• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Asimilasi di Indonesia dan Dimen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Asimilasi di Indonesia dan Dimen"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Asimilasi di Indonesia dan Dimensi Ekonominya Logika dan Kontradiksi

Manneke Budiman Universitas Indonesia

Pengantar

Asimilasi sebagai suatu kebijakan di banyak negara hampir selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari proses nation-building. Asimilasi menjadi sebuah kebutuhan fundamental yang diasumsikan mutlak harus ada terlebih ketika sebuah komunitas bangsa menghadapi persoalan imigrasi atau masuknya arus “pendatang” yang bukan merupakan bagian dari komposisi awal dari bangsa tersebut ketika mereka menyepakati untuk menyatukan diri di dalam suatu komunitas bersama.

Sebagai contoh, negara-negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan juga Amerika Serikat dan Kanada, serta tetangga dekat kita, Australia, setelah usainya Perang Dunia II, atau selama proses dekolonisasi berlangsung, mulai membuka diri kepada imigran-imigran, termasuk para imigran yang berasal dari Dunia Ketiga. Asimilasi menjadi hal pertama yang menjadi pemikiran mereka karena ada anggapan yang sangat dominan bahwa para pendatang itu sewajarnya belajar untuk hidup dengan adat dan tata cara tempat yang didatanginya apabila mereka sungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari tempat tersebut. Implikasi yang menyertai jalan pikiran ini adalah perlunya ada kesediaan untuk meninggalkan adat-istiadat dan tata cara kehidupan di tempat yang lama yang tidak sesuai dengan lingkungan baru mereka.

Pada saat ini saja, konkretnya, pemikiran ini masih kental dianut, dan ini dapat terlihat dengan jelas pada fenomena yang kini sedang terjadi di negara-negara Eropa, seperti Perancis dan Jerman. Muncul kebijakan yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan oleh individu di tempat-tempat umum, seperti sekolah, kantor, dll. Sebagai jawaban terhadap gagasan ini, berbagai kelompok, khususnya yang berbasis Islam, gencar melakukan demonstrasi untuk menentang pengekangan tersebut. Namun, perlawanan tidak hanya menjadi monopoli kelompok-kelompok warga berlatar belakang Muslim karena institusi Gereja Katolik pun menyuarakan keberatannya.

(2)

tersebut. Apa yang sedang kita saksikan di beberapa negara Eropa pada saat ini adalah politik asimilasi yang dilakukan oleh negara dalam bentuknya yang sangat gamblang.

Tulisan ini mencoba memahami logika di balik kepercayaan pada asimilasi sebagai komponen penting pembangun kebangsaan. Di dalam konteks Indonesia, tulisan ini juga akan secara khusus menyoroti kelompok “pendatang” yang dinamai sebagai kelompok etnik Cina, bagaimana mereka diposisikan dalam domain sosial tertentu, yakni ekonomi, dan persoalan-persoalan apa yang timbul sebagai konsekuensinya. Terakhir, tulisan ini akan berusaha memperlihatkan posisinya vis-à-vis asimilasi di Indonesia sebagai penutup atau simpulan.

Logika asimilasi dan kontradiksinya

Di Indonesia, isu asimilasi merupakan isu yang cukup sentral di dalam kerangka nation-building. Di satu pihak, Indonesia masih terus harus bekerja keras mempersatukan berbagai kelompok-kelompok “pribumi” yang kian hari kian kritis terhadap berbagai kebijakan negara yang cenderung menggeneralisasikan segala-galanya dan kian sadar akan kepentingan-kepentingannya sendiri. Pergerakan menuju persatuan dalam konteks kebangsaan ini sudah dimulai pada tahun 1928, mencapai kulminasinya pada tahun 1945, tetapi kemudian mendapatkan berbagai ujian berat semenjak saat itu hingga detik ini. Konsep negara kesatuan mulai dilihat sebagai kekangan terhadap keberagaman yang sejak awal memang telah menjadi warna utama kebangsaan Indonesia, sehingga lahir berbagai ketidakpuasan dan gugatan terhadap negara kesatuan.

Di lain pihak, Indonesia juga harus bekerja dengan sama kerasnya untuk mengelola “kaum pendatang” yang tidak dianggap sebagai komponen “pribumi” dalam kebangsaan Indonesia. Mereka ini mencakupi warga etnik Cina, Arab, India, Eropa, dll, tetapi yang dalam perkembangannya kemudian menjadi tinggi bobot politisnya adalah kelompok etnik Cina. Piagam Asimilasi tahun 1961, dan juga Keppres yang mengikutinya beberapa tahun kemudian setelah peristiwa tahun 1965, adalah wujud upaya-upaya negara untuk melakukan pengelolaan itu, dengan asimilasi sebagai nafas dominannya.

Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, asimilasi secara konseptual merupakan orientasi kebijakan yang bertujuan mengintegrasikan kelompok-kelompok “pendatang” ke dalam nilai-nilai dan praktik-praktik dominan kebangsaan yang mensyaratkan ditinggalkannya kebiasaan-kebiasaan hidup di tempat asal para pendatang tersebut. Ini dipandang sebagai suatu kewajaran, kalau bukan kemutlakan. Asimilasi tidak hanya dilihat sebagai suatu kebijakan yang esensial tetapi juga sangat efektif untuk mempercepat integrasi, dan bahkan—di mata sebagian orang—merupakan suatu wujud kebijaksanaan yang luhur.

(3)

Akibatnya, sesuatu yang pada awalnya menjanjikan kesempurnaan atau pemecahan masalah malahan justru memicu lahirnya masalah-masalah yang lebih kompleks yang membuat sasaran utama nation-building itu sendiri menjadi gagal untuk dicapai.

Pertama, asimilasi secara implisit dilandasi oleh pemikiran yang bersifat esensialis, yang mengasumsikan adanya otentisitas, dan bahkan mungkin juga mengaung-agungkannya. Dengan demikian, lahirlah kebutuhan untuk mengasimilasikan yang dianggap “tidak otentik” ke dalam yang “otentik”. Yang otentik adalah mereka yang dianggap sebagai pemilik dan penghuni sah wilayah negara Indonesia. Pada gilirannya, pemikiran ini melahirkan klasifikasi yang disebut dengan “pribumi”. Dalam konteks ini, “pribumi” tidak identik dengan konsep inlander yang ada pada masa kolonial karena kaum inlander, sekalipun mereka telah lama menghuni kepulauan ini, tidak dianggap sebagai pemilik sah.

Persoalannya adalah siapapun yang menekuni studi tentang sejarah bangsa-bangsa akan segera mengerti bahwa isu otentisitas dalam kebangsaan sangatlah problematik. Hampir sama seklai tidak ada satu bangsa pundi dunia yang komposisinya seratus persen homogen atau “otentik”. Tidak jarang mereka yang dianggap “pribumi” di suatu tempat ternyata adalah pendatang juga di masa lalu. Esensi keaslian suatu kelompok etnik, dengan demikian, sering kali bercampur baur dengan siapa yang terlebih dahulu datang dari pada siapa. Rumitnya, untuk kelompok etnik Cina berlaku aturan main yang berbeda: tak peduli telah berapa lama atau berapa generasi mereka berada di Indonesia, mereka tetap tidak pernah akan diterima sebagai bagian dari “yang asli”.

Ini membawa kita pada kekeliruan logika berpikir yang kedua, yang berpotensi besar untuk memecah-belah bangsa. Ketidaklogisan yang saya maksud adalah dikotomi atau oposisi biner antara kaum “pribumi” dan kaum “pendatang”, yang dalam hal ini secara tersirat adalah kelompok etnik Cina, lebih dari pada kelompok-kelompok etnik “pendatang” lainnya, seperti Arab, India, Eropa, dll. Pengaruh cara berpikir dikotomis yang tidak bermanfaat sama sekali ini bahkan merasuk sampai ke wilayah kebijakan dan perundang-undangan. Asimilasi, alih-alih mencairkan perbedaan yang salah kaprah ini, malahan semakin mengedepankannya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa oposisi biner antara “pribumi” dan “pendatang” ini seakan-akan menjadi raison-detre bagi lahirnya pemikiran dan kebijakan asimilasi.

(4)

melainkan suatu manajemen etnisitas yang memayungi semua komponen etnik yang ada dalam komunitas bangsa Indonesia.

Kesalahkaprahan ketiga adalah yang berkaitan dengan alergi pada sebuah pola pikir dikotomis lainnya, yaitu oposisi biner antara mayoritas dan minoritas. Di banyak negara maju, dikotomi ini diterima sebagai suatu cara untuk menyikapi fakta bahwa ada sekelompok orang yang dominan dalam suatu bangsa dan ada pula beberapa kelompok orang lainnya yang tidak memiliki akses dan kesempatan yang memadai untuk membuat diri mereka terdengar dan dapat berkembang secara optimal. Yang lebih utama lagi, dikotomi ini juga dipandang positif karena dapat membuka mata kita bahwa ada kelompok-kelompok “kecil” yang, tanpa adanya oposisi biner antara mayoritas dan minoritas, tidak akan dapat mengada (being) dan menjadi (becoming) secara setara dengan kelompok yang lebih “besar”. Dengan kata lain, dikotomi mayoritas dan minoritas ini memungkinkan semua komponen dapat secara bersama-sama mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang berbasis pada keadilan.

Di Indonesia, ada semacam tabu untuk berbicara tentang etnisitas dalam konteks hubungan antara mayoritas dan minoritas. Ada fobia terhadap apa yang didengung-dengungkan dengan agak sloganistis sebagai “dominasi mayoritas” dan “tirani minoritas”. Tidak pernah jelas betul apa yang dimaksud dengan ini semua, meskipun beberapa tahun yang lampau sejumlah pejabat negara rajin meneriakkan fobia-fobia terhadap paradigma mayoritas – minoritas itu. Banyak orang menilai bahwa dominasi kejawaan di zaman Orde baru dalam tataran budaya politik negara sebagai sebuah bentuk dominasi mayoritas. Namun, kita masih bisa berdebat panjang untuk menentukan apakah hal tersebut merupakan sebuah pilihan yang dibuat oleh para elit negara yang sebagian besar berlatar belakang etnik Jawa ataukah suatu perwujudan kehendak kolektif warga etnik jawa untuk mendominasi. Demikian pula dengan ribut-ribut di seputar isu penentangan terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional oleh sebagian kelompok agama “minoritas”, yang oleh para pendukung undang-undang tersebut dipandang sebagai upaya pemaksaan pendapat yang mengarah kepada ‘tirani minoritas”.

Saya tidak sedang mempromosikan cara berpikir seperti ini untuk dicobakan di Indonesia karena apapun yang dibangun atas dasar positioning yang dikotomis selalu mengandung masalah. Di Indonesia kita harus ekstra hati-hati untuk memahami persoalan nation-building dengan paradigma mayoritas – minoritas ini. Sebagai contoh, pada sebuah seminar di Universitas Indonesia beberapa tahun yang silam, ekonom Faisal Basri pernah mengemukakan bahwa mengklasifikasikan kelompok etnik Cina di Indonesia dalam kelompok “minoritas” bisa bermasalah. Alasannya, menurut Basri, dari segi kuantitas kelompok etnik Cina adalah ketiga terbesar setelah kelompok etnik Jawa dan Sunda, sehingga jelas kelompok ini bukan minoritas dari segi jumlah populasinya.

(5)

demikian akan saya cobal jelaskan pada bagian berikutnya, yaitu bagian yang membahas aspek ekonomi dari asimilasi, dengan lebih panjang-lebar. Hal yang sama juga berlaku bagi kelompok-kelompok etnik lainnya yang tergolong dalam kategori “pribumi”. Orang Daya di Kalimantan, atau orang Papua di Irian, adalah kelompok-kelompok “mayoritas” di tanah mereka masing-masing, tetapi kenyataan itu tidak serta-merta membuat mereka berdaya. Berbagai kebijakan yang buta perbedaan, seperti transmigrasi, sistem pemerintahan daerah, usaha kecil dan menengah, dsb tidak membawa keuntungan atau kesejahteraan bagi mereka dan sering kali lebih mementingkan para “pendatang” yang dari segi kuantitas adalah “minoritas”.

Meskipun demikian, kadang-kadang kita perlu mampu juga berpikir dalam paradigma mayoritas – minoritas ini sejauh sasarannya adalah untuk memberdayakan unsur-unsur bangsa tertentu yang, karena satu dan lain hal, ketinggalan dari unsur-unsur bangsa yang lain. Ancaman baru muncul andaikata cara pandang ini digunakan untuk melegitimasi dan mengukuhkan dominasi kelompok mayoritas dalam suatu bangsa. Ini pernah terjadi, misalnya, di Australia semasa white Australian policy masih diberlakukan pada tahun-tahun 1960-an dan 1970-an; hak-hak kaum Aborijin sebagai “penghuni dan pemilik sah” tanah Australia pun pada masa itu diberangus dan tidak diakui.

Ke-empat dan terakhir, tolok ukur kesetiaan, sebagai salah satu indikator integrasi, dalam asimilasi hanya terlihat dalam bentuk tokenisme. Warga etnik Cina bersedia mengganti namanya dengan nama “pribumi”, meninggalkan adat-istiadatnya yang tidak berkenan di hati “yang empunya rumah” , bila perlu juga mengganti agama yang dianutnya, dst. Namun, sesungguhnya kesetiaan seorang warga negara acap kali adalah sebuah isu yang sekunder apabila dibandingkan dengan, misalnya, kesetiaan pada orang-orang yang kita cintai, pada tim sepakbola yang kita dukung, atau pada tempat kita hidup dan mencari uang. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melepaskan kewarganegaraannya untuk dapat menikah dengan kekasih yang berkewarganegaraa asing dan tinggal di negara kekasihnya itu. Ada juga orang yang, demi kesejahteraan material dan kemapanan ekonomi, bersedia menjadi warga negara lain dan menetap di negara tersebut secara permanen. Para misionaris, misalnya, demi misi penyebaran agamanya, rela melepaskan kewarganegaraannya dan menjadi warga negara Indonesia, bahkan tinggal di pelosok-pelosok pedalaman, dan bekerja sampai mati untuk agamanya.

Maka, persoalannya adalah sejauh mana asimilasi dapat mewujudkan dan menjamin kesetiaan, apabila itu adalah salah satu tujuannya, ketika bahkan isu kesetiaan itu sendiri ternyata sedemikian abstrak dan kompleksnya. Ini adalah logika yang linear, positivistik dan satu dimensi, yan jauh dari memadai untuk dapat diterapkan dalam urusan pengelolaan bangsa, terlebih lagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Salah satu masalah serius yang kini dihadapi Indonesia justru adalah masalah separatisme yang terjadi di wilayah-wilayah yang diasumsikan didiami oleh orang “pribumi”, yang dalam logika asimilas kesetiaannya menjadi sesuatu yang taken for granted.

(6)

Ekonomi dapat dikatakan menempati posisi penting dalam pembangunan sebuah nation-state modern, terutama apabila nation-nation-state tersebut baru saja meraih kemerdekaannya dan sedang bekerja keras untuk dapat mengejar ketinggalannya dari negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi juga dapat dijadikan sebagai alat uji untuk menentukan apakah para pemimpin negara, yang pada masa perjuangan kemerdekaan memobilisasi perlawanan dengan janji-janji kemajuan, memiliki kompetensi yang memadai untuk mewujudkan kata-katanya.

Krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir pada tahun 1950-an di Indonesia dengan susah payah—dan tidak sepenuhnya berhasil—berusaha dialihkan oleh Soekarno menuju ke persoalan nasionalisme dan perlawanan terhadap imperialisme-kolonialisme. Namun, strategi ini terbukti tidak selamanya mujarab. Isu ekonomi menjadi salah satu dari tiga tuntutan rakyat, yang dikumandangkan para demonstran pada hari-hari menjelang kejatuhan Soekarno. Bahkan gagasan gemilang macam Ganefo pun, yang dengan ambisius berupaya menandingi Olimpiade, tidak lagi cukup meyakinkan untuk meminta rakyat bertahan lebih lama dalam kekurangan.

Warga sebuah komunitas yang memandang dirinya sebagai sebuah bangsa bersedia kelaparan dan hidup dalam kondisi yang minimum pada saat mereka harus bersama-sama menghadapi suatu musuh yang konkret dan sulit ditaklukkan, seperti penjajah asing. Namun, ketika secara fisikal penjajah tersebut sudah tak lagi ada, retorika atau wacana perlawanan terhadap penjajahan menjadi terbatas keampuhannya. Dalil Marx bahwa kondisi sosial membentuk kesadaran manusia, dan bukan sebaliknya, menjadi kuat terasa kebenarannya di sini. Perut yang lapar tidak dapat diisi dengan slogan-slogan nasionalistik belaka.

Krisis ekonomi panjang gelombang berikutnya, yang terjadi pada penghujung tahun 1990-an hingga saat ini, menjadi bukti nyata yang lain bahwa ekonomi merupakan sebuah determinan penting dalam nation-building. Pemimpin yang tidak lagi dinilai kompeten dalam memberikan kepemimpinan di bidang ekonomi identik dengan pemimpin yang tidak memiliki kemampuan untuk membawa bangsa menuju ke tujuan akhir nation-building, yakni kemakmuran untuk seluruh rakyat. Perhatikan bahwa sasaran akhir sebuah proses nation-building yang panjang dan rumit itupun sangat berbau ekonomi, lebih dari pertahanan, politik, budaya ataupun aspek-aspek lainnya.

Hal ini cukup disadari oleh banyak pemerintahan, meskipun kesadaran itu tidak selalu dapat secara konsisten dituangkan dalam kisah-kisah sukses. Persoalannya, dibutuhkan suatu sumber daya yang dapat diandalkan untuk secara khusus mengemban tugas pertumbuhan di bidang ini, dan di banyak negara yang baru merdeka biasanya tidak cukup tersedia sumber daya “pribumi” yang siap untuk ini. Bahkan, di negara-negara yang relatif telah cukup mapan, seperti di negara-negara Eropa dan di Amerika, masih dibutuhkan sekelompok elit ekonomi yang pada saat yang sama juga merupakan kelompok etnik tertentu, yaitu warga Yahudi.

(7)

kolonial Belanda mereka memperoleh status kewarganegaraan yang setingkat lebih tinggi dari pada warga “pribumi”. Kelompok etnik ini dinilai paling siap untuk menjadi mesin penggerak kemajuan ekonomi negara, tetapi pada saat yang bersamaan juga diposisikan sebagai sekelompok manusia yang tidak dapat sepenuhnya dipercaya dan kesetiaannya kepada tanah airnya yang baru diragukan.

Sebagai mesin ekonomi yang indispensable, kelompok etnik Cina menempati posisi yang sangat penting—sebegitu pentingnya sehingga mereka betul-betul harus dapat sepenuhnya dibuat menjadi bagian integral dari bangsa, yang kadar kesetiaannya tidak lebih kecil dibandingkan warga bangsa yang lain. Tanpa itu, potensi ekonomi mereka tidak akan dapat diefektifkan dengan optimal. Oleh sebab itu, asimilasi menjadi isu maha penting, dan ini menjelaskan juga mengapa kelompok etnik ini yang terkesan menjadi sasaran spesifik kebijakan itu lebih dari kelompok-kelompok “pendatang” lainnya.

Namun demikian, ini adalah sisi ekonomi semata dari asimilasi warga etnik Cina di Indonesia. Sisi politik dari asimilasi itu tidak selalu selaras dengan dimensi ekonominya. Dari perspektif politis, asimilasi kelompok etnik Cina juga merupakan sesuatu yang mutlak perlu tetapi dengan alasan yang berbeda. Di sinilah persoalan menjadi sangat problematik dan barangkali juga mengandung suatu kontradiksi, kalau bukan ironi. Di satu pihak asimilasi itu menunjang integrasi warga etnik Cina ke dalam bangsa, atau semacam proses “pribumiisasi" warga etnik Cina, sehingga—sebagaimana yang diamanatkan oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan asimilasi— mereka tidak akan lagi memperlihatkan kekhasannya atau “kecinaannya.”

Di lain pihak, asimilasi justru semakin menandai perbedaan: kelompok etnik Cina menjadi semacam target yang “diberi tanda”, menjadi sasaran tembak kebijakan asimilasi yang, meskipun secara konseptual berlaku untuk semua “pendatang”, di dalam praktiknya secara khusus dikenakan kepada warga etnik Cina belaka. Perbedaan, dalam hal ini, diberi tekanan tetapi tidak dalam artian positif, seperti yang diupayakan oleh kebijakan multikulturalisme, misalnya. Perbedaan ditekankan dengan tujuan untuk ditiadakan karena ia diposisikan negatif, bertolak belakang dengan integrasi, dan tidak compatible dengan agenda nation-building secara keseluruhan. Oleh karena itu, posisi warga etnik Cina di Indonesia selalu ambigu sekaligus dilematis.

(8)

Dengan demikian, menjadi Indonesia, bagi warga etnik Cina, adalah sebuah pertaruhan berisiko tinggi yang hampir mustahil dapat dimenangkan. Satu-satunya jalan yang terbuka untuk melakukan resistensi terhadap politik asimilasi yang seperti ini adalah mengikuti agenda asimilasi dengan segala aturan mainnya tetapi menolak untuk diposisikan sebagai pemain ekonomi. Ada banyak warga etnik Cina yang memilih positioning seperti ini bagi dirinya sendiri dan menolak positioning yang hendak dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, seperti negara, media massa, dll.

Perbandingan mungkin dapat diberikan di dalam konteks akulturasi yang, walaupun tidak secara langsung dan eksplisit diregulasikan, terjadi juga di lapangan. Berbeda dengan asimilasi, proses akulturasi yang terjadi adalah imposisi nilai-nilai dan praktik-praktik budaya mayoritas, yakni Jawa, ke dalam aspek-aspek politik dan kultural dalam kehidupan berbangsa. Sistem pemerintahan desa, yang kental dengan warna kejawaan, misalnya, diterapkan secara universal di seluruh pelosok tanah air tanpa mengindahkan adat dan tradisi setempat. Demikian pula dengan segala macam motto dan slogan politik nasional yang nyata-nyata secara ekslusif digali dari budaya Jawa yang mayoritas.

Namun, mirip dengan asimilasi, ada asumsi bahwa terdapat seperangkat nilai yang diangkat menjadi nilai-nilai nasional dan dianggap baik bagi semua orang yang ada di dalam wilayah nasional itu. Implikasinya adalah ada juga nilai-nilai yang tidak dianggap sesuai dengan gagasan kemajuan, nasionalisme dan modernitas, yang harus ditinggalkan. Sering kali, dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kelompok-kelompok minoritaslah yang mengalami marginalisasi. Revitalisasi masyarakat adat, isu-isu di seputar kepemimpinan oleh “putra daerah”, gugatan-gugatan atas kepemilikan tanah adat, dsb, bisa juga dibaca sebagai bentuk-bentuk resistensi terhadap berbagai praktik dan kebijakan yang berorientasi pada akulturasi.

Kembali ke dimensi ekonomi dalam konteks asimilasi warga etnik Cina, ada beberapa hal yang patut mendapatkan perhatian. Bagaimana masalah “pendatang” ini dikelola di beberapa negara dapat memberikan pelajaran yang baik kepada Indonesia. Malaysia, misalnya, alih-alih menerapkan kebijakan asimilasi memilih untuk bereksperimen dengan semacam affirmative action untuk memberdayakan sumber daya “pribumi” agar dalam jangka panjang mampu berdiri sejajar dengan para “pendatang” berlatar belakang etnik Cina, India, dll. Keberhasilan kebijakan ini memang bias diperdebatkan. Bahkan PM Mahathir Mohamad sendiri pernah mengeluh bahwa affirmative action yang diterapkan ternyata tidak cukup mujarab untuk memberdayakan orang Melayu. Namun, paling tidak, tidak ada satu kelompok etnik pun yang dicabut hak-haknya untuk melestarikan tradisi dan keunikannya sendiri, seperti yang kita telah lihat terjadi dalam asimilasi.

(9)

keunikan dan perbedaan tetapi ada bumbu atau “salad dressing” yang menyatukan rasa, yakni yang disebut dengan keamerikaan (americaness) itu. Kini, Amerika jualah yang mempopulerkan multikulturalisme, sebuah eksperimen mutakhir dalam nation-building yang konon lebih canggih dan toleran dari pada kebijakan-kebijakan yang pernah ada sebelumnya. Namun, setelah peristiwa 11 September, siapa yang masih dengan yakin dapat mengatakan bahwa multikulturalisme di Amerika belum mati?

Di Indonesia, affirmative action sesungguhnya pernah dicobakan, yaitu ketika Soekarno memutuskan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahan-perusahaan Belanda dan mengalihkan pemilikan serta pengelolaannya kepada para entrepreneur “pribumi”. Namun, ini adalah suatu bentuk affirmative action yang bersifat emosional dan hanya dilandasi oleh sentiment nasionalistik semata tanpa disertai oleh visi yang jauh ke depan, perencanaan yang holistik dan terpadu, serta implementasi yang matang dan terpantau dengan baik. Dalam waktu sekejap perusahan-perusahaan yang telah dinasionalisasikan tersebut berguguran dan jatuh bangkrut. Kebijakan itu tidak disertai pula dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan ketrampilan menjalankan usaha para “entrepreneur sulapan” itu. Sementara itu, banyak warga etnik Cina dengan kemampuan wirausaha yang tinggi terpaksa meninggalkan Indonesia karena kebijakan tentang kewarganegaraan yang sangat stigmatik bagi warga etnik Cina di sini.

Di Indonesia, apapun yang hendak dilakukan dalam rangka mengintegrasikan masyarakat etnik Cina ke dalam kebangsaan Indonesia atau dalam rangka memberdayakan sumber daya “pribumi” harus dilakukan dengan sangat berhati-hati dan dipikirkan dengan masak-masak. Namun, langkah pertama yang dapat dan perlu diambil adalah deregulasi. Semua kebijakan yang berbau asimilasi harus terlebih dahulu dihapuskan dan, mungkin, untuk sementara tidak perlu dibuat regulasi baru sebagai penggantinya. Ada hal-hal di dalam proses nation-building yang sebaiknya dibiarkan tumbuh secara orgnaik tanpa campur tangan negara. Pembauran atau integrasi barangkali adalah salah satunya. Ketika negara mulai melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan atau regulasi, maka kita akan menyaksikan persoalan seperti yang saat ini kita saksikan di Perancis dan Jerman.

Kerap kali, apa yang menjadi keributan besar dalam tataran politik tingkat atas ternyata sama sekali bukan menjadi persoalan pada tataran akar rumput. Di Inggris, misalnya, multikulturalisme tumbuh dengan lebih subur dan produktif di tengah-tengah masyarakat sendiri ketika negara justru belum secara khusus menaruh perhatian pada isu-isu integrasi. Maka, kita menyaksikan tumbuhnya fenomena-fenomena menarik, seperti bermunculannya ratusan mesjid di kota London (konon, saat ini di London saja terdapat lebih dari 500 bangunan mesjid) dan berkembangnya kota-kota yang mayoritas penduduknya adalah kaum pendatang yang beragama non-Kristen, seperti kota Bradford di Inggris tengah. Tampaknya, mayoritas warga kulit putih di Inggris tidak terlalu mencemaskan perkembangan tersebut.

(10)

yang biasanya pasif itu pun berani menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan tersebut. Dalam pandangan saya, akan lebih produktif apabila warga etnik Cina diproliferasikan ke dalam berbagai sektor, sehingga cap ekonomi yang selama ini mereka miliki dan sangat problematik itu dapat secara bertahap dinetralisasi. Pada saat yang sama, sektor ekonomi pun dalam jangka panjang akan menjadi semakin terbuka pula untuk kaum “pribumi”. Fenomena yang terakhir ini sebenarnya sudah mulai berkembang, khususnya semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, meskipun hasil konkretnya masih mesti ditunggu. Yang perlu diberi perhatian adalah bahwa pada dasarnya pertumbuhan tersebut sifatnya organik dan tidak merupakan hasil intervensi negara yang terlalu jauh.

Penutup

Tulisan ini menempatkan dirinya secara berseberangan dengan pemikiran asimilasi. Di zaman yang serba global dan terbuka seperti sekarang, setiap negara menghadapi persoalan integrasi karena adanya kebutuhan yang mendesak untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan, yang kian hari kian terancam oleh bukan hanya arus informasi tetapi juga arus mobilitas manusia yang semakin tinggi. Untuk kasus Indonesia, masalah masih diperparah lagi dengan adanya gerakan separatis di beberapa tempat. Integrasi dan kepentingan nasional semakin mendesak untuk diprioritaskan. Di pihak lain, setiap negara juga harus gesit dan cukup terbuka untuk menangkap arus modal dan kesempatan dagang, yang juga dibawa oleh globalisasi. Untuk itu, kita bersedia tunduk pada berbagai aturan yang dikeluarkan badan-badan internasional seperti WTO, meskipun dalam banyak hal aturan-aturan itu merugikan kepentingan nasional kita. Ini adalah dua kebutuhan yang satu dan lainnya saling berbenturan, dan bahkan berkontradiksi.

Di dalam konteks permasalahan pertama, asimilasi sejauh menyangkut isu ekonomi tidak akan dapat bekerja secara efektif dalam mengintegrasikan kelompok etnik Cina ke dalam komunitas bangsa Indonesia. Sebabnya adalah karena letak persoalannya bukan pada bagaimana mereka membaurkan diri dengan kelompok-kelompok etnik “pribumi” melainkan pada bagaimana mereka diterima dan dipandang sebagai bagian yang integral dari keindonesiaan. Anggapan bahwa ‘karena mereka adalah “tamu”, maka mereka harus bersikap baik kepada kita dan menyesuaikan diri dengan kita’ mungkin tidak keliru secara konseptual tetapi tidak tepat untuk diberlakukan dalam sebuah entitas bangsa yang hampir seluruh komponennya, di suatu waktu di masa silam, adalah “pendatang”. Selama asimiliasi masih diberlakukan, kelompok etnik Cina akan selalu menjadi kelompok yang berstigma dan, kalau boleh dikatakan, asimilasi itulah yang menghambat diterimanya kelompok tersebut sebagai bagian yang tak terceraikan dari bangsa Indonesia.

(11)

Sementara itu, berkaitan dengan masalah kedua, dengan dunia semakin menjadi sebuah komunitas bersama yang tunggal, asimilasi menjadi lebih ketinggalan zaman lagi. Di zaman ketika uang dan keuntungan menjadi penentu hubungan-hubungan, ketika pemain-pemain utama yang penting bukan lagi negara melainkan individu-individu, bukan integrasi yang utama melainkan hubungan yang saling menguntungkan antara siapa saja dengan siapa saja. Batas-batas negara, kewarganegaraan, etnisitas, dan agama tidak lagi menjadi penghalang bagi terjadinya transaksi-transaksi ekonomi, sosial dan kultural yang signifikan dan berjangka panjang. Penanam modal asing berkulit kuning dan bermata sipit mampu memainkan peranan yang amat penting dalam pertumbuhan ekonomi dan diharap-harapkan kedatangannya, meskipun mereka tidak hafal Pancasila dan tidak mengerti satu patah kata pun dalam bahasa Indonesia. Pengungsi dari Asia Tengah dan Timur Tengah, yang nota bene berkulit gelap dan Muslim, kedatangannya tidak diterima dengan hangat karena identik dengan masalah, dan bukan dengan uang dan modal.

Ke depan, Indonesia harus lebih terfokus pada strategi manajemen kebangsaan yang memperhitungkan faktor-faktor global dan nasional secara simultan dan tidak lagi memecah-belah dirinya sendiri dengan regulasi-regulasi yang parsial, diskriminatif dan hanya memberikan keuntungan poltik jangka pendek. Nation-building sebagai sebuah proses tidak akan pernah usai dan tidak dapat didekati dengan target-setting seperti di masa lalu ketika tahapan-tahapan pembangunan dilakukan dengan begitu pasti dan sederhananya, sehingga seolah-olah ‘masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual” akan dapat dicapai setelah tiga puluh atau enam puluh tahun dengan hitung-hitungan yang matematik. Nation-building, sepert yang telah saya tegaskan beberapa kali di sepanjang tulisan ini, harus pada dasarnya bersifay organik. Tekanannya pun lebih pada wilayah kultural, dan bukan politik, apalagi ekonomi, meskipun kedua aspek tersebut tidak juga dapat diabaikan begitu saja. Saya katakan kultural karena manajemen kebangsaan pada hakikatnya adalah manajemen manusia, dan bukan sistem. Indonesia baru dapat menentukan arah perkembangannya dengan jernih apabila paradigma ini disadari betul maknanya.

*****

Referensi

Dokumen terkait

Setelah nilai dari sunk cost telah diperoleh, maka nilai sunk cost akan dimasukkan ke dalam perhitungan biaya diferensial terhadap keputusan terhadap aset tetap

Ainsworth (1978) diacu dalam Kemppinen (2007) mengatakan bahwa sensitivitas ibu adalah kesediaan dan kesiapan ibu pada setiap waktu untuk merespon sinyal anak secara konsisten dan

Perancangan sensor tegangan yang digunakan menggunakan prinsip pembagi tegangan dimana tegangan nominal dari battery (48 Volt) dikonversi menjadi tegangan yang mampu

Menurut Malhotra (2005) alasan penerapan manajemen pengetahuan di perusahaan dilatarbelakangi oleh 1)peningkatan persaingan pasar dan tingkat inovasi 2)penghematan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang identifikasi senyawa metabolit sekunder dari ekstrak etanol Buah Dengen (Dillenia serrata) dapat

(6) Dalam melaksanakan tugas teknis tertentu, Pemimpin Bagian Proyekj wajib berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kepala Dinas yang menangani Perkebunan, Tanaman Pangan &

Pengamatan yang dilakukan merupakan langkah analisa terhadap struktur kalimat, motif, frase dan bagian/periode yang terdapat dalam karya musik Panca Indra komposer

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan