• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANAKORUPSI PADA PROGRAM KONPENSASI PENGURANGAN

SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK INFRASTRUKTUR PEDESAAN (STUDI PUTUSAN MA No. 2093 K / PID. SUS / 2011)

OLEH

ANGGI P. HARAHAP 127005059 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PROGRAM KONPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI

BAHAN BAKAR MINYAK INFRASTRUKTUR PEDESAAN (STUDI PUTUSAN MA No. 2093 K / PID. SUS / 2011)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ANGGI P. HARAHAP 127005059 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PROGRAM KONPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK INFRASTRUKTUR PEDESAAN (STUDI PUTUSAN MA No. 2093 K / PID. SUS / 2011)

NAMA : Anggi P. Harahap

NIM : 127005059

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum)

(Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S)

Anggota Anggota

(Dr. Marlina, SH., M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 29 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum Anggota : 1. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S

(5)

ABSTRAKSI

Tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari.Pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yakni perangkat perundang-undangan dan kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Bagaimanakah Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?;2. Bagaimana tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?; Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriftif analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research).

Berdasarkan hasil dari penelitian ini pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi merupakan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Tindak pidana yang dilakukan harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapat unsur melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf dan unsur kesalahan harus dapat terpenuhi dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan adanya asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi pada kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun dimana terhadap perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa mampu bertanggungjawab serta tidak terdapat adanya alasan pemaaf yang dapat meniadakan kesalahan maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, maka pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi berupa penjatuhan hukuman terhadap pelaku sebagaimana yang tertuang dalam putusan kasasi pada mahkamah agung.

(6)

ABSTRACT

Corruption can take place anywhere, in state institutions, in private institutions, and also in daily life. Combating corruption requires treatment and prevention in an integrated manner with the proper functioning of the legal system of the law and legal institutions in the criminal justice system. The problems discussed in the research were as follows:1. How does the criminal liability against corruption according to law number 31 of 1999 Jo. law number 20 of 2001 on the Eradication of Corruption ?; 2. How is a crime and criminal responsibility for corruption of Simelungun District Court Decision number 709 / PID.B / 2009 / PN. SIM, Medan High Court Decision No. 50 / PID / 2011 / PT-MDN, and the Supreme Court Decision number 2093 K / Pid.Sus / 2011? Types of research conducted in this research is normative juridical and the nature of this research is descriptive analysis. The data collection techniques used in this research is through library research.

Based on the results of this research criminal liability against corruption is the liability of the offenses committed by the offender. Criminal act committed must meet the elements that have been determined by constitution. Someone will be held accountable for these actions when there is an element in the action against the law and there is no excuse and fault elements must be met in terms of combating corruption. This is due to the principle of liability in criminal law that is not tobe punishment if no fault.

Criminal act and criminal liability for acts of corruption in the PKPS BBM-IP activities in Simalungun where to defendant has been proven legally and convincingly, the defendant is able to be responsible and there is no excuse any fault that may negate or justification which can eliminate the unlawful nature of the act, the criminal liability for acts of corruption in the form of sentencing of offenders as set forth in the Supreme Court decision on the appeal.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan

rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)”.Tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum

pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.Penulis menyadari bahwa

dalam penulisan tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, hal ini kiranya dapat

dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang Penulis miliki.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya dengan ketulusan hati kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A

(K),selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utarayang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Magister

(8)

4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing

tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan sampai akhirnya

Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S, selaku Anggota Komisi Pembimbing I

tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran yang

konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Marlina, SH., M.Humselaku Anggota Komisi Pembimbing II tesis

yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran yang konstruktif

demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Hasyim Purba, SH., M.Hum dan Bapak Dr. M. Eka Putra, SH,

M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan

dalam penyempurnaan tesis ini.

8. Para Guru Besar dan Para Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama mengikuti proses

perkuliahan.

9. Seluruh staff sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan

informasinya yang diberikan kepada Penulis dalam proses penyelesaian

(9)

10.Terimakasih penulis ucapkan kepada orangtua, Ayah tercinta Rahmad Derita

Harahap dan Ibu tercinta Mainar sertaAbangda Hasian Harahap dan Adinda

Hariana Fitri Harahap yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

11.Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan teman-teman Himpunan

Mahasiswa Islam Fakultas Huku m Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua

pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum,

khususnya dalam bidang hukum pidana.

Medan, Januari 2015

Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anggi P. Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Jambi/19 November 1988

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln. Bougenvile II No. 26 Telanaipura Jambi

Pendidikan :

SD Neg. 91/IV Kota Jambi Tahun 2000

SMPN 7 Kota Jambi Tahun 2003

SMAN 1 Kota Jambi Tahun 2006

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Tamat Tahun 2011

Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat

(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAKSI ... I

ABSTRACT ... II

KATA PENGANTAR ... III

DAFTAR ISI ... VII

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Kerangka Konsep ... 20

G. Metode Penelitian ... 23

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 23

2. Sumber Bahan Hukum ... 24

3. Teknik Pengumpulan Data... 25

(12)

BAB.II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 1999 JO.UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana ...27

1. Pengertian Tindak Pidana ... 27

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana ... 33

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana ... 36

C. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 47

1. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi …………... 47

2. Pertanggungjawaban Pidana Korupsi BerdasarkanUnsur Memperkaya Diri Sendiri ... 59

3. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi YangMerugikan Keuangan Negara ... 68

BAB.III TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAKPIDANA KORUPSI DARI PUTUSAN PENGADILANNEGERI SIMALUNGUN NO. 709/ PID. B/2009/ PN. SIM, PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NO. 50/PID/2011/PT-MDN DAN PUTUSAN MA NO. 2093 K/PID.SUS/2011 A. Kasus Posisi Putusan Nomor: 709/ Pid. B/2009/PN. Sim ... 80

1. Kronologi Perkara ... 80

2. Dakwaan ... 83

(13)

4. Tuntutan ...103

5. Putusan Hakim PN Simalungun ... 104

B. Putusan Tingkat Banding Pada Pengadilan Tinggi Medan danPutusan Tingkat Kasasi Pada Mahkamah Agung ... 105

1. Putusan PT No. 50/PID/2011/PT-Mdn………..105

2. Putusan MA No. 2093 K/Pid. Sus/2011 ...109

C. Analisis Kasus ... 122

BAB.IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 137

(14)

ABSTRAKSI

Tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari.Pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yakni perangkat perundang-undangan dan kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Bagaimanakah Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?;2. Bagaimana tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?; Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriftif analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research).

Berdasarkan hasil dari penelitian ini pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi merupakan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Tindak pidana yang dilakukan harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapat unsur melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf dan unsur kesalahan harus dapat terpenuhi dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan adanya asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi pada kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun dimana terhadap perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa mampu bertanggungjawab serta tidak terdapat adanya alasan pemaaf yang dapat meniadakan kesalahan maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, maka pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi berupa penjatuhan hukuman terhadap pelaku sebagaimana yang tertuang dalam putusan kasasi pada mahkamah agung.

(15)

ABSTRACT

Corruption can take place anywhere, in state institutions, in private institutions, and also in daily life. Combating corruption requires treatment and prevention in an integrated manner with the proper functioning of the legal system of the law and legal institutions in the criminal justice system. The problems discussed in the research were as follows:1. How does the criminal liability against corruption according to law number 31 of 1999 Jo. law number 20 of 2001 on the Eradication of Corruption ?; 2. How is a crime and criminal responsibility for corruption of Simelungun District Court Decision number 709 / PID.B / 2009 / PN. SIM, Medan High Court Decision No. 50 / PID / 2011 / PT-MDN, and the Supreme Court Decision number 2093 K / Pid.Sus / 2011? Types of research conducted in this research is normative juridical and the nature of this research is descriptive analysis. The data collection techniques used in this research is through library research.

Based on the results of this research criminal liability against corruption is the liability of the offenses committed by the offender. Criminal act committed must meet the elements that have been determined by constitution. Someone will be held accountable for these actions when there is an element in the action against the law and there is no excuse and fault elements must be met in terms of combating corruption. This is due to the principle of liability in criminal law that is not tobe punishment if no fault.

Criminal act and criminal liability for acts of corruption in the PKPS BBM-IP activities in Simalungun where to defendant has been proven legally and convincingly, the defendant is able to be responsible and there is no excuse any fault that may negate or justification which can eliminate the unlawful nature of the act, the criminal liability for acts of corruption in the form of sentencing of offenders as set forth in the Supreme Court decision on the appeal.

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku

manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta membahayakan

masyarakat dan negara. Perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh

masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan

“koruptor teriak koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi

yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak pidana

yang perlu didekati secara khusus dan diancam dengan pidana yang cukup berat.1

Korupsi secara etimologisberasal dari bahasa latin yakni corruptio atau

corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari

bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris

:coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie,

yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Secara

harafiahkorupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat

disuap, tidak bermoral,penyimpangan dari kesucian.2

Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu

tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem

sosial.Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku

1

Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1.

2

(17)

tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya

dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain.3Korupsi di

Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya

kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan

penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya.Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena

keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup,

tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi.Ketiga, corruption by chance, artinya

korupsi terjadi karena adanya kesempatan.4

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang

dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan dan demikian

pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara

defenitif diatur dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.5

Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia

sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi

masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.Korupsi

juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi

sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti

3

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010,hal.1.

4

Ibid.

5

(18)

oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.Setelah perang dunia

kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang

berkembang.6

Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orangbanyak

serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia.Korupsi

semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terusmeningkat dari

tahun ke tahun.Korpusi semakin terpola dan tersistematis sertaterorganisir,

lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintasbatas negara,

korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa

(extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.7

Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk

kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna

mewujudkan kesejahteraan rakyat bahkan tindak pidana korupsi juga dapat dilihat

sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma

sosial lainnya. Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana tergolong

sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya baik terhadap masyarakat, maupun

terhadap bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara

adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi

terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan

6

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta, 2010, hal.5.

7

(19)

pidana. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu negara justru

merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekedar

kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.8

Tindak pidana korupsi disamping dapat merusak mental dan moral bangsa,

juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara dan akibat paling buruk

yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif adalah kehancuran eksistensi

pemerintahan negara sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Republik Tiongkok

di bawah pemerintahan rezim Kuo Min Tang setelah perang dunia II. Jatuhnya

pemerintahan Republik Tiongkok banyak disebabkan karena merajalelanya korupsi di

kalangan pejabat pemerintahan, sehingga rezim itu disingkirkan.9

Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah

merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah

meluluh lantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan

keamanan nasional.Korupsi dalam pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh

instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial.Pola

pemberantasannya harus dilaksanakan secara konprehensif dan bersama-sama oleh

lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat dan individu anggota masyarakat.10

8

Elwi Danil, Op.Cit., hal. 70. 9

Ibid., hal. 71. 10

(20)

Korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :11

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan

yang makin hari makin meningkat.

2. Korupsi dapat terjadi karena latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia

yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

3. Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik

akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang

akan mudah melakukan penggelapan keuangan.12

4. Penyebab korupsi ialah modernisasi, korupsi lebih banyak dijumpai pada

masyarakat/negara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas

perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi

yang cepat.

5. Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai disetiap bidang

kehidupan masyarakat baik dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun

politik.Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan

pada masalah korupsi.Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang saat ini

dirasakan semakin pesat perkembangannya seiring dengan semakin maju

11

Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 12. 12

(21)

pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan

mendorong untuk melakukan korupsi yang menimbulkan ketidaksejahteraan.13

Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem

pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena

masih membiarkan adanya praktek-praktek pemerintahan di mana kekuasaan

dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat. Perlu penjabaran

lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar

dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktek-praktek pemerintahan yang

terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan masyarakat

secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat

luas dengan berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan

yang maha esa.14

Praktik tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara,

lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari. Untuk itu pemberantasan tindak

pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan

memfungsikan sistem hukum yang ada misalnya perangkat perundang-undangan dan

kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).15

13

Evi Hartanti, Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 24. 14

Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009, hal. 74.

15

(22)

Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana

korupsi dapat dilihat dilahirkannya UUPTPK yang membawa suatu perubahan yang

memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan

perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini

mengklasifikasi perbuatan yang dapat dikatakan tindak pidana korupsi.16 Klasifikasi

tindak pidana korupsi diartikan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada

semua sektor terkait keuangan negara maupun perekonomian negara termasuk

didalamnyatindak pidana korupsi pada program konpensasi pengurangan subsidi

bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan, sehingga berpeluang besar untuk

dijadikan lahan korupsi di Indonesia.17

Kasus tindak pidana korupsi di bidang konpensasi pengurangan subsidi bahan

bakar minyak infrastruktur pedesaan dapat dideskripsikan dalam penanganan kasus

yang dilakukan oleh criminal justice system untuk menerapkan sistem

pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan (fault

liability, liability based on fault principle) sampai dengan pemidanaan terhadap

pelaku yakni tindak pidana korupsi pada pengurangan subsidi bahan bakar minyak

infrastruktur pedesaan dengan modus operandi menyediakan bahan dan peralatan

yang dibutuhkan Legiman dalam pembangunan perkerasan jalan Desa dan membuat

bon-bon fakur pemakaian bahan material. Adapun deskripsi terjadinya tindak pidana

korupsi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

16

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas Indonesia, UNDIP, Semarang, 1988, hal. 22-23.

17

(23)

Sesuai kesepakatan dalam dokumen kontrak (perjanjian kerjasama

operasioanal) No.84/PKPS BBM-IP/2005 tanggal 14 September 2005 antara saksi

Legiman sebagai ketua organisasi masyarakat setempat Nagori Sidotani (selaku pihak

ke-II) yang melakukan kerjasama operasional dengan terdakwa Bonar Zeitsel

Ambarita direktur CV Bona Lestari pengusaha pengadaan bahan/peralatan (selaku

pihak ke-III). Bonar selaku direktur CV Bona Lestrari melakukan penyediaan bahan

dan peralatan yang dibutuhkan oleh saksi Legiman di alokasi pekerjaan seperti : pipa

air minum, mesin pompa, batu pecah, batu padas, batu bata, semen, pasir, besi beton,

aspal, seng, kayu, mesin gilas, dumptruk, graider, excavator, traktor, buldozer, dan

material beserta peralatan lain yang dibutuhkan.

Bersamaan dengan menyerahkan segala dokumen pendukung/bukti pengadaan

atau penyediaan bahan/peralatan dari pihak ke-II serta pembayaran harga

bahan/peralatan didasarkan kepada berita acara pemeriksaan atau bukti serah terima

bahan/peralatan dan pembayarannya bersumber dari Dana PKPS BBM IP

Desa/Nagori Sidotani dengan jangka waktu pelaksanaan pengadaan bahan/peralatan

sejak tanggal 12 September 2005 sampai dengan 12 Desember 2005.

Berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) No. 84/PKPS

BBM-IP/2005 tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita meminta buku tabungan

Dana PKPS BBM IP Desa/Nagori Sidotani kepada saksi Legiman sebagai jaminan.

Selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut terdakwa Bonar Zeitsel

Ambarita mendahulukan penyediaan bahan- bahan, material yang diperlukan serta

(24)

Pembangunan di Nagori Sidotani dengan dana yang bersumber dari Program

Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Infrastruktur

Pedesaan (PKPS BBM-IP) T.A 2005 dengan cara melibatkan warga masyakarat

Nagori Sidotani dengan dikoordinir oleh para Gamot/Kepala Dusun masing-masing

Huta di Nagori Sidotani (swakelola).Setelah penandatanganan surat Perjanjian

Kerjasama Operasional (KSO) tersebut terdakwa Bonarlangsung mengantarkan bahan

material dimasing-masing huta sesuai dengan peta lokasi kegiatan pembangunan

perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani dengan membuat tanda terima penyerahan

bahan material dari CV Bona Lestari dengan para Gamot masing-masing huta.

Bonar selaku direktur CV Bona Lestari mengeluarkan beberapa faktur-faktur

dan tanda terima barang tanpa diketahui oleh saksi Legiman dan tercatat dalam buku

catatan harian tentang jumlah bahan material yang telah diterima dilokasi kegiatan

dalam pembangunan perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani tersebut. Bonar membuat

bon-bon faktur pemakaian bahan material berupa batu padas, pasir dan semen

seolah-olah bon-bon faktur tersebut telah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan

pembangunan dan hal ini bertentangan dengan surat perjanjian rincian-rincian

bon-bon faktur tersebut.

Berdasarkan perbuatan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita memperkaya diri

sendiri dengan cara mengeluarkan bon-bon faktur yang tidak sesuai dengan keadaan

yang terpasang dilapangan mengakibatkan terjadi kerugian Negara sebesar Rp.

106.458.556,46 (seratus enam juta empat ratus lima puluh delapan ribu lima ratus

(25)

dengan hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawas Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang dituangkan

dalam surat No. R-3280/PW02/5/2007, tanggal 30 Oktober 2007 tentang laporan

hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi

kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2005.

Kerugian tersebut terjadi karena di dalam kegiatan pembangunan di Nagori

Sidotani tersebut ditemukan adanya kekurangan fisik lapangan yang tidak dikerjakan

sebesar Rp. 7.148.566,46 (tujuh juta seratus empat puluh delapan ribu lima ratus

enam puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen) dan adanya kelebihan

pemakaian bahan sebesar Rp. 99.310.000,00 (sembilan puluh sembilan juta tiga ratus

sepuluh ribu rupiah).

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/

PN.SIM terdakwa Bonar terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana

dakwaan subsidair yakni korupsi secara bersama sebagaimana diancam dalam Pasal 3

Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan terhadap

putusan Pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Simalungun

tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.

50/PID/2011/PT-MDNdan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan menyangkut dakwaan primair

dinyatakan oleh Majelis Hakim tidak terbukti sebagaimana diancam dengan Pasal 2

(26)

pertimbangan Majelis Hakim yaitu unsur memperkaya diri sendiri atau oranga lain

atau suatu korporasi tidak terpenuhi, walaupun menurut jaksa penuntut umum unsur

memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi sehingga seharusnya

dakwaan primair yang terbukti bukan dakwaan subsidair.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akan dikaji mengenai

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program

Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi

Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011).

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini

berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi

menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

2. Bagaimanatindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana

korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID. B/2009/ PN.

SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan

Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?

(27)

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana dalam tindak

pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo.

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

2. Untuk mengkaji dan menganalisis tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana

terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.

709/ PID. B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.

50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan suatu manfaat bagi pembaca

dan orang lain. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum

pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama mengenai masalah

program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan

dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam penyelenggaraan

literatur dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan kepustakaan serta

perkembangan ilmu hukum pidana khusus tentang korupsi dalam program konpensasi

pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan.

(28)

Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini

sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

Disamping itu tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

masyarakat pada umumnya, agar mengetahui dan memahami prosedur hukum yang

berlaku dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak

infrastruktur perdesaan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di

lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan judul yang

sama dengan judul penelitian ini. Beberapa penelitian yang mengkaji tentang

Pertanggungjawaban Tindak Pidana, diantaranya yaitu :

1. Yushfi Munif Nasution, 2008, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan.

2. Nurhafifah, 2006, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban Pidana Oleh

Pengurus Yayasan Terhadap Penyalahgunaan Dana Kekayaan Yayasan.

Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannya

juga dapat dipertanggungjawabkan karena dilakukan dengan kejujuran, rasional, dan

objektif.

(29)

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan

teoretis.18Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang berguna untuk mencari

pemecahan suatu masalah. Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan

peristiwa huku m yang terjadi. Teori huku m dalam sebuah penelitian sebagai pisau

analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam

masalah penelitian.19

1. Teori pertanggungjawaban pidana

Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai

toereken-baarheid, criminal responsibility, criminal liability.Pertanggungjawaban pidana

disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat

dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang

dilakukannya.20

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liability)

diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang

akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.21

18

M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80. 19

Mukti Fajar Nur Dewanta dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 16.

20

S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, hal. 245.

21

Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, hal. 79.

(30)

atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang

filososf besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa I … use simple word

“liability” for the situation where by one may exact legally and other is legally

subjected to the exaction. Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah

sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari

seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak

hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah

nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.22

Adanya tindak pidana pada dasarnya adalah asas legalitas “nullum delectum

sine previa lege poenali” sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas

kesalahan. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah kepada orang yang melakukan

perbuatan itu juga dijatuhkan, tergantung pada soal apakah dalam melakukan

perbuatannya itu sipelaku juga mempunyai kesalahan.23

Hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan

(geen straf zonder schuld) yang merupakan dasar dari pertanggungjawaban hukum

pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan

tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di

dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan

22

Ibid.

23

(31)

hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

tersebut.24

Tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut adalah subjek hukum

yang dapat berupa orang perseorangan dan/atau kelompok orang baik yang tergabung

dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan

ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu.

Tindak pidana dalam hal ini dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik

berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi

pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang

memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun

orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut.25

Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi

perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga

mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi

perusahaan tersebut secara bersama-sama. Berbagai perumusan tindak pidana dalam

KUHP selalu tercantum unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan/kelalaian (culpa)

yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut

prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau asas

culpabilitas.26

24

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 171. 25

Ibid.

26

(32)

2. Teori sistem pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur

alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti

yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.27

Pembuktian dalam hukum pidana merupakan suatu sistem yang berada dalam

kelompok hukum pidana formal (hukum acara). Sistem hukum pembuktian ini

mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat-alat bukti untuk selanjutnya

dilakukan suatu penyelesaian dengan perbuatan materil yang dilakukan oleh terdakwa

untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya

terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 28 Sistem

pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan

peraturan perundang-undangan (negatief wettelijk overtuiging). Sistem pembuktian

ini berlandaskan hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa

berdasarkan keyakinan hakim dengan alat bukti yang sah berdasarkan

undang-undang. 29

27

Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Sofmedia, Medan, 2014, hal. 154.

28

Ibid., hal. 155. 29

(33)

Keyakinan hakim ini harus didasari dengan minimum 2 alat bukti

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

melakukannya”.30

Hukum pembuktian korupsi khususnya mengenai pembebanan pembuktian

ada perbedaan dengan ketentuan pada KUHAP, yakni dalam hal-hal tertentu dan

tindak pidana tertentu terdapat penyimpangan, beban pembuktian tidak mutlak pada

jaksa penuntut umum tetapi ada pada terdakwa atau kedua belah pihak yakni jaksa

penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan (sistem pembuktian semi terbalik).

Jaksa membuktikan terdakwa bersalah, artinya secara positif sedangkan terdakwa

atau penasihat hukum membuktikan tidak bersalah, atau secara negatif.Membuktikan

tindak pidana korupsi selain menggunakan sistem semi terbalik, sistem pembebanan Hukum pembuktian perkara pidana dalam KUHAP, pihak yang wajib

membuktikan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan

berada pada pihak jaksa penuntut umum. Pihak terdakwa pasif, dalam arti untuk

menolak dakwaan dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya.

Membuktikan tentang kesahalan terdakwa bagi jaksa sifatnya imperatif, namun

pembuktian tersebut bukanlah bersifat final.

30

(34)

biasa pada jaksa penuntut umum juga tetap berlaku.Maksud sistem biasa adalah

pembebanan pembuktian pada jaksa penuntut umum, seperti pada KUHAP.31

Hukum pembuktian tindak pidana korupsi ternyata sistem pembuktiannya

menentukan tidak melulu pada jaksa penuntut umum, tetapi dalam hal didakwa selain

tindak pidana korupsi juga harta benda terdakwa, maka beban pembuktian juga pada

terdakwa, artinya pada kedua pihak.Pembuktian ini disebut sebagai sistem semi

terbalik atau disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik. Pembebanan

pembuktian pada sistem semi terbalik atau pembuktian berimbang terbalik, adalah

pembuktian in casu membuktikan kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber

pendapatannya, beban pembuktiannya berada pada terdakwa atau penasihat hukum

dan sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan, maka keadaan tidak

berhasil membuktikan itu akan digunakan oleh jaksa penuntut umum untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana korupsi.32

2. Kerangka Konseptual

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh

suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan

31

Adami Chazawi,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2008, hal. 9.

32

(35)

analisis.33Konsep adalah defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan

dalam tulisan ini. Kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari

hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.34

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Suatu

penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak

menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan defenisi operasional (operational

definition).Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 35

a. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang

mana larangan tersebut disertai sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut.

Berdasarkan landasan konsepsional tersebut maka agar terdapat persamaan

persepsi mengenai defenisi atau pengertian yang digunakan dalam penelitian ini,

digunakan beberapa defenisi operasional sebagai berikut :

36

b. Pertanggungjawaban Pidanaadalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar

pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,

menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak

33

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 307. 34

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001 hal. 79.

35

Lexy J. Moelong, Metode penelitian Kuantitatif ,Remaja Rosdakarya,Bandung, 2002, hal. 101.

36

(36)

hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah

nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.37

c. Tindak Pidana Korupsiadalah perbuatan seseorang yang dengan atau karena

melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau

merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain, yang

mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.38

d. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.39

e. Kerugian negara/daerahadalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang

nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik

sengaja maupun lalai.40

f. Konpensasimerupakan segala sesuatu yang diterima dapat berupa fisik maupun

non fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada seseorang yang umumnya

merupakan obyek yang dikecualikan dari

37

Ibid.

38

Martiman Prodjohamidjojo, “Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik Korupsi”, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.14.

39

Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

40

Pasal 1 angka

(37)

merupakan hal ya

dasar

menyangkut fakto41

g. Infrastrukturmerupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan,

drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan

ekonomi. Pengertian ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem.

Infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan

prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Infrastruktur sendiri

dalam sebuah sistem menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus

menjadi penghubung dengan sistem lingkungan. Ketersediaan infrastruktur

memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di

masyarakat.42

h. Pedesaandidefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama

pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi

kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,

pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.43

41

T. Hani Handoko,Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2, BPFE-Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta, 1987, hal. 7.

Meskipun pendekatan peraturan

umumnya menggunakan pendekatan administratif, pengertian dalam

undang-undang tersebut merujuk pada definisi secara fungsional. Sehingga, dalam

43

(38)

lingkungan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum

sendiri, dikenal istilah perkotaan kabupaten meskipun bentuk struktur

pemerintahannya menggunakan desa.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis

normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan.

Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.44

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang

bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang

menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis hukum baik dalam

bentuk teori maupun praktik dari hasil penelitian di lapangan, bertujuan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara

sistematis, faktual dan akurat, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan

yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum

positif yang menyangkut permasalahan di atas.45

44

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,UMM Press, Malang, 2007, hal. 57.

45

(39)

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif menitik beratkan pada studi kepustakaan yang

berdasarkan pada bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas.46

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini

adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001, Putusan Nomor: 709/ Pid. B/2009/PN. Sim, Putusan

PT No. 50/PID/2011/PT-Mdn, Putusan MA No. 2093 K/Pid. Sus/2011, dan

peraturan-peraturan lain yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana

terhadap tindak pidana korupsi.

47

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, , yaitu terdiri dari buku-buku teks

yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana

korupsi, hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dokumen pribadi, dan pendapat

lain dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian yang

ditelaah.

46

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 141. 47

(40)

seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan internet yang relevan

dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumen

yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan (library research) yang

berupa bahan hukum sekunder. Studi kepustakaan digunakan untuk menggumpulkan

bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

literatur-literatur, dokumen resmi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan

penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaandata ke dalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan diinterprestasikan. 48 Analisis data dalam penelitian ini

menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang diamati.49

Data yang diperoleh selanjutnyaakan dianalisis secara deduktif. Prosedur

deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

48

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta2008, hal. 263.

49

(41)

dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus50

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 1999 JO.

, sehingga pokok

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijawab.

BAB II

50

(42)

UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana atau peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari

bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “delict”. Istilah peristiwa pidana dikenal pula

beberapa terjemahan, antara lain perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan

yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum.51Tindak pidana atau delik

ialah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu bertentangan

dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.52

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan tindak pidana

dengan istilah “Strafbaar Feit”. Perkataan “feit” dalam bahasa Belanda berarti

sebagian dari suatu kenyataan atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan

“strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harafia perkataan “strafbaar

feit”. Pembentuk Undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa

yang sebenarnya “strafbaar feit”, maka timbullah doktrin berbagai pendapat tentang

apa sebenarnya yang “strafbaar feit” tersebut.53

51

C. S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 36. 52

Ibid., hal. 30. 53

(43)

Beberapa sarjana memberikan perumusan mengenai pengertian tindak pidana,

diantaranya54 yaitu D.Simon menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah “Een

Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar person” yang mempunyai arti yaitu perbuatan salah dan

melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab.Peristiwa pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang

berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan dalam arti luas meliputi dolus (sengaja)

dan culpa late (alpa dan lalai). Simon mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana

yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban pidana,

mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung

jawab.55

Van Hamel menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh

undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai untuk dipidana, dan dapat dicela

karena kesalahan.56

Pompe memberikan dua definisi yaitu bersifat teoretis dan yang bersifat

perundang-undangan. Definisi teoretis, ialah pelanggaran norm (kaidah, tata hukum)

yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberikan pidana untuk Vos, menyatakan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang

dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (Een strafbaar feit is een door de wet

strafbaar gesteld feit).

54

C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 37. 55

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 224. 56

(44)

dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Menurut hukum positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh

undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian,

tidak berbuat, berbuat pasif) biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan

bagian suatu peristiwa.

Van Bemmelem menyatakan toerekenbaarheid van het feit of

toerekeningsvatbaarheid van de dader yaitu bahwa syarat untuk pemidanaan pembuat

delik ialah peristiwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Van

Bemmelem juga menambahkan bahwa dari asas-asas hukum yang diterima umum

disyaratkan pembuat harus mempunyai Schuld (kesalahan) dan peristiwa itu

menyebabkan pembuat dapat disesali serta dilakukan atau diwujudkan dengan

melawan hukum.

Hazewinkel-Suringa istilah Strafbaar feit terpilih untuk setiap langka yang

dilarang disertai ancaman pidana, terdiri atas berbuat maupun pengabaian. Ia menolak

istilah strafwaardig feit, dengan alasan bahwa tiap-tiap peristiwa yang bernilai untuk

dipidana belum tentu dapat dipidana. Definisi strafbaar feit karena batasan demikian

dapat memperkecil atau memperluas uraian delik yang tercantum di dalam

pasal-pasal KUHPidana.

Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan

(45)

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.57 Bahwa

pokok pikiran dalam perbuatan pidana diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan

pada sifatnya orang yang melakukannya.58

Moeljatno berpendapat yang dikutip oleh Adam Chazawi perbuatan pidana

lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :59

a. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu

kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan

itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan

pada orangnya.

b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang

ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan

(yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar

larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat

pula.

c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat

digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk

pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan),

dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

57

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 11.

58

Ibid., hal. 14 59

(46)

Komariah Emong Supardjadja berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat

bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau

serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan pidana

dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang

meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak

pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang

dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai

perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.60

Pembedaan ini menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan

antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan

pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini

pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana

dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam

mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak

pidana.61

Indrianto Seno Adji mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan

seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat

60

Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media, Jakarta, 2006, hal 28. 61

(47)

suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.62

Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi

yang dilarang oleh hukum untuk melindungu masyarakat dan dapat dipidana

berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Konsep KUHP, tindak pidana diartikan

sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan

perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana. Konsep ini juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai

tindak pidana, selain perbuatan, harus juga bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Tindak pidana selalu dipandang

bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.63

Aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali dengan perbuatan-perbuatan

yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan, seperti yang dikatakan “The rules

which all of you us what we can and cannot do”. Aturan tersebut menentukan

perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.64

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana

62

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 99. 63

Ibid, hal.98. 64

(48)

Unsur-unsur tindak pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian

perbuatan yang dipisahkan dengan pertanggung jawaban pidana.65Tindak pidana atau

perbuatan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada umumnya

dijabarkan dalam beberapa unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri sendiri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya66. Unsur objektif adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan

mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.67

Ketika dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur tindak

pidana meliputi beberapa hal68

a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat

pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum; :

b. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik

dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil;

c. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan

akibat yang dilarang oleh hukum. Unsur ini terkait dengan beberapa hal yang

wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada

65

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 100. 66

P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal. 193. 67

Ibid. 68

(49)

dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana,

tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi

pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

Tindak pidana ialah tindak yang mengandung 5 unsur, diantaranya69

a. Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);

:

b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke

omschrijving);

c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;

d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;

e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

Sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun

jangan dikira perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum. Perbuatan tersebut

sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk

dinyatakan tersendiri.70

Secara teoretis, perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas

kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (rechtdelicten) merupakan

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan-perbuatan itu diancam

pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai

delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini

69

C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 36. Lihat juga Moeljatno, Op.Cit., hal. 69. 70

(50)

disebut mala in se artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat

perbuatan tersebut memang jahat. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh

masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang

merumuskannya sebagai delik. Perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh

masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.

Perbuatan pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita.71

Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi (commission act) dan

delik omisi (ommisison act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan

pencurian. Delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah yaitu

tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di

muka pengadilan.72

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan (delik

dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur

kesengajaan, sedangkan delik culpaadalah delik yang memuat unsur kealpaan.

Perbuatan pidana dibedakan lagi menjadi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan

adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan

dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, sedangkan delik biasa adalah delik yang

tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pembunuhan.

71

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 102. 72

(51)

Berbicara mengenai perbuatan apa yang dilarang dan siapa pelaku yang

bertanggung jawab merupakan persoalan yang terus menerus dibicarakan dikalangan

para ahli hukum. Tindak pidana atau strafbaarfeit merupakan suatu perbuatan yang

mengandung unsur perbuatan yang dapat dipidana dan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana atau toerekenbaardheid/criminal responsibility merujuk

kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang

terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi

atau tidak. Pertanggungjawaban itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif

yang ada pada tindak pidana dan untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan

bahwa tindak pidana yang dilakukannya haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan

tersebut apabila dalam tindakan itu terdapatnya melawan hukum serta tidak ada

alasan pemaaf.73

Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku

dalam hubungannya dengan kelakuan yang dapat dipidana. Berdasarkan kejiwaan itu

pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor yang

menentukan dalam pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar

unsur mental dalam tindak pidana.74

73

Mahmud Mulyadi, dan Ferri A. Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 34.

74

Ibid., hal. 35.

Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan

syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak

(52)

Penentuan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dilakukan dengan

memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu

sendiri. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya

berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat

diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungj

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena sindrom koroner akut merupakan salah satu penyebab kematian di dunia dan di Indonesia serta besarnya pengaruh perubahan kadar lipid darah terhadap penyakit

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :

Peneliti lebih menfokuskan seberapa penting pengaruh brand image terhadap minat konsumen untuk produk smartphone Blackberry, karena perusahaan ini merupakan perusahaan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

4 Dalam perkembangannya, media Islam juga berupaya merengkuh pembaca yang lebih luas (tidak hanya khusus umat Islam).. Maka, mengklasifikasikan media Islam tidak terbatas

Hasil penelitian dengan menggunakan uji Ttest menunjukkan bahwa: (1) budaya organisasi dan komunikasi organisasi berpengaruh langsung positif dan tidak

yang tidak diperbolehkan ketika di kamar mandi adalah ..... allah menyukai anak-anak