PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA (ANALISIS
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 760 K/PID/2013)
TESIS
OLEH:
GUNAWAN SINURAT 127005121 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA (ANALISIS
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 760 K/PID/2013)
TESIS
OLEH:
GUNAWAN SINURAT 127005121 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
Telah Lulus Diuji Pada TanggalAgustus 2017
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S Anggota : 2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.
3.Dr. Edi Yunara,SH,.M.Hum 4. Prof. Dr. Madiasa Ablisar,.SH,.MH
5.Dr. Hamdan, S.H.,M.H.
ABSTRAK
Hukum merupakan satu alat dalam melindungi hak-hak masyarakat yang tujuannya adalah ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, akan tetapi hukum saja tidak akan mampu untuk mencapai tujuannya tersebut.Dewasa ini pengaduan- pengaduan yang sering terjadi di kepolisian adalah kasus-kasus keluarga sudah semakin meningkat, karena anggapan masyarakat sekarang ini bahwa setiap permasalahan akan lebih baik diselesaikan dengan ranah pengadilan padahal alangkah baiknya jika diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Ketentuan Pasal 367 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan, artinya ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Rumusan masalah Bagaimana pengaturan tindak pidana pencurian di kalangan keluarga dalam hukum Indonesia, bagaimana kekuatan hukum perdamaian dalam delik aduan pada hukum pidana, bagaimana penegakan hukum oleh Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 760K/Pid/2013.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif (Yuridis Normatif) adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah –kaidah atau norma hukum positif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan –peraturan yang tertulis atau bahan hukum.Jenis penelitian adalah penelitian yang memfokuskan kepada studi kasus.
Hasil penelitian dapat diketahui, Pengaturan tindak pidana pencurian dalam kalangan keluarga dalam hukum Indonesia diatur dalam buku Kedua KUHP adalah tindak pidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab XXII Pasal 362 – 367 KUHP. Pencurian dalam keluarga secara khusus diatur dalam KUHP Pasal 367 ayat 2 (dua) dan disebutkan bahwa pencurian dalam keluarga merupakan salah satu bagian dari delik aduan (klacht delict). Perdamaian tidak dapat menghapuskan pidana, dalam hal delik aduan, pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal 75 KUHP).Penegakan hukum oleh Hakim terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 760K/Pid/2013 telah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Disarankan, adanya materi hukum yang terkandung dalam Pasal 367 KUHP perlu diakomodir dalam penyusunan KUHP Nasional dengan rumusan yang padat, sederhana dan mampu menampung kebutuhan masyarakat yang dapat memberikan rasa adil, adanya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa pidana yang berkaitan dengan pencurian dalam kalangan keluarga yang tidak hanya mengacu kapada Pasal 75 KUHPidanaadanya para penegak hukum lebih mengutamakan penyelesaian perkara khusus pencurian dalam keluarga dengan sistem kekeluargaan.
Kata Kunci; Pencurian, Dalam Keluarga.
ABSTRACK
Law is a tool in protecting the rights of people whose purpose is order and tranquility in society, but the law alone will not be able to achieve that goal.
Nowadays the frequent complaints in the police are the cases of the family has increased, because the current society assumes that any problems will be better resolved with the domain of the court when it would be nice if resolved by way of kinship. The provision of Article 367 of the KUHP can be seen that the theft in the family is a complaint offense, meaning that there is or not a claim against this offense depends on the agreement of the disadvantaged / victims / people determined by law.
The formulation of the problem What is the arrangement of crime of theft among families in Indonesian law, how is the power of peace law in complaint on criminal law, how the law enforcement by Judge in Supreme Court Decision Number 760K / Pid / 2013.
This research is included in normative legal research (Juridical Normative) is a study focused on assessing the application of rules or norms of positive law.
Normative legal research is also called doctrinal law research, because this research is conducted or directed to written rules or legal materials. The type of research is a study that focuses on case studies.
The results of the research can be known, the regulation of criminal theft within the family in Indonesian law set forth in the second book of the Criminal Code is a criminal act of theft which is specifically regulated in Chapter XXII Articles 362 - 367 of the Criminal Code. Family thefts are specifically regulated under Article 367 (2) of Article 367 (2) and it is mentioned that family theft is one part of the offense of complaint (klacht delict). Peace can not eliminate the criminal, in case of offense of complaint, the complaint can be withdrawn / revoked within 3 (three) months after the complaint is filed (Article 75 of the Criminal Code). Law enforcement by the Judge of Supreme Court Decision Number 760K / Pid / 2013 has been in accordance with the Criminal Procedure Code (KUHAP)
It is suggested that the legal material contained in Article 367 of the Criminal Code should be accommodated in the preparation of the Indonesian Criminal Code with a solid formula, simple and able to accommodate the needs of the community that can provide a sense of justice, the existence of legal rules governing the settlement of criminal disputes related to theft in Families who not only refer to Article 75 of the Criminal Code of law enforcers prioritize the settlement of special cases of theft in families with a familial system.
Keywords; Theft, In The Family.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan Anugerahnyalah Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dalam Keluarga (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 760 K/Pid/2013)”.Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, oleh karenanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut Penulis sampaikan kepada para Dosen Pembimbing yaituBapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.SBapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, dan Bapak Dr.Edi Yunara,SH,.M.Hum atas segala bimbingan/arahan, koreksi dan perbaikan yang diberikan guna penyempurnaan penulisan tesis ini.
Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada para Dosen Penguji yaitu: Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar,S.H.,M.S. dan Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H yang walaupun dalam kapasitasnya sebagai Penguji, namum telah banyak memberikan bimbingan dan masukkan yang sangat berharga kepada Penulis.
Kemudian semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan kontruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup yang kesemuanya itu untuk kesempurnaan tesis ini.
Demikian juga rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan dengan hormat kepada:
1. Bapak Dekan Fakultas Hukum,Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum.
2. Ibu Prof. Dr. Sunarni S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Magister Ilmu Hukum yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat bagi Penulis selama berada dibangku kuliah.
4. Rekan-rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya kelas paralel C, yang telah banyak membantu Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini
5. Seluruh staf/pegawai di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Tersayang dan Tercinta orangtua saya B. Sinurat/E. Br Pasaribu yang selalu mendukung baik dari materi, mendoakan, memotivasi, menasehati dan pengertiannya selalu hadir setiap waktu demi kesuksesan saya.
7. Bapak Kapolres Pakpak Bharat AKBP. Jansen Sitohang,S.ik,.M.H yang telah banyak memberikan waktu dan arahan untuk menyelesaikan studi S2 ilmu hukum saya.
Penulis mendoakan semoga semua bantuan, kebaikan dan motivasi yang telah diberikan untuk Penulis mendapat balasan dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan/ jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika Penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bukan hanya kepada penulis, tetapi juga kepada masyarakat, khususnya masyarakat dilingkungan pendidikan ilmu hukum. Semoga penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi penegak hukum, demi tegaknya supremasi hukum di Negeri Indonesia ini.
Amien,,,,,,
Medan, Agustus 2017 Penulis,
Nama : GUNAWAN SINURAT,. SH
Gunawann Sinurat.
RIWAYAT HIDUP
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat tanggal lahir : Medan, 01 Januari 1983
Alamat : Jl. Bilal. Gg. Rela No. 248 B. Kota Medan Email : [email protected]
1. SD (1988 s/d 1994)
Pendidikan Formal
2. SMP (1994 s/d 1997)
3. SMA (l997 s/d2000)
4. S1- Hukum (2006 s/d 2010)
5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister
Ilmu Hukum (Tahun 2012-2017)
Pekerjaan :POLRI
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ... i
ABSTRACT ………. ii
KATA PENGANTAR……… .. iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... .. vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Keaslian Penelitian ... 18
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 18
1. Kerangka Teori... 18
2. Kerangka Konsepsi ... 32
G. Metode Penelitian ... 33
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 34
2. Sumber Data Bahan Hukum ... 35
3. Teknik Pengumpulan Data ... 36
4. Analisis Data ... 37
BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DI KALANGAN KELUARGA DALAM HUKUM INDONESIA ……….. 38
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ………. 38
1. Pengertian Tindak Pidana ……… 38
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ……… 39
3. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Dalam keluarga ………. 41
1. PenegrtianTindak Pidana Pencurian ……… 41
2. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dalam Keluarga ………. 45
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian Dalam Keluarga ………. 48
4. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan ………. 54
B. Delik Pencurian Dikalangan Keluarga Dalam Pasal 367 Ayat 2 KUHPidana ……… 58
BAB III KEKUATAN HUKUM PERDAMAIAN DALAM DELIK ADUAN PADA HUKUM PIDANA ……… 75
A. Pengertian Delik Aduan Pada Hukum Pidana ……….. 75
1. Pengertian Delik ……….. 75
2. Jenis-jenis Delik Aduan ……… 83
3. Unsur-Unsur Delik ……… 85
B. Pengertian Perdamaian Dan Prinsip Perdamaian ………. 87
1. Pengertian Perdamaian ………. 87
2. Prinsip Perdamaian ………... 88
C. Kekuatan Hukum Perdamaian Dalam Hukum Pidana ………... 94
1. Kekuatan Hukum Perdamaian ……… 94
2. Alasan-Alasan Pengahapusan Pidana ………. 96
BAB IV PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 760K/PID/2013. ………… ……...108
A. Pengertian Hakim, Tugas Dan Fungsi Hakim ………... 111
1. Pengertian Hakim ………... 111
2. Tugas Dan Fungsi Hakim ……… .. 113
B. Analisis Pertimbangan Hakim Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 760/Pid/2013. ………. ... 115
1. Posisi Kasus ………. .. 115
a. Kronologis ……… ... 115
b. Dakwaan ……….. .. 117
c. Fakta-Fakta Hukum ……… .. 118
d. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ………. .. 121
e. Pertimbangan Hukum Hakim ………... 122
f. Putusan Pengadilan ………. ... 125
2. Analisa Kasus ……… 128
1. Analisa berdasarkan Teori pembuktian ……….. 128
2. Analisa berdasrkan teori Kesalahan ………. . 139
3. Analisa berdasarkan teori Penegakan hukum ……… 143
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… .. 146
A. Kesimpulan ... .. 146
B. Saran ... ... 148 DAFTAR PUSTAKA. ...
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui1
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat)2
Negara Republik Indonesia yang mempunyai falsafah hidup Pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah mengakui dan menjamin bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin , hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
1Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya, Bayumedia 2005), hal.1.
2 Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
segala warga negaranya bersamaan kedudukanya didepan hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.3
Negara hukum adalah negara yang menyatakan kehendaknya dengan hukum dan segala sesuatu didalam negara itu dilaksanakan menurut hukum.4
Permasalahan akan timbul apabila masyarakat telah berubah, banyak hal-hal lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi dimasyarakat.
Perkembangan yang terjadi dimasyarakat tersebut memerlukan pengaturan yang kesemuanya itu harus dibuat secara tertulis, kenyataannya tidak akan mungkin sejalan dengan hal tersebut maka di dalam negara hukum semua kewenangan dan tindakan harus dapat dicari dasar hukumnya sebagai legalitas hukum. legalitas hukum yang dimaksud adalah dasar hukum untuk melakukan tindakan atau upaya penegakan hukum yang bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat manusia serta pengaturan yang bertujuan untuk kepentingan umum.
Pandangan terhadap negara hukum selama ini adalah bahwa perwujudan jaminan perlindungan hak-hak masyarakat dan pengaturan kepentingan masyarakat harus di atur dalam hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan atau perundang- undangan. Menurut pandangan ini, negara hanya bertindak apabila ada perintah dari peraturan atau undang-undang. Demikian juga halnya dengan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat dan atau kepentingan manusia harus telah diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
3 R. Subekti,Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hal. 4.
4G.S. Diponolo, Ilmu Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), hal. 145.
terpenuhi tepat pada waktunya. Sehingga hukum tersebut akan tertinggal, baik mengenai isi maupun perbuatanya. Sebagai akibat dari pandangan negara hukum yang formal.
Hukum merupakan satu alat dalam melindungi hak-hak masyarakat yang tujuannya adalah ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, akan tetapi hukum saja tidak akan mampu untuk mencapai tujuannya tersebut. Dalam mencapai cita-cita hukum dibutuhkan alat kelengkapan negara yang lain untuk menjalankan dan menegakan hukum tersebut, yaitu lembaga negara diberikan tugas, fungsi dan kewenangan dalam menjalankan penegakan hukum tersebut antara lain adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemasyarakatan.
Dalam proses penegakan hukum oleh alat kelengkapan negara tersebut, tidak luput dari terjadinya kesalahan atau penyalahgunaan tugas, kekuasaan ataupun kewenangan oleh aparat penegak hukum tersebut, baik terjadi karena kealpaan ataupun dengan kesengajaan atau tujuan kepentingan hal-hal tertentu. Keadaan seperti ini tentunya akan merugikan pihak-pihak yang menjadi korban dan hal itu dapat berakibat fatal.
Menurut B.R. Rinkschroeff, ada tiga masalahan yang penting dalam masyarakat dalam upaya penegakan hukum yaitu, permasalahan tentang ketidaksetaraan dalam masyarakat, pertanyaan bagaimana kohesi sosial dalam masyarakat dapat diwujudkan dan permasalahan rasionalisasi.5
5B.R. Rijkschoeff, Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. xi
Masalah ketidaksetaraan dalam masyarakat merupakan permasalahan yang sangat terasa sekali dalam suatu proses upaya penegakan hukum. Akan sangat terasa sekali perbedaan pelayanan dan perlakuan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya jika kita bandingkan antara pejabat negara atau golongan orang-orang yang dekat dengan pejabat negara dengan msyarakat awam. Umumnya golongan pejabat negara atau orang-orang yang dekat dengan penguasa akan mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat awam. Selain itu faktor kepentingan dan kekerabatan juga menjadi faktor perbedaan pelayanan dan perlakuan dalam proses upaya penegakan hukum di Indonesia. Sehingga banyak kejadian-kejadian dalam proses penegakan hukum yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang merupakan milik orang lain dengan cara melawan hak, dan untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada Pasal 362 KUHP menyebutkan
“Barang siapa yang mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-
”.
Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362 KUHP terdiri dari unsur subjektif yaitu dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum dan unsur-unsur objektif yakni, barang siapa,
mengambil, sesuatu benda dan sebagian atau seluruhnya kepenyaan orang lain.6
(1) Jika pembuat atau pembantu satu kejahatan yang diterapkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau pembantuan itu tidak dapat dituntut hukuman.
Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang terdapat di dalam rumusan Pasal 362 KUHP.
Satu bentuk dari pencurian yang diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP adalah pencurian dalam lingkup keluarga, mengenai hal ini diatur dalam Pasal 367 KUHP menyebutkan :
(2) Jika ia suami (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam derajat kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan,kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan.
(3) Jika menurut adat-istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapak kandung, maka ketentuan dari ayat (2) berlaku juga bagi orang lain.
Pencurian dipandang dari segi kriminologi maksudnya mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pencurian itu.
6 P.A.F Lamitang dan Theo Lamintang,Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 2.
2. Apa sebab-sebab dilakukan pencurian itu.
3. Bagaimana pencurian itu dilakukan.
4. Apa akibat pencurian itu.
5. Bagaimana tipe-tipe dari pencurian itu.
6. Bagaimana cara mengatasi pencurian itu.
Ketentuan Pasal 367 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan, artinya ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang.Delik aduan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 367 KUHP merupakan delik aduan relatif yakni yang adanya suatu pengaduan itu hanya merupakan suatu syarat agar terhadap pelaku-pelakunya dapat dilakukan penuntutan.
Menurut R. Soesilo elemen-elemen tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP yaitu :
1. Perbuatan “mengambil” yang diambil harus sesuatu “barang”, barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, pengambilan itu dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum atau melawan hak.
2. Mengambil untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencurian mengambil barang itu, barang belum ada pada kekuasaannya, apabila waktu memiliki sudah ada ditangannya, maka perbuatan ini bukan pencurian, melainkan penggelapan.
3. Suatu barang, segala sesuatu yang berwujud termasuk binatang, uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang termasuk pula
“daya lisrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dapat dialirkan dalam pipa atau kawat. Barang tidak perlu memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu, misalnya mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tanpa izin wanita itu, termasuk pencurian pencurian, meskipun dua helai rambut itu tidak ada harganya;
4. Barang itu, seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, suatu barang yang bukan kepunyaan orang lain tindak menimbulkan pencurian, misalnya binatang liar yang hidup di alam, barang-barang yang sudah dibuang pemiliknya;
5. Pengambilan itu harus dengan sengaja dan maksud untuk memilikinya.
Orang “karena keliru” mengambil barang orang lain itu bukanlah pencurian. Bila waktu pengambil sudah ada maksud “untuk memiliki”
barang itu, sudah masuk pencurian. Jika waktu mengambil ada pikiran ada pikiran barang akan diserahkan kepada polisi, akan tetapi serentak sampai dirumah, barang itu dimiliki dirinya, ia salah “menggelapkan” (Pasal 372 KUHP) karena barang yang dimilikinya “sudah berada ditangannya”.7
7 Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi &Yahman (Jilid 2), Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011), hal. 41-42.
Dalam Pasal 367 dikenal dengan istilah pencurian dalam keluarga. Pencurian dalam keluarga dalam Pasal 367 ini ada dua jenis pencurian, yaitu:
1. Pasal 367 ayat (1), seorang suami (istri) yang tidak berpisah meja dan tempat tidur dari istrinya (suaminya) telah melakukan atau membantu perbuatan pencurian terhadap istrinya (suaminya) penuntutan terhadap suami (istrinya) tidak dapat dilakukan;
2. Pasal 367 (2) terhadap suami (istrinya) yang berpisah meja dan tempat tidur;
a. Seorang anggota keluarga dalam garis lurus maupun garis samping sampai derajat ke-2;
b. Pengaduan terhadap pelaku dilakukan seorang istri atau suami terhadap siapa kejahatan itu dilakukan.
Kejahatan ini merupakan delik aduan relative, ketentuan hanya berlaku golongan:
a. Suami-istri yang berpisah meja dan tempat tidur;
b. Anggota keluarga;
c. Dalam garis lurus;atau
d. Dalam garis samping derajat ke 2;
e. Di luar golongan ini penuntutan tanpa pengaduan.
Menurut R. Sugandhi, bahwa istilah pencurian dalam keluarga ialah melakukan pencurian atau membantu melakukan pencurian atas kerugian suami atau istrinya, tidak dihukum, oleh karena mereka sama-sama memiliki harta benda
bersama. Hal ini didasarkan pula atas alasan tata susila. Bukankah mudah dan dapat dirasakan betapa tidal pantasnya, dua orang terikat dalam tali perkawinan adu satu melawan yang lain dimuka sidang pengadilan oleh penuntut umuum. Baik bagi mereka yang tunduk pada kitab undang-undang perdata (hukum sipil), maupun yang tunduk pada hukum adat (Islam), selama tali perkawinan mereka belum terputus, maka pencurian oleh mereka atas kerugian salah satu pihak, tidak dapat dituntut.8
Dalam hal delik aduan yang tetap diproses meski pengaduannya telah dicabut, pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. Contoh delik laporan dalam
Bagi mereka yang tunduk pada kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata), berlaku suatu peraturan tentang “cerai” meja makan dan tempat tidur yang berakibat bahwa perkawinan masih tetap, sedangkan kewajiban untuk tinggal bersama serumah sabagai suami-istri ditiadakan. Dalam keadaan seperti ini, maka pencurian yang dilakukan oleh salah seorang diantara mereka dapat dihukum apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan (delik aduan).
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (“KUHP”) misalnya delik pembunuhan (Pasal 338), pencurian (Pasal 362), dan penggelapan (Pasal 372).
8Ibid, hal. 45-46.
Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Contoh delik aduan misalnya perzinahan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), dan penggelapan/pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP). Menurut Pasal 75 KUHP orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.9
Apabila yang dilakukan atau membantu melakukan pencurian itu adalah sama keluarga yang tersebut dalam ayat (2) dalam Pasal ini, maka yang dilakukan atau membantu melakukan pencurian itu, hanya akan dituntut apabila ada pengaduan dari yang dirugikan.
Bagi bangsa Indonesia yang tunduk pada hukum adat (Islam), tidak mengenal penceraian harta benda, oleh karena itu maka Pasal 367 bagian yang mengenai suami- istri yang bercerai meja makan dan tempat tidur atau perceraian harta-benda, tidak berlaku bagi mereka. Berdasarkan hal itu, maka pencurian yang terjadi antara mereka, senantiasa tidak dapat dituntut dan tidak merupakan delik aduan. Apabila mereka sudah bercerai, maka pencurian itu dituntut tanpa adanya pengaduan dari yang dirugikan.
10
Dewasa ini pengaduan-pengaduan yang sering terjadi di kepolisian adalah kasus-kasus keluarga sudah semakin meningkat, karena anggapan masyarakat
9http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt503aef1a96fc6/kasus-pidana-dengan-cara- damai-kekeluargaan, diakses pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2017, pada jam. 05.00 WIB.
10Ibid, hal. 46.
sekarang ini bahwa setiap permasalahan akan lebih baik diselesaikan dengan ranah pengadilan padahal alangkah baiknya jika diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau dengan cara diluar pengadilan (Restorasi Justice). Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak. Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan pidana tersebut.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:
1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya)
2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya
3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.
Pengertian Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.11
a.
Berdasar Undang-Undang 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab I pasal 1 ayat 6 pengertian Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami, istri dan anaknya; atau ayah dan anaknya (duda), atau ibu dan anaknya (janda). Ada beberapa jenis keluarga, yakni:
Keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak.
b. Keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak mereka yang terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.12
c. Keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya.13
Keluarga inti atau disebut juga dengan keluarga batih ialah yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga inti merupakan bagian dari lembaga sosial yang ada pada masyarakat. Bagi masyarakat primitif yang mata pencahariaannya adalah berburu dan bertani, keluarga sudah merupakan struktur yang cukup memadai untuk
Keluarga luas meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
11https://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, diakses pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2017, pada jam 05. 00 WIB
12Richard R Clayton. The Family, Mariage and Social Change. 2003, hal. 58
13Anita L. Vangelis..Handbook of Family Comunication.USA: (Lawrence Elbraum Press, 2004). hal 349.
menangani produksi dan konsumsi. Keluarga merupakan lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga lainnya berkembang karena kebudayaan yang makin kompleks menjadikan lembaga-lembaga itu penting.14
Keluarga pada dasarnya harus hidup harmonis dan saling berdampingan, namun tidak selama bisa terlepas dari masalah. Permasalahan dalam keluarga tidak selalu dapat dipastikan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, misalnya kasus pencurian dalam keluarga seperti kasus terdakwa M. E Br Siahaan15
Berawal pada waktu dan tempat tersebut di atas, ketika saksi korban E.P.P Br Simanungkalit (ibu kandung terdakwa Mona) sedang berada di Jakarta lalu saksi Siti dan suaminya S.
M Sinambela pada pertengahan bulan oktober 2009 sekira pukul 11.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan oktober tahun 2009, atau setidak- tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, telah mengambil sesuatu barang berupa 1 (satu) unit piano berwarna hitam merek Yamaha, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain atau sebagian kepunyaan orang lain milik saksi korban E.P.P Simanungkalit, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, jika dia adalah yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan, yang dilakukan para terdakwa dengan cara dalam keadaan sebagai berikut:
14Paul B. Horton.Sosiologi. (Jakarta:Erlangga, 1987). Hal 266
15Nama di Singkat, lihat Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2.198/Pid. B/2011/PN. Mdn
Masito alias Imas (pembantu rumah tangga saksi Gerald) memberitahukan kepada saksi Roy Edward Van Horn (supir saksi Gerald) untuk mengambil kunci rumah atas suruhan terdakwa M.E. Br Siahaan dan terdakwa S.M.F Sinambela (suami terdakwa) dengan alasan untuk mengambil satu unit piano berwarna hitam merek Yamaha dari rumah saksi korban tanpa ijin saksi korban kemudian saksi R. menghubungi G.P.
Siahaan,16
Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban E.P.P Br Simanukkalit mengalami kerugian berupa 1 (Satu) unit piano berwarna hitam merek Yamaha yang ditaksir sebesar Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Akibat perbuatan terdakwa
(saudara kandung terdakwa Mona) melalui HP (handphone) meminta persetujuan namum saksi Gerald tidak mengijinkan karena saksi Gerald tideak menyetujuinya dengan mengatakan “agar jangan diberikan barang dalam bentuk apapun”, lalu saksi Gerald mendapat telephone lanjutan dari saksi Rio yang menerangkan bahwa terdakwa Mona dan terdakwa Saut datang meminta kunci rumah di jalan DI Panjaitan No. 7-A kelurahan Merdeka, kecamatan Medan Baru, Medan dengan mendatangi saksi Siti di rumah saksi Gerald yang berada di jalan Sultan Agung No. 15 Medan lalu Saksi Siti dengan terpaksa memberikan kunci rumah saksi korban kepada terdakwa Mona dan terdakwa Saut setelah terdakwa mengendarai sedan X Over menuju rumah dan masuk kerumah saksi korban dan mengambil piano, namun piano tersebut tidak muat dimobil yang akhirnya memasukkannya mobil Pick-Up (daftar pencarian barang) selanjutnya saski Gerald melaporkannya ke Polisi karena saksi Gerald diberi kuasa oleh saksi korban;
16Nama disingkat.
tersebut maka terdakwa diancam pasal 367 ayat (2) KUHP Pidana jo Pasal 363 ayat (1) ke 4 KUHpidana.
Dalam kasus ini putusanPengadilan Negeri Medan No. 2.198/Pid. B/2011/PN.
Mdntanggal 07 Maret 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut :17
1. Menyatakan para Terdakwa yaitu Terdakwa I : M. E.br Siahaan dan Terdakwa II : S.M.F Sinambela tersebut telah terbukti secara sah danmeyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian DalamKalangan Keluarga”
2. Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa tersebut oleh karena itu denganPidana Penjara masing-masing selama : 4 (empat) bulan ;
3. Menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalankan, kecuali jika dikemudianhari ada perintah lain dalam putusan Hakim, karena para Terpidana tersebutdipersalahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama : 8 (delapan) bulan ;
4. Memerintahkan agar barang bukti berupa: 1 (satu) unit piano berwarna hitam merek Yamaha dikembalikan kepada saksi korban E.P.P Simanungkalit;
5. Membebani para Terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) ;
Selanjutnya putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 295/PID/2012/PT-MDN tanggal 05 Juli 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut :18
17Lihat Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2.198/Pid. B/2011/PN. Mdn
18 Lihat putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 295/PID/2012/PT-MDN
1. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan PenasehatHukum para Terdakwa ;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 07 Maret 2012Nomor : 2198/Pid.B/2011/PN-Mdn yang dimintakan banding tersebut ;
3. Membebani para Terdakwa untuk membayar biaya perkara dikedua tingkatperadilan yang dalam tingkat banding masing-masing sebesar Rp2.500,00 (duaribu lima ratus rupiah) ;
Selanjutnya pada tingkat kasasi Hakim Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. Jaksa/PenuntutUmum pada Kejaksaan Negeri Medan dan para Terdakwa : 1. M.E Br. Siahaan, 2. S.M.F Sinambela tersebut ;Membebankan para Pemohon Kasasi/para Terdakwa tersebut untuk membayarbiaya perkara dalam tingkat kasasi ini masing-massing sebesar Rp2.500,00 (dua ribu limaratus rupiah) ;19
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas maka menjadi penting untuk dilakukan penelitian tesis yang berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Putusan Mahkamah Agung ini menarik karena terkandung di dalamnya pertimbangan hukum (motivering) yang mengadung ekstra juridis karena mempertimbangkan fakta-fakta sebagai alasan yang kemudian memperingan hukuman terdakwa, yang lazimnya pertimbangan fakta-fakta itu adalah domain judex factie.
19Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 760K/Pid/2013.
Pidana Pencurian Dalam Keluarga (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 760k/Pid/2013)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian tesis ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pencurian di kalangan keluarga dalam hukum Indonesia ?
2. Bagaimana kekuatan hukum perdamaian dalam delik aduan pada hukum pidana ?
3. Bagaimana penegakan hukum oleh Hakim terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 760K/Pid/2013 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pencurian di kalangan keluarga dalam hukum Indonesia.
2. Untuk mengetahui kekuatan hukum perdamaian dalam delik aduan pada hukum pidana.
3. Untuk mengetahui penegakan hukum oleh hakim terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 760K/Pid/2013.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yang berguna baik manfaat secara teoritis dan juga manfaat secara praktis antara lain:
1. Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran di bidang ilmu hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya hukum pidana secara teori yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana pada tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh keluarga.
2. Manfaat secara praktis
a. Instansi atau lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang melekat dalam tugasnya dengan mempertimbangkan hak-hak masyarakat sebagai warga negara Indonesia.
b. Bagi masyarakat sipil dapat lebih mengetahui tentang hak-haknya jika terjadi menjadi korban atas kesalahan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dan mengetahui bagaimana cara untuk memperoleh haknya tersebut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana, bahwa penelitian yang berjudul “Bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh keluarga (analisis kasus putusan mahkamah agung Nomor 760K/PID/2013)” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama.Walaupun ada beberapa topik penelitian tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian namun yang jelas berbeda, jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas kelimuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir –butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problema) yang menjadi bahan pertimbangan, pegangan teoritis.20 Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok–pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati.21
Selain itu, teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Kegunaan atau manfaat suatu teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.22
Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.23 Hukum dapat terdiri dari hukum tertulis24 dan tidak tertulis25
20M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal. 80
21Hadari Nawawi, “ Metode penelitian Bidang Sosial” (yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2003), hal. 39-40
22 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis”, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004), hal. 16
23L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2001), hal.16
24Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Undang –undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang –undang pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapakan dalam peratuan perundang-undang.
Sedangkan pasal 7 ayat (1) disebutkan: jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a.
UUD RI 1945, b. TAP MPR, c. UU/Perpu, d. Peraturan pemerintah, e. Peraturan presiden, f. PERDA, g. Peraturan daerah Kabupaten/kota.
25 Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law).
Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan:CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 127.
. Proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakkan hukum.26 Penegakkan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang27
M. Yahya Harahap
Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana pencurian dalam keluarga. Asas yang sering kita dengar adalah tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana.
Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan dan teori kesalahan korban memiliki relevansi yang urgen dengan penelitian ini.
28
26 Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.
27 Frans. H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No.10, Edisi November-Desember, 2011,hal.17.
28 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar-Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M.Yahya Harahap I), hal. 273.
menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui
pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti,29
Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.
30
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,31
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
Pembuktian diartikan sebagai: 1) proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Arti alat bukti dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa.
29 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hal.7
30 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hal.27.
31 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,hal.217-218.
yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.32 Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan.
Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.33
Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum34 secara lebih luas sebagaimana yang dinyatakan oleh Munir Fuady35
Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat bukti termasuk barang bukti. Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang- undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam
adalah:
Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
32 M.Yahya Harahap I, Loc.Cit.
33 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hal. 47.
34 Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan pada wkatu sekarang, Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum. Ilmu hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Teori Hukum adalah teorinya ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 3.
35 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung PT. Citra Aditya Bakti,2006), hal. 1-2.
Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti.
Barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut di sidang pengadilan.36Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Menurut Munir Fuady37
36 Eddy O.S, Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hal.4.
37 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 9.
, hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa keadilan serta motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari putusan yang keliru dan atau tidak adil.
Hukum pembuktian sebagaimana hukum pada umumnya tidak kedap terhadap segala dinaminasi (perobahan, pergerakkan dan perkembangan) kehidupan manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap perkembangan pembuktian di pengadilan.38 Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), mikroskop, sidik jari dan data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam pembuktian di pengadilan. Munir Fuady,39 menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hariej40
Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiarej mendefenisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut mendefenisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian”.
38Ibid, hal.8.
39Ibid, hal.1.
40 Eddy O.S, Hariej, Op.Cit, hlm. 5.
ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.41 R.Wiyono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.42
Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:43
1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana yang didakwakan terbutk telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka tahapan selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya seseorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan itu akan selalu terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan bahwa
41Ibid
42 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.148.
43 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.4.
pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.44
Setelah suatu tindak pidana terbukti telah terjadi dan terdakwalah pelakunya kemudian ternyata terbukti pula bahwa pelaku dapat dipersalahkan atas perbuatannya maka pemidanaan dapat dijatuhkan. Pemidanaan sebagaimana ditulis oleh Wiyanto, adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa kepada seseorang yang nyata–nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang–undang.
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan–alasan penghapusan pidana. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan pasal 44 KUHP.
45
Berdasarkan uraian diatas maka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembuktian termasuk salah satu pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur dalam Undang–undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau lebih dikenal dengan sebutan Kitan Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
44Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), hal. 7
45Roni Wiyanto, Asas –Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal.
110
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara Pidana adalah menemukan kebenaran materil.46 M. Yahya harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau materil waarheid atau disebut juga dengan absulute truth.47
Beberapa ajaran teori penting terkait dengan pembuktian
Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan dalam keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada bidang umum Bab I Pendahuluan yang berbunyi:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahakan.
48
1. Conviction in Time
adalah sebagai berikut:
Teori inimengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas dasar keyakinan hakim semata timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat absolut dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi.
46Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 228
47M. Yahya Harahap I, Op. Cit, hal. 275
48Beberapa literatur/ buku saling mempertukarkan istialh teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Acara hukum pidana Indonesia memperguanakan kata-kata sistem atau teori pembuktian
Sistem pembuktian conviction in time adalah suatu sistem yang untuk menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “kayakinan hakim”.49
2. Conviction Raisonnee
Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat–alat bukti atau alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan hakim dalam memberikan putusan tatap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan–alasan yang logis atau diterima akal kenapa hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan–alasan logis.
3. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theori)
Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata–mata alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka ruang pada keyakinan hakim. Alat bukti yangg telah ditentukan olehh undang–
undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta independen dalam membuktikan kebenaran sesuatu.
4. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatif Wettelijke Bewijs theori)
Sistem pembuktian undang–undang secara negatif ini adalah sebuah sistem pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat–alat
49M. Yahya harahap I, Op.cit. hal. 277
bukti yang telah ditentukan dalam undang–undang diikuti oleh keyakinan hakim. Jadi alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada (didepan) baru memunculkan keyakinan hakim bukan sebaliknya (dibelakang). Keyakinan hakim yang dimaksud disini adalah kayakinan yang timbul berdasarkan alat –alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu haruslah berkorelasi dengan alat –alat bukti. Sistem pembuktian ini dengan demikian merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim (conviction in time).
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana indonesia berdasarkan ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undang- undang negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terhadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Senada dengan itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan:”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
b. Teori kesalahan
Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan. Simon berpendapat bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku harus tercapai beberapa hal yaitu: ada kemampuan bertanggungjawab, ada hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan serta ada kesengajaan atau kelalaian.50
1. adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.
Kesalahan dianggap ada jika terbukti beberapa unsur yaitu:
2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) menurut E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, bila mana pada umumnya:
a. Keadaan jiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus- menerus atau sementara (temporair);
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya);
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflece beweging, melindur, slat wandel, mengigau karena demam/koorts dan sebagainya;
b. Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
50 E.Y.Kanter & S.R. Sianturi, Op.Cit, hal.162
Lilik Mulyadi51 menyebutkan bahwa tipologi korban kejahatan dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu, pertama: ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan; dan kedua: ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri. Stephen Scafer52
c. Teori Penegakan hukum
mengemukakan salah satu tipologi korban adalah provocative victims yaitu korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan, karena itu aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
Di dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah, baik dalam lapangan pengaturan, pelayanan serta perlindungan masyarakat haruslah didasarkan kepada peraturan atau hukum positif. Hal ini merupakan konsep dasar dari penegakan hukum di semua bidang. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan- aturan hukum agar sesuai dengan cita-citakan oleh hukum, yaitu untuk mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia agar sesuai dengan bingkai yang ditetapkan oleh hukum.53 Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum.54
51 Lilik Mulyadi, Op.Cit,hal. 16.
52 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal, (New York: Random Hause, 1968), hal.159, dalam Lilik Mulyadi, Loc.Cit
53H.R. Otje Salman dan Anton Sussanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Jakarta: PT. Rafika Aditama, 2007), hal.150.
54 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum (suatu tujuan Sosiologis), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2007), hal. 150.
tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral seperti kebenaran dan keadilan, yang mana nilai-nilai tersebut harus dapat diwujudkan dalam keadaan realitas.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain , seperti asas dan standart. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal –hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep adalah suatu kontruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 55 kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.56
a. Penegakan hukum adalah suatu perbuatan menegakan hukum untuk tujuan mendapatkan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Penegakan hukum persis sama dengan penggunaan hukum, yang membedakannya adalah tujuannya.
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkret, yang disebut sebagai defenisi operasional. Defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana disebut diatas, berikut disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, yaitu antara lain:
55Satjipto Raharjo, Konsep Ilmu Hukum, (Bandung; Citra Adithya Bakti), 1996, hal. 397.
56 Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7
b. Tindak pidana adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
c. Pencurian dalam keluarga adalah pencurian yang dilakukan oleh sanak atau keluarga dari korban, dalam hal ini anak, disebut pencurian dalam kalangan keluarga. 57
d. Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
e. Judex factie adalah pengadilan yang berwenang untuk menilai fakta-fakta yaitu pengadilan tingkat pertam a dan pendilan tingkat banding.
f. Judex juris adalah pengadilan yang berwenang untuk menilai penerapan hukum Mahkamah Agung.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran. Dilaksanakan penelitian untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis.
Metodologi merupakan suatu logika yang menjadai dasar penelitian ilmiah. oleh
57Pasal 367 ayat (2) KUHP