• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESTORASI JIWA JIWA KEPAHLAWANAN MAHASIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESTORASI JIWA JIWA KEPAHLAWANAN MAHASIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

LOMBA ESAI BEM FIS UNNES (REVITALISASI JIWA-JIWA

KEPAHLAWAAN DI ERA KEKINIAN)

JUDUL:

RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA

(SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK

BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA)

Diusulkan oleh:

(Erman Istanto–3301412006–2012 )

Jurusan Politik dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

(2)

1

RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA

(SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK

BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA)

Oleh : Erman Istanto*

Politik dan Mahasiswa: Sebuah Telaah Singkat di Era Reformasi

MAHASISWA merupakan aset penerus perjuangan bangsa, aset

pembangunan berkelanjutan, dan aset pemimpin masa depan bangsa. Selanjutnya, tidak salah jika banyak orang berpandangan bawasannya mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa dengan dengan segala kemampuan intelektual dan kepemimpinannya. Sebagaimana pandangan yang di lontarkan oleh Ilahi (2012) bahwa di berbagai belahan dunia, sejarah telah mebuktikan gerakan pemuda (youth

movement), termasuk di dalamnya gerakan mahasiswa, selalu menjadi pelopor

terdepan dalam menentukan masa depan bangsa. Selanjutnya, menjadi sangat benar jika gerakan mahasiswa memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi proses politik yakni sebagai “agent of control social”. Sehingga banyak pandangan yang menyebutkan bawasannya mahasiswa dan politik adalah dua entitas yang berkaitan erat satu sama lainnya. Penulis sendiri menakrifkan bawasannya mahasiswa dan politik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Argumen hipotetikal tersebut memperjelas pandangan kita bahwa dalam kaitannya dengan politik, pemuda (baca: mahasiswa) secara ideal memiliki peranan yang laten yakni sebagai “agent of change” dan “agent of social control”.

Namun, jika kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa dekade terakhir ini nampaknya masyarakat Indonesia tengah mengalami turbulensi moralitas yang cukup kritis, tak terkecuali mahasiswa selaku generasi penerus bangsa. Sehingga tidak salah jika Asghar dan Pamungkas berpandangan bahwa realitas mahasiswa saat ini terjebak pada ruang sempit yang membelenggu kreatifitas, mematikan kebebasan berpikir, dan mematikan sikap kritis1. Selanjutnya menyelami pendapat Ilahi secara umum dalam buku-Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Kemandirian dan Pembangunan

1 Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan Intelektual.

(3)

2

Bangsa-mengungkapkan bahwa generasi muda saat ini sedang mengalami

gelombang traumatis yang cukup pelik. Hal ini dapat digambarkan dalam sisi faktual dari survey yang dilakukan bidang kemahasiswaan Universitas Negeri Semarang (Masrukhi, 2009), dimana wajah terakhir menunjukan kelompok idealis (mahasiswa) presentasinya lebih kecil dibandingkan kelompok lain (dalam: lima wajah mahasiswa sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya)2 yakni hanya berkisar 10%, dan kebanyakan dari mahasiswa termasuk dalam kelompok rekreatif yang berorientasi pada gaya yang hidup glamour dan menyukai pesta3. Orientasi mahasiswa tersebut mengarah pada kecenderungan “Dum vivimus vibaus”, yang artinya “nikmati hidup selagi masih hidup”4. Berangkat dari pandangan dan gambaran faktual diatas, jelas bawasannya mahasiswa selaku penerus masa depan bangsa dewasa ini tengah terjebak dalam mentalitas ke-munafik-an (idiom tidak satunya kata dengan perbuatan) sehingga terkesan bagai katak dalam tempurung.

Lebih lanjut dalam ranah “anomali” politik di era kekinian – dalam “optik” yeng berbeda Asghar dan Pamungkas pun menambahkan bahwa mahasiswa tidak lagi memiliki spirit perjuangan sebagai agen pelopor, agen pembaharu apalagi disebut agen pencipta5. Dalam prespektif yang hampir sama Adman menggambarkan bahwa gerakan mahasiswa seolah kehilangan arah gerakannya pasca reformasi sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub dimana sebagian mahasiswa telah terlena dalam euforia reformasi sehingga cenderung lebih sering berkutat dengan bangku kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses politik bangsa ini6. Padahal, dengan munculnya gerakan reformasi 1998 secara tegas telah memberikan space yang luas bagi pemuda dalam ranah kehidupan sosial

2 Meminjam analisis Ricardi seperti dikutip oleh Masrukhi (2009), tampak lima wajah mahasiswa

sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya. Pertama kelompok idealis konfrontatif; kedua adalah idealis realistis; ketiga adalah kelompok opportunis; keempat adalah kelompok profesional; kelima adalah kelompok rekreatif.

baca dan cermati Masrukhi. 2012. Mahasiswa: Dalam Bentangan Diamika Sosial. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Membangun Idealisme Pemuda sebagai Pilar Penyangga Jati Diri Bangsa” di Universitas Negeri Semarang (Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang 3 Dikutip dalam, ibid, hal 8

4 Baca, Koesman, Soegeng, Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut & Centang-perentang

Krisis Multi Dimensi di Era Reformasi, (Yogyakarta: Lokus, 2009), hal 241 5 Dikutip dalam, Op.Cit, Hal 2

6 Dikutip dalam, Adman, Pergerakan Kemahasiswaan(Disampaikan pada Kegiatan LDKM

(4)

3

dan politik. Hal ini, seharusnya mampu meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan bangsa. Tapi, hipotesis tersebut hanyalah gambaran “das sollen” semata yang mana secara faktual sebagian besar mahasiswa saat ini tengah terjebak dalam sikap “patriotik semu” dengan tendensi “apatis” dan “pragmatis” akan kehidupan sosial-politik bermasyarakat.

Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas mengenai mahasiswa dan politik di era kekinian, dapat diketahui bagaimana mahasiswa dan politik bagaikan “dua sisi mata uang” yakni dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini di perjelas dengan kehadiran dan peran serta mahasiswa dalam setiap babak perubahan sosial politik bangsa Indonesia itu sendiri – tentunya dengan semangat heroik-nya. Namun, di sisi faktualnya mahasiswa dewasa ini cenderung terjebak dalam kerangka berpikir “apatis” dan “pragmatis” terhadap berbagai dinamika sosial politik yang ada. Sehingga banyak yang mengidentikan mahasiswa di era kekinian bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Dari bunyi penjelasan tersebut maka tidak dapat tidak, dalam rangka mengembalikan peran mahasiswa dalam bentangan sosial-politik sebagaimana gambaran ideal yang sesungguhnya, maka kiranya diperlukan suatu upaya alternatif dan solutif yang harus dan dapat diterima dalam kehidupan praksis yakni memulihkan kembali jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa yang terdahulu. Hal ini di karenakan peran mahasiswa sebagai agent of change maupun agent of social control bukanlah sekedar predikat belaka, melainkan sebuah harapan yang digantungkan dan disematkan jutaan masyarakat Indonesia.

Disintegrasi Sosial Politik: Kajian Sederhana Iktiar Refleksi Mahasiswa

(Sebuah Tantangan dan Jawaban)

(5)

4

tingkat kekacauan yang dialami masyarakat memang cukup serius7. Secara ringkas Suryo mengungkapkan gejala disintegrasi politik-sosial-budaya yang sering terjadi di bumi Indonesia pasca reformasi yakni sebagai berikut: 1) aksi-aksi kekerasan sosial/ anarkis; 2) konflik sosial horisontal ambon, poso, dan lainnya; 3) aksi-aksi terorisme, pengaruh gerakan global: aksi bom Bali, hotel Marriot, hingga aksi terorisme pada masa-masa mutakhir; 4) aksi sosial keagamaan: masalah aliran Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat, dsb; 5) kelahiran gerakan-gerakan beraliran fundamentalisme dan gerakan-gerakan keagamaan lainnya8. Berangkat dari kajian tersebut, menjadi sangat relevan jika kita kaitkan dengan pandangan Hoogerwerf atau Greer dan Orleans sebagaimana dijelaskan Surbakti bahwa pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan9. Menanggapi berbagai permasalahan tersebut penulis berpandangan bawasannya politik secara ekspilisit memang mengandung potensi konflik, namun hal ini bergantung pada sosok “siapa” yang memainkan peranan praksis tersebut. Sehingga diperlukannya

political will secara komprehensif-integral untuk memintasi permasalahan tersebut.

Sebagaimana dilansir dalam Kompas (19/11/2013), sebagai generasi muda, mahasiswa merupakan pemimpin masa depan negeri ini10. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Ilahi (2012) pemuda adalah agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (social control), yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan segenap potensinya yang berkembang ke arah perubahan fundamental, demi memperkuat kukuhnya integritas bangsa di tengah kecamuk persoalan yang menyerbu bangsa kita. Jika kita kaitkan dua pernyataan tersebut dengan permasalahan disintegrasi sosial politik diatas, tak bisa di pungkiri bahwa kesan mahasiswa sebagai agent of change maupun agent of social control masih

7 Baca dan cermati, Supriyanto, Yanto, Peran Komunikasi Politik Pemerintah dalam Mencegah

Disintegrasi Bangsa, http://portalgaruda.org/download_article.php?article=19748, diunduh pada tanggal 16 November 2013

8 Suryo, Djoko, 2012, Kewaspadaan Nasional Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional Dalam

Rangka Pencegahan Terorisme. Makalah disampaikan pada Panel PPSA XVII Lemhanas RI, pada tanggal 20 April 2011 (tidak diterbitkan).

9 Hidayat, Imam, Teori-teori P olitik, (Malang: Setara Press, 2009), hal 95

10Selengkapnya baca Kompas (19/11/2013), dalam kolom Tantangan “Kompas Kampus”,

(6)

5

beradhesif kuat dalam masyarakat. Mereka masih sangat dinantikan gerakan

(movement) dan aksinya (action) dalam bentuk perubahan langsung (direct of

change) yakni melakukan de-radikalisasi secara riil melalui integrasi secara

menyeluruh.

Sebagaimana di sebutkan di muka, penulis mengkomparasikan sisi faktual mahasiswa dalam bingkai politik di era kekinian dengan probelamatika yang belum terselesaiakan yakni disintegrasi sosial politik yang nampaknya semakin menggejala. Hal ini, penulis lakukan sebagai upaya mengilustrasikan bawasannya mahasiswa perlu merefleksikan dirinya dan menyadari bahwa mereka masih dinantikan dalam perubahan suatu bangsa. Perlu kaitannya dalam hal ini, mahasiswa mampu mengubah mindset bahwa mereka harus tetap survive dan tidak “menghiraukan” segala realitas yang ada. Melainkan mengubah semua itu sebagai sebuah tantangan bersama yang harus segera diselesaikan. Sebagaimana peribahasa arab, bahwa pemuda yang baik adalah bukan mengatakan itulah ayah saya, tetapi inilah saya11. Karena “Pemuda tanpa keberanian tak lebih dari ternak semata”, itulah salah satu ungkapan yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer12. Menyelami lautan problematika yang sedang dihadapi mahasiswa di era kekinian, hendaknya kita mampu menghayati dan merefleksikan makna mahasiswa yang sesungguhnya. Hidup Mahasiswa!

Restorasi Sebagai Upaya Revitalisasi Jiwa-Jiwa Kepahlawanan Mahasiswa di

Era Kekinian (Sebuah Langkah Kongkret Mewujudkan Integrasi Politik di

Bumi Indonesia)

Setelah membahas secara singkat mengenai politik dan mahasiswa yang diawali dengan sisi faktual mahasiswa di era kekinian dan disusul dengan munculnya problematika yang “cukup” krusial yakni disintegrasi politik di bumi Indonesia, maka pada bagian ini dilanjutkan dengan uraian ringkas mengenai tindak lanjut dari refleksi singkat mahasiswa di era kekinian. Satu yang dapat digagaskan penulis sebagai salah satu bentuk kongkretisasi peran mahasiswa selaku agent of

11 Lihat, Alfian, M Alfan, Demokrasi Pilihlah Aku: Warna -warni Politik Kita. (Malang: Intrans

Publishing, 2013), hal 163

12 Baca, Walidah, Efka, Mahasiswa itu Harus Berani, Kompas Mahasiswa (Majalah Mahasiswa

(7)

6

change dan agent of control social di era kekinian yang mulai terkikis yakni melalui

upaya revitalisasi jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa. Namun, dalam me-revitalisasi-kan jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa di era kekinian bukanlah perkara yang mudah, terdapat banyak tantangan yang harus di hadapi oleh mahasiswa untuk mewujudkannya. Salah satu tantangan yang harus di hadapi oleh mahasiswa untuk mengembalikan eksistensi sejarah heroik pemuda yang mulai terkikis yakni melalui gerakan restorasi. Gerakan ini dimanifestasikan akan menjadi sebuah upaya solutif menciptakan kembali power mahasiswa di era kekinian. Karena selama ini kelemahan mendasar bangsa Indonesia dalam melakukan perubahan yakni belum adanya pemahaman mendalam (deep understanding) sehingga memiliki kecenderungan berjalan “setengah-setengah”.

Sesuai dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi merupakan pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Tujuannya jelas, bahwa nantinya peran mahasiswa yang dielaborasikan dengan gerakan restorasi diharapkan mampu memberikan angin segar dalam upaya mewujudkan jiwa-jiwa kepahlawanan masa kini, terutama mahasiswa selaku intelektual muda. Manifestasi dari gerakan restorasi ini yang pertama ialah mahasiswa hendaknya mampu mengoptimalisasikan peranannya dalam upaya memperbaiki dan memulihkan kembali jati diri mereka selaku “agent of change” dan “agent of social control” secara fundamental, komprehensif, dan integral. Karena, peran yang di sandang pemuda termasuk mahasiswa ini, masih sangat efektif dan kreatif dalam memosisikan peran pemuda di tengah-tengah kehidupan masyarakat13.

Manifestasi yang kedua ialah bagaimana gerakan ini hendaknya mampu mengembalikan paradigma dan peranan mahasiswa dalam upaya memperbaiki dan memulihkan kembali nilai-nilai perbedaan dalam bingkai “kebhinnekaan”. Karena, pluralitas bukanlah fenomena baru di Indonesia, bahkan hal ini sudah menjadi keniscayaan dan realitas sosial, dengan demikian menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap entitas masyarakat manapun. Dalam konteks kekinian, gerakan restorasi “heroisme” mahasiswa memiliki peranan yang vital dalam memintasi disintegrasi politik. Sebagaimana pendapat Koesman menyatakan bahwa dahulu

13 Dikutip dalam, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

(8)

7

dunia politik di dasari ideologi yang hakiki dan heroik yang memperjuangkan kebebasan dari belenggu penjajahan demi tercapainya kemerdekaan bangsa, tetapi sekarang telah berubah menjadi politik kepentingan pribadi dan golongan14. Jelas bawasannya dewasa kini, stigma politik telah disalah artikan menuju politik kepentingan dalam artian negatif. Oleh sebab itu, salah satu agenda gerakan restorasi ini mengandung faedah agar mahasiswa (secara praktis) dapat meningkatkan kualitas silahturahminya untuk mewujudkan dambaan menuju orientasi yang lebih baik dalam bingkai perbedaan. Sesuai pendapat Anas Urbaningrum yang berpandangan bahwa, para pemuda adalah generasi baru yang kepribadiannya tidak akan pernah terbelah oleh realitas dan tantangan kemajemukan Indonesia, dan justru akan menjadi salah satu tali kesadaran yang mengikat keindonesiaan kita15.

Lebih lanjut – Terlepas dari perjuangan para pahalawan kita sebagai pelaku sejarah dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, pahlawan dalam konteks masa kini perlu ditingkatkan kualitas heroiknya16, termasuk mahasiswa selaku generasi penerus (iron stock). Hal ini bertalian erat dengan manifestasi yang ketiga yakni mahasiswa diharapkan mampu me-revitalisasi-kan karakter heroik mahasiswa dalam aksi-aksi yang berkorelasi pada suara rakyat. Dalam “optik” sejarah hal ini dapat digambarkan dalam pembabagan sebagai berikut. Periode sebelum kemerdekaan, mahasiswa sebagai kaum terpelajar mempelopori terbentuknya organisasi Budi Utomo17. Begitu juga ketika mahasiswa berperan sebagai pioner lahirnya ikrar sumpah pemuda. Selanjutnya, mahasiswa juga berperan mendesak Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan RI dengan menculik ke Rengasdengklok, Karawang18. Berlanjut, pada masa orde lama gerakan mahasiswa mampu menunjukan power-nya kembali sebagai bagian dari kekuatan rakyat. Mereka berhasil menumbangkan kekuatan rezim Soekarno, yang berlanjut pada tranformasi dari orde lama menuju orde baru. Kemudian, peran

14 Koesman, Soegeng, Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut Centang Perentang Krisis Multi

Dimensi di Era Reformasi, (Yogyakarta: Lokus, 2009), hal 35

15 Dikutip dalam, Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan

Intelektual. (Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013), hal 7 16 Dikutip dalam,op.cit, hal 40

17 Dikutip dalam, Op.Cit, hal 2

(9)

8

mahasiswa yang tidak dapat terelakan lagi ialah tahun 1998 mahasiswa mengalami keberhasilan dengan gerakannya meruntuhkan orde baru19. Hingga pada akhirnya, muncul gagasan balance of power yang terjadi antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pengontrol segala kebijakan20.

Merevitalisasikan jiwa-jiwa kepahlawanan atau “heroisme” mahasiswa di dalam kehidupan praksis diharapkan mampu melengkapi agenda gerakan restorasi ini. Jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa terdahulu yang terbukti sahih dalam membela keadilan dan kebenaran atas nama suara rakyat, hendaknya secara ideal mampu di revitalisasikan dalam kehidupan praksis mahasiswa di era kekinian. Dengan demikian, kita harus yakin bahwa mahasiswa pasti mampu bertanggung jawab terhadap peranannya. Dalam konteks kekinian, pahlawan memang tidak lepas dari keberanian dalam membela kebenaran, kegigihan dalam memperjuangkan keadilan dan kemampuan dalam mengatasi problem kebangsaan21. Hal ini pula lah yang harus dilakukan mahasiswa selaku intelektual muda dalam bentuk direct of change untuk mencapai gerakan-gerakan kemajuan

(progress movement).

Berpandangan jauh kedepan namun logis, ketika langkah revitalisasi jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa mampu di implementasikan di era kekinian, bukan perkara sulit mewujudkan integrasi politik secara berkelanjutan di bumi Indonesia. Karena, dalam perkara ini yang diperlukan ialah kehendak bersama (common-will) untuk mewujudkan integrasi tersebut yakni dengan menciptakan musuh bersama sebagaimana gaya Soekarno22 dalam menyatukan bangsa Indonesia. Jika kita kaitkan dengan konteks revitalisasi ini, maka mahasiswa diekspektasikan mampu menyamakan pandangan (self will) dan mewujudkan kehendak bersama (

19 Dikutip dala, Tim Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Pendidikan Generasi Muda dan

Pramuka, (Semarang: Jurusan Politik dan Kewarganegaraan-FIS-Unnes, 2008), hal 95

20

Dikutip dalam, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 45 21 Baca dan Cermati, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 41 22 “Soekarno adalah salah satu contoh pemimpin yang sangat serius mengupayakan integrasi

nasional pada masa pemerintahannya. Untuk menyatukan bangsa Indonesia, Soekarno mengajukan suatu musuh atau common-enemy, yaitu liberalisme, individualisme, dan kapitalisme...”

(10)

9

will) dalam menciptakan integrasi politik secara berkelanjutan yakni dengan menjunjung tinggi pluralisme kebangsaan.

Jadi, gerakan restorasi ini merupakan upaya revitalisasi jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa di era kekinian dan menjadi suatu tawaran solutif dalam memulihkan kondisi dari sebuah kemunduran (medioker23) menuju gerakan-gerakan kemajuan (progress movement). Lebih lanjut mahasiswa di manifestasikan mampu memotivasi diri dan membangkitkan kembali semangat juang dan pantang menyerah dalam menggabungkan berbagai pandangan (self will) dalam bingkai perbedaan. Sehingga dapat ditarik benang merah bawasannya peran mahasiswa selaku intelektual muda dalam mewujudkan integrasi politik di bumi Indonesia tidaklah perlu di sanksikan lagi. Pandangan jauh kedepan diharapkan mahasiswa mampu menjawab sebuah tantangan yang pernah di lontarkan oleh Soe Hoek Gie yakni: “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu

didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan

benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan

kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”. Buktikan itu

intelektual muda Indonesia! Where there is a will there is a way!

DAFTAR REFERENSI

Buku

Alfian, M Alfan. 2013. Demokrasi Pilihlah Aku: Warna -warni Politik Kita. Malang: Intrans Publishing

Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas. 2013. Perpecahan HMI: Menggugat

Kebangkitan Intelektual. Jakarta: Bumen Pustaka Emas

Handoyo, Eko. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial-UnnesPress

Hidayat, Imam. 2009. Teori-teori Politik. Malang: Setara Press

23 Medioker adalah suatu istilah yang mengambarkan sesuatu yang tidak memiliki kelebihan. Baca

(11)

10

Ilahi, Muhammad Takdir. 2012. Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media

Koesman, Soegeng. 2009. Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut &

Centang-perentang Krisis Multi Dimensi di Era Reformasi. Yogyakarta: Lokus

Tim Jurusan Politik dan Kewarganegaraan. 2008. Pendidikan Generasi Muda dan

Pramuka. Semarang: Jurusan Politik dan Kewarganegaraan-FIS-Unnes

Makalah, Internet, Majalah, dan Surat Kabar

Adman, Pergerakan Kemahasiswaan(Disampaikan pada Kegiatan LDKM

Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, 13

Ramadhan 1417 H/ Oktober 2006)

---

http://adman.staf.upi.edu/files/2009/08/Mengapa-Mhs-Bergerak@LDKM.22-10-05.doc., diunduh pada tanggal 16 November 2013 Kompas (19/11/2013), dalam kolom Tantangan “Kompas Kampus”, Ma-hasiswa

Bibit Kepemimpinan Masa Depan

Masrukhi. 2012. Mahasiswa: Dalam Bentangan Diamika Sosial. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Membangun Idealisme Pemuda sebagai Pilar Penyangga Jati Diri Bangsa”di Universitas Negeri Semarang

(Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang

Supriyanto, Yanto, Peran Komunikasi Politik Pemerintah dalam Mencegah

Disintegrasi Bangsa,---

http://portalgaruda.org/download_article.php?article=19748, diunduh pada tanggal 16 November 2013 Suryo, Djoko, 2012, Kewaspadaan Nasional Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional Dalam Rangka Pencegahan

Terorisme. Makalah disampaikan pada Panel PPSA XVII Lemhanas RI, pada

tanggal 20 April 2011 (tidak diterbitkan).

(12)

11

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Erman Istanto

Alamat Rumah : Sidamulya, RT 04/05, Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah T.T.L : Cilacap, 23 November 1993

E – mail : ermanistanto.23@gmail.com Profesi : Pelajar / Mahasiswa

Universitas : Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Sosial/ Politik dan Kewarganegaraan No. Ponsel : 087736856655/ 085726385331

Blog : http://wongpinggiran23.blogspot.com/ Prestasi :

1. 10 Besar Finalis Esai Kisah Anti Korupsi – 2012

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu,masih banyak juga pendududk Desa Kuala Merbau yang tidak menamatkan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 332 jiwa setara dengan

Memb Membantu K antu KS dal S dalam e am en*usu n*usunan b nan budge udgetang tanggaran garan ada ada tia tia kegiatan sesuai dengan rogram kerja & RKS

@asil &ang #iperoleh ti#a' a'an +e+pengaruhi hasil persilangan Men#el.. 'arena genIgen &ang #ipilih Men#el a#alah genIgen &ang ti#a' terpaut

Dari hasil yang diperoleh diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan yang dihasilkan individu, maka individu tersebut menjadi lebih

1) Setiap awal pembelajaran, peserta didik harus membaca teks yang tersedia di buku teks pelajaran Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas XII. 2) Peserta didik

Hal ini untuk memberikan pe- layanan yang optimal, dengan harapan, walau terjadi kenaikan harga atau adanya penambahan waktu tempuh karena faktor lain, penumpang tidak

Penelitian tentang masalah lingkungan hidup sangat penting dilakukan karena keberadaan pusat-pusat pertumbuhan seperti UMS akan membawa dampak terhadap perubahan

Jenis penelitian adalah kualitatif. Pendekatan penelitian fenomenologi. Subjek penelitian adalah kepala sekolah dan guru. Metode pengumpulan data menggunakan