1
Putusan Pengadilan adalah suatu pernyataan yang dikeluarkan oleh hakim yang diucapan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata. Putusan Pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkara mereka dengan sebaik-baiknya. Putusan pengadilan tersebut mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.Dalam membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang. Apa yang diucapkan hakim pada sidang pengadilan harus benar-benar sama dengan apa yang tertulis dan apa yang tertulis harus benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Dalam mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan di persidangan dan yang tertulis, mahkamah agung dengan surat edaran No. 5 Tahun 1959 dan No. 1 Tahun 1962 telah menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan konsepnya harus sudah disiapkan Salah satu faktanya dapat dilihat dalam kasus yang terjadi didalam Putusan Mahkamah Agung No: 85K/ Pid. Sus/ 2012, dalam kasus ini telah terjadi Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Hidayat Bin H. Abu Mukmin dan diputus oleh Pengadilan Negeri Blangkejeren, perbuatan Hidayat tidak tebukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan membebaskannya.Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa putusan tersebut jauh dari nilai keadilan dan kemamfaatan, namun memberikan kepastian hukum terhadap terdakwa dan keluarganya.
2 1.PENDAHULUAN
Hakim yang konsisten dengan kefitrahan nurani dan nalar sehatnya, didukung dengan
sistem kekuasaan kehakiman dan peradilan yang transparan niscaya akan melahirkan sejumlaah
vonis yang adil dan indah. Didalamya bermuatan nafas dan ruh kebenaran, keadilan, dan
kepekaan yang tajam terhadap sense of justice serta responsive terhadap derita ketidak adilan
rakyat (Maqoddas, 2006 : v ) kondisi ideal tersebut tercermin pada putusan yang diucapkan
dalam ruang- ruang pengadilan sebagai lembaga yang senantiasa memancarkan cahaya
kebenaran. Sebaliknya apabila cahaya itu memudar, maka dapat di jadikan Putusan Pengadilan
hanyalah lembaran kertas yang tak bermakna tanpa memberikan keadilan, kemamfaatan dan
kepastian hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gistav Radbruch.
Pemenuhan tujuan hukum diatas menjadi satu- satunya pilihan hakim dalam memutuskan
perkara yang terwujud dalam putusannya sebagai Mahkota hakim. Frame Loppy mengemukakan
bahwa putusan hakim itu mahkota, mencerminkan segalanya bagi hakim, tanggung jawabnya,
kejujurannya, keilmuannya, moralitasnya, ketulusannya, kesalehannya, dan lain sebagainya
(Asikin, 2011 : 63 ). Jika mahkota tidak mencerminkan tujuan hukum sebagaimana diungkapkan
oleh Gustav Radbruch, maka mahkota tersebut telah kehilangan makna dan kedudukan yang
terhormat, pandangan masyarakat secara umum tentang hakim dan keadilan ibarat langit dan
bumi. Putusan hakim hanya tajam ke bawah namun tumpul keatas. Maka tidak berlebihan
sebagaimana pandangan Eman Suparman jika mengatakan keadilan hanyalah menjadi ungkapan
yang merdu didengar saja, ternyata hanya isapan jempol karena pengadilan di anggap paling
pintar dalam memutar balikkan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi rahasia publik di
Negeri ini (Suparman, 2012: vii). Begitu pula niali- nilai kemamfaatan dan kepastian hukum
dalam putusan hakim dianggap sulit diimplementasikan dan seringkali terjadi perbedaan arah
satu dengan yang lain.
Keagungan putusan hakim tercermin dengan mengandung tiga unsur tujuan hukum milik
Gustav Radbruch sehingga akan menopang dimensi kajian hukum. Dimensi kajian hukum ini
akan memenuhi ruang-ruang kebutuhan peningkatan kualitas hidup manusia. Aksiologi yang
merupakan salah satu cabang filsafat yang bermakna konstribusi ilmu pengetahuan guna
meningkatkan kualitas hidup manusia. Melalui dimensi kajian hukum akan melipat gandakan
3 Kegalauan Gustav Radbruch dan tereliminirnya dimensi kajian hukum seakan-akan
tergambar dalam Putusan Mahkamah Agung No: 85/ Pid.Sus/2012 Putusan ini melepaskan
terpidana dalam jeratan hukum sungguh sangat disayangkan hadir dalam tatanan kehidupan
bangsa Indonesia yang berusaha mewujudkan cita- cita sebagaimana termaktub dalam Undang-
undang Dasar Negara Kasatuan Republik Indonesia tahun 1945. Putusan ini memikat untuk
dianalisis yang tidak hanya karena adanya benturan terhadap teori milik Gustav Radbruch,
namun juga mengejutkan masyarakat umum yang seakan- akan mimpi disiang bolong karena
begitu banyak kejanggalan- kejanggalan yang memudarkan sosok hakim ideal di Lembaga
puncak keadilan, Mahkamah Agung.
Salah satu aspek yang Kontroversi dalam Putusan ini adalah Putusan Hakim Pengadilan
Negeri Blangkejeren yang menyatakan Terdakwa Hidayat tidak terbukti secara sah dan
menyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi serta membebaskan terdakwa dari jeratan
hokum.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan diatas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian hukum ini
adalah Apakah Putusan Mahkamah Agung No: 85 K/Pid.Sus/2012 telah memenuhi tujuan
hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch ?
III. STUDI PUSTAKA
Dalam proses lahirnya Putusan Hakim berlangsung apa yang disebut Penalaran Hukum.
Kennet J. Vandevelde menekankan dua hal setiap kali orang berbicara tentang penalaran hukum
atau berpikir sebagai ahli hukum. Menurutnya The Phrase to think like a lawyer encapsulates a
way of thingking that is chacacterized by bith goal pursued and method used. Maria Farida
menyatakan bahwa persoalan pertama (goal pursued) berdimensi Aksiologis sedangkan yang
kedua (method used ) berdimensi epistemologi. Dimensi Aksiologis mendorong putusan hakim
memberikan mamfaat yang sebenar- benarnya bagi ilmu Pengetahuan dan manusia, sementara
dimensi epistimologi akan fokus pada asal mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan.
Aksiologis menurut kamus filsafat berasal dari bahasa yunani Axios (layak, pantas) dan
Logos (ilmu). Secara sederhana aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari nilai
4 aksiologis akan mewujudkan Putusan Hakim yang memberikan kesempurnaan hidup manusia
bukan sebaliknya memunculkan friksi- friksi yang berujung pada hilangnya ruh tujuan hukum.
Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum tidak selalu
harus diberi prioritas pemenuhannya pad tiap sistem hukum positif seolah-olah kepastian hukum
itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemamfaatan.
Gustav Radbruch kemudian meralat teori ketiga tujuan hukum sederajat. Perubahan
pandangan itu dipengruhi kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut jerman dibawah kekuasaan
Nazi melegalisasi parktik- praktik yang tidak berprikemanusiaan selama masa perang Dunia ke-2
dengan jalan membuat hukum yang mengesahkan praktik- praktik kekejaman perang pada masa
itu. Radbruch pun akhirnya meralat teorinya diatas dengan menempatkan tujuan keadilan diatas
tujuan hukum yang lain, secara berururan keadilan menempati posisi yang pertama, dan
selanjutnya aspek jaminan kepastian dan kemamfaatan. Meskipun demikian tujuan hukum milik
Gustav dianggap sebagai satu kesatuan yang saling menopang dengan yang lain.
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan yang adil. Sementara adil adalah tidak
berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada kepada yang benar. Keadilan menurut kajian
filsafat adalah apabila di penuhi dua prinsip yaitu pertama tidak merugikan seseorang dan kedua
perlakuan kepada tiap- tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini terpenuhi
barulah dikatakan adil. Kedua prinsip ibarat dua sisi keping mata uang yang sama tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, karena satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang erat.
Sebaliknya jika kedua prinsip tersebut dimaknai terpisah akan menimbulkan perbedaan prinsipil.
Keadilan harus menjamin tidak adanya kerugian salah satu pihak dan juga memastikan setiap
orang memperoleh sesuai dengan haknya.
Pandangan Aristoteles mengenai keadilan dalam Rhetorica yaitu ius cuique tribuere.
Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa
tiap- tiap orang memperoleh bagian yang sama (apeldorn: 2008: 11). Namun keadilan
memberikan sesorang sesuai dengan hak dan sejauhmana melaksanakan kewajibannya.
Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani
kebutuhan keadilan masyarakat. Hukum menunjukkan pada suatu aturan hidup yang sesuai
dengan cita- cita hidup bersama yaitu keadilan. Plato merancang suatu tatanan dimana hanya
5 Lebih tepatnya ia mencanangkan suatu negara dimana keadilan dicapai secara sempurna (wiko,
2009: 11).
Teori tujuan hukum milik Gustav Radbruch sayangnya seringkali berbeda dengan fakta
yang terjadi dengan penegakan hukum. Keadilan misalnya saja belum tentu akan memberikan
nilai mamfaat bagi masyarakat, begitu juga dengan kepastian hukum belum tentu dapat
menjamin nilai- nilai keadilan.
IV.ANALISIS
Dalam setiap perkara pidana, adanya putusan bebas selalu menjadi atensi yang
kontroversial, apabila putusan itu public issue(perhatian publik) karena setiap perkara yang
mendekati urgensi masyarakat akan selalu di temui political atmosphere ( nuasa politik) yang
justru menyelimuti perkara itu sendiri secara hukum (adji& adji, 2007: 113). Pandangan itu
setidaknya tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung No.85 K/ Pid.Sus/2012 karena
melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum.
Putusan Pengadilan Negeri Blangkejeren No.18/ Pid.Sus/ 2011/PN.BKJ tertanggal 20
Juni 2011 yang menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa adalah tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi, sehingga hak
terdakwa dalam kemampuan dan harkat serta martabatnya dipulihkan. Putusan terseebut diputus
dalam rapat musyawarah putusan hakim tertanggal 20 Juni 2011. Lalu Kejaksaan Negeri
Blangkejeren melakukan Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung, adapun Putusan Mahkamah
Agung adalah menyatakan permohonan Kasasi Jaksa/ Penuntut Umum tidak dapat diterima .
sehingga Putusan Mahkamah Agung No: 85 K/ Pid. Sus/2012 mengejutkan Masyarakat Luas
lantaran menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Balngkejeren dan menolak permohonan kasasi
dari Penuntut Umum.
Kronologis kejadian perkara adalah bahwa terdakwa Hidayat Bin H. Abu Mukmin dalam
kedudukan Kuasa Direktur CV. Listrik Karya sesuai dengan Surat Kuasa Direktur Nomor: 102
yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris Sarlinawati, SH Notaris di kutacane tanggal
31 Oktober 2009 yang mempunyai tugas dan kewenangan sebagai Kuasa Direktur CV. Listrik
Karya pada waktu dan tempat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaah raga kabupaten Gayo Lues,
6 dengan sengaja tanpa kewenangan atau sarana yang diberikan kepadaanya yaitu bertindak
seolaah-olah telah mendapatkan surat kuas Direktur CV. Listrik Karya pada hal terdakwa belum
mendapatkannya, dan pada tanggal 05 Oktober 2009 meminta saksi Metti yang merupakan
pemilik Toko Asia Computer yang terletak di Medan untuk memberikan surat dukungan buat
CV. Karya Listrik mengikuti lelang/ tender kegiatan Note book sedangkan terdakwa belum
mendapatkan Kuasa Direktur dari CV Karya Listrik dan juga terdakwa tahu bahwa Toko Asia
Computer bukanlah Agen/ Distributor akan tetapi tetap terdakwa melampirkan di dalam salah
satu berkas penawaran CV. Listrik Karya.
Selain itu terdakwa juga selaku pihak kedua (penyedia barang dan jasa) dalam kontrak
Nomor: 642/ 855.3/Otsus- Dikpora/ 2009 tanggal 10 November 2009 antara saksi Drs. Syamsul
Bahri selaku pengguna barang/ jasa (pihak pertama) dan terdakwa hidayat Bin H. Abu Mukmin
sebagai penyedia barang/ jasa dengan nilai Kontrak sebesar Rp 2.115.000.000, (dua milyar
seratus lima belas juta rupiah) untuk pengadaan note book sebanyak 150 (seratus lima puluh
unit) yang spesifikasi note book tertera dalam dokumen kontrak yang tidak dapat terpisahkan
telah melakukan perbuatan menyalahgunakan sarana/ kesempatan yang diberikan kepadanya
untuk kepentingan diri terdakwa berupa membeli barang note book tersebut tidak sesuai dengan
spesifikasi atau tanpa adanya adendum tentang perubahan spesifikasi barang tersebut yaitu tipe
prosesor note book yang dibeli terdakwa adalah T6600 seharga 1 (satu) unit sebesar Rp
9.500.000, (sembilan juta lima ratus ribu rupiah) sedangkan menurut kontrak adalah T6570
dengan penawaran harga sebesar Rp 14.100.000, (empat belas juta seratus ribu rupiah) sehingga
negara dirugikan sebesar Rp 478.500.000, (empat ratus tujuh delapan juta lima ratus ribu rupiah )
dan berdasarkan hasil audit kerugian Negara Nomor: SR-717/ PW.01/5/2010 tanggal 30
Desember 2010 oleh tim Auditor BPKP perwakilan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
menyatakan Hasil Audit investigasi bahwa kerugian Negara terhadap kegiatan Notebook pada
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaah raga kabupaten Gayo Lues tahun 2009 sebesar Rp
478.500.000, (empat ratus tujuh puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah ).
Pertimbangan Hakim Agung dalam Permohonan Kasasi Jaksa/ Penuntut Umum adalah
bahwa Jaksa/ Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa Pembebasan terhadap Terdakwa
adalah Pembebasan yang tidak Murni dan di samping itu juga tidak menemukan Putusan
Pengadilan Negeri Blangkejeren telah melampaui wewenang, maka oleh karena itu secara
7 berdasarkan Pasal 244 Undang- undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum
acara Pidana (KUHAP).
Pandangan Penulis Aspek Kemamfaatan Putusan Mahkamah Agung No. 85 K/
Pid.Sus/2012 nilai kemamfaatannya jauh dari harapan, sebab kemaamfaatan Putusan diatas
hanya pihak yang berpekara saja, sementara kemamfaatan kepada masyarakat tidak ada terlihat.
Justru Putusan ini menimbulkan gejolak masyarakat yang tidak puas dengan Putusan Majelis
Hakim. Menyadur pandangaan Fence, dalam ruang lingkup yang kecil, kemamfaatan hukum
sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama tindakan preventif agar tidak terjadi
perbuatan yang sama dikemudian hari.
Putusan Hakim seharusnya memberikan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi lagi
dimasa mendatang tidak terwujud karena terpidana dinyatakan lepas dari jeratan hukum sama
sekali. Pada akhirnya hukum yang seharusnya mendorong kemamfaatan dengan mengembalikan
tatanan kehidupan masyarakat pada kondisi yang ideal justru mendorong terciptanyaa kondisi
sebaliknya.
Putusan Hakim yang baik dapat dipastikan mengandung tiga tujuan hukum yaitu
kepastian hukum, keadilan dan kemamfaatan, sebaliknya putusan yang kurang baik hanya akan
cenderung mengedepankan satu tujuan hukum saja tanpa bandingkan tujuan hukum yang lain.
V.KESIMPULAN
Tulisan ini diharapkan akan mampu menjawab rumusan masalah diatas yang
mempertanyakan unsur tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 85 K/ Pid.Sus/ 2012 Penulis berkesimpulan bahwa putusan
tersebut jauh dari nilai keadilan dan kemamfaatan, namun memberikan kepastian hukum
terhadap terdakwa dan keluarganya.
Kontradiksi diatas menunjukkan putusan ini juga jauh dari dimensi aksiologis,
kemamfaatan terhadap sebuah nilai yang lahir dalam keputusan hukum. Putusan ini tidak
mendorong kemamfaatan nilai dalam rangka peningkatan kualitas manusia dalam mewujudkan
keadilan sebaliknya cenderung Normatif sehingga memberikan kepastian hukum semata.
Putusan Hakim seharusnya menimbulkan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi
dimasa mendatang. Harapan itu terjadi karena putusan dapat menjadi alasan pembenar perkara
8 Hakim memiliki kewajiban dalam memutus perkara dengan mengedepankan asas
kemamfaatan. Namun itu tidak terlihat dalam putusan tersebut diatas yang memutuskan
melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum sehingga dirasakan jauh dari nilai
9 DAFTAR PUSTAKA
Adji, oemar Seno & Indriyanto Seno Adji, April 2007, Peradilan bebas Contempt of cour,
cetakan 1, Jakarta: Diadit Media
Apeldoorn, L.J. Van. 2008. Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ketiga puluh dua, jakarta: pradnya
paramita.
Asikin, 2011. Rekonstruksi Teori Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan, Jakarta: IKAHI
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Muqoddas, Busyro, 2006. Kata pengantar ketua Komisi Yudisial, Bunga rampai Refleksi satu
tahun komisi Yudisial. Jakarta : Komisi yudisial Republik Indonesia.
Wiko, garuda 2009, pembangunan sistem hukum berkeadilan, buku memahami hukum dari