• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERIKANAN INTERNASIONAL DAN PENGARUHNYA. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERIKANAN INTERNASIONAL DAN PENGARUHNYA. doc"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERIKANAN INTERNASIONAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP

HUKUM PERIKANAN INDONESIA

1. Pendahuluan

Arti penting perikanan sebagai salah satu sumber pangan dunia tidak diragukan lagi. FAO dalam laporannya "The State of World Fisheries and Aqua-culture 2012"

mendorong negara-negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan dunia secara berkelanjutan agar mampu menopang pemenuhan kebutuhan pangan jutaan warga dunia. Kegagalan dalam upaya tersebut dipastikan akan membawa dampak lingkungan dan sosial ekonomi yang sangat besar. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa tahun 2011 produksi perikanan dunia mencapai 128 juta ton dan menjadi sumber income bagi 55 juta penduduk.1

Tantangan terbesar dalam pengelolaan perikanan dunia adalah terjadinya penurunan kemampuan sumber daya perikanan secara global. Kalau melihat sejarahnya, overexploitation sumber daya ikan sebenarnya bukan hal yang baru. Tercatat sejak tahun 1800 kasus overfishing telah mengemukan ketika populasi paus mengalami penurunan yang tajam akibat ekspoi/0tasi jenis ini sebagai sumber utama pembuatan lampu minyak (lamp oil).2

Tiga dekade setelah perang dunia kedua merupakan periode dimana terjadi peningkatan upaya penangkapan (fishing effort) yang luar biasa yang berakibat pada penurunan stok ikan yang cukup tajam, khususnya untuk jenis Pelagis Kecil. Mulai tahun 1950an perikanan kemudian memasuki masa industrialisasi. Periode ini ditandai dengan mulai digunakannya teknologi penangkapan berupa onboard refrigeration, acoustic fish-finders, sonar, dan GPS sehingga penangkapan ikan dilakukan secara lebih masal. Pada sisi lain, pada periode tersebut data penangkapan ikan tidak terlaporkan dengan baik, bukti-bukti ilmiah sering diabaikan, dan pertimbangan aspek kelestarian sumberdaya belum menjadi perhatian. Akibatnya, pada periode ini stok ikan dunia mengalami penurunan yang begitu drastis.3

Kesadaran global mulai disuarakan masyarakat internasional pada berbagai fora pada akhir 1970an. Konsep regionalisasi wilayah laut, khususnya laut lepas4, merupakan

salah satu konsep yang digulirkan sebagai upaya untuk penguatan kerangkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.5 Konsep regionalisasi ini kemudian diadopsi

1 Food and Agriculture Organization, The State of World Fisheries and Aqua-culture 2012.

2"Overfishing", National Geographic. 7 Maret 2013. <http://ocean.nationalgeographic.com/

ocean/critical-issues-overfishing>

3 Paully, D., Beyond duplicity and ignorance in global fisheries, Global Fishing Crisis, 2009.

http://www.seaaroundus.org/researcher/dpauly/PDF/2011/Other %20Items/BeyondDuplicityandIgnoranceinGlobalFisheries.pdf

4 Meski UNCLOS 1982 mengakui rezim kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas) sebagai

perwujudan doktrin “mare liberium”, namum laut lepas juga menjadi objek pengaturan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan. UNCLOS 1982 meminta negara-negara untuk mengatur dan bekerja sama secara global, regional, dan subregional, pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas (Pasal 118 UNCLOS 1982).

5 Menurut Lewis Alexander, kompleksitas pengelolaan laut menyebabkan kerangka pengelolaan secara

(2)

dalam UNCLOS 1982 dimana dalam pengelolaan jenis ikan yang beruaya jauh dan jenis ikan beruaya terbatas dikelola melalui suatu organisasi regional.6

Perkembangan penting lainnya adalah pada tahun 1990an dimana pada periode tersebut berbagai instrumen hukum internasional dan lembaga perikanan regional dibentuk. Instrumen hukum internasional yang lahir pada periode itu adalah FAO Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement 1995, CCRF 1995, dan IPOA. Compliance Agreement 1993 secara tegas menekankan perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk mendorong pentaatan di laut lepas, sementara

Fish Stock Agreement 1995 mengatur bahwa untuk pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus dilakukan melalui organisasi regional atau subregional. Bahkan apabila dalam hal suatu organisasi regional belum dapat dibentuk, untuk persesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan, negara-negara di kawasan tersebut berkewajiban untuk membuat pengaturan-pengaturan tambahan yang bersifat praktis7.

Meskipun organisasi perikanan regional telah dibentuk sejak tahun 1948, nyatanya pembentukan organisasi perikanan regional ini mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1990an, pasca lahirnya Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement 1995, CCRF 1995, dan IPOA. Saat ini, hampir seluruh wilayah laut lepas dan jenis ikan yang ada, telah dikelola oleh organisasi-organisasi regional.

Kerangka pengaturan sebagaimana diuraikan di atas, telah mendorong -kalau tidak dikatan memaksa- setiap negara untuk terlibat dalam kerjasama pengelolaan dan konservasi regional, atau paling tidak untuk tunduk pada pengaturan-pengaturan yang keluarkan organisasi-organisasi tersebut. Pengaturan tersebut tidak saja menyangkut pengelolaan dan konservasi wilayah laut lepas, tapi juga wilayah yang berada dalam yurisdiksi nasional yang berbatasan dengan laut lepas. Dengan demikian, negara-negara selain didorong untuk menaati pengaturan regional, pada saat yang sama juga dituntut untuk menyelaraskan pengaturan nasionalnya sesuai dengan pengaturan regional tersebut.

Yang menarik dari kerangka pengaturan dan kerja sama tersebut adalah adanya kewajiban yang “sama” bagi negara bukan anggota organisasi atau pengaturan regional. Dalam Pasal 17 ayat (1) Fish Stock Agreement 1995 secara tegas dinyatakan:Suatu negara yang bukan merupakan anggota pada suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional atau tidak menjadi peserta pada suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerja sama,…”.

Kerangka pengaturan demikian tampaknya merupakan perkembangan baru dalam hukum internasional karena menurut doktrim hukum internasional berlaku asas pacta sunt servanda dimana suatu perjanjian hanya mengikat negara yang menyepakatinya. Hal ini membawa konsekwensi tersendiri bagi negara-negara, baik yang menjadi anggota ataupun yang bukan anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional mereka.

mudah dikenali, sehingga memudahkan dalam perumusan sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Lewis Alexander, “Regionalism at Sea: Concept and Reality” dalam Douglas M. Jhonson, Regionalization of the Law of The Sea, Law of the Sea, Institute Eleven Annual Conference, November 14-17, 1977, hal.3.

6 Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982.

(3)

Tulisan ini akan mencoba mengangkat permasalahan terkait dengan konsekwensi dari pengaturan perikanan global terhadap peraturan nasional Indonesia, khususnya pengaturan perikanan yang dibuat oleh organisasi pengelolaan perikanan regional dimana Indonesia menjadi pihak di dalamnya.

2. Tata Kelola Perikanan Global

Kesadaran perlunya pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan diatur dalam UNCLOS 1982. Salah satu keberhasilan utama dari UNCLOS adalah penambahan lebar Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil laut dari garis pantai, dimana negara pantai hak eksklusif dan penegakan hukum lingkungan. Namun demikian UNCLOS tidak memberikan pengaturan yang cukup berkaitan dengan pengelolaan dan proteksi sumberdaya hayati di laut lepas, dimana 10 persen jenis ikan komersial ditemukan.8

Pembahasan tentang kerjasama pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan dalam UNCLOS 1982 diatur dalam Bab V tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) khususnya Pasal 61 sampai dengan Pasal 67. Pasal 61 ayat 2 UNCLOS secara jelas mengamanatkan adanya kerjasama diantara negara pantai dan organisasi internasional untuk melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi perikanan berdasarkan bukti ilmiah yang terbaik (best scientific evidence).9

Lebih lanjut Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS memberikan pengaturan tentang sediaan jenis ikan yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya, dan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species).10

Kedua pasal tersebut menekankan adanya organisasi baik sub-regional, regional, dan global untuk menjamin tindakan yang perlu bagi kegiatan konservasi dan pengelolaan kedua jenis ikan tersebut.11

8 Patricia Lee Devaney, Regional Fisheries Management Organization: Bringing Order to Disorder,

http:// www.pon.org/downloads/ien14_4Devaney.pdf, diunduh tanggal 1 Maret 2010. Hlm. 4

9 Pasal 61 ayat 2 UNCLOS menyatakan bahwa: “Coastal state, taking into account the best scientific

evidence available to it, shal ensur trough proper conservation and management measures that the maintenance of the living resources in the exclusive economic zone is endangered by over exploitation. As appropriate , the coastal state and competent international organizations, whether subregional, regional, and global, shall cooperate to this end.” Pasal ini juga memberikan gambaran tentang keberadaan suatu organisasi baik sub-regional , sub-regional, dan global dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan perikanan

10 Istilah sediaan jenis ikan yang terdapat terdapat di ZEE dua negara pantai atau lebih atau baik di

dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya, dan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) dalam UNIA 1995 diubah menjadi lebih spesifik menjadi Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish Stocks) dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks). Penggunaan kata beruaya secara resmi digunakan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Fish Stock Agreement 1995.

11 Pasal 64 bahkan secara jelas menyatakan bahwa bahwa dalam hal tidak terdapat organisasi

(4)

Pada Bab VII UNCLOS 198212 terutama pada Bagian 2 tentang Konservasi dan

Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, diatur bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan ikan di laut lepas dengan tunduk pada antara lain hak dan kewajiban yang ditentukan sebagaimana diatur dalam Bab mengenai ZEE.13 Bagian ini juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam

konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di laut lepas sebagaimana yang tertuang pada Pasal 117 dan Pasal 118.14

UNCLOS 1982 juga mengatur pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan pada Bab IX yang mengatur tentang Laut Tertutup atau Setengah Tertutup. Pasal ini juga mengamanatkan adanya suatu kerjasama regional dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan.

Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan yang diatur dalam UNCLOS 1982 kemudian diikuti dengan diadopsinya beberapa ketentuan hukum internasional antara lain:15

Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993);Agreement for the Implementation of the provision of the UNCLOS of 19 December

1982 relating to Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stock 1995 (Fish Stock Agreement 1995);

The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995); dan

International Plan of Action (IPOA) dari FAO yang meliputi IPOA for Management of Fishing Capacity, IPOA for Conservation and Management of Shark, IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-Line Fisheries, dan IPOA for Illegal, Unreported and Unregulated Fishing.

Compliance Agreement 1993 menekankan pada perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk mendorong pentaatan di laut lepas. Para pihak diwajibkan untuk bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam

12 Pemanfaatan di perairan laut lepas oleh suatu negara pantai atau tidak berpantai didasarkan pada asas

kekebasan di laut lepas sebagaimana yang diakui dalam UNCLOS 1982. Prinsip kekebasan di laut lepas menurut Pasal 87 UNCLOS, utamanya kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing).

13 Pasal 116 UNCLOS menyatakan bahwa “All states have the right for they nationals to engage in

fishing on the high seas subject to: (a). Their treaty obligations;

(b). The rights and duties as well as te interest of coastal states provided for, inter alia, in article 63, paragraph 2 and articles 64 to 67; and

(c). The provinsion on this section.”

14 Pasal 117 mengamanatkan tindakan dan kerjasama untuk kegiatan konservasi sumber kekayaan di

laut lepas. Lebih jauh secara tegas Pasal 118 secara tegas mengamanatkan pembentuka organisasi perikanan sub-regional atau regional tersebut dengan menyebutkan bahwa, “States shall co-operate with each other in the conservation and management of living resources in the areas of the high seas. States whose nationals exploit identical living resources, or different living resources in the same area, shal enter into negotiations with a view to taking the measures necessary for the conservation of living resources concerned. They shall as appropriate, ccoperate to establish sub regional or regional fisheries organizations to this end”.

15 Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, dalam

(5)

penerapan Persetujuan ini secara efektif.16 Sementara itu, Fish Stock Agreement 1995

menguatkan kembali mandat dalam UNCLOS 1982 dengan menegaskaan bahwa sumber daya ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus dikelola melalui organisasi regional atau subregional. Dalam hal ini, organisasi regional memegang peran sangat sentral dalam implementasi Fish Stock Agreement, dan menjadi mekanisme utama dimana negara-negara berkerja sama dan secara proaktif mengelola dan mengkonservasi sumber daya ikan yang beruaya jauh dan beruaya terbatas.17

Sebagai pelaksanaan dari instrumen hukum di atas, saat ini telah terbentuk 44 Lembaga Perikanan Regional diseluruh dunia, dimana 20 diantaranya berupa Regional Fisheries Managwement Organization (RFMO),18 yaitu CACFish19, CCBSP20, GFCM21, IATTC22, IPHC23, RECOFI24, LVFO25, NAFO26, NASCO27, SIOFA28, SPRFMO29,

CCAMLR30, WCPFC31, SEAFO32, NEAFC,33 IOTC34, NPAFC35, CCSBT36, IWC37, dan

ICCAT38.

Mandat yang dimiliki oleh organisasi perikanan regional sendiri bermacam-macam. Ada yang hanya memiliki mandat memberikan masukan (advisory) yang sifatnya

16 Pasal 6 ayat (3) Compliance Agreement 1993

17A net with holes: the regional fisheries management system Deep Sea Conservation Coalition, dapat

diakses di http://www.savethehighseas.org/publicdocs/RFMO.pdf, hal. 1-2.

18 RFMO merupakan salah satu jenis Lembaga Perikanan Regional yang mempunyai fungsi

pengelolaan (management body). RFMO yang ada saat ini adalah CCAMLR, CACFish, CCBSP, CCSBT,

GFCM, IATTC, ICCAT, IOTC, IPHC, IWC, LVFO, NAFO, NASCO, NEAFC, NPAFC, RECOFI, SEAFO,

SIOFA, SPRFMO, dan WCPFC.

19Central Asian and Caucasus Regional Fisheries and Aquaculture Commission

20 Convention on the Conservation and Management of Pollock Resources in the Central Bering Sea

21General Fisheries Commission for the Mediterranean

22 Inter-American Tropical Tuna Commission

23 International Pacific Halibut Commission

24 Regional Commission for Fisheries

25 Lake Victoria Fisheries Organization

26 Northwest Atlantic Fisheries Organization

27 North Atlantic Salmon Conservation Organization

28 South Indian Ocean Fisheries Agreement

29 South Pacific Regional Fisheries Management Organization

30 Commission on the Conservation of Antartic Marine Living Resources

31 Western and Central Pacific Fisheries Commission

32 Southeast Atlantic Fisheries Organization

33 North East Atlantic Fisheries Commission

34 Indian Ocean Tuna Commission

35 North Pacific Anadromous Fish Commission

36 Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna

37 International Whaling Commission

(6)

tidak mengikat bagi anggotanya, ada pula yang mempunyai mandat untuk melakukan pengelolaan. RFB yang terkhir ini biasa disebut Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) yang mengadopsi pengaturan pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan yang bersifat mengikat pada anggotanya.

Apabila dilihat dari fungsinya, organisasi perikanan regional memiliki fungsi yang berbeda-beda, seperti fungsi pengumpulan, analisis dan diseminasi data dan informasi, fungsi koordinasi pengelolaan perikanan melalui mekanisme dan skema bersama, fungsi sebagai forum kebijakan dan teknis, serta fungsi pengambilan keputusan yang terkait dengan konservasi, pengelolaan, dan pengembangan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.

Sementara itu, dilihat dari aspek geografisnya, organisasi perikanan regional dikelompokan sebagai berikut:

a. Organisasi perikanan regional yang bersifat Global dan Lintas Samudera, seperti CCSBT, CCAMLR, dan IWC;

b. Organisasi perikanan regional di Kawasan Samudera Pasifik, seperti APFIC,SEAFDEC, dan IPHC;

c. Organisasi perikanan regional di Laut Mediterian, Laut Hitam, dan Perairan yang menghubungkannya, yaitu GFCM;

d. RFBs di Samudera Hindia, seperti BOBP-IGO , IOTC, dan SWIOFC;

e. RFBs di Samudera Atlantik, seperti NEAFC, WECAFC, ICCAT, , dan SEAFO;

f. RFBs yang di Bidang Perikanan Darat, seperti APFIC, EIFAC, CIFAA, dan MRC. Lembaga Perikanan Regional, khususnya RFMO memegang peranan penting dalam mengambil langkah-langkah memperkuat pengelolaan melalui implementasi pendekatan ekosistem dan mengadopsi pendekatan kehati-hatian (precautionary approach). Mereka juga berusaha untuk memperkuat kerjasama internasional, menerapkan prinsip-prinsip transparansi, mendorong negara-negara bukan anggota, dan meningkatkan pengaturan Monitoring Controlling and Survaillance (MCS), termasuk implementasi kewajiban Vessel Monitoring Systems (VMS), mengadopsi skema regional untuk Port State Measures dan pengembangan daftar kapal (vessel lists). 39

3. Konsekuensi kerja sama perikanan internasional

Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan dan berbatasan dengan dua samudera, Indonesia sangat berkepentingan untuk dapat memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas. namun demikian utuk dapat ikut memanfaatkan hasil perikanan di laut lepas hukum internasional mengharuskan Indonesia untuk menjadi anggota dari RFMO yang telah mengatur pengelolaan dan kosenservasi perikanan di laut lepas.

Saat ini Indonesia telah menjadi anggota IOTC melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission dan CCSBT melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna.

Sementara pada WCPFC masih berstatus sebagai Contracting Non Member dan dalam proses menjadi anggota. Sedangkan pada ICCAT sedang dalam penjajakan menjadi

Contracting Non Member.

39Food and Agriculture Organisation, Search Fishery Governance Fact Sheets, dapat diunduh di

(7)

Terkait dengan keanggotaan Indonesia pada RFMO, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, baik hal menyangkut prosedural maupun yang bersifat substantif. Sebagai contoh, ketika Indonesia akan meratifikasi WCPFC Convention, Indonesia mempermasalahkan ketidakjelasan Convention Area WCPFC di bagian barat yang diatur dalam Pasal 3 WCPFC Convention. Namun, karena Indonesia belum menjadi pihak, Indonesia tidak mempunyai hak untuk mengajukan amandemen terhadap Pasal 3 WCPFC Convention. Contoh lain adalah terkait dengan kewajiban untuk memberikan kontribusi (iuran) bagi CNM yang skemanya ditetapkan oleh Komisi WCPFC. Dalam prakteknya pelaksanaan kewajiban ini masih menyisakan permasalahan, mengingat dalam peraturan perundang-undangan nasional pembayaran kontribusi hanya dimungkinkan pada organisasi dimana Indonesia telah berstatus sebagai anggota/pihak40.

Akibatnya sebagai CNM WCPFC Indonesia tidak bisa memenuhi kewajiban untuk membayar kontribusi.

Permasalahan yang lebih substantif adalah terkait kewajiban untuk bekerja sama secara penuh dalam implementasi Conservatioan and Management Measures (CMM) yang diadopsi WCPFC41. Sebagai CNM, Indonesia “dibebani” dengan kewajiban yang

hampir sama dengan negara-negara anggota khususnya dalam mengimplementasikan CMM. Apabila Indonesia tidak mentaati CMM, WCPFC akan memasukan Indonesia sebagai negara yang tidak comply, dan berbagai sanksi sudah pasti akan dikenakan. Di sisi lain, sebagai CNM Indonesia hanya memiliki hak yang sangat terbatas. Dalam sidang-sidang dan perundingan, Indonesia tidak memiliki hak suara yang diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Negara-negara pihak lah yang memiliki hak penuh untuk mengambil keputusan. Karenanya, dalam beberapa kasus, Indonesia dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit, “terpaksa” menerima pengaturan yang ditetapkan oleh WCPFC atau dimasukan dalam kelompok negara yang tidak comply. Sebuah kondisi tidak ideal yang tidak diharapkan.

4. Menyikapi Tantangan ke Depan

Keanggotaan Indonesia di RFMO tentunya diharapkan memberikan manfaat, utamanya agar dapat memanfaatkan sumber daya perikanan yang dimilikinya di ZEEI dan laut lepas. Keanggotaan Indonesia merupakan bagian dari diplomasi Indonesia berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perikanannya.42

40 Pasal 5 Keputusan Presiden No. 64 Tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi

Pemerintah Republik Indonesia pada Organisasi-organisasi Internasional

41Lihat Resolusi CMM 2009-11

42 Pada dasarnya sama dengan produk-produk pertanian/pangan yang lain namun saat ini isu-isu

(8)

Penyelesaikan berbagai permasalahan di atas sudah barang tentu tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesatuan langkah yang dilakukan antara pemerintah, pelaku usaha, serta seluruh masyarakat kelautan dan perikanan. Pemerintah sebagai wakil negara dalam keanggotaan pada RFMO perlu melibatkan para pelaku usaha serta masyarakat kelautan dan perikanan, secara bersama sama menyusun peraturan perundang-undangan terkait hal tersebut melalui konsultansi publik, agar dapat diterapkan sesuai dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Di sisi lain peran pelaku usaha serta masyarakat kelautan dan perikanan juga tak kalah penting untuk melaksanakan aturan tersebut agar posisi Indonesia dalam pergaulan internasional di bidang perikanan tetap terjaga. Bagaimana pun pelaksanaan diplomasi perikanan tidak akan berhasil selama tidak dilakukan secara terpadu diantara seluruh stakeholders

terkait.43

Dalam hal ini, disadari bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ke depan. Berbagai regulasi nasional perlu segera disiapkan, antara lain tentang regulasi terkait pengawasan untuk memastikan aturan yang telah disepakati bersama tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, penguatan sistem data dan statistik yang selama ini menjadi titik lemah dalam diplomasi Indonesia di bidang perikanan,44

penguatan kelembagaan untuk mengatasi kelemahan koordinasi yang selama ini kerap dihadapi dalam menyusun psosisi Indonesia pada berbagai forum RFMO.

Di samping upaya-upaya di atas, Indonesia juga mengembangkan dan menginisiasi kerja sama regional dan bilateral seperti yang selama ini telah dilakukan dengan menginisiasi Coral Triangle Initiative (CTI)45, Sulu Sulawesi Seas Marine Ecoregion (SSME), dan Bismarck Solomon Seas Marine Ecoregion (BSSME). Prakarsa Indonesia dalam menginisiasi kerja sama regional dan bilateral tersebut diharapkan akan lebih memperkuat diplomasi Indonesia di dunia internasional.

5. Penutup

Konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan sudah tidak lagi hanya dibatasi sebagai isu nasional masing-masing negara. Kesadaran masyarakat internasional akan perlunya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan telah mendorong lahirnya instrumen-instrumen hukum internasional yang menghendaki adanya mekanisme kerja sama antara negara-negara, baik pada level bilateral, regional, maupun global.

Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Mendukung Program Industrialisasi Perikanan”, Denpasar, Bali, 31 Mei s.d. 1 Juni 2012.

43 Dalam melaksanakan peran di bidang perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berdiri

sendiri tetapi juga berkoordinasi dengan seluruh kementerian/lembaga yang ada seperti dengan Kementerian perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, TNI-AL, dan beberapa lembaga lainnya.

44 Data dan statistik yang kuat yang dipelihatkan Indonesia dapat memberikan gambaran yang

sebenarnya bagi negara anggota tentang jumlah tangkapan yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dan bagaimana penggunaannya bagi konsumsi dalam negeri serta ekspor. Selama ini Indonesia sebagai pemilik sumber daya tidak pernah mendapatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) secara maksimal dan kalah oleh negara negara anggota lainnya yang mempunyai sistem statistik yang lebih maju

45 Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security merupakan gagasan

(9)

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tidak bisa terlepas dari kerja sama dengan negara lain, termasuk kerja sama dengan dan melalui organisasi regional. Dalam hal ini Indonesia perlu terus mengikuti dinamika pengaturan hukum regional maupun internasional. Indonesia juga perlu berperan serta secara lebih aktif pada perundingan-perundingan regional maupun internasional, termasuk dalam negosiasi penyusunan pengaturan hukum regional dan internasional.

(10)

Daftar Pustaka

Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.

Akhmad Solihin, “Perikanan Indonesia dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional dan Internasional”, www.pksplipb.or.id.

Hikmahanto Juwana, Konsekuensi Ratifikasi Perjanjian Internasional, Koran Sindo, 27 Oktober 2008.

Lewis Alexander, “Regionalism at Sea: Concept and Reality” dalam Douglas M. Jhonson,

Regionalization of the Law of The Sea, Law of the Sea, Institute Eleven Annual Conference, November 14-17, 1977,

Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2 Nomor 3 , Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005

Paully, D., Beyond duplicity and ignorance in global fisheries, Global Fishing Crisis, 2009. http://www.seaaroundus.org/researcher/dpauly/PDF/2011/Other

%20Items/BeyondDuplicityandIgnoranceinGlobalFisheries.pdf

Patricia Lee Devaney, Regional Fisheries Management Organization: Bringing Order to Disorder, http://www.pon.org/downloads/ien14_4Devaney.pdf.

Saut Hutagalaung, Kerjasama Perdagangan Internasional Dalam Mendorong Percepatan Industrialisasi Kelautan Dan Perikanan Di Indonesia, dibawakan pada Workshop Penyusunan Perjanjian Di Bidang Kelautan Dan Perikanan, “Implementasi Perjanjian Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Mendukung Program Industrialisasi Perikanan ”,Denpasar, Bali, 31 Mei s.d. 1 Juni 2012

Food and Agriculture Organisation, The State of World Fisheries and Aqua-culture 2012. "Overfishing.", National Geographic., 7 Mar. 2013, http://ocean.nationalgeographic.com/

ocean/critical-issues-overfishing.

A net with holes: the regional fisheries management system Deep Sea Conservation Coalition, http://www.savethehighseas.org/publicdocs/RFMO.pdf.

Food and Agriculture Organisation, Search Fishery Governance Fact Sheets, dapat diunduh di http://www.fao.org/fishery/rfb/search/en.

Referensi

Dokumen terkait

Larutan umpan fiksasi yang mengandung Mo dan U dengan kadar Mo yang sama atau lebih besar dari kadar U hams difiksasi ulang, agar menghasilkan larutan dengan ratio U/Mo lebih besar

Kesimpulan dari penelitian adalah pencapaian kinerja, pengalaman orang lain, dan persuasi verbal berpengaruh terhadap mathematical high order thinking skill ; dan

Hasil dari simulasi kemudian di analisis untuk mendapatkan nilai tingkat performansi dari protokol routing yang digunakan pada jaringan packet-switched tersebut berdasarkan

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tindakan tentang SADARI sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan peer group pada remaja putri

Artinya, dalam kegiatan ekonomi pondok, khususnya dalam khizatullah atau pengadaan sumber pembiayaan pondok pesantren dapat memberdayakan seluruh civitas pondok

Metode analisis data yang digunakan analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang sudah ada kemudian mengolah dan menyajikan dalam bentuk tabel,

Maka, akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal seperti yang disebutkan di dalam surah al-Kahfi 110, az-Zumar 2-3, 65 dan ayat-ayat