara. Undang-undang keterbukaan informasi harus di jalankan secara konsisten dan sampai kepada tingkat basis di mana kantong-kantong massa rakyat berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan.

Untuk itu rakyat harus:

a. Membangun massa kritis.

Massa kritis harus dibentuk dan diciptakan. Kondisi rakyat yang selama ini dipermainkan oleh kelompok elite politik, pemangku modal dan kelompok-kelompok yang bermental kleptokrasi. Harus segera di akhiri. Massa kritis akan menjadi ujung tombak dari setiap perubahan yang akan dilaksanakan dengan membangun ruang seluas-luas bagi rakyat dalam membangun gerakan rakyat guna menyelamatkan sumbers-sumber kehidupan.

Pembentukan massa kritis harus berdasarkan pendidikan kritis yang diajarkan kepada rakyat. Karena Pendidikan kritis tidak bisa lepas dari gerakan pembebasan, bahkan pendidikan kritis bisa disebut sebagai langkah lanjutan dari tahapan gerakan pembebasan. Kata “pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang memiliki kontek makna dari satu formasi sosial ke formasi sosial lainnya. Sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidak adilan di zamannya

(17)

1. Perlunya beberapa contoh konkrit sebagai bahan pelatihan pada tingkat bawah, yakni mengupas problem dan isu yang khusus.

2. Perlunya merajut seluruh problem dan isu tersebut sehingga merentangkan seluruh persoalan yang dihadapi komunitas.

3. Perlunya komunikasi pada tingkat nasional untuk dapat memperkuat posisi tawar rakyat terhadap pemerintah. Bangunan negara harus dipahami rakyat dalam memperjelas ketimpangan hubungan antara negara dan rakyat.

b. Menjaga sumber-sumber kehidupan di masing-masing wilayah dari ancaman kejahatan korporasi.

Rakyat harus mengetahui secara detail tentang apa saja potensi yang ada diwilayah mereka serta ancaman atas kondisi wilayah yang mereka miliki. Pengetahuan yang utuh atas kondisi lingkungan serta dampak yang terjadi serta potensi ancaman kerusakan lingkungan jika potensi itu di ekploitasi akan membuat rakyat dengan kekuatan massa kritis ini akan mempertahankan kawasan ekologi guna menjaga stabilitas lingkungan buat mereka.

Untuk dapat menjaga sumber-sumber kehidupan tersebut. Maka rakyat didorong untuk berorganisasi, bersyarekat agar menjadi kesatuan yang kuat.

c. Membangun perlawanan terhadap tindak kejahatan lingkungan

Perlawanan secara langsung di lakukan dengan cara melakukan penolakan penggunaan terhadap hasil-hasil produksi yang dihasilkan dari pengerukan sumber daya alam dengan mengorbankan keselamatan lingkungan di Indonesia. Perlawanan ini dilakukan dengan cara:

1. Memboikot hasil produksi - produksi dari perusahaan yang terbukti terlibat dalam mengorbankan lingkungan dan hak-hak rakyat.

2. melakukan tindakan pengawasan dari setiap regulasi yang akan dikeluarkan oleh negara dalam rangka menjamin berlangsungnya proses ekstraksi destruksi sumber daya

3. melakukan blokade terhadap semua aktivitas industri ekstraktif baik yang sedang beraktivitas maupun baru mau akan beroperasi.

(18)

Prinsip-prinsip Pemulihan

Prinsip-prinsip pemulihan Indonesia, tidak terlepas dari prinsis-prinsip restorasi ekologis, yakni didasarkan pada asas :

1. Pengelolaan SDA dan LH dengan pendekatan bioregional 2. Kerakyatan

3. Keadilan Antar dan Intra Generasi 4. Kepastian Hukum

5. Keberlanjutan 6. Partisipasi 7. Transparansi 8. Akuntabilitas

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam lapisan batu pasir ini terdapat klasta batu lumpur berbentuk bersegi, bersaiz 5 hingga 15 cm dan tertabur secara rawak terutamanya di bahagian bawah lapisan batu

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, kelayakan produk diperoleh dengan data yang dijaring menggunakan penilaian responden (ahli materi matematika anak usia

Penyusunan Rencana Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung Tahun 2021 mengacu pada kerangka arahan yang dirumuskan dalam Rencana Kerja

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas diketahui bahwa, peningkatan loyalitas konsumen pada jasa layanan Natasha Skin Care dapat dilakukan dengan meningkatkan

dilakukan untuk meminimasi waktu tunggu dan keterlambatan kapal selama proses pemuatan semen pada pelabuhan muat Teluk Bayur maka diperoleh kesimpulan

Peningkatan konsentrasi media limbah cair tahu kultur mikroalga akan meningkatkan aktivitas kerja dari enzim Asetil CoA karboksilase merupakan prekusor bagi

Penelitian ini diawali dengan menentukan kardinalitas pada graf hasil operasi comb sisi dan menentukan power domination number dari graf hasil operasi comb sisi, serta