• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Baru Pembinaan Teritorial TNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradigma Baru Pembinaan Teritorial TNI "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA BARU PEMBINAAN

TERITORIAL TNI/TNI-AD

DALAM MENUNJANG

KETAHANAN NASIONAL

1. PENGANTAR

Makalah ini diawali dengan mengetengahkan suatu permasalahan kemanusiaan yang besar : kemiskinan. Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 1,4 milyar penduduk miskin dengan tolok ukur pendapatan 1.25 dolar A.S. per hari (World Bank, Agustus 2008). Menghadapi kenyataan ini komunitas internasional telah membuat kesepakatan dan menyatakan komitmennya (termasuk Indonesia) yang dituangkan dalam Deklarasi Millenium tahun 2000 di New York. Tujuan Deklarasi ini dijabarkan dalam naskah.

Millenium Development Goals(MDGS) yang salah satu butir tujuannya adalah “menanggulangi kemisikinan dan kelaparan” yang harus dicapai pada tahun 2015. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi Millenium tentu saja menyadari bahwa gejala kemiskinan merupkan salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun, sampai saat ini ternyata berbagai program dan pendanaannya yang dilaksanakan secara lintas sektoral /departemen / lembaga belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro, 2007).

Hal ini disebabkan oleh pendekatan penanggulangan kemiskinan yang tidak terpadu, pola berpikir linier (linear thinking) pada para pengambil keputusan, ego sektoral, dan program pengentasan kemisikinan yang menekankan pada bantuan teknis dan kucuran dana serta tidak memberdayakan seluruh komponen bangsa. Dengan mengangkat isu (issue) kemiskinan, makalah ini mencoba menjawab dua tujuan Seminar Nasional tentang Disampaikan pada “Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter bersama Seluruh Komponen Bangsa dalam rangka Mendukung Kepentingan Nasional” tanggal 26 Februari 2009 di Auditorium Widya Sabhan UNUD, Bali. Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter (dalam hubungan dengan topik : Implementasi Pembinaan Teritorial (Binter) Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Nasional), yakni:

a. Terwujudnya rumusan pokok-pokokpikiran tentang sinkronisasi penyelenggaraan Binter TNI/TNI-AD dengan pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional.

b. Terwujudnya konsepsi pemberdayaan wilayah pertahanan melalui Binter dalam membantu pemerintah untuk menyiapkan potensi wilayah menjadi kekuatan pertahanan.

2. KEMISKINAN SEBAGAI FAKTORPENENTU KETAHANAN NASIONAL

(2)

global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak juga terhadap kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang semula diperkirakan 6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009). Demikian pula jumlah orang miskin tahun2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara dengan 14,87% jumlah penduduk Indonesia). Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009) mengemukakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan pengangguran. Dalam perhitungannya setiap 1% pelambatan ekonomi akan menyebabkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika ini dikalikan dengan empat anggota keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi yang berarti 1,2 juta orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari 2009).

Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan jumlah penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total jumlah penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk miskin di pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total jumlah penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase jumlah penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan dalam kurun waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke perkotaan dengansegala permasalahannya,seperti menjamurnya pedagang kaki lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api, serta meningkatnya kriminalitas. Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan. Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat, antara lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari kemiskinan. Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas. Demikian pula prestasi sekolah anak miskin secara keseluruhan lebih rendah dari anak-anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di kemudian hari setelah mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki posisi yang rendah di dunia kerja.

(3)

lembaga sosial/gereja. Penyebab dari gejala homelessness ini adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga yang menampung/merawat, dan dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit. Yang ironis, menurutFarley adalah beberapa pemerintahan kota mengeluarkan aturan yang melarang orang tidur di taman kota dan tempat-tempat umum (di Indonesia hal sepertiini juga terjadi berupa penggusuran penghuni liar yang tinggal dilahan pemerintah atau swasta, di kolong jalan layang, dan di bantaran kali). Keempat, kemiskinan juga berdampakterhadap kriminalitas. Penduduk miskin bisa menjadi korban kejahatan, seperti diperas, dirampok, dan diperkosa karena umumnya mereka tidak cukup mempunyai akses terhadap perlindungan wilayah pribadi. Statistik nasional berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat itu menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang miskin daripada orang yang tergolong beruntung (advantage people).

Di sisi lain orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di tempat umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan, dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya menurut Farley : “poverty breeds crime”.

Kelima, dampak kemiskinan terhadap kondisi mental. Farley mengemukakan sejumlah hasil penelitian (Dohrenwend, 1972 : Warheit, Holzer, dan Schwab, 1973) yang pada intinya menunjukkan bahwa orang-orang berpenghasilan rendah atau miskin kurang merasa bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami gangguan mental yang serius (depresi, skizoprenia, dan gangguan kepribadian). Penelitian lain yang dilakukan oleh Campbell, Converse, dan Rogers (1976) juga menunjukkan rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di Amerika. Dengan demikian, dapatdisimpulkan adanya hubungan yang erat antara kemiskinan dan gangguan mental. Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kemiskinan merupakan suatu siklus yang terus-menerus berjalan dari generasi ke generasi yang penyebab utamanya adalah taraf pendidikan anak-anak orang miskin yang rendah. Selain faktor pendidikan yang rendah, faktor mental orang miskin juga merupakan siklus yang menyebabkan mereka terperangkap dalam kondisi kemiskinan dan sulit bangkit ke kondisi yanglebih baik. Dengan kata lain, mereka terus-menerus berada dalam lingkaran kemiskinan (cycle of poverty). tidak acuh atau tidak peduli terhadap llingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam deprivasi. Pelajaran apa yang kita peroleh (lesson learned) dari kondisi orang miskin dengan keterbatasan akses ke berbagai layanan umum dan ketidak mampuan mereka memotong lingkaran kemiskinan?.

(4)

termasuk TNI/TNI-AD. “ Only with the assistance of local governments, NGOS, community organizations, and the beneficiaries themselves will the National Government have a high chance of success in meeting the challenge of poverty alleviation over the coming years ...NGOs, private sector, and communities hold the potential for shifting the ride of resources and staffing in favor of the needs of the unfortunate (World Bank, 1996 dalam Ortegas, 2000:8)”

Pelajaran kedua yang kita perolehadalah bahwa kelompok miskin merupakan “kelompok rentan” yang sangat potensial untuk dilibatkan atau dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Hal ini terbukti dari dilibatkannya mereka dalam aksi massa, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk protes lainnya serta dalam proses perekrutan pembentukan “pasukan khusus” suatu partai dan organisasi kemasyarakatan. Bukti lainmengenai betapa rentannya kelompok masyarakat yang tergolong miskin ini ditunjukkan juga oleh Malik (2003) pada saat mengimplementasikan gerakan Bakubae pada konflik antar kelompok yang terjadi di Maluku. Malik mengemukakanbahwa selain kondisi dan situasi di Maluku yang sangat kondusif untuk terjadinya konflik antarkelompok, juga kondisi sosial-ekonomi yang buruk (masyarakat miskin) memberi sumbangan yang besar terhadap terjadinya konflik antarkelompok.

Keberhasilan Malaysia merekrut warga negara Indonesiadi daerah perbatasan Indonesia-Malaysia untuk dijadikan pasukan Wataniah Malaysia merupakan bukti lain lagi mengenai “menurunnya loyalitas” warga negara Indonesia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk dimaklumi bahwa warga negara Indonesia yang mendaftarkan diri dan berhasil direkrut oleh Pemerintah Malaysia itu berasal dari sosial-ekonomi rendah Entikong, Kaltim. Pada kasus penjarahan rame-rame hutan Ketapang juga terlibat warga masyarakat lokal miskin dan berpendidikan rendah sebagai pelaku atau operator di lapangan, baik sebagai penebang di hutan, buruh bongkar-muat, maupun pekerja di kilang-kilang. (Tempo, April 2008). Maka masalah kemiskinan mempunyai saling keterkaitan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gejala kemiskinan berdampak terhadap pelestarian lingkungan hidup (penebangan hutan secara liar), ekonomi (melakukan penyelundupan), kebudayaan (penjualan benda cagar-budaya), hubungan antar negara dan kedaulatan NKRI (menjadi pasukan Wataniah Malaysia). Ini berarti, pada akhirnya gejala kemiskinan akan mengakibatkan lemahnya ketahanan nasional (national resilience) dan bahkan ancaman bagi keamanan nasional (national security).

3. CARA PANDANG KEMISKINAN

Berdasarkan uraian terdahlu dapat ditarik simpulan bahwa :

a. Kemiskinan di Indonesia berskala besar (± 35 juta penduduk miskin). b. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan masalah lain, seperti pendidikan, lingkungan hidup, ekonomi, kriminalitas, keamanan, pertahanan, dan ketahanan nasional.

(5)

d. Menyadari kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia dan penanggulangannya, maka dari para pemangku kepentingan (stake-holders) masalah kemiskinan dituntut untuk

1) Menempatkan masalah kemiskinan dan penanganannya

dalam skala prioritas yang tinggi. Yang dimaksud dengan skala prioritayang tinggi adalah adanya sense of urgencydan sense of crisisdalam melihat masalah kemiskinan. Tanpa dilandasi oleh kesadaran kegawatan masalah kemiskinan tidak mungkin penyelesaian masalah kemiskinan memberikan hasil yang bermakna. Dalam hubungan ini perlu diingatkan kembali bahwa Indonesia adalah salah satu negara penandatangan Deklarasi Millenium dan dari kedelapan tujuan MDGS yang di antaranya “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan” harus dirampungkan pada tahun 2015.

2) Perubahan mindsetpara pengambil keputusan. Selama bertahun-tahun para penentu kebijakan di Indonesia “terjebak” pada mindsetyang sektoral sifatnya. Artinya berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa dan Pemerintah Indonesia dibagi habis ke Departemen dan lembaga tertentu, misalnya, BBM adalah ranah (domain) Pertamina, beras ranah Bulog, Narkoba ranah Polri, perpajakan ranah Departemen Keuangan, bencana alam ranah Departemen Sosial, pertahanan dan keamanan ranah Departemen Pertahanan dan TNI, dan seterusnya. Sepintas mindsetseperti ini wajar karena memang setiap lembaga Pemerintah mempunyai tugas pokok dan fungsi serta tanggungjawabnya masing-masing. Namun, dalam era globalisasi ancaman yang dihadapi oleh suatu negara tidak lagi bersifat symmetry, melainkan asymmetry, sukar diprediksi, berlangsung cepat dan bahkan mendadak, sehingga tidak mungkin lagi ditangani dengan cara-cara tradisional, linear,dan sektoral (Markum, 2008). Kenaikan harga BBM pada waktu yang lain tidak mungkin hanya direspons oleh Pertamina, melainkan harus diikuti juga oleh tindakan berbagai departemen pemerintah. Oleh karena kenaikan harga BBM akan berdampak padaDepartemen Keuangan (penyesuaiaAPBN), Polri (penimbunan, pengoplosan, dan penyelundupan BBM), Departemen Pertanian (intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman pohon jarak), Departemen Dalam Negeri, ABRI dan BIN (mewaspadai gerakan separatisme) dan seterusnya. Singkatnya harus ada alignmentdi antara departemen dan lembaga pemerintah (lihat Kaplan dan Norton, 2006), disamping perlunya ditanggalkan egoisme dan arogansi suatu unit kerja, angkatan, profesi, dan perguruan tinggi apabila sungguh-sungguh bertekad menyelesaikan masalah kemiskinan pada tahun 2015.

3) Berpikir lateral (lateral thinking).

(6)

stabilitas status quoini oleh de Bono disebut provocation. Dengan demikian, berpikir lateral akan mendukung proses perubahan mindsetsebagaimana yang diuraikan di atas.

4) Kesediaan berbagi informasi.

Kesediaan berbagi informasi atau pengetahuan (information/knowledge sharing) antar-lembaga secara timbal-balik merupakan prasyarat untuk terjadinya sinergi. Dengan berbagi informasi ini bukan saja terjadi sinergi, tetapi juga bisa menghasilkan kreasi baru atau terjadi inovasi. Sebaliknya, ketidaksediaan berbagi informasi bukan saja tidak menghasilkan inovasi, tetapi dapat juga menghasilkan kondisi status quo, ketertinggalan, bahkan mungkin bencana. Keberhasilan atau sukses berbagai perusahaan Jepang karena dikembangkan budaya perilaku berbagipengetahuan di antarastaf perusahaan. Sebuah toko serba-ada dengan ukuran menengah, misalnya, mewajibkan karyawannya untuk mencatat peristiwa atau pengalamannya dengan pengunjung (mengapa harga barang tertentu lebih mahal, barang tertentu sudah tiga hari tidak tersedia, keluhan antri pembayaran di kasir yang panjang, dan lain-lain), untuk dilaporkan kepada supervisoryang selanjutnya informasi ini akan diteruskan dan diolah oleh knowledge management officer. Inilah yang disebut sebagai tindakan routine-creativekarena dikerjakan secara rutin atau teratur setiap hari, namun menghasilkan sesuatu yang baru.

4. PERAN TNI/TNI-AD

(7)

Empat tahun sudah kita menderita, kita berkorban. Dan dalam pada itu Angkatan Perang maju dalam perjuangan Kemerdekaan, ditengah-tengah revolusi. Karenanya Angkatan Perang adalah tentara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi. (Sardiman, 2008 : 249) Namun, dalam perkembangannya ternyata TNI/TNI-AD pada masa Orde Baru tidak sejalan dengan ucapan Panglima Besar Soedirman : “Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu. Politik negara adalah politik tentara”. Ini berarti bahwa jauh sebelum Orde Baru lahir, Panglima Besar Soedirman sudah mengingatkan bahwa tentara harus bersikap netral. Kenyataan menunjukkan tentara atau militer justru menjadi kepanjangan politik Orde Baru dan berpihak pada Partai Golkar. Selanjutnya, karena salah satu bunyi trilogi pembangunan adalah “stabilitas”, maka makin mempertegas keberadaan tentara sebagai alat pemerintah yang dalam menjalankan tugasnya menggunakan pendekatan keamanan (security approach). Akibatnya tentara bukan lagi tentara rakyat yang dicintai oleh rakyat. Oleh kareanya tidak berlebihan kiranya apabila TNI/TNI-AD bermaksud menjalankan fungsi pembinaan territorial (Binter) dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) akan menghadapi sejumlah kendala, yakni :

a. Sumber internal TNI/TNI-AD :

1) Tidak cukup pengalaman dan kompetensi untuk menjalankan operasi militerdalam masa damai (Military Operation Other than War). Perlu dikemukakan bahwa memang dalam sejarah ABRI menunjukkan bahwa ABRI pernah melakukan civic missiondan program ABRI masuk desa (AMD). Namun, selain oleh kalangan ABRI sendiri dianggap hanya sebagai “tugas sampingan” yang tidak meningkatkan reputasi ABRI, dibandingkan dengan tugas tempur yang dilakukan oleh pasukan elit, juga program itu tidak dikelola dengan baik (hit and run), sehingga tidak mampu membuat rakyat mencintai tentaranya.

2) Kekhawatiran di dalam tubuh TNI/TNI-AD berkenaan dengan anggapan masyarakat yang menuding TNI/TNI-AD akan kembali berpolitik praktis, apabila menjalankan fungsi Binter.

b. Sumber eskternal

1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD menyangkut kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui fungsi Binter.

2) Merosotnya kepercayan dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD karena dominasi peran TNI/TNI-AD di masa Orde Baru.

(8)

Pertama, TNI/TNI-AD dalam berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan bangsa harus memilih isu strategis yang berkenaan dengan pertahanan nasional yang secara relatif tidak tersentuh oleh Departemen dan lembaga pemerintah serta LSM. Dalam hubungan ini disarankanTNI/TNI-AD memprioritaskan tugas Binter di wilayah perbatasan/terluar Indonesia dan daerah konflik dimana fungsi pemerintahan tidak optimal, dalam hal pengentasan kemiskinan.

Kedua, TNI/TNI-AD harus mensosialisasikan secara menyakinkan kepada berbagai pihak, khususnya DPR RI , bahwa tugas unit Binter TNI/TNI-AD saat ini berbeda dengan tugas Binter di masa Orde Baru, yakni mengedepankan pendekatan kesejahteraan daripada pendekatan keamanan. Tugas Binter yang berorientasi pada kesejahteraan ini tidak perlu dikaitkan dengan politik praktis karena militer AS yang bukan sebagai tentara rakyat juga melakukan tugas Binter atau pengembangan masyarakat (Wilkinins, J : Columbus, Georgia: Civilian-military relationships spawn economic development (1999) ; Thanner, M.H. : Military base closure effects on a community : The case of Fort Ritchie Army Garrison and Cascade, Maryland (2006) ; Chenault, J.C. : The Army’s community-based health care initiative : an innovative military case management program (2006) dan lain-lain).

Ketiga, memberikan pencerahan mengenai berbagaipengertian atau peristilahan yang berkenaan dengan kelekatan warga-negara terhadap negara yang berkonotasi sempit. Misalnya, perang, bela-negara, dan heroisme yang selama ini mengaitkannya dengan medan perang menggunakanpersenjataan (pengertian sempit), sebenarnya istilah-istilah tersebut dapat digunakan dalam konteks non-militer, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan atau ketertinggalan ; pahlawan devisa untuk para TKI dan kalau ada orang yang membonceng suatu upaya kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, disebut pahlawan kesiangan. Dengan demikian setiap warga-negara wajib menyatakan perang terhadap narkoba, kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, termasuk pernyataan perang TNI/TNI-AD terhadap berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Maka fungsi Binter TNI/TNI-AD harus kembali menjadi tentara rakyat sesuai dengan order harian Panglima Besar Soedirman tahun 1949.

(9)

Dengan demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneu radalah keuntungan finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneu radalah kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal dan peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya dari Bangladesh. Khusus implikasi bagi internTNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan AD. Artinya, SDM TNI/TNI-AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan tehnis kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai agen pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill, dan pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan masyarakat (community development).

Bila pemikiran pergeseran fungsi Binter TNI/TNI-AD ke Prosperity Approachini dapat diterima, maka konsekuensinya akan sangat bermakna bagi sistem pendidikan dan pelatihan TNI/TNI-AD. Implikasi yang juga penting adalah berkenaan dengan alokasi anggaran karena satuan kesehatan atau satuan zeni, misalnya, tidak hanya beroperasi tatkala ada bencana yang reaktif sifatnya, dan hanya untuk kepentingan intern TNI/TNI-AD, tetapi harus merupakan operasi kekaryaan dalam rangka social responsibilityTNI/TNI-AD menuju ke Pembangunan yang Berkesinambungan (Sustainable Development). Demikian pula harus tersedia anggaran untuk pelatihan anggota TNI/TNI-AD yang bertugas di wilayah perbatasan dengan luar negeri dan daerah daerah konflik serta daerah terpencil, baik berkenaan dengan kesejahteraannya, maupun kompetensi pemberdayaan masyarakat.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Bornstein, D. (2006). Mengubah dunia, kewirausahaan sosial dan kekuatan gagasan baru, Yogyakarta : INSIST Press.

Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian MDGS dan prioritas pembangunan ekonomi Indonesia. Depok : Panitia Lokakarya Dewan Guru Besar Universitas Indonesia.

de Bono, E. (1986). Tactics the art and science of success. Great Britain : Fontana/Collins.

Farley, J. E. (1987). American social problems : An institutional Analysis. New Jersey : Printice Hall, Inc.

Kompas (13 Februari, 2009). Kemiskinan bertambah (hlm. 1 dan 15).

Malik, L, dkk (2003). Mematahkan kekerasan dengan semangat Bakubae. Jakarta : Yappika.

Markum, M.E. & Dahlan, W. (2008). Upaya meningkatkan ketahanan nasional melalui pemberdayaan masyarakat. Jakarta : Panitia Seminar Nasional Menyiapkan Pertahanan Negara Melalui Pemberdayaan Wilayah Pertahanan.

Sardiman, A. M. (2008). Guru bangsa sebuah biografi Jenderal Soedirman. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Tempo, Edisi 14-20 April 2008. Jaringan “cincai” menjarah Ketapang.

(11)

PARADIGMA BARU PEMBINAAN

TERITORIAL TNI/TNI-AD

DALAM MENUNJANG

KETAHANAN NASIONAL

5. PENGANTAR

Makalah ini diawali dengan mengetengahkan suatu permasalahan kemanusiaan yang besar : kemiskinan. Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 1,4 milyar penduduk miskin dengan tolok ukur pendapatan 1.25 dolar A.S. per hari (World Bank, Agustus 2008). Menghadapi kenyataan ini komunitas internasional telah membuat kesepakatan dan menyatakan komitmennya (termasuk Indonesia) yang dituangkan dalam Deklarasi Millenium tahun 2000 di New York. Tujuan Deklarasi ini dijabarkan dalam naskah.

Millenium Development Goals(MDGS) yang salah satu butir tujuannya adalah “menanggulangi kemisikinan dan kelaparan” yang harus dicapai pada tahun 2015. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi Millenium tentu saja menyadari bahwa gejala kemiskinan merupkan salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun, sampai saat ini ternyata berbagai program dan pendanaannya yang dilaksanakan secara lintas sektoral /departemen / lembaga belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro, 2007).

Hal ini disebabkan oleh pendekatan penanggulangan kemiskinan yang tidak terpadu, pola berpikir linier (linear thinking) pada para pengambil keputusan, ego sektoral, dan program pengentasan kemisikinan yang menekankan pada bantuan teknis dan kucuran dana serta tidak memberdayakan seluruh komponen bangsa. Dengan mengangkat isu (issue) kemiskinan, makalah ini mencoba menjawab dua tujuan Seminar Nasional tentang Disampaikan pada “Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter bersama Seluruh Komponen Bangsa dalam rangka Mendukung Kepentingan Nasional” tanggal 26 Februari 2009 di Auditorium Widya Sabhan UNUD, Bali. Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter (dalam hubungan dengan topik : Implementasi Pembinaan Teritorial (Binter) Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Nasional), yakni:

a. Terwujudnya rumusan pokok-pokokpikiran tentang sinkronisasi penyelenggaraan Binter TNI/TNI-AD dengan pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional.

b. Terwujudnya konsepsi pemberdayaan wilayah pertahanan melalui Binter dalam membantu pemerintah untuk menyiapkan potensi wilayah menjadi kekuatan pertahanan.

6. KEMISKINAN SEBAGAI FAKTORPENENTU KETAHANAN NASIONAL

(12)

global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak juga terhadap kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang semula diperkirakan 6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009). Demikian pula jumlah orang miskin tahun2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara dengan 14,87% jumlah penduduk Indonesia). Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009) mengemukakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan pengangguran. Dalam perhitungannya setiap 1% pelambatan ekonomi akan menyebabkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika ini dikalikan dengan empat anggota keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi yang berarti 1,2 juta orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari 2009).

Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan jumlah penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total jumlah penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk miskin di pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total jumlah penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase jumlah penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan dalam kurun waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke perkotaan dengansegala permasalahannya,seperti menjamurnya pedagang kaki lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api, serta meningkatnya kriminalitas. Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan. Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat, antara lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari kemiskinan. Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas. Demikian pula prestasi sekolah anak miskin secara keseluruhan lebih rendah dari anak-anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di kemudian hari setelah mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki posisi yang rendah di dunia kerja.

(13)

lembaga sosial/gereja. Penyebab dari gejala homelessness ini adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga yang menampung/merawat, dan dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit. Yang ironis, menurutFarley adalah beberapa pemerintahan kota mengeluarkan aturan yang melarang orang tidur di taman kota dan tempat-tempat umum (di Indonesia hal sepertiini juga terjadi berupa penggusuran penghuni liar yang tinggal dilahan pemerintah atau swasta, di kolong jalan layang, dan di bantaran kali). Keempat, kemiskinan juga berdampakterhadap kriminalitas. Penduduk miskin bisa menjadi korban kejahatan, seperti diperas, dirampok, dan diperkosa karena umumnya mereka tidak cukup mempunyai akses terhadap perlindungan wilayah pribadi. Statistik nasional berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat itu menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang miskin daripada orang yang tergolong beruntung (advantage people).

Di sisi lain orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di tempat umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan, dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya menurut Farley : “poverty breeds crime”.

Kelima, dampak kemiskinan terhadap kondisi mental. Farley mengemukakan sejumlah hasil penelitian (Dohrenwend, 1972 : Warheit, Holzer, dan Schwab, 1973) yang pada intinya menunjukkan bahwa orang-orang berpenghasilan rendah atau miskin kurang merasa bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami gangguan mental yang serius (depresi, skizoprenia, dan gangguan kepribadian). Penelitian lain yang dilakukan oleh Campbell, Converse, dan Rogers (1976) juga menunjukkan rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di Amerika. Dengan demikian, dapatdisimpulkan adanya hubungan yang erat antara kemiskinan dan gangguan mental. Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kemiskinan merupakan suatu siklus yang terus-menerus berjalan dari generasi ke generasi yang penyebab utamanya adalah taraf pendidikan anak-anak orang miskin yang rendah. Selain faktor pendidikan yang rendah, faktor mental orang miskin juga merupakan siklus yang menyebabkan mereka terperangkap dalam kondisi kemiskinan dan sulit bangkit ke kondisi yanglebih baik. Dengan kata lain, mereka terus-menerus berada dalam lingkaran kemiskinan (cycle of poverty). tidak acuh atau tidak peduli terhadap llingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam deprivasi. Pelajaran apa yang kita peroleh (lesson learned) dari kondisi orang miskin dengan keterbatasan akses ke berbagai layanan umum dan ketidak mampuan mereka memotong lingkaran kemiskinan?.

(14)

termasuk TNI/TNI-AD. “ Only with the assistance of local governments, NGOS, community organizations, and the beneficiaries themselves will the National Government have a high chance of success in meeting the challenge of poverty alleviation over the coming years ...NGOs, private sector, and communities hold the potential for shifting the ride of resources and staffing in favor of the needs of the unfortunate (World Bank, 1996 dalam Ortegas, 2000:8)”

Pelajaran kedua yang kita perolehadalah bahwa kelompok miskin merupakan “kelompok rentan” yang sangat potensial untuk dilibatkan atau dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Hal ini terbukti dari dilibatkannya mereka dalam aksi massa, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk protes lainnya serta dalam proses perekrutan pembentukan “pasukan khusus” suatu partai dan organisasi kemasyarakatan. Bukti lainmengenai betapa rentannya kelompok masyarakat yang tergolong miskin ini ditunjukkan juga oleh Malik (2003) pada saat mengimplementasikan gerakan Bakubae pada konflik antar kelompok yang terjadi di Maluku. Malik mengemukakanbahwa selain kondisi dan situasi di Maluku yang sangat kondusif untuk terjadinya konflik antarkelompok, juga kondisi sosial-ekonomi yang buruk (masyarakat miskin) memberi sumbangan yang besar terhadap terjadinya konflik antarkelompok.

Keberhasilan Malaysia merekrut warga negara Indonesiadi daerah perbatasan Indonesia-Malaysia untuk dijadikan pasukan Wataniah Malaysia merupakan bukti lain lagi mengenai “menurunnya loyalitas” warga negara Indonesia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk dimaklumi bahwa warga negara Indonesia yang mendaftarkan diri dan berhasil direkrut oleh Pemerintah Malaysia itu berasal dari sosial-ekonomi rendah Entikong, Kaltim. Pada kasus penjarahan rame-rame hutan Ketapang juga terlibat warga masyarakat lokal miskin dan berpendidikan rendah sebagai pelaku atau operator di lapangan, baik sebagai penebang di hutan, buruh bongkar-muat, maupun pekerja di kilang-kilang. (Tempo, April 2008). Maka masalah kemiskinan mempunyai saling keterkaitan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gejala kemiskinan berdampak terhadap pelestarian lingkungan hidup (penebangan hutan secara liar), ekonomi (melakukan penyelundupan), kebudayaan (penjualan benda cagar-budaya), hubungan antar negara dan kedaulatan NKRI (menjadi pasukan Wataniah Malaysia). Ini berarti, pada akhirnya gejala kemiskinan akan mengakibatkan lemahnya ketahanan nasional (national resilience) dan bahkan ancaman bagi keamanan nasional (national security).

7. CARA PANDANG KEMISKINAN

Berdasarkan uraian terdahlu dapat ditarik simpulan bahwa :

a. Kemiskinan di Indonesia berskala besar (± 35 juta penduduk miskin). b. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan masalah lain, seperti pendidikan, lingkungan hidup, ekonomi, kriminalitas, keamanan, pertahanan, dan ketahanan nasional.

(15)

d. Menyadari kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia dan penanggulangannya, maka dari para pemangku kepentingan (stake-holders) masalah kemiskinan dituntut untuk

1) Menempatkan masalah kemiskinan dan penanganannya

dalam skala prioritas yang tinggi. Yang dimaksud dengan skala prioritayang tinggi adalah adanya sense of urgencydan sense of crisisdalam melihat masalah kemiskinan. Tanpa dilandasi oleh kesadaran kegawatan masalah kemiskinan tidak mungkin penyelesaian masalah kemiskinan memberikan hasil yang bermakna. Dalam hubungan ini perlu diingatkan kembali bahwa Indonesia adalah salah satu negara penandatangan Deklarasi Millenium dan dari kedelapan tujuan MDGS yang di antaranya “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan” harus dirampungkan pada tahun 2015.

2) Perubahan mindsetpara pengambil keputusan. Selama bertahun-tahun para penentu kebijakan di Indonesia “terjebak” pada mindsetyang sektoral sifatnya. Artinya berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa dan Pemerintah Indonesia dibagi habis ke Departemen dan lembaga tertentu, misalnya, BBM adalah ranah (domain) Pertamina, beras ranah Bulog, Narkoba ranah Polri, perpajakan ranah Departemen Keuangan, bencana alam ranah Departemen Sosial, pertahanan dan keamanan ranah Departemen Pertahanan dan TNI, dan seterusnya. Sepintas mindsetseperti ini wajar karena memang setiap lembaga Pemerintah mempunyai tugas pokok dan fungsi serta tanggungjawabnya masing-masing. Namun, dalam era globalisasi ancaman yang dihadapi oleh suatu negara tidak lagi bersifat symmetry, melainkan asymmetry, sukar diprediksi, berlangsung cepat dan bahkan mendadak, sehingga tidak mungkin lagi ditangani dengan cara-cara tradisional, linear,dan sektoral (Markum, 2008). Kenaikan harga BBM pada waktu yang lain tidak mungkin hanya direspons oleh Pertamina, melainkan harus diikuti juga oleh tindakan berbagai departemen pemerintah. Oleh karena kenaikan harga BBM akan berdampak padaDepartemen Keuangan (penyesuaiaAPBN), Polri (penimbunan, pengoplosan, dan penyelundupan BBM), Departemen Pertanian (intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman pohon jarak), Departemen Dalam Negeri, ABRI dan BIN (mewaspadai gerakan separatisme) dan seterusnya. Singkatnya harus ada alignmentdi antara departemen dan lembaga pemerintah (lihat Kaplan dan Norton, 2006), disamping perlunya ditanggalkan egoisme dan arogansi suatu unit kerja, angkatan, profesi, dan perguruan tinggi apabila sungguh-sungguh bertekad menyelesaikan masalah kemiskinan pada tahun 2015.

3) Berpikir lateral (lateral thinking).

(16)

stabilitas status quoini oleh de Bono disebut provocation. Dengan demikian, berpikir lateral akan mendukung proses perubahan mindsetsebagaimana yang diuraikan di atas.

4) Kesediaan berbagi informasi.

Kesediaan berbagi informasi atau pengetahuan (information/knowledge sharing) antar-lembaga secara timbal-balik merupakan prasyarat untuk terjadinya sinergi. Dengan berbagi informasi ini bukan saja terjadi sinergi, tetapi juga bisa menghasilkan kreasi baru atau terjadi inovasi. Sebaliknya, ketidaksediaan berbagi informasi bukan saja tidak menghasilkan inovasi, tetapi dapat juga menghasilkan kondisi status quo, ketertinggalan, bahkan mungkin bencana. Keberhasilan atau sukses berbagai perusahaan Jepang karena dikembangkan budaya perilaku berbagipengetahuan di antarastaf perusahaan. Sebuah toko serba-ada dengan ukuran menengah, misalnya, mewajibkan karyawannya untuk mencatat peristiwa atau pengalamannya dengan pengunjung (mengapa harga barang tertentu lebih mahal, barang tertentu sudah tiga hari tidak tersedia, keluhan antri pembayaran di kasir yang panjang, dan lain-lain), untuk dilaporkan kepada supervisoryang selanjutnya informasi ini akan diteruskan dan diolah oleh knowledge management officer. Inilah yang disebut sebagai tindakan routine-creativekarena dikerjakan secara rutin atau teratur setiap hari, namun menghasilkan sesuatu yang baru.

i

8. PERAN TNI/TNI-AD

(17)

Empat tahun sudah kita menderita, kita berkorban. Dan dalam pada itu Angkatan Perang maju dalam perjuangan Kemerdekaan, ditengah-tengah revolusi. Karenanya Angkatan Perang adalah tentara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi. (Sardiman, 2008 : 249) Namun, dalam perkembangannya ternyata TNI/TNI-AD pada masa Orde Baru tidak sejalan dengan ucapan Panglima Besar Soedirman : “Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu. Politik negara adalah politik tentara”. Ini berarti bahwa jauh sebelum Orde Baru lahir, Panglima Besar Soedirman sudah mengingatkan bahwa tentara harus bersikap netral. Kenyataan menunjukkan tentara atau militer justru menjadi kepanjangan politik Orde Baru dan berpihak pada Partai Golkar. Selanjutnya, karena salah satu bunyi trilogi pembangunan adalah “stabilitas”, maka makin mempertegas keberadaan tentara sebagai alat pemerintah yang dalam menjalankan tugasnya menggunakan pendekatan keamanan (security approach). Akibatnya tentara bukan lagi tentara rakyat yang dicintai oleh rakyat. Oleh kareanya tidak berlebihan kiranya apabila TNI/TNI-AD bermaksud menjalankan fungsi pembinaan territorial (Binter) dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) akan menghadapi sejumlah kendala, yakni :

b. Sumber internal TNI/TNI-AD :

1) Tidak cukup pengalaman dan kompetensi untuk menjalankan operasi militerdalam masa damai (Military Operation Other than War). Perlu dikemukakan bahwa memang dalam sejarah ABRI menunjukkan bahwa ABRI pernah melakukan civic missiondan program ABRI masuk desa (AMD). Namun, selain oleh kalangan ABRI sendiri dianggap hanya sebagai “tugas sampingan” yang tidak meningkatkan reputasi ABRI, dibandingkan dengan tugas tempur yang dilakukan oleh pasukan elit, juga program itu tidak dikelola dengan baik (hit and run), sehingga tidak mampu membuat rakyat mencintai tentaranya.

2) Kekhawatiran di dalam tubuh TNI/TNI-AD berkenaan dengan anggapan masyarakat yang menuding TNI/TNI-AD akan kembali berpolitik praktis, apabila menjalankan fungsi Binter.

b. Sumber eskternal

1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD menyangkut kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui fungsi Binter.

2) Merosotnya kepercayan dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD karena dominasi peran TNI/TNI-AD di masa Orde Baru.

(18)

Pertama, TNI/TNI-AD dalam berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan bangsa harus memilih isu strategis yang berkenaan dengan pertahanan nasional yang secara relatif tidak tersentuh oleh Departemen dan lembaga pemerintah serta LSM. Dalam hubungan ini disarankanTNI/TNI-AD memprioritaskan tugas Binter di wilayah perbatasan/terluar Indonesia dan daerah konflik dimana fungsi pemerintahan tidak optimal, dalam hal pengentasan kemiskinan.

Kedua, TNI/TNI-AD harus mensosialisasikan secara menyakinkan kepada berbagai pihak, khususnya DPR RI , bahwa tugas unit Binter TNI/TNI-AD saat ini berbeda dengan tugas Binter di masa Orde Baru, yakni mengedepankan pendekatan kesejahteraan daripada pendekatan keamanan. Tugas Binter yang berorientasi pada kesejahteraan ini tidak perlu dikaitkan dengan politik praktis karena militer AS yang bukan sebagai tentara rakyat juga melakukan tugas Binter atau pengembangan masyarakat (Wilkinins, J : Columbus, Georgia: Civilian-military relationships spawn economic development (1999) ; Thanner, M.H. : Military base closure effects on a community : The case of Fort Ritchie Army Garrison and Cascade, Maryland (2006) ; Chenault, J.C. : The Army’s community-based health care initiative : an innovative military case management program (2006) dan lain-lain).

Ketiga, memberikan pencerahan mengenai berbagaipengertian atau peristilahan yang berkenaan dengan kelekatan warga-negara terhadap negara yang berkonotasi sempit. Misalnya, perang, bela-negara, dan heroisme yang selama ini mengaitkannya dengan medan perang menggunakanpersenjataan (pengertian sempit), sebenarnya istilah-istilah tersebut dapat digunakan dalam konteks non-militer, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan atau ketertinggalan ; pahlawan devisa untuk para TKI dan kalau ada orang yang membonceng suatu upaya kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, disebut pahlawan kesiangan. Dengan demikian setiap warga-negara wajib menyatakan perang terhadap narkoba, kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, termasuk pernyataan perang TNI/TNI-AD terhadap berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Maka fungsi Binter TNI/TNI-AD harus kembali menjadi tentara rakyat sesuai dengan order harian Panglima Besar Soedirman tahun 1949.

(19)

Dengan demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneu radalah keuntungan finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneu radalah kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal dan peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya dari Bangladesh. Khusus implikasi bagi internTNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan AD. Artinya, SDM TNI/TNI-AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan tehnis kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai agen pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill, dan pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan masyarakat (community development).

Bila pemikiran pergeseran fungsi Binter TNI/TNI-AD ke Prosperity Approachini dapat diterima, maka konsekuensinya akan sangat bermakna bagi sistem pendidikan dan pelatihan TNI/TNI-AD. Implikasi yang juga penting adalah berkenaan dengan alokasi anggaran karena satuan kesehatan atau satuan zeni, misalnya, tidak hanya beroperasi tatkala ada bencana yang reaktif sifatnya, dan hanya untuk kepentingan intern TNI/TNI-AD, tetapi harus merupakan operasi kekaryaan dalam rangka social responsibilityTNI/TNI-AD menuju ke Pembangunan yang Berkesinambungan (Sustainable Development). Demikian pula harus tersedia anggaran untuk pelatihan anggota TNI/TNI-AD yang bertugas di wilayah perbatasan dengan luar negeri dan daerah daerah konflik serta daerah terpencil, baik berkenaan dengan kesejahteraannya, maupun kompetensi pemberdayaan masyarakat.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Bornstein, D. (2006). Mengubah dunia, kewirausahaan sosial dan kekuatan gagasan baru, Yogyakarta : INSIST Press.

Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian MDGS dan prioritas pembangunan ekonomi Indonesia. Depok : Panitia Lokakarya Dewan Guru Besar Universitas Indonesia.

de Bono, E. (1986). Tactics the art and science of success. Great Britain : Fontana/Collins.

Farley, J. E. (1987). American social problems : An institutional Analysis. New Jersey : Printice Hall, Inc.

Kompas (13 Februari, 2009). Kemiskinan bertambah (hlm. 1 dan 15).

Malik, L, dkk (2003). Mematahkan kekerasan dengan semangat Bakubae. Jakarta : Yappika.

Markum, M.E. & Dahlan, W. (2008). Upaya meningkatkan ketahanan nasional melalui pemberdayaan masyarakat. Jakarta : Panitia Seminar Nasional Menyiapkan Pertahanan Negara Melalui Pemberdayaan Wilayah Pertahanan.

Sardiman, A. M. (2008). Guru bangsa sebuah biografi Jenderal Soedirman. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Tempo, Edisi 14-20 April 2008. Jaringan “cincai” menjarah Ketapang.

Referensi

Dokumen terkait

Seiring dengan makin berkembangnya parasit, sifat amuboid trofozoit makin kelihatan, yang diperlihatkan oleh stadium trofozoit dewasa dengan sitoplasma yang melebar dengan

Dalam pembuatan jamu atau Loloh don cemcem , upaya penerapan personal hygiene sama dengan proses pengolahan makanan dan minuman karena pada dasarnya jamu tradisional

yang tersusun pada “Good Corporate Governance (GCG)” jika dilakukan dengan baik maka akan menjadi nilai tambah agar lembaga perbankan dan perusahaan.. mudah dipercayai

teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi dan wawancara. Dalam prakteknya kedua metode tersebut dapat digunakan secara bersama-. sama, artinya sambil

Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti langsung ke lapangan untuk mengamati dan mengumpulkan data yang dibutuhkan, Sedangkan kehadiran peneliti dalam

Penggunaan pupuk NPK 16 : 16 : 1000 Kg/hektar-1 memberikan pengaruh yang lebih baik dan berbeda sangat nyata dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk NPK 16 : 16 : tetapi

Perlu adanya bimbingan yang lebih intensif dari para pembimbing di program studi pendidikan teknologi agroindustri terhadap mahasiswa dalam tahapan pelaksanaan

Keuntungan IL-MPCVD adalah mudah untuk mensintesis diamond pada material dengan ketahanan panas yang rendah, efek pendinginan IL-MPCVD lebih besar dibandingkan dengan