Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir –butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problema) yang menjadi bahan pertimbangan, pegangan teoritis.20 Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok–pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati.21
Selain itu, teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Kegunaan atau manfaat suatu teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.22
Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.23 Hukum dapat terdiri dari hukum tertulis24 dan tidak tertulis25
20M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal. 80
21Hadari Nawawi, “ Metode penelitian Bidang Sosial” (yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2003), hal. 39-40
22 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis”, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004), hal. 16
23L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2001), hal.16
24Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Undang –undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang –undang pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapakan dalam peratuan perundang-undang.
Sedangkan pasal 7 ayat (1) disebutkan: jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a.
UUD RI 1945, b. TAP MPR, c. UU/Perpu, d. Peraturan pemerintah, e. Peraturan presiden, f. PERDA, g. Peraturan daerah Kabupaten/kota.
25 Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law).
Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan:CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 127.
. Proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakkan hukum.26 Penegakkan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang27
M. Yahya Harahap
Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana pencurian dalam keluarga. Asas yang sering kita dengar adalah tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana.
Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan dan teori kesalahan korban memiliki relevansi yang urgen dengan penelitian ini.
28
26 Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.
27 Frans. H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No.10, Edisi November-Desember, 2011,hal.17.
28 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar-Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M.Yahya Harahap I), hal. 273.
menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui
pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti,29
Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.
30
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,31
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
Pembuktian diartikan sebagai: 1) proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Arti alat bukti dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa.
29 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hal.7
30 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hal.27.
31 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,hal.217-218.
yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.32 Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan.
Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.33
Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum34 secara lebih luas sebagaimana yang dinyatakan oleh Munir Fuady35
Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat bukti termasuk barang bukti. Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam
adalah:
Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
32 M.Yahya Harahap I, Loc.Cit.
33 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hal. 47.
34 Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan pada wkatu sekarang, Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum. Ilmu hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Teori Hukum adalah teorinya ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 3.
35 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung PT. Citra Aditya Bakti,2006), hal. 1-2.
Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti.
Barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut di sidang pengadilan.36Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Menurut Munir Fuady37
36 Eddy O.S, Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hal.4.
37 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 9.
, hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa keadilan serta motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari putusan yang keliru dan atau tidak adil.
Hukum pembuktian sebagaimana hukum pada umumnya tidak kedap terhadap segala dinaminasi (perobahan, pergerakkan dan perkembangan) kehidupan manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap perkembangan pembuktian di pengadilan.38 Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), mikroskop, sidik jari dan data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam pembuktian di pengadilan. Munir Fuady,39 menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hariej40
Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiarej mendefenisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut mendefenisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian”.
38Ibid, hal.8.
39Ibid, hal.1.
40 Eddy O.S, Hariej, Op.Cit, hlm. 5.
ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.41 R.Wiyono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.42
Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:43
1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana yang didakwakan terbutk telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka tahapan selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya seseorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan itu akan selalu terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan bahwa
41Ibid
42 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.148.
43 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.4.
pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.44
Setelah suatu tindak pidana terbukti telah terjadi dan terdakwalah pelakunya kemudian ternyata terbukti pula bahwa pelaku dapat dipersalahkan atas perbuatannya maka pemidanaan dapat dijatuhkan. Pemidanaan sebagaimana ditulis oleh Wiyanto, adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa kepada seseorang yang nyata–nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang–undang.
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan–alasan penghapusan pidana. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan pasal 44 KUHP.
45
Berdasarkan uraian diatas maka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembuktian termasuk salah satu pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur dalam Undang–undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau lebih dikenal dengan sebutan Kitan Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
44Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), hal. 7
45Roni Wiyanto, Asas –Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal.
110
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara Pidana adalah menemukan kebenaran materil.46 M. Yahya harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau materil waarheid atau disebut juga dengan absulute truth.47
Beberapa ajaran teori penting terkait dengan pembuktian
Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan dalam keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada bidang umum Bab I Pendahuluan yang berbunyi:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahakan.
48
1. Conviction in Time
adalah sebagai berikut:
Teori inimengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas dasar keyakinan hakim semata timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat absolut dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi.
46Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 228
47M. Yahya Harahap I, Op. Cit, hal. 275
48Beberapa literatur/ buku saling mempertukarkan istialh teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Acara hukum pidana Indonesia memperguanakan kata-kata sistem atau teori pembuktian
Sistem pembuktian conviction in time adalah suatu sistem yang untuk menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “kayakinan hakim”.49
2. Conviction Raisonnee
Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat–alat bukti atau alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan hakim dalam memberikan putusan tatap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan–alasan yang logis atau diterima akal kenapa hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan–alasan logis.
3. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theori)
Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata–mata alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka ruang pada keyakinan hakim. Alat bukti yangg telah ditentukan olehh undang–
undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta independen dalam membuktikan kebenaran sesuatu.
4. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatif Wettelijke Bewijs theori)
Sistem pembuktian undang–undang secara negatif ini adalah sebuah sistem pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat–alat
49M. Yahya harahap I, Op.cit. hal. 277
bukti yang telah ditentukan dalam undang–undang diikuti oleh keyakinan hakim. Jadi alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada (didepan) baru memunculkan keyakinan hakim bukan sebaliknya (dibelakang). Keyakinan hakim yang dimaksud disini adalah kayakinan yang timbul berdasarkan alat –alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu haruslah berkorelasi dengan alat –alat bukti. Sistem pembuktian ini dengan demikian merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim (conviction in time).
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana indonesia berdasarkan ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terhadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Senada dengan itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan:”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
b. Teori kesalahan
Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan. Simon berpendapat bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku harus tercapai beberapa hal yaitu: ada kemampuan bertanggungjawab, ada hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan serta ada kesengajaan atau kelalaian.50
1. adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.
Kesalahan dianggap ada jika terbukti beberapa unsur yaitu:
2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) menurut E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, bila mana pada umumnya:
a. Keadaan jiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus- menerus atau sementara (temporair);
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya);
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflece beweging, melindur, slat wandel, mengigau karena demam/koorts dan sebagainya;
b. Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
50 E.Y.Kanter & S.R. Sianturi, Op.Cit, hal.162
Lilik Mulyadi51 menyebutkan bahwa tipologi korban kejahatan dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu, pertama: ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan; dan kedua: ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri. Stephen Scafer52
c. Teori Penegakan hukum
mengemukakan salah satu tipologi korban adalah provocative victims yaitu korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan, karena itu aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
Di dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah, baik dalam lapangan pengaturan, pelayanan serta perlindungan masyarakat haruslah didasarkan kepada peraturan atau hukum positif. Hal ini merupakan konsep dasar dari penegakan hukum di semua bidang. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan cita-citakan oleh hukum, yaitu untuk mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia agar sesuai dengan bingkai yang ditetapkan oleh hukum.53 Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum.54
51 Lilik Mulyadi, Op.Cit,hal. 16.
52 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal, (New York: Random Hause, 1968), hal.159, dalam Lilik Mulyadi, Loc.Cit
53H.R. Otje Salman dan Anton Sussanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Jakarta: PT. Rafika Aditama, 2007), hal.150.
54 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum (suatu tujuan Sosiologis), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2007), hal. 150.
tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral seperti kebenaran dan keadilan, yang mana nilai-nilai tersebut harus dapat diwujudkan dalam keadaan realitas.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain , seperti asas dan standart. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal –hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep adalah suatu kontruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 55 kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.56
a. Penegakan hukum adalah suatu perbuatan menegakan hukum untuk tujuan mendapatkan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Penegakan hukum persis sama dengan penggunaan hukum, yang membedakannya adalah tujuannya.
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkret, yang disebut sebagai defenisi operasional. Defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana disebut diatas, berikut disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, yaitu antara lain:
55Satjipto Raharjo, Konsep Ilmu Hukum, (Bandung; Citra Adithya Bakti), 1996, hal. 397.
56 Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7
b. Tindak pidana adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
c. Pencurian dalam keluarga adalah pencurian yang dilakukan oleh sanak atau keluarga dari korban, dalam hal ini anak, disebut pencurian dalam kalangan keluarga. 57
d. Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
e. Judex factie adalah pengadilan yang berwenang untuk menilai fakta-fakta yaitu pengadilan tingkat pertam a dan pendilan tingkat banding.
f. Judex juris adalah pengadilan yang berwenang untuk menilai penerapan hukum Mahkamah Agung.