• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENTIMEN ANTI TIONGHOA INDONESIA Sebuah (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SENTIMEN ANTI TIONGHOA INDONESIA Sebuah (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

SENTIMEN ANTI TIONGHOA-INDONESIA

Sebuah Analisis Keterlibatan Gereja dalam Mengentaskan Permasalahan Rasial

Disusun sebagai Makalah Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Gereja dan Politik: Studi Kasus Gereja Asia-Afrika Dosen Pengampu: Dr. Paulus Bambang Irawan, SJ

Oleh:

Oleh:

Alb. Irawan Dwiatmaja NIM: 176312001

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

(2)

1. PENGANTAR

Pidato Anies Baswedan pada saat pengukuhannya sebagai Gubernur DKI Jakarta menuai pro dan kontra. Dalam pidatonya, Anies menyebut kata “pribumi”. Berikut pernyataan Anies pada pidatonya, “.... Dulu kita semua “pribumi” ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami... “1 Kata “pribumi” dinilai banyak pihak merujuk pada Basuki Tjahja Purnama (Ahok), seorang Tionghoa dan bergama Kristen yang menjadi gubernur Jakarta sebelumnya. Tetapi, Anies membantah tudingan-tudingan tersebut. Dia menyatakan bahwa konteks pidatonya tersebut digunakan untuk menjelaskan bahwa pada zaman penjajahan dulu Jakarta kota yang paling merasakan penjajahan.2 Kata “pribumi”

dalam pidato Anies menuai pertanyaan dari banyak pihak. Apakah pidato Anies menumbuhkan sentimen untuk kelompok tertentu? Peristiwa Basuki (Ahok) menjadi sejarah baru untuk Jakarta karena memiliki gubernur yang beragam Kristen dan beretnis Tionghoa. Tetapi, kehadirannya menuai pro dan kontra terlebih ketika ia ingin kembali maju sebagai kandidat calon gubernur. Banyak cara yang digunakan untuk menjegalnya agar Basuki tidak terpilih sebagai gubernur DKI. Salah satunya ialah kembali membangkitkan sentimen anti Tionghoa. Penulis dalam paper ini mencoba untuk menganalisa bagaimana tanggapan Gereja terhadap sentimen anti Tionghoa-Indonesia di Indonesia.

2. SENTIMEN ANTI TIONGHOA DI INDONESIA

2.1 Panorama Sejarah Munculnya Sentimen Anti Tionghoa-Indonesia

Sejarah kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia selalu diwarnai dengan berbagai peristiwa kekerasan, dari diskriminasi sampai kekerasan fisik seperti perampokan, pembunuhan, penjarahan, dan pemerkosaan. Hampir dalam setiap pergantian periode di Indonesia etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan dalam sentimen anti Tionghoa, misalnya peristiwa pembantaian di Muara Angke pada masa VOC, peristiwa kerusuhan Maret 1942, peristiwa September 1965 dan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota lainnya merupakan salah satu contoh peristiwa malapetaka terbesar yang dialami oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia setelah masa kemerdekaan. Tidak begitu jelas apa yang menjadi penyebab terjadinya sentimen terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Tetapi,

1 Kanavino Ahmad Rizqo, “Ini Pidato Lengkap Anies Usai Dilantik Jadi Gubernur DKI”,

https://news.detik.com/berita/3686897/ini-pidato-lengkap-anies-usai-dilantik-jadi-gubernur-dki (3 Desember 2017).

2 Mochammad Zacky, “Anies Jelaskan Pidato Soal Pribumi: Konteksnya Era Penjajahan”, https://news.detik.com/berita/3687424/anies-jelaskan-pidato-soal-pribumi-konteksnya-era-penjajahan (3 Desember 2017).

(3)

terjadinya sentimen anti Tionghoa tidak terlepas dari dari sentimen sosial dan kesenjangan ekonomi.3 Sentimen sosial berjalan seiring dengan masalah kesenjangan ekonomi. Di balik

sentimen ini terdapat prasangka-prasangka yang terus menerus hidup dan bahkan sengaja dihidupkan dengan tujuan tertentu. Sebagai contoh pada zaman penjajahan Belanda, prasangka ini terkait dengan masalah politik. Etnis Tionghoa mendapat stigma sebagai antek Belanda, dan prasangka ini terus bertahan sampai masa awal kemerdekaan Indonesia. Terdapat peng-generalisasian sifat ini bagi semua warga Tionghoa, padahal terdapat juga kalangan Tionghoa yang bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.4

Prasangka yang ada juga muncul akibat keunggulan kalangan Tionghoa dalam memenangkan persaingan ekonomi. Keunggulan ekonomi warga etnis Tionghoa memberikan dampak munculnya kecemburuan dan kebencian etnis lain yang pada akhirnya melahirkan prasangka-prasangka. Gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa golongan Tionghoa merupakan “binatang ekonomi” (economic animal) yang bersifat oportunis, tidak memiliki loyalitas politik dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Mitos-mitos tentang karakter-karakter orang Indonesia keturunan Tionghoa sampai saat ini masih tertanam kuat dalam masyarakat kita, bahkan mungkin dalam kesadaran bangsa Indonesia keturunan Tionghoa itu sendiri. Banyak tekanan terhadap warga negara etnis Tionghoa yang berasal dari prasangka bahwa secara ekonomi mereka kuat, tidak loyal kepada Indonesia dan siap beremigrasi ke negara mana pun yang menawarkan keuntungan ekonomi kepada mereka.5

2.2 Etnis Tionghoa Indonesia sebagai “The Others

Melihat kejadian-kejadian seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, timbul pertanyaan dalam diri penulis, apa penyebab terjadinya sentimen (mitos-mitos dan prasangka-prasangka) terhadap etnis Tionghoa terus hidup dan tertanam dalam pikiran kita sampai sekarang? Bagaimana peran Gereja Katolik Indonesia dalam pementasan sentimen anti Tionghoa? Penulis akan mencoba melihat permasalahan ini dan menjelaskannya dalam perspektif sejarah, konsep “the others” terhadap masyarakat pada etnis Tionghoa, self-oriented etnis Tionghoa-Indonesia, dan agama. Pertama, dari perspektif sejarah, sentimen

3 Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, Jakarta, Pustaka Populer Obor, 2005, 31.

4 Rene L Pattiradjawane, “Peristiwa Mei 1998 di Jakarta: Titik Terendah Sejarah Orang Etnis Cina di Indonesia,

dalam I. Wibowo (ed.)., Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, 250-252.

5 Didi Kwartanada, “Minoritas Cina dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942-1945”, Lembaga Studi Realino (ed.),

Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Cina, Yogyakarta, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996, 28.

(4)

anti Tionghoa sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Kolonial Belanda meciptakan penggolongan penduduk di Indonesia. Mereka menggolongkan penduduk dalam tiga golongan berdasarkan ras untuk mengisolasi satu golongan dengan golongan yang lain, yaitu golongan Eropa di lapisan paling atas, golongan Timur Asing (Arab, Tionghoa, dll) di lapisan kedua, dan penduduk bumiputera di lapisan ketiga. Kebijakan ini juga telah memunculkan perasaan rasialisme di kalangan pribumi. Dalam masa pemerintahan orde lama dan orde baru, sentimen anti Tionghoa juga tetap bertahan. Pemerintah membatasi ruang gerak etnis Tionghoa.6

Pada masa pemerintahan Reformasi, khususnya era Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) etnis Tionghoa mendapat angin segar. Negara mengakui hak-hak mereka misalnya perayaan Imlek diperbolehkan dilakukan di tempat umum. Akibat dari keputusan ini, etnis Tionghoa memiliki hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.7 Situasi ini

berlangsung aman hingga saat ini. Tetapi, ketika Pilkada di DKI Jakarta, sentimen anti Tionghoa kembali muncul karena salah satu kandidatnya beretnis Tionghoa. Kita tidak tahu secara persis apa motif dibalik munculnya sentimen anti Tionghoa dalam Pilkada di Jakarta. Tetapi, ada satu pesan yang bisa kita tangkap bahwa peristiwa sentimen anti Tionghoa belum hilang. Masyarakat sepertinya merasa bahwa etnis Tionghoa bukan penduduk asli Indonesia.

Kedua, masyarakat pada umumnya menganggap etnis Tionghoa penduduk asing, mereka bukan penduduk asli Indonesia, bahkan ada demo besar-besaran ingin mengusir etnis Tionghoa di Indonesia. Kata “pribumi” yang diucapkan oleh Anies pada saat pengukuhannya sebagai gubernur menjadi sarana untuk kembali membangkitkan sentimen anti Tionghoa. Melihat fenomena ini, penulis berpandangan bahwa konsep masyarakat Indonesia pada umumnya memandang etnis Tionghoa sebagai “the others” masih kuat dan bertahan.

Ketiga, etnis Tionghoa-Indonesia enggan bergaul dengan masyarakat sekitar. Mereka masih tetap hidup dengan perangkat budayanya sendiri yang bukan bagian dari budaya masyarakat sekitarnya.8 Etnis Tionghoa-Indonesia masih trauma dengan masa lalu sehingga

mereka enggan berkecimpung di dunia politik, sosial, budaya, tetap menekuni sektor perdagangan dan perekonomian. Etnis Tionghoa-Indonesia memiliki pandangan civil awareness. Mereka tidak mau tahu atau terlibat urusan lain yang tidak terkait langsung dengan diri, keluarga ataupun pekerjaannya. Perilaku ini sering dianggap sebagai keengganan

6 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2009, 312.

7 Muhammad Taufik, “Perjuangan Gus Dur untuk Etnis Tionghoa”,

https://www.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-gus-dur-untuk-etnis-tionghoa.html, (3 Desember 2017).

8 M.D. La Ode, Politik Tiga Wajah, Yayasan Pusaka Obor Indonesia, Jakarta, 2013, 279.

(5)

etnis tionghoa berpartisipasi dalam bernegara atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Keengganan kelompok ini untuk membela hak-hak mereka sendiri sebagai sesama warga Indonesia inilah justru membuat kelompok ini sering dijadikan pion dan sasaran permainan politik para politikus di Indonesia.9

Keempat, agama Islam merupakan agama yang memiliki penganut terbesar di Indonesia.10 Tetapi, etnis Tionghoa tidak banyak memeluk agama Islam. Etnis Tionghia lebih

banyak memeluk agama Budha, Konghucu, Kristen, dan Katolik.11 Kita tidak tahu persis apa

alasan mereka lebih memeluk agama-agama tersebut daripada memeluk agama Islam. Fakta ini membuat etnis Tionghoa mendapat streotip seperti kafir dan komunis. Streotip ini melekat dalam konsep masyarakat dan seolah menjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan.

3. KETERLIBATAN GEREJA DALAM PERMASALAHAN RASIAL

Permasalahan rasisme bukanlah masalah yang baru untuk zaman sekarang. Permasalahan rasisme sudah terjadi dalam perjalanan sejarah umat manusia. Rasisme telah meninggalkan luka yang dalam, membuat masyarakat tidak bersahabat, saling menyerang, dan menimbulkan sekat-sekat atau batasan-batasan. Banyak pihak berusaha untuk menghilangkan rasisme. Gereja Katolik tidak tinggal diam melihat kenyataan ini. Gereja mengambil sebuah tindakan agar terjadi sebuah keadilan rasial yaitu dengan menawarkan beberapa pandangannya melalui doktrin, rumusan teologi, dan ajaran moral untuk.12

Sebenarnya, Gereja melalui buku katekismus dan ajaran sosial sudah menjelaskan pandangannya mengenai rasisme. Tetapi, buku kateskismus dan ajaran sosial gereja kurang konkret dan susah diakses oleh kebanyakan orang. Melihat kesulitan itu, Gereja mencoba memberikan alternatif dan tugas kepada para pelayan untuk mengajarkan dengan konkret mengenai dogma, rumusan teologi, dan moralnya untuk sebuah keadilan rasial serta memberikan akses yang mudah kepada setiap orang tentang dogma, rumusan teoloogi dan ajaran moralnya.13

Perihal permasalahan rasial, Gereja mendasari pandangannya pada Trinitas yang menekankan pada persaudaraan dan pernghormataan terhadap “yang lain”. Trinitas disatukan dalam kasih dan menjadi model hidup. Kasih itu harus diwujudnyatakan kepada sesama

9 M.D. La Ode, Politik Tiga Wajah, 324.

10Agus Sudibto, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LKIS, Yogyakarta, 2001, 25.

11 Onghohkam, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, Komunitas

Bamboo, Jakarta, 2008, 85.

12 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, Maryknoll-New York, Orbis Books, 2008, 53.

13 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 54.

(6)

“yang lain” dan juga terhadap seluruh alam semesta. Mengenai trinitas sebagai dasar untuk mengatasi permasalahan rasial, Yohanes Duns Scotus menjelaskan demikian: Trinitas ada dua yaitu Trinitas ad intra dan Trinitas ad extra. Trinitas ad intra merupakan aspek mendasar dalam hidup seseorang dan mempunyai efek apabila seseorang berelasi dengan sesamanya, dan Trinitas ad extra ialah perwujudan dari kehendak ilahi, kebebasan and inkarnasi. Dari dua dimensi ini, “the incommunicable (internal) dimension is seen as the logical suppositum, which is necessary for the ad extra relationship”. Setiap pribadi adalah utuh atau integral dan unik. Pribadi yang unik memungkinkan setiap orang untuk melakukan interaksi. Interaksi terhadap satu dengan yang lain membantu orang untuk semakin saling memahami satu dengan yang lain dan membuat terciptanya hubungan yang saling pengertian dan saling tolong-menolong. Gagasan Trinitas Scotus memiliki implikasi dalam hidup yaitu dapat menjadi paradigma untuk menjelaskan relasi manusia, dan menyediakan dasar hubungan yang saling pengertian dan saling tolong-menolong. Dengan demikian, Trinitas menjadi model relasi yang saling pengertian dan saling tolong-menolong sebagai tujuan aktivitas semua orang.14

Mengenai arti dari sebuah persaudaraan, Martin Luther juga berpendapat: “Dalam arti sebenarnya, kehidupan itu saling terkait. Semua manusia berada dalam jaringan mutualisme yang tak terhindarkan, terikat dalam satu takdir. Apapun yang mempengaruhi seseorang secara langsung akan mempengaruhi semua secara tidak langsung. Saya tidak akan pernah menjadi seperti apa yang seharusnya saya lakukan sampai kamu menjadi diri kamu, dan kamu tidak akan pernah menjadi seperti seharusnya sebelum saya menjadi diri saya. Ini adalah struktur realitas yang saling terkait.”15 Trinitas membawa orang dalam sebuah

persekutuan dan menuntut orang untuk membangun sebuah relasi satu dengan yang lain. Manusia adalah gambar dan citra Allah (Imago Dei, Kej. 1: 24,26). Konsekuensi dari rumusan itu ialah tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lain. Manusia diciptakan dengan cinta dan untuk cinta. Setiap orang adalah pribadi dan memiliki keunikan masing-masing. Manusia menggunakan talenta yang diberikan Allah untuk kebaikan

14 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 57.

15 “In a real sense, life is interrelated. All men are caught in an inescapable network of mutuality, tied in a

single garment of destiny. Whatever affects one directly affects all indirectly. I can never be what I ought to be until you are what you ought to be, and you can never be what you ought to be until I am what I ought to be. This is the inter-related structure of reality.” [Lihat Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 58.]

(7)

bersama. Setiap orang harus diperlakukan dengna penuh hormat, menolak rasisme, pelecehan sesksual, dan hal-hal yang serupa.16

Manusia itu serupa dengan Allah dan merupakan puncak dari segala ciptaan. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia memiliki tanggung jawab besar. Tubuh dan jiwa manusia merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Semua aspek pribadi manusia saling mempengaruhi. Aspek ini membuat manusia untuk berelasi dengan yang lain. Apabila relasi ini diabaikan, kualitas hidup dikurangi, menimbulkan rasisme dan menjadikan superioritas terhadap etnis lain. Dalam terang Imago Dei, klaim superioritas terhadap etnis lain merupakan kesadaran palsu. Terjadinya masalah rasisme karena manusia menyangkal kemanusiaannya, inteligensinya, dan kesetaraan dengan yang lain.17 Gaudium et Spes 27 dan

29 menjelaskan bahwa kesetaraan dan martabat semua manusia dilandasi atas kesamaan kodrat dan asal-usulnya. Semua orang telah ditebus Kristus, karena itu, semua orang harus berbagi panggilan ilahi dan memiliki martabat yang sama. Kesetaraan harus diakui oleh semua orang yang berkehendak baik. Para filsuf juga menegaskan tentang kesetaaran ini bahwa setiap orang adalah mahkluk rasional, berhak untuk mempraktekkan kehendak bebas mereka berdasarkan hati nurani, dan berpartisipasi dalam proses aktualisasi diri, perkembangan sosial, dan kesejahteraan umum. Semua bentuk rasisme hanya menghancurkan dimensi-dimensi kebersamaan dari hidup manusia.

Dengan peristiwa inkarnasi, manusia memperoleh rahmat dan mendapat kuasa untuk “menjadi seperti Allah” (becoming God-like). Yesus Kristus menjadi teladan dan jalan untuk manusia menuju kepenuhan hidup. Kehadiran Yesus di dunia membawa konsekuensi untuk manusia. Yesus lahir dan besar dalam kultur Yahudi tetapi Ia tidak merasa bahwa bangsa-Nya yang boleh mengenal Allah. Semua orang dapat mengenal Allah. Hal ini merupakan alasan penolakan terhadap color-coded racisme, physical abuse, or the physical enslavement of persons.18

Gereja sebagai sakramen merupakan tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (LG 1). Gereja sebagai sakramen keselamatan menjadi rusak karena dosa rasisme. Rasisme merupakan “not merely one sin among many, it is a radical evil that divides the human family and denies the new creation of a redeemed world”. Semua bentuk rasisme ialah idolatria dengan menggantikan Allah dan berpusat pada rasnya.

16 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 59.

17 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 59.

18 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 60.

(8)

Rasisme merupakan sebuah bentuk heresi yang menyangkal rahmat Roh Kudus yang ada pada orang yang sudah dibaptis dan yang dipanggil untuk menjadi saksi kesatuan dalam Kristus (Gal. 3: 28). Ada empat (4) strategi bagi orang Kristen untuk melawan bentuk-bentuk rasisme, First, is to not reduce racism to merely an individual attitude; social structure also need transformation. Second, is to refrain from universalizing racial problems by reducing racism to acts of only “a few bad apples”. Such thinking ignores the reality that not everyone named as a racialized “other” plays on a level field. Third, the resignation that suggest that others “suffer through the present” and look forward to the future heavenly perfection, denies the deliberate and conscious construction of major sources of racialized oppression, and smacks idolatry, denying the presence and power of God to act through us in history. Forth, the need for “affirmative action” or the conscious creation of “just opportunity” programs to correct past injustice of racialized oppression still exist.19

Pada akhirnya, permasalahan rasisme melibatkan masalah keadilan. Untuk mengatasi rasisme, Gereja menawarkan sebuah keadilan yang bersifat distributif. Keadilan distributif terdiri dari empat kriteria Pertama, no alternatives to enforced preference are available, Kedua, the prejudice against the group must reach the level of depersonalization, Ketiga, the bias against the group is not private or narrowly localized, but it is entrenched in the culture and distributive systems of the society (its laws, myths, institutions, etc.), Keempat, the members of the victim group must be visible as such and thus lack an avenue of escape.20

Hubungan antara cinta dan keadilan merupakan salah satu relasi yang penting. Tuhan diidentifikasikan dengan cinta dan keadlian, “Tuhan adalah Allah yang adil ... yang hatinya diatur oleh keadilan (Yes 9:24), Allah mengasihi keadilan” (Mzm 99:4). Cinta dan keadilan tidak bisa dipisahkan dari Allah. Hanya Allah yang melindungi para janda, yatim piatu, dan mencintai orang asing yang ada di antara kamu, dengan memberi mereka makanan dan pakaian.21

4. PERAN GEREJA KATOLIK INDONESIA DALAM MENENTASKAN ISU SENTIMEN ANTI TIONGHOA

19 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 65-66.

20 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 65.

21 Dawn M. Nothwehr, Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic

Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia, 66.

(9)

Permasalan rasial merupakan permasalan yang dihadapi oleh banyak pihak. Gereja mengambil bagian untuk mengatasi permasalan rasial dengan menawarkan pandangannya melalui dogma, teologi, dan ajaran moralnya. Tetapi, Gereja tidak bisa bekerja sendirian. Gereja harus bekerja sama dengan pemerintah karena pemerintah agen utama (terjun langsung ke lapangan) dalam pementasan isu-isu SARA. Gereja bekerjasama dengan siapa saja yang berkehendak baik untuk menentaskan isu SARA sambil mengambil jarak kritis dengan menerima sistem kepercayaan dan membentuk regulasi untuk membendung geliat ormas-ormas radikal.

Di Indonesia, sentimen anti Tionghoa sudah ada dari zaman Belanda hingga sekarang. Sentimen anti Tionghoa dalam beberapa tahun hampir hilang bahkan jarang terdengar. Tetapi, peristiwa Pilkada DKI Jakarta, sentimen anti Tionghoa kembali muncul. Etnis Tionghoa-Indonesia kembali dianggap sebagai “the others”. Gereja Katolik Indonesia tidak secara eksplisit memberi pandangan mengenai isu-isu sentimen anti-Tionghoa. Tetapi, kita bisa melihat peran Gereja Indonesia, secara khusus Keuskupan Agung Jakarta, dalam meredam munculnya sentimen anti-Tionghoa. Dalam Himbauan Uskup Agung Jakarta pada pilkada DKI Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo menyatakan pada poin pertama “... untuk bersikap tenang, tidak takut, dan berpikir jernih. Mendukung langkah pemerintah untuk memelihara kondisi sosial yang kondusif ... “.22 Memang poin Himbauan Uskup Agung Jakarta untuk

Pilkada DKI Jakarta tahun 2016 bukan sikap seluruh Gereja Katolik Indonesia. Tetapi, kita bisa melihhat hal ini bagaimana Gereja terlibat dalam pementasan terhadap isu-isu sentimen anti Tionghoa. Tentunya kita yakin, Gereja berusaha membuat gerakan “yang tak terlihat” untuk menentaskan masalah-masalah rasial dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang berkehendak baik untuk menghilangkan sentimen anti Tionghoa dan terus berkomunikasi dengan pemerintah.

5. SARAN PASTORAL

Gereja tidak tinggal diam melihat permasalahan rasial yang terjadi. Gereja selalu mencari solusi agar permasalahan rasial semakin lama semakin hilang karena pada dasarnya semua manusia memiliki kesetaraan yang sama. Kita bisa melihat Gereja lokal di beberapa tempat terlibat dalam permasalahan rasial, seperti di Gereja Katolik di Inggris melalui konferensi para uskup menerbitkan sebuah dokumen yang berjudul Diversity and Equality

atas permasalahan gender, disabbilitas, agama, kepercayaan, orientasi seksual, usia, dan

22 Ignatius Suharyo, “Himbauan Uskup KAJ tentang Pilkada DKI Putaran II”, Keuskupan Agung Jakarta,

Jakarta, 2016.

(10)

mendirikan organisasi untuk menangani masalah rasial sembari mengevaluasinya terus-menerus.

Gereja Katolik Indonesia sejauh ini melihat permasalahan rasial terutama permasalahan sentimen anti Tionghoa belum menjadi isu nasional. Barangkali, Gereja tidak ingin menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat Indonesia karena Indonesia memiliki bergamam etnis (multi-etnis). Gereja Indonesia tidak ingin terlihat berpihak dengan pihak mana pun termasuk pada etnis Tionghoa. Gereja menjadi wadah yang netral dan universal dengan menerima siapa saja untuk berpartisipasi dalam karya Gereja. Gereja Indonesia hendaknya tetap mempertahankan prinsip merangkul siapa saja tanpa melihat suku atau ras dengan melakukan bebarapa hal konkrit, misalnya bekerja sama dengan kaum muda untuk membuat video singkat yang bertemakan kebangsaan, “Kita semua bersaudara dalam Pancasila”. Video ini dapat disebarkan melalui media-media sosial agar kaum muda bisa menonton dan tergerak untuk melaksanakannya. Selain itu, Gereja dapat bekerja sama dengan berbagai pihak terutama pemerintah untuk membuat semacam aturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa kita itu semua sama, kita menggunakan keunikan masing-masing untuk kemajuan negara dan daerah setempat. Gereja juga hendaknya mengajak etnis Tionghoa untuk turun langsung membantu masyarakat kecil, miskun, lemah dengan memberikan bantuan pendidikan dan bantuan ekonomi. Usaha-usaha ini semoga dapat mengurangi bahkan menghilangkan sentimen anti-Tionghoa di Indonesia.

DAFTAR BACAAN

La Ode, M.D. Politik Tiga Wajah. Yayasan Pusaka Obor Indonesia, Jakarta, 2013.

Nothwehr, Dawn M. Some Key Doctrinal, Theological, And Ethical Warants For Racial Justice: Catholic Social Teaching on Racism, Tribalism, and Xenophobia. Maryknoll-New York, Orbis Books, 2008.

Onghohkam. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Komunitas Bamboo, Jakarta, 2008.

(11)

Pattiradjawane, Rene L. “Peristiwa Mei 1998 di Jakarta: Titik Terendah Sejarah Orang Etnis Cina di Indonesia, dalam I. Wibowo (ed.)., Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, 250-252.

Sudibto, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. LKIS, Yogyakarta, 2001.

Suhandinata, Justian. WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia.

Jakarta, Gramedia, 2009.

Suharyo, Ignatius. “Himbauan Uskup KAJ tentang Pilkada DKI Putaran II”, Keuskupan Agung Jakarta, Jakarta, 2016.

Wijayakusuma, Hembing. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta, Pustaka Populer Obor, 2005.

Kanavino Ahmad Rizqo, “Ini Pidato Lengkap Anies Usai Dilantik Jadi Gubernur DKI”, https://news.detik.com/berita/3686897/ini-pidato-lengkap-anies-usai-dilantik-jadi-gubernur-dki (3 Desember 2017).

Kwartanada, Didi. “Minoritas Cina dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942-1945”, Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Cina, Yogyakarta, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996.

Mochammad Zacky, “Anies Jelaskan Pidato Soal Pribumi: Konteksnya Era Penjajahan”,

https://news.detik.com/berita/3687424/anies-jelaskan-pidato-soal-pribumi-konteksnya-era-penjajahan (3 Desember 2017).

Muhammad Taufik, “Perjuangan Gus Dur untuk Etnis Tionghoa”, https://www.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-gus-dur-untuk-etnis-tionghoa.html, (3 Desember 2017).

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu pertama, konsen- trasi siwak yang kurang adekuat untuk menurunkan viskositas saliva, kedua, waktu berkumur yang

Berdasarkan hasil pengukuran zona hambat terhadap ke-tiga bakteri uji Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio cholera , semua isolat probiotik B, C, G, dan

•dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang

In experiment 1, 96 subjects were evaluated: 20 first episode schizo- phrenia patients, [SCZ1] 20 chronic schizophrenia patients in acute exacerbation [SCZ2], 19 bipolar patients,

Penyelenggaraan Pendidikan Kader di Perhimpunan Mahasiswa Bandung, ada pada skala rendah dari hasil pengolahan kuisioner dari responden, dimana dalam hal ini responden yang

Selanjutnya kegiatan eksperimen dilakukan sebagai berikut: (a) melaksanakan pretes untuk mengetahui kemampuan awal pemahaman dan penalaran matematis sebelum diberikan

1) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio kemandirian terhadap pengangguran menunjukkan nilai yang negatif sebesar -0,714 dengan signifikansi sebesar 0,212

Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan makanan bergizi dengan praktek konsumsi makanan jajanan (p-value=0,538), tidak ada hubungan